Posisi dan Peranan Bapak sebagai Kepala Keluarga dalam Masyarakat Hukum Adat di Minangkabau

POSISI DAN PERANAN BAPAK

SEBAGAI KEPALA KELUARGA DALAM

MASYARAKAT HUKUM ADAT MINANGKABAU

Oleh : H. Mas’oed Abidin[1]

 

 

Mukaddimah

 

Landasan pokok adat budaya Minangkabau “adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah”, bermakna ada landasan budaya yang kuat, bersendi kepada agama (syara’). Maka, dalam diri orang Minang menyatu kedua nilai hakiki, adat dan syarak. Setiap orang Minang dituntut memahami dan mengamalkan nilai-nilai budaya Minangkabau tersebut dengan mentaati ajaran-ajaran agama Islam.

Pengamalan secara utuh dari adat, agama dan undang-undang, berpengaruh terhadap tatanan sosial. Tanpa ketiganya, kekacauan, keserakahan, kekerasan dan kejahatan dengan mudah akan tumbuh subur di tengah-tengah masyarakat.

Seorang Minangkabau mesti beradat, berbudi dan beragama Islam. Ketika konsep adat budaya Minangkabau yang religius ini diamalkan dengan sesungguhnya, maka “ranah Minang” adalah nagari aman, damai, sejahtera lahir dan batin.

Minangkabau masa dahulu bisa dikatakan sangat teratur. Masuknya agama Islam ke ranah Minangkabau, tatanan adat istiadat disempurnakan dengan ajaran agama melalui penyesuaian-penyesuaian. Hal-hal yang bertentangan dengan Islam, dihapus dan tidak berlaku lagi. Dari sini lahir ” adaik manurun agamo mandaki ” dan “syarak mangato, adaik mamakaikan“.

Secara fisik, ungkapan itu adalah adat berasal dari daerah daratan, kemudian menyebar ke kawasan pesisir. Sementara agama berasal dari pesisir dan dikembangkan kedaratan dan pedalaman Minangkabau.

Secara esensial, bahwa masyarakat Minangkabau rela menerima peran adat yang selalu menurun dan berkurang, sementara agama kian hari semakin dominan. Karena itu, berlaku kaidah ”adaik dipakai baru, kain dipakai usang”, satu kearifan adanya penjagaan nilai-nilai disetiap pergantian zaman dan musim.

Dalam masyarakat  Indonesia ada struktur kemasyarakatan :

1)       Berdasarkan Matrilinial, yaitu melalui garis keturunan Ibu, seperti di Minangkabau,

2)       Berdasarkan Patrilinial, yaitu melalui garis keturunan Ayah,  seperti di Tapanuli, Sumatera Utara, atau Batak,

3)       Berdasarkan Parental, yaitu melalui garis keturunan IBU dan AYAH (kedua-duanya), seperti di Jawa.

 

Masyarakat Hukum Adat Minangkabau

Masyarakat hukum adat dapat difahami melalui faktor teritorial dan faktor geneologis. Faktor teritorial terikat dengan suatu daerah tertentu. Faktor genealogis berdasar pertalian darah keturunan.

Orang Minangkabau, merasa terikat oleh satu keturunan yang ditarik menurut garis Ibu atau Perempuan.

a)      Kesatuan dasar keturunan itu disebut SUKU jang ditarik menurut garis keturunan perempuan atau Matrilinial.

Hubungan kekerabatan matrilinial bersifat alamiah dan lebih awal munculnya dalam masyarakat dibanding tali kekerabatan lainnya.  

Sejak awal, anak-anak lebih mengenal Ibunya. Ibu melahirkan, mengurus, mengasuh dan ibu membesarkan anaknya. Ibu menjadi pendidik keluarga. lbu menentukan perkembangan keturunan. Melalui garis Ibu (perempuan) terjalin ikatan keluarga matrilinial.

b)     Peran ibu di Minangkabau ada dua ; pertama melanjutkan keberadaan suku dalam garis matrilineal, dan kedua menjadi ibu rumah tangga dari keluarga, suami dan anak-anaknya. Syara’ berlandaskan Kitabullah menempatkan perempuan pada posisi azwajan (mitra setara dan sederjat) dengan jenis laki‑laki sebagai pasangan hidup.[1] Karena itu ibu menduduki peran sentral.[2]

Saat ini, tanggungjawab terhadap anak, dipastikan sepenuhnya telah berpindah ke tangan orang tua. Dominasi mamak beralih ke ayah khususnya, dan orang tua pada umumnya.

c)      Rumah tangga bagian terendah tata ruang masyarakat. Organisasi kekerabatan matrilinial Minangkabau dimulai dari Rumah Tangga yang dipimpin orang SUMANDO, artinya kekuasaan ada pada BAPAK.

Anak Minangkabau punya nasab ayah, suku ibu, dan gelar mamak.

”Gala” adalah ”sako” dalam kaum atau suku. 

Orang Sumando mempunyai tugas berat,

mancari kato mufakaik, ma-nukuak mano nan kurang, mam-bilai mano nan senteng, ma-uleh sado nan singkek, Man-jinaki mano nan lia, ma-rapekkan mano nan ranggang, ma-nyalasai mano nan kusuik, ma-nyisik mano nan kurang, ma-lantai mano nan lapuak, mam-baharui mano nan usang”.

Idealnya urang sumando Minangkabau adalah urang sumando ninik mamak atau sumando mamak rumah.

d)     Tali kekerabatan masyarakat Minangkabau yang kompleks  selalu dijaga dengan baik. Seseorang dianggap ada, bila ia berhasil menjadi sosok yang diperlukan di kaumnya dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kelompoknya, bakorong bakampuang dan banagari.

e)      Keturunan matriliniel meluas jadi keluarga SAMANDE ditarik dari garis ibu. Anggota keluarga Samande menyadari bahwa mereka berasal dari satu rumah gadang dan dari saudara sama Ibu.

Pimpinan dari keluarga Samande adalah MAMAK  RUMAH. Tali kekerabatan dalam rumah gadang dari Samande dijaga oleh mamak. Peranan mamak masa dahulu amat dominan, ”Kamanakan barajo ka Mamak, Mamak barajo ka Pangulu, Pangulu barajo ka mupakaik, Mupakaik barajo ka nan bana, Nan bana ba-diri sandirinyo”. Begitu terlihat jelas dalam rumah tangga di rumah gadang. Tanggung jawab mamak yang besar itu, sampai membuatkan rumah untuk kemenakan, jadi tanggungjawab mamak.

f)       Kekeluargaan matrilinial membentuk hubungan Saparuik dan Sajurai, yang dijaga oleh TUNGGANAI dan Tuo Kampuang.

Beberapa PARUIK membentuk KAUM dari garis keturunan ibu, dipimpin oleh PENGHULU KAUM, atau MAMAK KEPALA WARIS. Kumpulan beberapa KAUM membentuk kesatuan kerabat yang lebih besar, dinamakan SUKU, dipimpin oleh PENGHULU KAUM atau Penghulu Suku.

Kepemimpinan mamak menduduki jabatan penghulu di tengah kaumnya.

Penghulu, adalah pemuka masyarakat yang dipilih dan diangkat kaum. Mamak adalah pemegang tongkat penghulu yang dihormati kaumnya. Penghulu itu harus menjaga kehormatan.

Dia tidak boleh berbuat tidak baik. Malah, memanjat pohon untuk memetik buah-buahan tidak boleh dilakukan seorang penghulu. Dia akan menyuruh anak kemenakannya.

Dalam memimpin, penghulu mesti mampu berlaku adil dan bijaksana. ”tibo di paruik indak dikampihkan, tibo di mato indak dipiciangkan.”

Syarat utama pengangkatan seorang penghulu sangat berat.

Penghulu menjunjung gelar serta marwah anak kemenakan, korong kampung, kaum dan nagari.

Menjunjung gelar haruslah bertabur urai.

Maknanya berbuat untuk anak kemenakannya, karena hendak nama tinggalkan jasa.

Gelar penghulu tidak dapat dibagi-bagikan dengan mudah kepada sembarang pihak. Artinya, ”tantang rueh nan ba tuneh, tantang barih nan ba balabeh”[3].

Seorang yang menjabat  ”penghulu” akan melaksanakan tugas diikat dengan sumpah ”ka ateh indak ba pucuak, ka bawah indak ba urek, di tangah di lariek kumbang”.

Mustahil, bila penghulu mendapatkan gelar lewat penganugerahan semata.

Ketika zaman berubah, “sakali aie gadang, sakali tapian baranjak” atau  sakali musim baganti, sakali zaman bakisa“, peran dominasi mamak terhadap kemenakan mulai berkurang.

Pendidikan adat Minangkabau semestinya menyangkut kepada nilai-nilai adat itu. Sehingga upaya membentengi  kemerosotan moral melalui nilai-nilai adat, mudah dilakukan.

Adat Minang mempunyai struktur yang jelas,

1)       Sistematika filosofi budaya Minangkabau, sahino samalu, sa iyo sa kato. Sistematika hukum adat Minangkabau, bajanjang naiek batanggo turun. Jenjangnya adalah tangga musyawarah.

2)       Dalam hal fungsi, ada hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan dalam adat Minang.

Secara filosofis, laki-laki dan perempuan punya  fungsi sendiri pula

Konsep Islam menempatkan manusia khalifah di muka bumi. Laki-laki dan perempuan adalah sama-sama pemimpin.[4]

3)       Fungsi laki-laki (bapak dan mamak) serta perempuan (bundo kanduang pelanjut suku dan ibu pemimpin rumah tangga), sama pemimpin dalam fungsi, sah menurut syarak. Ideologi Minang sudah berjalan dan sudah ada, sahino samalu dan saling menghormati.

Nan tuo dimulie kan, nan ketek di sayangi, samo gadang lawan ba iyo[5],  sesuai kaedah syarak, menjadi adat yang diajarkan dalam menghormati orang tua (ibu,bapak).[6]

4)       Ideologis Minangkabau adalah gabungan dari beberapa ideologi yang ideal bagi orang Minang sendiri. Adat Minangkabau mengakui persamaan gender sejak dulu. Masalah feminim sudah dikedepankan sejak lama, sebelum muncul dalam  tataran global.

5)       Di masa lalu kekerabatan dapat dijaga oleh ninik mamak dibalut oleh sistem mata pencaharian yang sama.

a)       Hubungan silaturahmi dalam kekerabatan adat memberi fungsi dan tugas dalam menata masyarakat banagari dan bakorong bakampuang, seperti Sumando, Mamak Rumah, Tungganai, Pangulu Suku, Andiko, Tuo Kampuang dan lainnya.

b)       Hubungan kekerabatan di Minangkabau berlangsung secara harmonis dan dijaga dengan baik. Hal tersebut terjadi karena perasaan kekeluargaan dan perasaan semalu terjaga dalam hubungan keluarga dengan baik.

c)       Seseorang akan dihargai oleh suku atau keluarganya apabila ia berhasil menyatu dengan kaumnya dan tidak membuat malu kaummya.

Menyigi matrilineal ini, maka tampaklah bahwa ;

1.       Anak-anak yang dilahirkan oleh ibu yang bukan Minang tidak mempunyai suku dalam adat Minangkabau.

2.       Untuk mendapatkan suku seseorang harus mempunyai prinsip hinggok mancangkam, lompek basitumpu, adat di isi limbago dituang pada sebuah suku oleh suatu nagari.

3.       Maka seorang perempuan yang menjadi menantu orang Minang biasanya diterima sebagai hinggok mancangkam, tabang basitumpu  itu dalam suku lain, kecuali suku suaminya. Solusi ini telah berlaku sejak lama.

4.       Setelah diangkat sebagai anggota satu suku atau kemenakan dalam satu kaum, maka ia berhak mendapat gelar sako dari kaum itu. Keadaan seperti ini yang terjadi di daerah Sitiung atau Pasaman.

5.       Bergesernya pola keluarga kepada keluarga batih (keluarga kecil), maka fungsi sumando ninik mamak menjadi sangat luas.

6.       Gelar pusako, berkaitan dengan fungsi-fungsi yang ada dalam kaum, maka setiap kaum menentukan apakah gelar yang ada pada kaumnya dan terbatas itu, dapat ditambah asal tidak bertentangan dengan kaum lain, suku lain atau nagari lainnya.

7.       Kawin sesuku, boleh atau tidak, sebenarnya dapat diatur dalam adat salingka nagari.

MEMPOSISIKAN PERANAN BAPAK, KEPALA KELUARGA DALAM  MASYARAKAT ADAT  MlNANGKABAU 

Bapak atau ayah dalam masyarakat hukum adat Minangkabau, adalah ayah dari  anak-anak yang dilahirkan oleh ibu yang diikat dengan satu perkawinan dalam ikatan ”rumah tangga”, artinya ayah biologis. Anak akan bernasab kepada ayah.

Anak-anak yang lahir dari perkawinan dalam ikatan rumah tangga itu menurut hukum adat Minangkabau mengikuti garis keturunan Ibu mereka (matrilinial), karena masyarakat Minangkabau mengikuti sistem matrilinial, maka ANAK-ANAK bersuku (clan) kepada ibu.

Dalam tatanan global, suasana kebudayaan lebih didominasi oleh sistem patriaki

Setiap keluarga Minangkabau (ayah, ibu dan anak-anak mereka) kini, hidup dalam Rumah sendiri masing­-masing. Keluarga atau rumah tangga Minangkabau sekarang, sama saja dengan keluarga di Batak ataupun di Jawa, hidup dalam rumah masing-masing secara mandiri.

Keluarga Minangkabau dengan garis keturunan matrilinial dan di Batak dengan garis keturunan patrilinial, atau Jawa dengan parental, kini, ke1uarga (ayah, ibu dan anak-anak mereka) itu, hidup otonom.

1.       Dalam adat Minangkabau ayah tidak hanya berperan sebagai ayah biologis, tapi juga sebagai ayah sosial. Kaum lelaki menjadi mamak dari kemenakannya, yakni anak-anak dari saudara perempuannya, disamping jadi ayah dari anak-anaknya.

2.       Sebagai mamak ia berkewajiban memperhatikan dan menjaga kemenakan  dan sebagai ayah dari anak-anaknya. Dia wajib melindungi keduanya, sesuai fatwa adat anak di pangku kamanakan di bimbiang.

3.       Peran kaum lelaki menjadi berat. Tidak jarang, timbul pertentangan (paradoks) didalam menetapkan prioritasnya.

a)       Pada masa dahulu, sewaktu anak-anak dan ibu mereka masih hidup dan bertempat tinggal dalam Rumah Gadang, maka anak-anak mereka dibina oleh Mamak(dari garis keturunan ibu mereka). Ayah tidak banyak tinggal di rumah gadang itu.

b)       Pada masa kini, setiap keluarga Minangkabau (ayah, ibu dan anak-anak mereka) hidup secara tersendiri di rumah masing-masing. Tidak lagi dalam Rumah Gadang.

c)       Ayah adalah Kepala Keluarga. Bertanggung jawab penuh terhadap istri dan anak-anak mereka.

4.       Laki-laki Minangkabau harus berperan sebagai ayah terhadap anak sejak berusia dini, dan teguh memperhatikan kemenakannya. Peranan laki-laki Minangkabau sebagai Bapak (ayah) dari anak-anak mereka adalah sebagai Kepala Keluarga.

a.       Fakta menunjukkan, bahwa pelaksanaan ajaran agama sudah menjadi lebih dominan daripada ketentuan adat.

b.       Bila ditilik menurut agama Islam, tanggung jawab mendidik anak itu berada di tangan orang tua. Hal ini sangat sesuai dengan ajaran syarak atau agama Islam.

c.        Harta pencaharian, baik harta pencaharian dari ayah ataupun dari ibu, kesemuanya dinikmati secara bersama-sama.

d.       Peranan AYAH, sebagai kepala keluarga, baik di Minangkabau, di Batak ataupun di Jawa, ketiga-tiganya saat sekarang sama saja, sebagai Kepala Keluarga, yang mengayomi istri dan anak-anaknya.

5.       Laki-laki Minangkabau berperan sebagai Mamak. Dalam hal tertentu, seperti masalah perkawinan kemenakan mereka, tetap memerlukan  izin dari mamak mereka.

6.       Mamak dari anak-anak mereka hidup terpisah. Mamak hidup dalam rumah tangganya  tersendiri, bersama istri dan anak-anaknya. sendiri. Anak-anak mengikuti perintah MAMAK menurut garis keturunan Ibu mereka;

a.       Dalam tata cara adat Minangkabau jika anak-anak tersebut kelak akan melaksanakan perkawinan, lebih dahulu harus mendapat persetujuan dari MAMAK mereka dari garis keturunan ibu mereka dalam adat istiadat.

b.       Yang disebut mamak dari anak-anak adalah saudara laki-laki dari ibu mereka, bukan saudara laki-laki dari garis keturunan AYAH mereka.

c.        Anak (yang menjadi kemenakan dari mamaknya) menurunkan gelar dari mamak sebagai sako dari suku mereka.Disini terlihat keistimewaan turunan Minangkabau sekarang.

d.       Untuk menempatkan sistim matrilineal dalam tatanan global tidak mungkin merubah substansinya, karena sudah merupakan identitas Minangkabau.

7.       Mamak mereka tetap mengawasi harta Pusako Tinggi, sesuai dengan sistem matrilineal.

1)       Ketika anak-anaknya telah berusia cukup, dia wajib memperhatikan kemenakannya dalam memberikan arahan atau bahkan mencarikan jodoh bagi kemenakannya.

2)       Anak dipangku kemenakan dibimbing”, memperlihatkan dua peran dari laki-laki Minang yaitu sebagai ayah dan sebagai mamak.

3)       Masalah dalam pemeranan peran ganda laki-laki Minang, adalah faktor keterbatasan ekonomi. Satu solusinya adalah marantau untuk mengatasi keterbatasan ekonomi tersebut.

  1. Bila dilihat Sistem Matrilineal dalam Adat dan Budaya Minangkabau itu memberikan beberapa pengaturan sesuai langgo langgi yang ada,

A.        Pengaturan Harato Pusako, Sako, Pusako di Minangkabau dan harta waris dikenal ada harta waris pusako tinggi, dan harta waris pusako randah.

1.       Harta waris pusako tinggi diatur menurut garis keturunan ibu.

2.       Harta waris  pusako randah adalah harta waris perolehan selama perkawinan ayah dan ibu (suami dan istri), dibagi menurut faraid.

3.       Demikian pula di Batak, harta waris mengikuti garis keturunan ayah, dan dikenal pula harta waris pusako randah, yaitu yang diperoleh selama hidup bersama (selama masa perkawinan antara ayah dan ibu).

4.       Sedangkan di Jawa, semua harta waris, tetap diterima oleh keturunannya, baik yang laki-laki, maupun yang perempuan (sesuai sistem parental). Jadi harta warisan yang diterima dari Ibu ataupun dari Ayah, tetap akan diwariskan kepada anak-anaknya, baik yang laki-laki, maupun perempuan.

B.        Peran Laki-Laki, di didalam Kaum sebagai Kemenakan, sebagai Mamak dan sebagai Penghulu.

C.        Peran Laki-Laki di luar Kaum atau Persukuan, adalah sebagai  Sumando dan kaum dari Persukuan.

D.        Peran dan Kedudukan Perempuan diatur didalam keluarga kaumnya dan didalam keluarga batih dengan suami dan anak turunannya.

Peran perempuan menurut agama dan adat.

Agama Islam dan adat Minangkabau tidak melarang perempuan berperan diluar lingkungan domestik. Perannya itu tidak boleh meninggalkan peran-peran esensi melahirkan dan mendidik anak sebagai ibu rumah tangga.[7] Allah SWT telah menciptakan dan menyediakan semua keperluan kita. Allah SWT memberi pula alat dan daya untuk mendukung usaha hidup kita dengan hak dan kewajiban. Kaum lelaki bukan diktator. Maka, tanggung jawab lelaki sebagai suami (semenda dan mamak) menurut Al Quran sangat berat, الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ = Lelaki adalah pemimpin bagi kaum perempuan … (QS. an-Nisa’:34).

Perannya tidak boleh merendahkan harkat dan martabat wanita Minang yang hidup dalam ajaran agama Islam.

a)       Sistem matrilineal dapat menjadi sebuah tataran konseptual bagi kebudayaan di luar Minangkabau, khususnya kebudayaan kontemporer yang menyatakan persoalan gender. Gender didominasi oleh ideologi liberalis dan kapitalis.

b)       Mekanisme kontrol, check and balance, dalam matrilineal di Minangkabau terdapat dalam bentuk sistem, bukan lembaga seperti yang ada dalam negara atau pemerintahan.

c)       Di era modernisasi dan perkembangan zaman/globalisasi yang secara konsep adat Minangkabau pada prinsipnya dapat tetap dipertahankan keberadaannya. Walaupun akan terjadi perubahan, bukannya terhadap hal-hal yang terkait esensi. Artinya kita tidak boleh menutup mata terhadap perubahan tersebut.

d)       Dengan telah terjadinya pergeseran sistem nilai pada pola matrilineal Minangkabau, pada satu sisi menimbulkan kegelisahan di kalangan penentu adat, ninik mamak, cadiak pandai, dan kaum perempuan, anak kemenakan seperti: tidak berperannya mamak dalam keluarga kaumnya. Akibat terjadinya perubahan fungsi dan kedudukan perempuan dan laki-laki dalam sistem matrilineal, akan berpengaruh pula terhadap perubahan struktur keluarga.

e)       Mekanisme dan penerapan sistem matrilineal pada hakekatnya hanyalah merupakan persoalan perkauman, hubungan ninik mamak dengan kemenakan, hubungan sumando-manyumando.

Perempuan Minangkabau mulia, memiliki kebesaran dan bertuah. Katanya didengar anak cucu. Dari turunannya diangkat para penghulu dan ninik mamak. Jika masih hidup tempat berniat. Ketika sudah  mati tempat bernazar, jadi payung panji ke sorga,  sesuai ajaran syarak,“sorga terletak dibawah telapak kaki ibu” (al Hadist).

Hal ini memperlihatkan dengan jelas kokohnya kedudukan perempuan Minangkabau pada posisi sentral. Perempuan Minang, menjadi pemilik seluruh kekayaan, rumah, anak, suku dan kaum.

Didalam mengembangkan karier dan profesinya perempuan Minangkabau dianjurkan berjuang mempengaruhi lingkungan profesi baru itu dengan nilai-nilai keminangkabauan dan keislaman.

a.       Seorang ibu Minangkabau seyogyanya menguasai terminologi hubungan kekerabatan Minangkabau, walaupun ia hidup dalam keluarga batih, sehingga nilai-nilai yang biasa berlaku dalam masyarakat Minangkabau secara umum dapat diteruskan kepada anak-anaknya.

b.       Perlu dipikirkan kembali pemberian sebutan rangkayo bagi perempuan Minang yang sudah bersuami. Dalam sebutan perempuan Minangkabau dihindarkan membawa gelar adat suami sebab jelas itu milik suku lain.

Ungkapan mandeh dan bundo yang dilekatkan kepada perempuan Minangkabau, menempatkan laki­-laki (suami) pada peran pelindung, pemelihara dan penjaga harta dari perempuan dan anak turunan. Dalam siklus ini generasi Minangkabau lahir bernasab kepada ayah (laki-laki), bersuku kepada ibu, bergelar  dari mamaknya (garis matrilineal).

Beberapa permasalahan saat sekarang ini.

1.       Permasalahan yang dihadapi oleh keluarga Minang, terutama dalam hal perubahan dimana si anak tidak mengenal siapa mamaknya dan dimana kampungnya,  sehingga mamak tidak mengenal kemenakan dan sebaliknya.

2.       Permasalahan juga terjadi ketika perempuan Minang menikah dengan non Minang, seringkali anak turunannya beranggapan bukan bergaris matrilineal lagi. Padahal dalam hukum adat Minangkabau anak turunan tersebut masih bersuku kepada ibunya. Solusi bagi masalah ini, adalah meningkatkan kembali sistem pendidikan di keluarga. Keluarga harus menjadi suatu sistem pendidikan dini bagi anak yang akan menjelang dewasa, disamping wadah untuk menjelaskan hubungan kekerabatan sesuai adat yang berlaku.

3.       Permasalahan yang banyak terjadi, mamak tidak kenal kemenakan dan begitu pula sebaliknya. Mengatasi ini;

a.       Perlu sosialisasi adat dan hubungan kekerabatan ini lewat pendidikan formal ataupun nonformal.

b.       Perlu kembali pengajaran adat melalui suku.

c.        Dimulai dari dalam keluarga mengajarkan adat istiadat dan hubungan kekerabatan dan juga penggunaan bahasa ibu.

d.       Dalam sosialisasi pendidikan adat istiadat, diberikan dalam berbagai bentuk ; kesenian, diskusi keluarga, sehingga nilai-nilai budaya Minang tersebut  dapat tersampaikan.

e.       Terjadi perubahan struktur keluarga dalam sistem matrilineal bila ditinjau dari sudut agama, perkembangan zaman dan adat dipakai baru, kain dipakai usang.

9.       Tanah Pusako Tinggi adalah tanah yang dimiliki oleh Kaum, yang merupakan milik bersama dari seluruh anggota kaum dan diperoleh secara turun temurun, yang pengawasannya berada di tangan MAMAK KEPALA KAUM.

Tanah Pusako Randah, adalah harta yang diperoleh seseorang atau suatu/sebuah paruik berdasarkan pemberian atau hibah, maupun yang dipunyai oleh suatu keluarga berdasarkan pencahariannya, pembelian, ”taruko” dan sebagainya. Pada waktu ini tanah ulayat nagari, maupun tanah ulayat suku, di beberapa nagari sudah hampir tidak ditemukan lagi, karena “pudar” dilanda perkembangan penduduk dan perkembangan sosial ekonomi.

Problema Masyarakat Adat Budaya Minangkabau

1.       Permasalahan besar orang Minang kini, adalah kaburnya jati diri. Seringkali orang Minang, tidak lagi bangga menjadi orang Minang.

Walau sejarah telah mencatat, bahwa Minangkabau adalah suatu suku bangsa yang terkenal menonjol dalam mobilitas yang tinggi serta sering   menjadi pelopor. Keberhasilan orang Minang dalam berbagai bidang membuktikan hal ini pada masa lalu.

Kepeloporan, mesti diraih masa ini dan dipertahankan masa datang.

2.       Orang Minangkabau banyak yang merantau.

Di rantau kehidupannya sama dengan kehidupan orang lain. Ada satu kebanggaan dalam dirinya.

Kampung halamannya tetap menghimbaunya pulang.

3.       Pertanyaan orang Minang tentang adat Minangkabau.

Banyak orang rantau Minangkabau bertanya mengapa orang Minang tidak menurunkan pusako kepada anaknya, sesuai dengan hukum Islam? Mengapa diturunkan kepada kemenakan atau anak saudara-saudara perempuannya?

Ø  Perlu ada sosialisai pemahaman tentang budaya Minangkabau yang menggugah masyarakat Minang agar peduli dengan adat dan budaya Minangkabau,

Ø  Menggali dan memahami nilai-nilai luhur adat budaya Minangkabau,

4.       Ada dua faktor perlu dicermati di tengah perkembangan sekarang :

A.       Faktor internal ;

1.       Orang Minangkabau kurang memahami adat dan budaya Minang. Tidak ada tokoh nasional yang berkelanjutan, yang ada sekarang kurang visioner.

2.       Kualitas SDM pemangku adat lemah. Kurang peduli sesama. Ajaran syarak tidak dilaksanakan,

3.       Sumber mata pencarian para pemuka adat (kebutuhan hidup) terbatas.

B.       Faktor eksternal

1.       Pengaruh budaya asing. Karena tidak kuatnya syarak dalam perlakuan adat, maka jalan di alieh urang lalu.

2.       Pengaruh teknologi yang salah terapan. Informasi dan komunikasi tak ada saringan. Pengaruh materialisme,

3.       Pengaruh pergaulan antar masyarakat.

Mengantisipasi kedua faktor ini perlu mengingatkan kembali masyarakat Minang kepada landasan filosofi budaya Minang, yaitu adaik basandi syarak, syarak basandi kitabullah.

Menghidupkan Adat dan Syarak di Minangkabau.

1.       Introspeksi diri dari semua warga dan semua tingkat dan kedudukan tentang perlunya memelihara nilai-nilai budaya kekerabatan yang ada, dan merumuskan nilai-nilai tersebut dengan sebaik-baiknya sehingga dapat dihayati dan diamalkan.

2.       Bagaimanapun, dalam merumuskan nilai-nilai tersebut kita harus realistis menghadapi kenyataan-kenyataan yang ada, sehingga disana sini perlu ada penyesuaian, misalnya dalam menghadapi perkawinan antar suku bangsa, sepanjang tidak merusak sendi-sendi budaya tersebut.

3.       Membiasakan dalam lingkungan keluarga menjalankan nilai-nilai dan aturan-aturan kekerabatan itu. Bertingkah laku sesuai dengan status dalam kekerabatan, mamak sebagai mamak, kemenakan sebagai kemenakan, ibu sebagai ibu, ayah sebagai ayah, dan seterusnya. Membiasakan bahasa Minang dalam keluarga. Strategi pewarisan atau sosialisasi pengetahuan dan nilai budaya Minangkabau melalui Batunjuak baajari oleh orang tua kepada anak atau dari mamak kepada kemanakan.

4.       Ada beberapa pegangan yang harus dijaga dengan baik untuk  melaksanakan syarak dan adat dalam budaya Minangbkabau itu, antara lain ;

a.       Harato pusako tinggi yang diamanahkan dari ninik turun kemamak, dari mamak turun kekemenakan, tidak boleh diperjualbelikan atau keluar dari suku. Dalam keadaan khusus, seperti ditemukan potensi kekayaan alam yang tinggi, maka hasil pengolahannya dikembalikan kepada kaum, artinya jika digunakan untuk kepentingan komersial, maka harus ada manfaatnya bagi kaum. Harato pusako tinggi ini digunakan sesuai Perda (Peraturan Daerah) yang mengatur akan hal ini.

b.       Pusako boleh digadai dengan 4 syarat, jika terjadi (1). rumah gadang katirisan, (2). maik tabujua ditangah rumah, (3). gadih gadang indak balaki, (4). Malu nan tacoreang di kaniang. [8]

c.      Harato pusako randah diwariskan sesuai dengan aturan pewarisan hukum Islam.

d.      Kurangnya pemahaman adat dan syarak dari datuk penghulu. Banyaknya sikap apatis orang Minang terhadap adatnya.

e.       Manajemen kepenghuluan mamak dalam kaum, kurangnya wibawa ninik Mamak dalam kaum.

Kesimpulan

I.               Bapak sebagai Kepala Keluarga dalam masyarakat hukum adat Minangkabau, berperan sebagai Kepala Keluarga yakni Kepala Rumah Tangga, sebagai pembina dan pengayom isteri dan anak-anak mereka.

II.              Laki-laki Minangkabau berperan ganda. Sebagai Bapak dan Mamak. Dalam posisi sebagai Mamak, berperan da1am hukum adat Minangkabau sebagaimana telah berlaku selama ini, khususnya dalam memelihara, mengatur Harta Pusako Tinggi, yang masih tetap berlaku di dalam Masyarakat hukum adat Minangkabau.

III.            Sistem Matrilineal di Minangkabau di era modern sesuai perkembangan zaman secara konsep dan prinsip dapat dipertahankan keberadaannya. Walaupun terjadi perubahan, bukan terhadap hal-hal yang terkait esensi. Perubahan tetap ada. Pengamatan menyatakan, telah terjadi pergeseran sistem nilai pada pola matrilineal Minangkabau, dalam fakta mengarah kepada patriarki.

 

Keadaan ini, satu sisi menimbulkan kegelisahan di kalangan penentu adat, ninik mamak, cadiak pandai, dan kaum perempuan, anak kemenakan seperti: tidak berperannya lagi mamak dalam keluarga kaumnya.

Terjadinya perubahan fungsi ini dan pergeseran kedudukan perempuan dan laki-laki dalam sistem matrilineal, tentu sangat berpengaruh pula terhadap perubahan struktur keluarga.

IV.           Karena itu, peran orang tua sangat menentukan di dalam memberikan uswah dan laku perangai yang mencerminkan  watak, sifat fisik, kognitif, emosi, sosial dan rohani dengan kesalehan sosial dalam masyarakat adat di Minangkabau.

V.             Perlu dilakukan berapa tindakan, antara lain ;

1)   Penguatan Ikatan Keluarga Minangkabau sebagai sistem

(a)     Keluarga harus dilihat sebagai suatu sistem yang tidak terpisah satu sama lain, dan harus dapat memahami keberadaan anggota keluarga lainnya.

(b)     Adanya kecintaan di antara sesama anggota keluarga sehingga lahir sikap dalam membela kepentingan keluarga yang lainnya, sahino samalu, seiya sakata.

(c)     Adanya kebersamaan dalam memenuhi kebutuhan dan masalah yang muncul dalam keluarga, sehingga terwujud kebahagiaan keluarga.

2)   Penguatan struktur dan fungsi keluarga

a)   Fungsi Pengasuhan

1)       Ayah sebagai kepala keluarga, bila tidak ada ayah, ibu yang berperan sebagai kepala keluarga.

2)       Kesepakatan pengasuhan anak, sebagai kekuatan adat Minangkabau “anak di pangku kamanakan di bimbiang” terlaksana dalam hubungan pengasuhan modern.

3)       Sikap dan tindakan orang tua dalam pembentukan pola perilaku generasi ( melindungi, memberikan kebebasan, mengembangkan cita dan keinginan anak turunan, menyayangi anak dan kemauan mendengar keluhan generasi), akan melahirkan kebersamaan mengatasi masalah antar generasi Minangkabau.

b)   Fungsi Sosialisasi

1)       Membangun komunikasi yang efektif seharusnya  terjadi dalam keluarga, sehingga terjadi pemberian peran dan tanggung jawab pengayoman dari  mamak kepada kemenakan secara turun temurun.

2)       Penghargaan terhadap sesuatu yang bernilai kepada anak dan kemenakan dalam membangun kerja sama dan keakraban sesama anak dan kemenakan.

3)       Pemeliharaan rasa saling mengasihi/menghormati dalam keluarga oleh setiap orang tua Minangkabau menunjukkan sikap keteladanan dalam keluarga.

d)   Fungsi Kasih Sayang

1)       Kewajiban ayah dan ibu memberikan kasih sayang kepada anaknya.

2)       Kepedulian terhadap pemenuhan kebutuhan keluarga dan kebutuhan anak

3)       Perhatian terhadap anggota keluarga pada saat-saat khusus dan saat mengalami kesedihan, tibo di baiek baimbauan, tibo di buruak ba ambauan

 

e)   Fungsi Ekonomi

(1)     Ada tanggung jawab mencari nafkah dan memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga.

(2)     Ada keharusan berperan bersama dalam keluarga sehingga kebutuhan sehari-hari terpenuhi.

(3)     Ayah bunda berperan menjadi tulang punggung penghidupan atau penghasilan bagi keluarga.

3)   Pengembangan Komunikasi antara Keluarga

(a)     Menjaga hubungan atau interaksi antara keluarga,  barek  sapikua ringan sejinjing.

(b)     Menjaga kebersamaan keluarga dalam melaksanakan ibadah keluarga serta dalam mengatasi masalah.

(c)     Menjaga kesediaan mendengarkan keluhan dan mendorong kemauan anggota keluarga ke arah yang positif sebagai mengawali komunikasi antar keluarga.

Persaudaraan tidak mungkin dapat tumbuh dengan penolakan hak-hak individu rakyat banyak. Ketamakan serta penindasan akan mempertajam permusuhan antar kelompok masyarakat.[9]   Maka, generasi Minangkabau yang juga adalah seorang muslim yang baik sudah semestinya mengamalkan akhlak karimah yang standar secara profesional dengan kemauan dari dalam diri. Kemudian dihayati menjadi etika sesuai yang diajarkan oleh adat Minangkabau, sebagai pengamalan adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah.

Wassalam.

 

 


[1] Disampaikan dalam Seminar dan Lokakarya, Sesi I – Keseimbangan Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Hukum Adat, dalam rangka Inventarisasi dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat dari Perspektif Hak Asasi Manusia, yang diselenggarakan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia bersama dengan Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang Sumatera Barat, bertempat di Aula Fak. Hukum Unand Limau Manis, Padang.  


Catatan :

[1]   lihat Q.S.16:72, 30:21, 42:11

[2]  Secara filosofis perempuan Minangkabau itu disebutkan ;

Adopun nan di sabuik parampuan, tapakai taratik dengan sopan, mamakai baso jo basi, tahu di ereang jo gendeang, mamakai raso jo pareso, manaruah malu dengan sopan, manjauhi sumbang jo salah, muluik manih baso katuju, kato baiak kucindan murah. Pandai bagaua samo gadang, hormat kapado ibu bapo, khidmat kapado urang tuo-tuo, labiah kapado pihak laki-laki. Takuik kapado Allah, manuruik parentah Rasulullah. Tahu di korong dengan kampuang, tahu di rumah dengan ranggo, tahu manyuri mangulindan, takuik di budi katajua, malu di paham ka tagadai, tahu di mungkin dengan patuik, malatakkan sasuatu pado tampeknyo, tahu ditinggi randah, baying-bayang sapanjang badan, bulieh ditiru dituladan, kasuri tuladan kain, kacupak tuladan batuang, maleleh buliaeh dipalik, manitiak bulieh ditampuang, satitiak bulieh dilauikkan, sakapa dapek digunuangkan, iyo dek urang di nagari”, demikian tempat perempuan pada posisi perannya.

Hak-hak lelaki dan perempuan tidak ada perbedaan,   وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ

“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma`ruf.”

Lelaki berkewajiban melindungi perempuan, maka Allah berikan penghormatan,

 وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS.al-Baqarah:228).

[3]  Tentang ruas yang bertunas, tentang baris yang berbelebas.

[4]   HR.Muttafaq ‘alaihi dari Ibnu Umar R.’Anhuma.

  كُلُّكُمْ رَاعٍ، و كُلًّكُمْ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، فَالإِمَامُ رَاعٍ ،   وَهُوَ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ     (متفق عليه)

Setiap kamu adalah pemimpin – penggembala – dan setiap kamu akan ditanyai tentang rakyatnya, maka imam adalah pemimpin dan dia ditanyai tentang rakyat yang di pimpinnya.

[5]  Yang tua dimuliakan, yang kecil disayangi, yang sama besar jadi teman bermusyawarah

[6]  HR. Imam Ahmad.   لَيـْسَ مِنْ أُمَّتِي مَنْ يُجِلُّ كَبِيْرَناَ، وَ يَرْحَمْ صَغِيْرَنَا، وَ يَعْرِفْ لِعَالِمِنَا  (رواه أحمد)

[7]  Kewajiban kaum lelaki memelihara eksistensi dan jati diri. Perlindungan terhadap kaum perempuan dengan menjaga martabat dan darjah taqwa kepada Allah SWT. Agama Islam memberi penghormatan pada perempuan dengan warisan satu lembaga suci yang disebut pernikahan.

“isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.”(QS.Al Baqarah, 2:223).

[8]  Ungkapan fatwa adat menyebutkan 4 hal yang menyebabkan pusaka tinggi itu bisa digadai jika telah terjadi empat hal yang tidak tertolak, seperti ;

“ rumah gadang yang sudah ketirisan, artinya perlu perbaikan – jika dibiarkan akan membawa bencana –, dan mayat yang terbujur di tengah rumah, tidak ada lagi yang akan menyelenggarakan, gadis yang sudah besar tetapi masih belum mendapatkan jodoh, dan juga malu yang sudah tercoreng dikening perlu dihapus, maka pagang gadai, baru boleh dilakukan.”

Secara substansial, sebenarnya jika kaum laki-laki yang memiliki kekuatan untuk menyelesaikan semua masalah dalam kaum sudah tiada untuk melakukan segalanya, maka barulah tanah ulayat pusaka tinggi itu boleh berpindah tangan. Kapan masanya itu terjadi? Mungkin mustahil. Artinya ninik mamak Minang sejak dahulu memberikan batasan tegas bahwa harta puisaka tinggi tidak boleh berpindah tangan. 

[9]  Pepatah Arab mengatakan:   اخاك اخاك ان من لا اخا له –   كساع الى الهيجا بغير سلاح

 

 

 

 

 

 

H. Mas’oed Abidin  

 

TEMPAT/TANGGAL LAHIR      :   Koto Gadang Bukittinggi, 11 Agustus 1935

AYAH dan IBU                                  : H.Zainal Abidin bin Abdul Jabbar Imam Mudo dan Khadijah binti Idriss,

Suku                                                      :   Piliang

RIWAYAT PENDIDIKAN              : Surau,  Madrasah Rahmatun Niswan Koto Gadang, Thawalib Parabek, SR KGadang, SMP II Bukittinggi,  SMA Bukittinggi, FKIP Medan (1963).

Pengalaman Organisasi                 :   Pernah menjabat Ketua Komda PII Tapsel, Ketua Umum HMI Cabang Sidempuan, KAMI Medan, Ketua MUI Sumbar Bidang Dakwah, Sekretaris  Badan Penasehat ICMI Orwil Sumbar, Direktur PPIM Sumbar hingga 2006, Wakil Ketua Dewan Dakwah Sumbar (s/d sekarang), Wakil Ketua Majlis Penasehat DPW Parmusi Sumbar (sekarang).

JABATAN SEKARANG :   Ketua Umum BAZ Sumbar.

ALAMAT SEKARANG                   :   Jalan Pesisir Selatan V/496 Siteba Padang (KP – 25146), Fax/Telepon 0751-7052898,  Tel:0751-7058401.

LAIN-LAIN:

Personal Web-site/Mailing list    : http://masoedabidin@yahoogroups.com

Email:                                                   masoedabidin@yahoo.com

                                                           masoedabidin@hotmail.com

 

 

BUKU YANG SUDAH DITERBITKAN ;

1.       Islam Dalam Pelukan Muhtadin MENTAWAI, DDII Pusat, Percetakan ABADI, Jakarta – 1997.

2.       Dakwah Awal Abad, Pustaka Mimbar Minang, Padang – 2000.

3.       Problematika Dakwah Hari Ini dan Esok, Pustaka Mimbar Minang, Padang – 2001.

4.       Pernik Pernik Ramadhan, Pustaka Mimbar Minang, Padang – 2001.

5.       Suluah Bendang, Berdakwah di tengah tatanan Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah di Minangkabau, Pustaka Mimbar Minang, Padang  – 2001.

6.       Surau Kito, PPIM – Padang, 2004.

7.       Adat dan Syarak di Minangkabau, PPIM – Padang, 2004.

8.       Implementasi ABSSBK, PPIM – Padang, 2005.

9.        Silabus Surau, PPIM – Padang, 2005.