Kekerabatan Minangkabau, Makalah H. Abdul Kadir Usman Dt Yang Dipatuan, yang disampaikan dalam pertemuan Seminar Adat Minangkabau di Bandung.

Kekerabatan

Kekerabatan; sebutan yang berakar pada kata karib; tepatnya qaf, ra dan ba; qaruba, qurbaan – wa qurbaanan, dari bahasa Arab dengan makna dekat, hampir atau sesuatu yang mendekatkan sesuatu pada lainnya. Dan telah jadi salah satu kosa-kata dalam bahasa Minangkabau. Dalam pengucapan sehari-hari bisa juga jadi karik, misalnya nan ba karik (kaum kerabat dekat). Atau dalam sebutan karik-ba ‘ik[1] (jauah – dakek; jauh dekat) ataupun karib kirabat sebutan untuk kerabat campuran berbagai kelompok .

Pada masyarakat hukum adat Minangkabau, sebutan karib-ba ‘id dipakai dalam himpunan semua keluarga besar, Bukan saja se suku tetapi termasuk ipar besan (andan sumandan dan ando sumando), anakpisang (anak pusako, anak mamak) atau induak bako (kaum ayah) – bako-baki. Bila orang Minang berada di rantau —jauh atau dekat-, kadangkala sebutan karib-ba’id diperluas menjadi orang yang seasal nagari, sekecamatan, sekabupaten, sesama Minang atau malah asal ada bau-bau Minangnya.

Kekerabatan pada struktur masyarakat hukum adat Minangkabau akan terlihat berlapis-lapis dan berbidang-bidang, yaitu: la bisa di ungkap dalam hubungan nasab (turunan) menurut struktur budaya-adat Minangkabau yang matrilinel dengan sebutan nan batali darah dan dalam lingkungan yang terbatas antara orang-orang yang sekaum atau sesuku (gambar B). Akan terungkap dalam sebutan nan sajari, satampok, sajangka, sa eto dan seterusnya. Dan bias meliputi wilayah yang luas di beberapa nagari malah antar beberapa kabupaten kini dengan sebutan nan ba sapiah ba balahan, nan ba kuduang bakaratan; Pepatah menyebut, dakok mancari indu, jauah mancari suku.

Ia bisa diungkap dalam kekerabatan yang terjadi karena sebab perkawinan anggota kaum yang lelaki sebagai biang kelahiran disebut induak bako atau yang pihak yang dilahirkan, disebut anak pisang.

Sebagai contoh tiga keluarga A, B dan C adalah berkerabat karena sebab perkawinan dan masing-masing kelompok berkerabat karena turunan matrilineal.

Anak-anak kelompok keluarga B adalah anak pisang dari kelompok keluarga A disebabkan terjadinya garis perkawinan antara perempuan keluarga B dengan lelaki dari kelompok keluarga A.

Perempuan dalam kelompok keluarga A dari sisi pandang kelompok B akan disebut pasumandan, kedua kelompok itu akan dihimbaukan sebagai andan sumandan, karena anak lelaki mereka bersemenda ke kaum itu.

Pada saat yang sama seluruh warga dari kelompok B akan disebut induak bako oleh anak-anak dari perempuan kelompok A dan juga akan disebut sebagai anak pisang oleh seluruh anak-anak dari perempuan warga kelompok B.

Perkawinan antara lelaki ke perempuan dari kedua kelompok A dan B ini satu ketika akan disebut pulang ka bako, karena masing-masing mereka menikah dengan kemenakan-kemenakan ayahnya sendiri. Dari sisi pihak perempuan A dan B yang sudah terikat pernikahan timbal balik ini akan disebut ma ambiak (pulang) anak pisang. Demikian juga sebutan bagi hubungan lelaki kelompok A yang menikah dengan perempuan kelompok B akan disebut pulang ka anak pisang, sedangkan dari isi perempuan B akan disebut ma ambiak induak bako.

Dapat juga diungkap bentuk kekerabatan yang terjadi karena sebab perkawinan antar etnis, dengan basaluak budi, ma angkek induak dan sebagainya.

Dari perkawinan antar etnis, budaya Minangkabau punya solusi penyelesaian. Yaitu dengan memasukkan calon menantu (lelaki atau perempuan) ke kaum induak bako sebagai kemanakan nan mancari induak. Bila lelaki akan juga diberi gelar secara Minangkabau.

Bila tidak demikian, menantu lelaki dari etnis lain akan berdiri sendiri dalam lingkungan kerabat isterinya atau menantu perempuan akan dianggap orang tak berkerabat. Pergaulan mereka hanya sebatas di dalam rumah tangga dan keluarga mertuanya.

Di masa sebelum 50-an sangat banyak ditemukan perantau lelaki etnis lain bahkan etnis Cina yang diterima sebagai kemenakan dan diberi suku sepanjang yang bersangkutan beragama agama Islam.

Hubungan baik dalam pergaulan bagi perantau etnis lain di Ranah Minang, secara bertahap akan menumbuhkan hubungan yang akrab dan membaur dan diakui menjadi masyarakat Minangkabau.[2] Demikian, bila Minangkabau dilihat dari sudut kebudayaan, bukan genealogis.

Hubungan kekerabatan yang seluas dan sekompleks itu dalam budaya (adat) Minangkabau, sangat dipelihara dan saling memelihara.

Terungkap dalam pepatah siang ba liek-liek –malam danga-dangakan atau dakek, janguak bajanguak -jauah jalang manjalang.

Pepatah yang sifatnya membimbing semua anggota kaum, bukan saja agar tetap berhubungan dalam suka dan duka, tapi juga menumbuhkan kewajiban dan rasa tanggung jawab individu untuk saling menjaga atau mengontrol supaya jangan terjadi sesuatu yang dapat membuat malu, bukan saja anggota kaum kerabat lainnya, tapi juga suku, kampung halaman bahkan teman sepergaulan pun.

Dalam hal ini, kita melihat ada garis lurus dengan ajaran dan anjuran memelihara silaturrahmi dalam Islam.

Selain itu, terungkap juga dalam pepatah pola memelihara silaturrahmi antara kerabat (jauh dan atau dekat) salah basapo, sasek batunjuak-an; lupo bakanakan (ba ingek-an), takalok bajagokan.

Sekaligus dapat disebut sebagai Kewajiban Azasi seperti yang diajarkan dalam Islam,

žkecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.( Q.S. 103-al’Ashr : 3)

Untuk selalu saling menasehati dalam menegakkan kebenaran dan saling tegur sapa dengan dan dalam kesabaran.

Lalu dalam pergaulan terwujud pula nan mudo dikasihi – nan tuo dipamulia, samo gadang lawan baiyo, dan selalu bersekadu berbuat kebaikan, mencegah hal-hal yang tak baik.

Sseperti yang diajarkan oleh Rasulullah saw. “Bukanlah dari golongan kami, mereka yang tidak menyayangi yang muda, menghormati yang tua, menyuruh berbuat baik, melarang berbuat kemungkaran “. (HR Turmudzi dan Ahmad).[3]

NILAI KEKERABATAN

N

ilai kekerabatan dalam budaya-adat Minangkabau dapat dan akan tumbuh menjadi budaya (adat) Minangkabau yang kuat, karena adanya rasa malu dan kebersamaan yang dituntun dengan ajaran Islam dan ditanamkan sejak dini oleh orang tua-tua di lingkungan si anak bertumbuh. Sehingga seseorang akan merasa dirinya ada karena diperlukan dan sebagai bagian dari serta dapat dibanggakan oleh kerabatnya.

Bila seorang lelaki (mamak) merasa gagal menjadi sosok yang diperlukan dalam kaumnya, bukan tak ada yang dengan sukarela meninggalkan kampung halaman dalam sebutan ma itaman korong jo kampuang sebagai tindakan baralah.

Dengan demikian paham individualistis (nafsi-nafsi) pada setiap orang Minangkabau akan terdesak kebelakang bila orang sudah merasa bagian yang tak terpisahkan dari kelompoknya dan iapun memerlukan kelompok tersebut, baik sebagai tempat berlindung atau tempat uji coba kemampuan.

Ungkapan baralah atau mengalah dalam budaya Minangkabau bukanlah kata tanpa makna sekaligus indikasinya. Setiap orang tua (termasuk mamak) akan menanamkan sifat baralah atau mengalah pada anak-anak/kemenakannya bila masalahnya berhadapan dengan saudara-saudaranya yang lebih muda atau yang belum memahami bagaimana mempergunakan hak-hak individu dalam kelompoknya. Dan sering terjadi antara saudara lelaki menghadapi saudara perempuannya.

Namun pada saat yang sama menanamkan juga pentingnya rasa kebersamaan di antara mereka yang sekaum, sepusaka, sepandam sepekuburan tersebut. Bahwa seseorang adalah bagian dari lainnya. Baik di dalam nan saparinduan, (yang sekaum sepusaka – sepandam sepekuburan) atau yang sepesukuan (yang sepayung sepenghulu), yang se surau, se sasaran maupun yang se korong se kampung – se tepian tempat mandi, yang se nagari dan seterusnya bisa meluas ke yang ba kuduang – nan bakaratan, basapiah nan babalahan dalam kadar yang wajar.

Antara mereka yang berkerabat seperti itu, sudah ditanamkan juga sejak kecil apa itu nan sa raso jo pareso, sa ino sa main.

Bahwa hanya saudara-saudaranya itulah sebagai kerabat, yang akan membela kepentingannya bila berhadapan dengan pihak luar. Seperti terungkap tagak di korong mamaga korong, tagak di suku ma maga suku, tagak di nagari mamaga nagari.

Pepatah yang sering juga di salah artikan, seolah memberikan pembelaan kepada saudara atau kaum kerabat, meskipun yang bersangkutan ternyata salah menurut ukuran umum.

Sehingga masa kini pun masih kita saksikan terjadinya cakak ba kampuang atau cakak banyak ba nagari hanya karena soal kecil. Rebutan sarang burung atau buah jengkol, pesepadan dan sebagainya. Padahal untuk memahami adagium itu perlulah merujuk pada kaidah induknya yaitu: syarak mangato – adat mamakai. Sesuai patron Adat Basandi Syarak – Syarak Basandi Kitabullah.

Dan itu akan ditemukan dalam hadits Rasulullah saw.: “Bantulah saudaramu yang menganiaya maupun yang teraniaya”; Ditanyakan: “Wahai Rasulullah, aku -bisa- menolong yang teraniaya, lalu bagaimana aku -akan- menolong yang menganiaya ? “. Rasul menjelaskan: “Kamu mencegahnya dari perbuatan menganiaya, demikianlah bentukpertolongan kepadanya “.[4]

Hadits di atas dapat dibandingkan dengan lafaz berbeda karena langsung menyangkut masalah. Sabda Nabi saw. “Tidak mengapa (saling bersorak, tapi) seseorang hendaklah menolong saudaranya yang menganiaya maupun yang dianiaya”. Dengan uraian penjelasan “Jika dia menganiaya, cegahlah dia; jika dia dianiaya bantulah dia”.[5]

Dengan demikian, pengertian tagak di korong mamaga korong, tagak disuku mamaga suku dstnya tersebut bukanlah dengan ikut masuk (terjun) dalam masalah yang sedang terjadi. Akan tetapi dilakukan dengan berbagai cara. Antara lain dengan masing-masingnya menjaga prilaku supaya tidak memalukan korong atau suku nya. Juga dengan memberi nasehat pada sanak famili atau kaum kerabat supaya dalam bergaul dengan pihak lain akan selalu memelihara tingkah laku, jauh dari hal-hal yang bisa mengundang masalah dan memalukan korong kampung atau suku sebagai tindakan pencegahan.

Selain itu, tindakan berupa aksi langsung memberikan perlindungan (jika mampu dengan kekuatan sendiri) atau memberikan pembelaan (dengan berbagai kemungkinan yang terbuka) kepada korong, kampung, suku atau nagari, bila menghadapi perlakuan sewenang-wenang dari pihak lain. Dan hadits: Siapa saja diantara kamu yang melihat terjadinya sesuatu yang tidak balk (sebuah kemungkaran) hendaklah ia mengubahnya dengan kemampuan yang ada pada (tangan / kekuasaan) nya.[6] termasuk dalam pengertian ini.

Rasa malu sudah jadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan budaya orang Minangkabau. Pas seperti yang diajarkan Islam, bahwa malu adalah bahagian -yang tak terpisahkan dari iman-. Selain itu, budaya Minangkabau ditegakkan juga di atas fundasi raso jo pareso dan salang tenggang dalam pergaulan.

Budaya Minangkabau telah mengidentikkan tidak bermalu sama dengan binatang. Ini dapat dilacak dari sebutan “co kambiang mangawan”[7] terhadap lelaki-perempuan yang bergaul bebas secara terbuka di tempat umum.

Di masa lalu, bila orang melihat seseorang berperangai tak senonoh akan disebut indak bataratik Lalu orang akan menanyakan kemenakan siapa, bukan anak siapa. Karena adalah tugas mamak (kaum, korong, tungganai) untuk mendidik anak kemenakannya bataratik atau kenal sopan santun. Dan ‘rang semenda akan diberi teguran oleh mamak rumah[8] nya secara kias, bila anak-anaknya berperilaku tak keruan (apalagi di tempat umum, memberi malu mamak) supaya mendidik anak-anaknya selaku urang sumando niniak mamak, bukan rang sumando apak paja (sekedar penyebab kelahiran dalam korong orang).

Nilai dan hubungan kekerabatan dapat juga dideteksi dari berbagai adagium (pribahasa; pepatah; petitih; bidal), a.l: di cancang pua[9] – ta garik andilau[10]; (di cencang puar, tergerak -tergoyang, tersinggung- andilau).

Maksudnya adalah bila seorang anggota kaum dijadikan gunjiang (disebut-sebut secara negatif; gosip) oleh pihak lain (misalnya dalam tingkat kecamatan), maka seluruh anggota kaumnya, bahkan kaum ayahnya dan anak pisangnya, termasuk orang senagarinya akan merasa digunjing dan beroleh malu. Orang dari suku lain pun sudah berhak memberikan teguran. Bila digunjing dalam nagari, orang sesuku walau tidak sekaum dan sepusaka dengannya akan tersinggung sehinga menumbuhkan hak melakukan teguran.

Radius atau lingkaran yang merasa tersinggung akan meluas atau menyempit, tergantung tingkat apa sosok atau tokoh yang digunjing. Jika sudah jadi tokoh nasional, maka yang akan merasa malu adalah semua orang Minang atau yang merasa turunan Minang. Kini bisa juga orang se Sumatera Baratnya.

Ketika ada orang yang tiba-tiba menjadi buah mulut, idola dan tumpuan harapan banyak orang, ternyata adalah orang Minang meskipun lahir di perantauan atau anak pisang dari orang Minang yang sudah lama hilang menjadi Sutan Batawi, Rajo Medan atau Rajo Palembang dsb.nya, akan menumbuhkan rasa bangga meskipun dalam kadar yang berbeda di antara sesama orang Minang. Tergantung hubungan jauh dekatnya dengan sumber gunjingan.

Juga tergambar dalam pepatah: ilalang nan ta baka – si cerek[11] ta bao rendong; (hilalang yang terbakar, sicerek terbawa rendong);

Maksudnya, bila sesosok orang berbuat ulah. baik secara hukum nasional (melakukan kejahatan) atau secara moral (melompat pagar, menempuh rusuk jalan), maka seluruh kerabat atau sanak famili yang bersangkutan pun merasa mendapat hukuman, meskipun dalam bentuk menanggung malu.

Perlu diungkap, bahwa maksud pepatah ini sama dan sebangun dengan Firman Allah Swt:

(Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak hanya secara khusus menimpa mereka yang zalim (pelaku kejahatan) saja dari kalangan (sekitar) kamu [12].


Nash yang menjadi dasar hukum untuk memberi kewajiban (hak) kepada teman atau tetangga untuk melakukan nasehat, teguran bahkan pencegahan secara langsung.

Prinsip ini juga terlihat dianut oleh Hukum Pidana[13] yang berlaku di Indonesia, meskipun warisan kolonialis Belanda. Akan dituduh dengan tindak pidana membiarkan, bagi siapa yang melihat suatu kejahatan dilakukan tanpa mencegah atau melaporkan pada yang berwajib.

Kedua pepatah di atas secara jelas mengabarkan pada kita bahwa dalam hal dan kadar tertentu kita sebagai anggota kaum, dalam suatu kekerabat yang luas atau sempit, bisa saja memikul beban emosional, akibat suatu perbuatan pihak lain yang secara pribadi bahkan tidak kita kenal pun. Dan kita bisa saja mendapat beban risiko pahitnya, hanya yang karena yang menjadi sumber masalahnya adalah orang Minang, anak pisang, induak bako, atau mereka yang bersamaan suku atau nagari dan sebagainya.

Oleh karena dampak masalahnya begitu luas, maka setiap individu orang Minang, baik sebagai orang sesama Minang, se propinsi, se kabupaten, se kecamatan, se nagari, se suku dan sebagainya beroleh hak penuh (secara moral dan alami) untuk menyampaikan teguran atau nasehat supaya tidak mendatangkan rasa malu pada pihak lainnya. Demikian dapat kita simak dari pepatah salah basapo, sasek batunjuak-an, takahk bajagokan, lupo manganakan dan seterusnya.

Dari hal-hal yang dikemukakan tersebut, kita akan melihat adanya garis lurus hubungan budaya Minangkabau tersebut dengan ajaran Islam sebagai sendi tempat tegaknya yang menyebut bahwa pada diri kita ada hak orang lain.

dirimu sendiri punya hak atas tubuhmu, keluargamu punya hak atas dirimu. Maka tunaikanlah dengan benar –semua- hak-hak tersebut”. (HR Bukhari)[14]

Atau dalam formula Minang akan disebut: “nagari ka samo kito uni, jalan ka samo kito tampuah “. Maksudnya adalah untuk mengingatkan masing-masing kita agar saling menjaga diri dan prilaku supaya pihak lain tidak dirugikan.

Untuk menjaga ada dan ujudnya nilai-nilai kekerabatan dimaksud, budaya Minangkabau memperlihatkannya dalam berbagai lambang materi. Seperti rumah gadang (sebagai rumah tua milik bersama, rumah asal, tidak hams beratap gonjong), pandam pakuburan, sasok, surau, untuk kelompok kaum yang sepusaka atau sepesukuan, balai adat, tapian, masjid dan sebagainya untuk kelompok yang lebih luas tanpa ikatan rurunan. Malah Singgalang, Merapi dan Kode Plat mobil (BA) pun dijadikan lambang pengikat orang Minang secara keseluruhan.


ANCAMAN, TANTANGAN DAN PELUANG


1 . Ancaman Dan Tantangan.

Sebelum ini, sudah dikemukakan bagaimana pola yang terbentuk dan cara orang tua-tua masa lalu memelihara hubungan kekerabatan menurut budaya – adat Minangkabau, yang dilandasi pada raso jo pareso, sa ino samalu. Atau dalam kalimat yang lebih lugas, tenggang-manenggang.

Di masa lalu, hubungan kekerabatan itu cukup dapat dikawal oleh ninik mamak peraangku adat, melalui berbagai instrumen tradisional. Antara lain terpusatnya sumber mata pencaharian anggota kaum (berupa harta pusaka), tatacara mencarikan jodoh (suami) atau menerima lamaran (untuk isteri) bagi anak-kemenakan, sekaligus sebagai ipar besan bagi kaum ada pada kewenangan Mamak Kepala Waris.

Dan hubungan kekerabatan yang dipelihara untuk membuat setiap individu dalam kerabat itu merasa, aman dan diperlukan. Selain untuk mempertahankan diri sendiri dalam kebersamaan, juga untuk melindungi serta keutuhan kebersamaan dalam kekerabatan tersebut.

Tuah manusia sepakat, pai sabondong, pulang satampuah, barek samo dipikua, ringan sanio dijinjiang. Begitu antara lain ungkapan yang sering kita ucapkan dan diyakini sebagai patron kekerabatan masyarakat Minangkabau.

Dan nampaknya sejalan dengan ajaran Islam atau memang bersumber dari ajaran Islam yang mengajarkan betapa pentingnya kebersamaan umat.

Hadits Nabi saw menyebutkan, “Barang siapa yang memisahkan dirinya dari jama’ah -walau-satu jengkal, berarti dia sudah melepaskan ikatan Islam dari lehernya. (HR Bukhari)[15].

Dan dalam konteks dengan kekerabatan dalam budaya-adat Minangkabau, mereka yang menyimpang dari kebersamaan yang telah dipolakan, akan terkena risiko dalam berbagai tingkatan.

Sejak yang dikucil dari pergaulan sebelum membayar denda penyesalan pada nagari, sampai yang dikenai hukum buang sapanjang adat (buang sapah, buang habis). Bila terkena hukuman adat yang terakhir ini, maka segala hak-haknya yang tumbuh karena hubungan adat akan dicabut.

Akan tetapi, masuknya budaya luar (sistem pemerintahan dan usaha) tentang sumber mata pencaharian, yang memungkinkan anak kemenakan bekerja sebagai pegawai, (negeri atau swasta) atau usaha-usaha yang non agrarisch lainnya, telah sekaligus merobah, setidaknya mempengaruhi struktur tradisional kekeluargaan orang Minangkabau.

Semula berdiam di rumah orang tua, akan berpindah ke rumah yang didirikan sendiri, juga bukan lagi di atas bagian tanah pusaka kaum, tetapi di atas tanah yang dibeli dengan hasil pendapatan sendiri. Ujung-ujungnya adalah kekuasaan Mamak Kepala Waris terhadap anggota kaumnya tidak sama lagi dengan sebelumnya.

Selain itu, peranan dan tanggung jawab seorang suami pada anak-isterinya pun mengalami perubahan 180°. Semua suami, yang juga adalah mamak dalam kaumnya sudah akan (hampir) sepenuhnya mengurus kepentingan keluarganya, tidak lagi seperti masa lalu, sibuk mengurus sawah ladang kaum orang tuanya. Sedangkan harta pusaka (collectief bezit), hampir semuanya sudah habis terindividualisasikan kepada anggota kaum. Malah sudah dibuku tanahkan (sertifikat) atas nama mereka masing-masing.

Perubahan-perubahan demikian, sekaligus juga merombak beberapa sisi beban tanggung jawab yang selama ini berada pada kewenangan mamak, terutama dalam urusan kekerabatan. Sedikit atau banyak telah menggeser dan memberi peran kepada suami para kemenakan (urang sumando).

Akan tetapi, sepanjang urang sumando (suami para kemenakan) masih merasa perlu dihormati atau disegani oleh urang sumando nya sendiri di kaumnya, jaringan kekerabatan seperti semula tidak akan mengalami gangguan, karena iapun masih harus bertenggang rasa dengan mamak-mamak dalam kaum isterinya.

Namun tatanan kekerabatan masa lalu akan berombak total, apabila turunan mereka tidak lagi dididik perlunya dalam kebersamaan, betapa pentingnya rasa malu, berbasa-basi, bertenggang rasa seperti yang sudah-sudah, apabila prilaku nafsi-nafsi (individualistis) dan nan ka lamak di awak surang secara materialisasi sudah pula mengedepan. Apalagi bila ditunjang oleh mapannya kehidupan keluarga inti dan sudah dirasa berat memberikan bantuan pada kaum.

Bila kita melihat perjalanan hukum, telah berkali-kali kasus perkawinan dari mereka yang ber-sanak ibu (ibu mereka bersaudara handling), meskipun kejadiannya di rantau.

Agama Islam memang tidak melarang perkawinan demikian, akan tetapi tidak pula menyuruh untuk saling kawin mengawini diantara mereka yang sekaum sepusaka. Apalagi menyuruh sesuatu yang dampaknya akan berakibat pecah atau kacaunya kesatuan sebuah kaum.

Lalu ada lagi sebutan: kok indak ameh di pinggang dunsanak jadi urang lain; adalah sepenggal pepatah bernuansa sarkatis, betapa akibatnya bila lelaki Minang dalam keadaan tidak punya emas (tidak berpunya). Seolah saudara-saudaranya akan menghindar darinya dan akan membiarkan diri melarat sendiri. Sebentuk sikap yang dimuat dalam pepatah tersebut, perlu ditempatkan pada posisi yang benar.

Secara prinsip, agama Islam pun menganut sikap demikian. Pelajari saja dengan tenang salah satu Rukun Islam adalah kemampuan membayar zakat. Kewajiban dan menjadi rukun sahnya seseorang menjadi muslim, tanpa embel-embel penjelasan seperti menunaikan haji ke Mekah dengan catatan tambahan sekali seumur hidup jika ada kemampuan internal, ada kesempatan dan ada kemungkinan secara internal dan ekstemal.

Bila hanya dipahamkan secara sepotong-sepotong, maka hanya mereka yang membayar zakat sajalah yang boleh disebut sebagai Muslim. Apakah dengan demikian, bagi yang masih belum mampu membayar zakat belum boleh disebut Muslim ?.

Ada hal-hal yang perlu disimak, yaitu adanya ketentuan rukhsah (dispensasi). Malah bagi yang belum mampu secara objektif, berhak menerima zakat sebagai fakir atau miskin.

Padahal semua kita tahu, baliwa Allah swt lebih menyukai Muslim yang kuat berbanding dengan Muslim yang lemah. Demikian, maka rukun zakat adalah rukun pendorong untuk membentuk sikap individu setiap Muslim supaya giat berusaha sampai mampu membayar zakat dan mencegahnya jadi pengemis.

Begitu jugalah dengan adagium Minangkabau diatas. Adat dan budaya Minangkabau menghendaki setiap lelaki Minangkabau, haruslah punya kemampuan, selain ilmu juga secara materi. Diperlukan untuk membantu dan menambah harta pusaka kaumnya, selain memenuhi kebutuhan keluarga dan dirinya sendiri. Malah mendorong mereka untuk merantau, dan silakan kembali- setelah dirasa berguna untuk kaum dan korong kampung.

Namun bagi yang belum terbuka kesempatan menjadi lelaki mampu, secara hukum adat pun terbuka peluang untuk menggarap harta pusaka kaumnya, bahkan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya pun. Harta kaum yang digarap untuk anak bini seperti itu, disebut arato bao (harta bawaan), yang tunduk pada ketentuan bao kumbali-dapatan tingga.

Peluang

Bagaimana pun bagi orang Minangkabau yang menyadari betapa nikmatnya hidup berkerabat dan bermasyarakat serta betapa susahnya hidup sendiri, menyendiri dan dijauhi seperti yang disindirkan gurindam lama nan ba taratak ba koto asiang – ba adat ba limbago surang, ba banak di ampu kaki, ba kitab di buku tangan, tantangan keadaan akan diolahnya menjadi peluang. Sa iriang anakjo panyakik – sa iriang padijo Siangan, sudah diamati dan dialami. Penyakit di obat, Siangan di siangi. Masalah dihadapi dengan tenang dan diselesaikan dengan baik, tak usah sesak nafas..

Orang baru akan menikmati hasil, bila ia mampu mengatasi rintangan. Orang baru akan merasa betapa nikmatnya minuman, setelah mengalami betapa perihnya tenggorok dikala haus. Ta lumbuak hiduak di kelok kan, ta tumlnuik kuto di pikiri, la liinihiuik ntndiang dinuinuangkan.



KESIMPULAN

Adapun kesimpulan dari pendapat yang dikemukakan di atas, bahwa yang disebut Minangkabau adalah kebersamaan kita.

Raso di bao naiak, pareso di bao turun. Apakah sistem dan nilai kekerabatan menurut budaya – adat Minangkabau yang kita alami, kita lihat dan kita dengar selama ini akan kita pelihara dengan revisi penyesuaian di sana-sini (usang-usang di barui, lapuak-lapuak dikajang), atau akan kita biarkan saja perkembangannya pada generasi mendatang tanpa bimbingan karena mereka yang akan memakai?. Lalu dianggap saja sebagai kebebasan individu atau Hak Azasi Manusia ?.

Akan tetapi sedikit pesan ajaran agama yang sudah dipahami orang tua-tua masa lalu, bahwa kita sebagai manusia adalah makhluk yang juga disebut khalifah.

Dalam kata lain adalah subjek yang membentuk, bukan objek yang dibentuk.

Generasi masa kini punya kewajiban untuk meninggalkan generasi penggantinya dalam keadaan lebih baik, tetap kuat menghadapi dan mengolah tantangan menjadi peluang yang menguntungkan. Bukankah Islam sendiri mengajarkan, malah memerintahkan umatnya:

Hendaklah takut pada azab dan kemurkaan Allah- semua mereka yang seandainya akan meninggalkan anak cucu dibelakang mereka dalam keadaan yang serba lemah (baik ilmu, pisik, kesehatan, kemampuan, kekuasaan dan politik.



[1] karik – ba’ik; dua-duanya dari kata Arab; karib – ba’id (dekat dan jauh), dalam hubungan kerabat dekat dan kerabat jauh dalam banyak sisi dan arah..

[2] Ini terlihat dari kedudukan Bustanil Arifin, SH, mantan Ka Bulog dan Menkop serta A.A. Navis di mata masyarakat Minangkabau sebagai sudah membaur.

[3] DR Sayyid M. Nuh; terjemahan jilid 2, halaman 267.

[4] Sunan Al Tiimidzi; Hadits No. 2356, dengan nilai sahih.

[5] Sahih Muslim; hadits no. 2213. teguran Nabi saw. dalam kasus perkelahian seorang pemuda Muhajirin dengan pemuda Anshar, dan yang lainnya saling bersorak memberi semangat mendukung kelompoknya masing-masing seperti masa jahiliyah.

[6] Ibidem No. 1540.

[7] “co kambiang mangawan” (bagai kambing turut kawan, kejar-kejaran cari pasangan di manapun).

[8] mamak rumah; sebutan terhadap saudara lelaki istcri dari sisi seorang suami (rang semenda) di suatu kaum, baik sekandung atau hanya sepesukuan.

[9] pua; puar; sejenis kapulaga (banyak variasinya), dibeberapa nagari disebut salo.

[10] andilau atau endilau; pohon dengan nama tatinnya Commersonis bartramia MERR.

[11] sicerek (clausena cxavata); nama pohon kecil, daunnya biasanya dijadikan obat tradisional;

[12] Q.S. 8-al Anfal/25

[13] Menurut catatan sejarah ilmu hukum, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia ini, semula adalah konkordans dari KUHP Negeri Belanda, bersumber dari Code Napoleon, sebelumnya di kutip dari Hukum-Hukum yang berlaku di Cordoba yang Islam.

[14] Sayyid Muhammad Nuh; Aafaatvn ‘Alath-Thariq; Darul Wafa, Mesir, Cet.V 1413 H/1993 M; sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul “Pcnyebab Gagalnya Dakwah”; lihat jilid 1 halaman 30.

[15] Ibidem; lihat jilid 1 halaman23.

Perempuan Minangkabau di masa depan

Perempuan Minangkabau di masa depan

Perempuan Minangkabau di masa depan, dapat dilihat dengan menjadikan 3 kurun yang ditempuh dalam perjalanan masyarakat Minangkabau sebagai titik-titik untuk membangun sebuah perspektif ke depan. Kurun waktu yang dimaksudkan adalah; masa kehidupan masyarakat tradisional, masa transisi terutama dalam masa penjajahan dan kemerdekaan dan pada zaman modern seperti saat ini.

Dalam kehidupan masyarakat tradisional, keberadaan perempuan Minangkabau dapat dilihat dari dua sumber; teks kaba dan karya sastra. Sedikit sekali didapatkan informasi lain selain kedua sumber tersebut.

Dalam masa transisi dan masa modern dalam dilihat dalam novel-novel modern, kajian-kajian sejarah dan sosiologi. Dengan demikian, dari ketiga masa itu akan dapat dibangun suatu ramalan atau perspektif perempuan Minangkabau di masa depan.

Dalam masyarakat Minangkabau tradisional, pada hakekatnya peranan perempuan itu sudah melebihi apa yang diperlukan perempuan itu sendiri sebagaimana yang mereka perlukan dalam kehidupan masyarakat modern. Ketika itu tidak dipakai kata emansipasi, persamaan hak, jender sebagaimana yang sering digembar-gemborkan oleh kaum wanita barat.

Dalam berbagai kaba atau cerita rakyat, perempuan Minangkabau telah menduduki tempat dari pucuk tertinggi sampai terbawah.

Dari menjadi seorang raja sampai menjadi seorang inang.

Dari perempuan perkasa yang berani membunuh laki-laki lawan ayahnya untuk menegakkan suatu marwah, kehormatan kaumnya sampai kepada perempuan yang hanya bersedia menjadi tempat tidur laki-laki saja.

Dari seorang pengayom, pengasuh dan penentu dalam kaumnya, sampai kepada perempuan yang kecewa tak beriman dan bunuh diri.

Dari seorang perempuan yang lemah lembut, yang turun hanya sakali sajumaaik dan setelah ditinggalkan suami merantau atau meninggal, langsung membanting tulang untuk meneruskan kehidupan dan pendidikan anak-anaknya. Semua aspek yang digembar-gemborkan oleh perempuan modern, telah tertulis jelas dan gamblang dalam kaba.

Hal sedemikian itu, memberikan arti bahwa masyarakat Minangkabau, terutama pada keberadaan dan posisi perempuannya sudah menjadi modern sebelum kata modern itu ada.

Dalam masyarakat Minangkabau yang transisi, melalui rujukan sejarah, kita juga dapat melihat keberadaan kaum perempuan yang telah dapat meraih berbagai tingkat dalam kegiatan sosial masyarakatnya. Mulai dari kesuksesan mereka menjadi tokoh pendidik, tokoh politik, sampai kepada perempuan yang nekad, terutama dalam masa penjajahan Belanda dan Jepang.

Dalam masa modern, apa yang dicapai perempuan Minangkabau tidak ada bedanya lagi dengan apa yang dicapai perempuan suku lainnya. Mereka dapat menjadi apa saja, siapa saja. Mereka dapat hidup di mana saja dan dalam kondisi apa saja. Mereka berani untuk berpikir terbalik dari pikiran-pikiran lama dan berbagai kemungkinan lain. Di dalam masyarakat modern, perempuan Minang sudah tidak ada bedanya lagi dengan perempuan suku lain. Kita tidak dapat membedakan lagi, itu perempuan Minang, atau itu perempuan bukan Minang. Tidak ada lagi faktor yang membedakan mereka secara fisik dengan perempuan lain. Namun, perbedaan yang mungkin akan terasa adalah pada; sikap hidup dan jalan pikiran. Sedangkan yang lain-lainnya sudah sama dengan yang lain.

Sikap hidup perempuan Minangkabau, bersikap terbuka dan selalu berusaha untuk menjadi basis dari kaumnya. Perempuan Minang memerlukan dan diperlukan oleh suatu perkauman. Perempuan Minang memerlukan pengakuan atas keberadaannya tidak pada orang luar kaumnya, tetapi di dalam kaumnya sendiri. Di luar kaum dia dapat saja menjadi orang modern sebagaimana perempuan lain, tetapi di dalam kaum, dia harus menjalankan fungsinya dengan baik. Ini berarti, bahwa perempuan Minangkabau harus kembali kepada “asal”, “fitrah”, dan “kodrat” nya agar tidak menjadi sesuatu yang tidak sumbang, sesuatu yang seharusnya diwadahi oleh adat dan budaya Minangkabai itu sendiri.

Dapat dikatakan bahwa perempuan Minang pada hakekatnya tidak pernah peduli apakah dia berada di dalam alam tradisional atau di dalam alam modern. Di dalam alam tradisinya dia sudah hidup dalam sikap dan pandangan sebagaimana sikap dan padangan perempuan yang dikatakan modern itu. Yang membedakan antara kedua alam itu hanyalah tatacara dan citarasa. Sedangkan sikap hidup, pandangan hidup, dan cara berpikir tetap akan berbeda dengan perempuan lain. Perempuan Minang akan tetap memakai cara berpikir dan pandangan hidup yang berbeda dengan perempuan lainnya. Banyak sekali contoh-contoh dapat disajikan terhadap hal ini.

Yang membedakan seseorang berasal dari suatu budaya tidak lagi dari segi bahasa, tatacara dan cita rasa, tetapi adalah dari sikap hidup, cara berpikir dan tinggi rendahnya kadar kepercayaan kepada agama yang dianutnya.

Cara berpikir dan sikap hidup perempuan Minang dengan perempuan lain pada hakekatnya merupakan naluri yang universal. Karena posisi budaya dan bahkan agama dalam pembentukan cara berfikir dan sikap hidup menjadi sangat penting. Semodern-modernnya perempuan Minang, dia belum akan mau melebur dirinya menjadi perempuan Jawa, perempuan Belanda, perempuan Jepang misalnya. Bahasa boleh sama, makanan boleh serupa, citarasa boleh disesuaikan, tetapi sikap hidup dan cara berpikir tetap akan berbeda.

Karakteristik perempuan Minangkabau

Karakteristik perempuan Minangkabau dapat ditelusuri melalui beberapa aktifitas masyarakat Minangkabau dalam berbagai aspeknya; (a) tingkah laku, bahasa dan sastra, nilai-nilai yang dianut dan (b) dalam berbagai kurun waktu; masa lalu dan masa kini dan untuk dapat memproyeksikannya ke masa depan. Kajian sosilogis historis ini mempunyai risiko kesalahan yang tinggi terutama karena kurangnya data pendukung. Namun dalam pembicaraan ini saya bertolak dari tiga aspek saja;

1. Bahasa dan sastra

2. Kesejarahan

3. Sistim nilai.

Dari aspek bahasa dan sastra; bahasa dan sastra telah melahirkan legenda, mitologi dan cerita rakyat (kaba). Kemudian dalam bentuk-bentuk tertulis berupa novel, cerita pendek dan puisi. Dalam cerita rakyat (kaba) pola pikir perempuan Minangkabau dapat dilihat pada perilaku tokoh-tokoh perempuan yang bermain di dalam cerita itu. Mulai dari Bundo Kanduang dalam kaba Cindua Mato, Gondan Gandoriah dalam kaba Anggun Nan Tongga, Sabai Nan Aluih dalam kaba Sabai Nan Aluih, kaba Lareh Simawang dan banyak lagi. Dari apa yang disampaikan di dalam kaba, karakteristik perempuan Minangkabau dapat disimpulkan;

  1. Mempertahankan warisan, kedudukan dan keturunan. Untuk semua itu, perangpun akan ditempuhnya. (dalam kaba Cindua Mato)
  2. Kesetiaan yang tidak dapat ditawar-tawar dan bila dimungkiri akan terjadi sesuatu yang fatal (dalam kaba Anggun Nan Tongga dan Lareh Simawang)
  3. Bila laki-laki tidak mampu berperan dan bertindak, perempuan akan segera mengambil alih posisi itu (dalam kaba Sabai Nan Aluih)

Dalam sastra modern, atau kaba yang telah dituliskan seperti; Siti Nurbaya, Salah Asuhan, Di Bawah Lindungan Ka’bah dan banyak lagi, pola pikir perempuan Minangkabau tampak menjadi semakin maju, bahkan menjadi lebih agresif;

1. Menjaga kehormatan keluarga.

2. Menempatkan posisinya lebih kukuh lagi dalam keluarga kaum.

3. Terbuka menerima pikiran-pikiran baru dan modern

Dari aspek kesejarahan; karakteristik perempuan Minangkabau yang dapat ditelususi dari tingkah laku tokoh-tokoh seperti; Yang Dipertuan Gadis Puti Reno Sumpu pewaris kerajaan Pagaruyung setelah Sultan Alam Bagagar Syah ditangkap Belanda, yang memberikan jaminan nyawanya pada Belanda agar beberapa beberapa penghulu Tanah Datar terhindar dari hukuman gantung, Siti Manggopoh dengan gagah beraninya membunuh tentara Belanda, Rahmah El-Yunusiah memilih bidang pendidikan bagi kaum perempuan, Rasuna Said dalam dunia jurnalistik dan politik dan banyak lagi. Apa yang telah dilakukan tokoh-tokoh sejarah itu dapat dilihat bahwa pola pikir perempuan Minangkabau;

  1. Bersedia berkorban apa saja untuk menjaga keturunan, kaum dan martabat negerinya.
  2. Melihat ke masa depan dengan segera mengambil posisi sebagai tokoh pendidikan dan tokoh politik.
  3. Menjadi pusat informasi (dengan terbitnya suratkabar perempuan Soenting Melayoe)

Dari aspek sistim nilai: karakteristik perempuan Minangkabau telah terpola dalam suatu pembagian kerja yang seimbang antara laki-laki dan perempuan. Di dalam adat Minangkabau, perempuan adalah owner (pemilik) sedangkan laki-laki manager (pengurusan) terhadap semua aset kaumnya. Oleh karena itu sistem matrilineal telah menempatkan perempuan pada suatu posisi yang mengharuskannya berpikir lebih luas, bijaksana dan tegas terhadap putusan-putusan yang akan diambil.

Tantangan ke depan

Berdasarkan kepada apa yang telah dicatat baik dalam bentuk bahasa dan sastra, maupun dalam bentuk kesejarahan, pola pikir perempuan Minangkabau pada hakekatnya, tidak mengandung unsur-unsur egoisme, rendah diri atau penghambaan.

Perempuan Minangkabau selalu berpikir bahwa dirinya adalah seorang mande, pusat dari segala kelahiran dan keturunan, kepemilikan aset kaum (sako dan pusako) yang harus dipertahankannya dengan cara apapun dan sampai kapanpun. Laki-laki atau suami baginya bukan penjajah, tetapi partner, kawan berkongsi (dalam kehidupan perkawinan).

Oleh karenanya perempuan Minang tidak mengenal kata gender, dan tidak memerlukan perjuangan gender. Dia punya posisi yang sama dengan laki-laki. Perempuan Minang tidak rendah diri terhadap lakli-laki, suaminya atau hal-hal yang berada di luar dirinya. Dia sedia untuk menjadi pedagang bakulan di pasar, sedia menjadi raja, sedia menjadi tokoh pendidik, tokoh politik, bahkan sedia untuk nekad dan kalau perlu bunuh diri dalam mempertahankan haknya atau sesuatu yang diyakininya, seperti dalam kaba Lareh Simawang itu misalnya.

Jika bertolak dari karakteristik yang telah disebutkan di atas, tantangan ke depan bagi perempuan Minangkabau pada hakekatnya tidak ada. Sudah sejak dulu mereka terbuka menerima pikiran-pikiran ke depan. Mereka sangat selektif dan arif terhadap pemikiran-pemikiran baru.

Jika ada suatu pemikiran muncul untuk mengubah sistem matrilineal dengan alasan apapun, perempuan Minang akan bangkit mempertahankannya. Sistem kekerabatan itu sangat menentukan dan prinsipil; bagi eksistensi dirinya, kaumnya, sukunya dan seterusnya harta pusaka.

Bila laki-laki tidak mampu berperan lagi dalam konteks persoalan apapun, perempuan Minang akan segera menggantikannya. Seorang suami, boleh pergi atau mati, tapi dia dan anak-anaknya akan tetap menjaga diri dan kehormatannya untuk melangsungkan kehidupan.

Namun bila disakiti, dianiaya, diterlantarkan, disia-siakan, dia akan segera bereaksi; lunak ataupun keras, kalau perlu bunuh diri, sesuatu yang tidak mungkin dilakukan laki-laki. Tindakan keras demikian mungkin mereka dapat dituduh sebagai seorang fatalis, tetapi pada hakekatnya mereka tidak mau menerima perlakuan yang tidak adil, dari siapapun juga.

Untuk menjelaskan lagi perbedaan karakteristik perempuan Minang adalah sebagai berikut; Seorang perempuan Minang selalu bertanya kepada suaminya yang baru pulang; “Baa kaba?” Bagaimana keadaan, apa yang telah terjadi di luar rumah? Dia ingin berbagi sakit dan berbagi senang terhadap apa yang dialami suaminya. Soal suaminya mau makan atau mau tidur adalah otomatis dan mutlak menjadi kewajiban seorang istri, perempuan Minang tak perlu menanyakannya lagi.

Sumbang bagi Perempuan Minangkabau

Sesuatu perbuatan dapat dikatakan sumbang apabila tidak sesuai, tidak sejalan atau bertentangan dengan etika, norma, tata nilai yang telah berlaku dalam masyarakat. Sesuatu perbuatan atau perilaku perempuan Minangkabau dapat dikatakan sumbang apabila ada hal-hal yang tidak bersesuaian dengan apa yang sudah dikenal oleh masyarakat. Sumbang itu dapat terjadi dalam berbagai bentuk dan persoalan, terutama dalam masalah kecantikan, penampilan diri, peranan dan tingkah lakunya dalam kehidupan sosial dalam bermasyarakat atau bernagari dan hal lainnya.

Tentang kecantikan.

Dalam kosa kata Minangkabau tidak ada kata cantik. Karena tidak ada kosa kata demikian, secara hukum kebahasaan ataupun mengikut pada sosio-linguistik dapat dikatakan bahwa orang Minang tidak kenal dengan cantik, atau tidak mempermasalahkan benar akan hal kecantikan itu jika dibandingkan dengan masyarakat suku lainnya di Indonesia. Di dalam masyarkat Jawa misalnya, ada pakem atau bakuan untuk seseorang dapat dikatakan cantik. Dalam bahasa Minangkabau yang ada kata cantiak, atau contiak, yang artinya jauh berbeda dengan kata cantik yang dimaksudkan dalam bahasa Indonesia. Juga ada kata rancak, yang hampir mirip artinya dengan cantik. Tapi dalam kalimat mati karancak an, arti kata rancak menjadi lain pula.

Di dalam pepatah-petitih, maupun mamangan adat Minang, tidak ada disebut kata cantik, atau sebuah kata lain yang bermakna cantik. Kalaulah kata cantik dapat dipadankan dengan kata rancak, maka ungkapan yang ada dalam mamangannya adalah; condong mato ka nan rancak, condong salero ka nan lamak atau tampak rancak musajik urang, buruak tampaknyo surau awak. Jadi, jika merujuk kepada aspek kebahasaan; mamangan atau pepatah petitih adatnya, kecantikan bagi orang Minang bukan sesuatu yang dipermasalahkan, bukan sesuatu yang penting benar, bukan sesuatu yang menentukan apalagi peranannya dalam terbentuk suatu nagari.

Kecantikan, jelas ditujukan kepada kaum wanita. Ukurannya subjektif sekali. Ukuran kecantikan juga mengikuti selera zaman, bangsa atau kaum tertentu.

Mungkin karena sifatnya yang temporer itu, maka adat Minangkabau tidak membuat bakuan tentang sesuatu yang disebut cantik. Dia menjadi sesuatu yang sumbang bila seorang perempuan lebih menampilkan kecantikannya dari tugas dan fungsinya sebagai perempuan, terutama dalam konteks berkeluarga dan dalam perkauman.

Tentang Penampilan Diri

Penampilan diri, atau keberadaan seseorang perempuan di tengah-tengah orang lain adalah sesuatu yang selalu diperkatakan. Penampilan yang tidak sempurna akan dapat merusak citra seseorang. Terutama bagi ibu-ibu atau perempuan Minang yang melakukan aktivitas luar rumah.

Untuk kesempurnaan penampilan diri, berbagai cara dilakukan. Mulai dari nama yang dipakai, jenis aktifitas yang dilakukan, posisinya dalam aktifitas tersebut, sampai kepada pakaian. Nama misalnya, seseorang memerlukan legimitasi berupa nama, pangkat dan gelar suami, gelar kesarjanaannya yang telah diraihnya sendiri, gelar hajjah dan lainnya, agar dirinya terasa “berpenampilan” di antara yang lain.

Sumbang kiranya bagi perempuan Minang meletakkan nama suaminya di belakang namanya sendiri, karena menurut ajaran adat dan agama selama ini tidak demikian. Penampilan diri seorang perempuan Minang umumnya sangat menentukan dalam aktivitasnya. Semua aktivitas tersebut tidak ada kaitannya dengan kecantikan.

Sumbang bagi perempuan Minang ikut dalam acara yang hanya untuk tampil begitu saja tanpa ada keperluan, fungsi, tugas yang berkaitan dengan aktivitas tersebut. Penampilan diri diperlukan oleh setiap orang yang akan menampilkan diri, di manapun, dan dalam konteks apapun juga.

Di dalam adat Minang, masalah penampilan diri bagi perempuan tidak pula pernah dijadikan suatu mamangan atau pepatah petitih. Sebab, perempuan tak dilazimkan untuk menampilkan dirinya dalam acara-acara yang umum sifatnya.

Penampilan diri bagi perempuan terbatas pada acara-acara tertentu saja. Jadi, kalau dibuat ukuran sumbang dalam hal ini, sulit dicarikan rujukannya, penampilan diri yang bagaimana yang tidak sumbang, yang sesuai dengan adat Minangkabau.

Kalaupun ada yang mengatakan bahwa penampilan perempuan Minang itu seperti mamangan; unduang-unduang ka sarugo, atau acang-acang dalam nagari atau langkahnyo bak siganjua lalai, pado pai suruik nan labiah dan sebagainya, itu merupakan ungkapan simbolik, bukan sebuah patron atau bakuan dalam adat.

Penampilan yang tidak sumbang itulah yang mungkin perlu dicari.

Jadi, suatu penampilan yang baik bagi seorang perempuan, tentulah memenuhi kaidah-kaidah kesusilaan, kepantasan dan keindahan.

Hal-hal yang ideal

Sungguhpun masalah cantik dan penampilan diri masih dilihat dalam kerangka kepentingan laki-laki, namun bagi kaum perempuan yang tidak cantik tidak perlu pula berkecil hati. Kecantikan fisik takkan bertahan lama.

Ada hal-hal ideal yang perlu dipahami oleh seluruh perempuan Minang lebih utama terletak jiwa atau pribadi.

Seorang perempuan Minangkabau bagaimanapun cantiknya tetapi tidak dapat menyesuaikan diri dengan masyarakat lingkungannya, tidak dapat mengimplementasikan kecantikannya dengan baik, cantik fisiknya akan tertimbun oleh ketidakcantikan dalam hubungan sosial.

Kecantikan fisikal jika tidak disertai oleh pribadi yang terpuji, kecantikan itu akan menjadi kerabang saja, sama seperti orang memakai topeng. Sumbang.

Begitupun dengan penampilan diri. Penampilan diri seorang perempuan akan kukuh bila didukung keyakinan akan kepercayaan pada kemampuan diri sendiri. Penampilan diri datangnya dari dalam, dari pribadi diri seseorang.

Wibawa, kharisma, ditentukan oleh keyakinan dirinya terhadap kemampuannya, bukan oleh faktor-faktor luar lainnya.

Oleh karena itu, agar tidak dikatakan sumbang, seorang perempuan Minangkabau harus mengetahui dan menyadari betul bagaimana keberadaannya di tengah-tengah masyarakatnya, apalagi kalau dia berada dalam sebuah nagari.

SISTIM KEKELUARGAAN MATRILINEAL

SISTIM KEKELUARGAAN

MATRILINEAL

Sistem matrilineal adalah suatu sistem yang mengatur kehidupan dan ketertiban suatu masyarakat yang terikat dalam suatu jalinan kekerabatan dalam garis ibu. Seorang anak laki-laki atau perempuan merupakan klen dari perkauman ibu. Ayah tidak dapat memasukkan anaknya ke dalam klen-nya sebagaimana yang berlaku dalam sistem patrilineal. Oleh karena itu, waris dan pusaka diturunkan menurut garis ibu pula.

Menurut Muhammad Radjab (1969) sistem matrilineal mempunyai ciri-cirinya sebagai berikut;

1. Keturunan dihitung menurut garis ibu.

2. Suku terbentuk menurut garis ibu

3. Tiap orang diharuskan kawin dengan orang luar sukunya (exogami)

4. Pembalasan dendam merupakan satu kewajiban bagi seluruh suku

5. Kekuasaan di dalam suku, menurut teori, terletak di tangan “ibu”, tetapi jarang sekali dipergunakan, sedangkan

6. Yang sebenarnya berkuasa adalah saudara laki-lakinya

7. Perkawinan bersifat matrilokal, yaitu suami mengunjungi rumah istrinya

8. Hak-hak dan pusaka diwariskan oleh mamak kepada kemenakannya dan dari saudara laki-laki ibu kepada anak dari saudara perempuan.

Sistem kekerabatan ini tetap dipertahankan masyarakat Minangkabau sampai sekarang. Bahkan selalu disempurnakan sejalan dengan usaha menyempurnakan sistem adatnya. Terutama dalam mekanisme penerapannya di dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu peranan seorang penghulu ataupun ninik mamak dalam kaitan bermamak berkemanakan sangatlah penting.

Bahkan peranan penghulu dan ninik mamak itu boleh dikatakan sebagai faktor penentu dan juga sebagai indikator, apakah mekanisme sistem matrilineal itu berjalan dengan semestinya atau tidak.

Jadi keberadaan sistem ini tidak hanya terletak pada kedudukan dan peranan kaum perempuan saja, tetapi punya hubungkait yang sangat kuat dengan institusi ninik mamaknya di dalam sebuah kaum, suku atau klen.

Sebagai sebuah sistem, matrilineal dijalankan berdasarkan kemampuan dan berbagai penafsiran oleh pelakunya; ninik-mamak, kaum perempuan dan anak kemenakan. Akan tetapi sebuah uraian atau perincian yang jelas dari pelaksanaan dari sistem ini, misalnya ketentuan-ketentuan yang pasti dan jelas tentang peranan seorang perempuan dan sanksi hukumnya kalau terjadi pelanggaran, ternyata sampai sekarang belum ada. Artinya tidak dijelaskan secara tegas tentang hukuman jika seorang Minang tidak menjalankan sistem matrilineal tersebut.

Sistem itu hanya diajarkan secara turun temurun kemudian disepakati dan dipatuhi, tidak ada buku rujukan atau kitab undang-undangnya. Namun begitu, sejauh manapun sebuah penafsiran dilakukan atasnya, pada hakekatnya tetap dan tidak beranjak dari fungsi dan peranan perempuan itu sendiri. Hal seperti dapat dianggap sebagai sebuah kekuatan sistem tersebut yang tetap terjaga sampai sekarang.

Pada dasarnya sistem matrilineal bukanlah untuk mengangkat atau memperkuat peranan perempuan, tetapi sistem itu dikukuhkan untuk menjaga, melindungi harta pusaka suatu kaum dari kepunahan, baik rumah gadang, tanah pusaka dan sawah ladang.

Bahkan dengan adanya hukum faraidh dalam pembagian harta menurut Islam, harta pusaka kaum tetap dilindungi dengan istilah “pusako tinggi”, sedangkan harta yang boleh dibagi dimasukkan sebagai “pusako randah”.

Dalam sistem matrilineal perempuan diposisikan sebagai pengikat, pemelihara dan penyimpan, sebagaimana diungkapkan pepatah adatnya amban puruak atau tempat penyimpanan. Itulah sebabnya dalam penentuan peraturan dan perundang-undangan adat, perempuan tidak diikut sertakan. Perempuan menerima bersih tentang hak dan kewajiban di dalam adat yang telah diputuskan sebelumnya oleh pihak ninik mamak.

Perempuan menerima hak dan kewajibannya tanpa harus melalui sebuah prosedur apalagi bantahan. Hal ini disebabkan hak dan kewajiban perempuan itu begitu dapat menjamin keselamatan hidup mereka dalam kondisi bagaimanapun juga. Semua harta pusaka menjadi milik perempuan, sedangkan laki-laki diberi hak untuk mengatur dan mempertahankannya.

Perempuan tidak perlu berperan aktif seperti ninik mamak. Perempuan Minangkabau yang memahami konstelasi seperti ini tidak memerlukan lagi atau menuntut lagi suatu prosedur lain atas hak-haknya. Mereka tidak memerlukan emansipasi lagi, mereka tidak perlu dengan perjuangan gender, karena sistem matrilineal telah menyediakan apa yang sesungguhnya diperlukan perempuan.

Para ninik-mamak telah membuatkan suatu “aturan permainan” antara laki-laki dan perempuan dengan hak dan kewajiban yang berimbang antar sesamanya.

Oleh karena itulah institusi ninik-mamak menjadi penting dan bahkan sakral bagi kemenakan dan sangat penting dalam menjaga hak dan kewajiban perempuan. Keadaan seperti ini sudah berlangsung lama, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, dengan segala plus minusnya.

Keunggulan dari sistem ini adalah, dia tetap bertahan walau sistem patrilineal juga diperkenalkan oleh Islam sebagai sebuah sistem kekerabatan yang lain pula. Sistim matrilieal tidak hanya jadi sebuah “aturan” saja, tetapi telah menjadi semakin kuat menjadi suatu budaya, way of live, kecenderungan yang paling dalam diri dari setiap orang Minangkabau.

Sampai sekarang, pada setiap individu laki-laki Minang misalnya, kecenderungan mereka menyerahkan harta pusaka, warisan dari hasil pencahariannya sendiri, yang seharusnya dibagi menurut hukum faraidh kepada anak-anaknya, mereka lebih condong untuk menyerahkannya kepada anak perempuannya.

Anak perempuan itu nanti menyerahkan pula kepada anak perempuannya pula. Begitu seterusnya. Sehingga Tsuyoshi Kato dalam disertasinya menyebutkan bahwa sistem matrilineal akan semakin menguat dalam diri orang-orang Minang walaupun mereka telah menetap di kota-kota di luar Minang sekalipun. Sistem matrilineal tampaknya belum akan meluntur sama sekali, walau kondisi-kondisi sosial lainnya sudah banyak yang berubah.

Untuk dapat menjalankan sistem itu dengan baik, maka mereka yang akan menjalankan sistem itu haruslah orang Minangkakabu itu sendiri. Untuk dapat menentukan seseorang itu orang Minangkabau atau tidak, ada beberapa ketentuannya, atau syarat-syarat seseorang dapat dikatakan sebagai orang Minangkabau.

Syarat-syarat seseorang dapat dikatakan orang Minangkabau;

1. Basuku (bamamak bakamanakan)

2. Barumah gadang

3. Basasok bajarami

4. Basawah baladang

5. Bapandan pakuburan

6. Batapian tampek mandi

Seseorang yang tidak memenuhi ketentuan tersebut di dalam berkaum bernagari, dianggap “orang kurang” atau tidak sempurna. Bagi seseorang yang ingin menjadi orang Minang juga dibuka pintunya dengan memenuhi berbagai persyaratan pula.

Dalam istilah inggok mancangkam tabang basitumpu. Artinya orang itu harus masuk ke dalam sebuah kaum atau suku, mengikuti seluruh aturan-aturannya.

Ada empat aspek penting yang diatur dalam sistem matrilienal;

a. Pengaturan harta pusaka

Harta pusaka yang dalam terminologi Minangkabau disebut harato jo pusako. Harato adalah sesuatu milik kaum yang tampak dan ujud secara material seperti sawah, ladang, rumah gadang, ternak dan sebagainya.

Pusako adalah sesuatu milik kaum yang diwarisi turun temurun baik yang tampak maupun yang tidak tampak. Oleh karena itu di Minangkabau dikenal pula dua kata kembar yang artinya sangat jauh berbeda; sako dan pusako.

1. Sako

Sako adalah milik kaum secara turun temurun menurut sistem matrilineal yang tidak berbentuk material, seperti gelar penghulu, kebesaran kaum, tuah dan penghormatan yang diberikan masyarakat kepadanya.

Sako merupakan hak bagi laki-laki di dalam kaumnya. Gelar demikian tidak dapat diberikan kepada perempuan walau dalam keadaan apapun juga. Pengaturan pewarisan gelar itu tertakluk kepada sistem kelarasan yang dianut suku atau kaum itu.

Jika menganut sistim kelarasan Koto Piliang, maka sistem pewarisan sakonya berdasarkan; patah tumbuah. Artinya, gelar berikutnya harus diberikan kepada kemenakan langsung dari si penghulu yang memegang gelar itu. Gelar demikian tidak dapat diwariskan kepada orang lain dengan alasan papun juga.

Jika tidak ada laki-laki yang akan mewarisi, gelar itu digantuang atau dilipek atau disimpan sampai nanti kaum itu mempunyai laki-laki pewaris.

Jika menganut sistem kelarasan Bodi Caniago, maka sistem pewarisan sakonya berdasarkan hilang baganti. Artinya, jika seorang penghulu pemegang gelar kebesaran itu meninggal, dia dapat diwariskan kepada lelaki di dalam kaum berdasarkan kesepakatan bersama anggota kaum itu. Pergantian demikian disebut secara adatnya gadang balega.

Di dalam halnya gelar kehormatan atau gelar kepenghuluan (datuk) dapat diberikan dalam tiga tingkatan:

a. Gelar yang diwariskan dari mamak ke kemenakan. Gelar ini merupakan gelar pusaka kaum sebagaimana yang diterangkan di atas. Gelar ini disebut sebagai gelar yang mengikuti kepada perkauman yang batali darah.

b. Gelar yang diberikan oleh pihak keluarga ayah (bako) kepada anak pisangnya, karena anak pisang tersebut memerlukan gelar itu untuk menaikkan status sosialnya atau untuk keperluan lainnya. Gelar ini hanya gelar panggilan, tetapi tidak mempengaruhi konstelasi dan mekanisme kepenghuluan yang telah ada di dalam kaum. Gelar ini hanya boleh dipakai untuk dirinya sendiri, seumur hidup dan tidak boleh diwariskan kepada yang lain; anak apalagi kemenakan. Bila si penerima gelar meninggal, gelar itu akan dijemput kembali oleh bako dalam sebuah upacara adat. Gelar ini disebut sebagai gelar yang berdasarkan batali adat.

c. Gelar yang diberikan oleh raja Pagaruyung kepada seseorang yang dianggap telah berjasa menurut ukuran-ukuran tertentu. Gelar ini bukan gelar untuk mengfungsinya sebagai penghulu di dalam kaumnya sendiri, karena gelar penghulu sudah dipakai oleh pengulu kaum itu, tetapi gelaran itu adalah merupakan balasan terhadap jasa-jasanya. Gelaran ini disebut secara adat disebabkan karena batali suto. Gelar ini hanya boleh dipakai seumur hidupnya dan tidak boleh diwariskan. Bila terjadi sesuatu yang luar biasa, yang dapat merusakkan nama raja, kaum, dan nagari, maka gelaran itu dapat dicabut kembali.

2. Pusako

Pusako adalah milik kaum secara turun temurun menurut sistem matrilineal yang berbentuk material, seperti sawah, ladang, rumah gadang dan lainnya.

Pusako dimanfaatkan oleh perempuan di dalam kaumnya.

Hasil sawah, ladang menjadi bekal hidup perempuan dengan anak-anaknya. Rumah gadang menjadi tempat tinggalnya.

Laki-laki berhak mengatur tetapi tidak berhak untuk memiliki.

Karena itu di Minangkabau kata hak milik bukanlah merupakan kata kembar, tetapi dua kata yang satu sama lain artinya tetapi berada dalam konteks yang sama. Hak dan milik.

Laki-laki punya hak terhadap pusako kaum, tetapi dia bukan pemilik pusako kaumnya.

Dalam pengaturan pewarisan pusako, semua harta yang akan diwariskan harus ditentukan dulu kedudukannya.

Kedudukan harta pusaka itu terbagi dalam;

a. Pusako tinggi.

Harta pusaka kaum yang diwariskan secara turun temurun berdasarkan garis ibu. Pusaka tinggi hanya boleh digadaikan bila keadaan sangat mendesak sekali hanya untuk tiga hal saja; pertama, gadih gadang indak balaki, kedua, maik tabujua tangah rumah, ketiga, rumah gadang katirisan. Selain dari ketiga hal di atas harta pusaka tidak boleh digadaikan apalagi dijual.

b. Pusako randah.

Harta pusaka yang didapat selama perkawinan antara suami dan istri. Pusaka ini disebut juga harta bawaan, artinya modal dasarnya berasal dari masing-masing kaum. Pusako randah diwariskan kepada anak, istri dan saudara laki-laki berdasarkan hukum faraidh, atau hukum Islam.

Namun dalam berbagai kasus di Minangkabau, umumnya, pusako randah ini juga diserahkan oleh laki-laki pewaris kepada adik perempuannya. Tidak dibaginya menurut hukum faraidh tersebut. Inilah mungkin yang dimaksudkan Tsuyoshi Kato bahwa sistem matrilineal akan menguat dengan adanya keluarga batih. Karena setiap laki-laki pewaris pusako randah akan selalu menyerahkan harta itu kepada saudara perempuannya. Selanjutanya saudara perempuan itu mewariskan pula kepada anak perempuannya. Begitu seterusnya. Akibatnya, pusako randah pada mulanya, dalam dua atau tiga generasi berikutnya menjadi pusako tinggi pula.

Peranan laki-laki

Kedudukan laki-laki dan perempuan di dalam adat Minangkabau berada dalam posisi seimbang. Laki-laki punya hak untuk mengatur segala yang ada di dalam perkauman, baik pengaturan pemakaian, pembagian harta pusaka, perempuan sebagai pemilik dapat mempergunakan semua hasil itu untuk keperluannya anak beranak.

Peranan laki-laki di dalam dan di luar kaumnya menjadi sesuatu yang harus dijalankannya dengan seimbang dan sejalan.

1. Sebagai kemenakan

Di dalam kaumnya, seorang laki-laki bermula sebagai kemenakan (atau dalam hubungan kekerabatan disebutkan; ketek anak urang, lah gadang kamanakan awak). Sebagai kemenakan dia harus mematuhi segala aturan yang ada di dalam kaum. Belajar untuk mengetahui semua aset kaumnya dan semua anggota keluarga kaumnya.

Oleh karena itu, ketika seseorang berstatus menjadi kemenakan, dia selalu disuruh ke sana ke mari untuk mengetahui segala hal tentang adat dan perkaumannya.

Dalam kaitan ini, peranan Surau menjadi penting, karena Surau adalah sarana tempat mempelajari semua hal itu baik dari mamaknya sendiri maupun dari orang lain yang berada di surau tersebut.

Dalam menentukan status kemenakan sebagai pewaris sako dan pusako, anak kemenakan dikelompokan menjadi tiga kelompok:

a. Kemenakan di bawah daguak

b. Kemenakan di bawah pusek

c. Kemenakan di bawah lutuik

Kemenakan di bawah daguak adalah penerima langsung waris sako dan pusako dari mamaknya.

Kemenakan di bawah pusek adalah penerima waris apabila kemenakan di bawah daguak tidak ada (punah).

Kemenakan di bawah lutuik, umumnya tidak diikutkan dalam pewarisan sako dan pusako kaum.

2. Sebagai mamak

Pada giliran berikutnya, setelah dia dewasa, dia akan menjadi mamak dan bertanggung jawab kepada kemenakannya. Mau tidak mau, suka tidak suka, tugas itu harus dijalaninya. Dia bekerja di sawah kaumnya untuk saudara perempuannya anak-beranak yang sekaligus itulah pula kemenakannya. Dia mulai ikut mengatur, walau tanggung jawab sepenuhnya berada di tangan mamaknya yang lebih tinggi, yaitu penghulu kaum.

3. Sebagai penghulu

Selanjutnya, dia akan memegang kendali kaumnya sebagai penghulu. Gelar kebesaran diberikan kepadanya, dengan sebutan datuk. Seorang penghulu berkewajiban menjaga keutuhan kaum, mengatur pemakaian harta pusaka. Dia juga bertindak terhadap hal-hal yang berada di luar kaumnya untuk kepentingan kaumnya.

Setiap laki-laki terhadap kaumnya selalu diajarkan; kalau tidak dapat menambah (maksudnya harta pusaka kaum), jangan mengurangi (maksudnya, menjual, menggadai atau menjadikan milik sendiri).

Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa peranan seorang laki-laki di dalam kaum disimpulkan dalam ajaran adatnya;

Tagak badunsanak mamaga dunsanak

Tagak basuku mamaga suku

Tagak ba kampuang mamaga kampuang

Tagak ba nagari mamaga nagari

4. Peranan di luar kaum

Selain berperan di dalam kaum sebagai kemanakan, mamak atau penghulu, seorang anak lelaki setelah dia kawin dan berumah tangga, dia mempunyai peranan lain sebagai tamu atau pendatang di dalam kaum isterinya. Artinya di sini, dia sebagai duta pihak kaumnya di dalam kaum istrinya, dan istri sebagai duta kaumnya pula di dalam kaum suaminya. Satu sama lain harus menjaga kesimbangan dalam berbagai hal, termasuk perlakuan-perlakuan terhadap anggota kaum kedua belah pihak.

Di dalam kaum istrinya, seorang laki-laki adalah sumando (semenda). Sumando ini di dalam masyarakat Minangkabau dibuatkan pula beberapa kategori;

a. Sumando ninik mamak. Artinya, semenda yang dapat ikut memberikan ketenteraman pada kedua kaum; kaum istrinya dan kaumnya sendiri. Mencarikan jalan keluar terhadap sesuatu persoalan dengan sebijaksana mungkin. Dia lebih berperan sebagai seorang yang arif dan bijaksana.

b. Sumando kacang miang. Artinya, sumando yang membuat kaum istrinya menjadi gelisah karena dia memunculkan atau mempertajam persoalan-persoalan yang seharusnya tidak dimunculkan. Sikap seperti ini tidak boleh dipakai.

c. Sumando lapik buruk. Artinya, sumando yang hanya memikirkan anak istrinya semata tanpa peduli dengan persoalan-persoalan lainnya. Dikatakan juga sumando seperti seperti sumando apak paja, yang hanya berfungsi sebagai tampang atau bibit semata. Sikap seperti ini juga tidak boleh dipakai dan harus dijauhi.

Sumando tidak punya kekuasan apapun di rumah istrinya, sebagaimana yang selalu diungkapkan dalam pepatah petitih;

Sadalam-dalam payo

Hinggo dado itiak

Sakuaso-kuaso urang sumando

Hinggo pintu biliak

Sebaliknya, peranan sumando yang baik dikatakan;

Rancak rumah dek sumando

Elok hukum dek mamaknyo

Kaum dan Pesukuan

Orang Minangkabau yang berasal dari satu keturunan dalam garis matrilineal merupakan anggota kaum dari keturunan tersebut.

Di dalam sebuah kaum, unit terkecil disebut samande. Yang berasal dari satu ibu (mande). Unit yang lebih luas dari samande disebut saparuik. Maksudnya berasal dari nenek yang sama.

Kemudian saniniak maksudnya adalah keturunan nenek dari nenek. Yang lebih luas dari itu lagi disebut sakaum.

Kemudian dalam bentuknya yang lebih luas, disebut sasuku. Maksudnya, berasal dari keturunan yang sama sejak dari nenek moyangnya.

Suku artinya seperempat atau kaki. Jadi, pengertian sasuku dalam sebuah nagari adalah seperempat dari penduduk nagari tersebut. Karena, dalam sebuah nagari harus ada empat suku besar.

Padamulanya suku-suku itu terdiri dari Koto, Piliang, Bodi dan Caniago. Dalam perkembangannya, karena bertambahnya populasi masyarakat setiap suku, suku-suku itupun dimekarkan.

Koto dan Piliang berkembang menjadi beberapa suku; Tanjuang, Sikumbang, Kutianyir, Guci, Payobada, Jambak, Salo, Banuhampu, Damo, Tobo, Galumpang, Dalimo, Pisang, Pagacancang, Patapang, Melayu, Bendang, Kampai, Panai, Sikujo, Mandahiliang, Bijo dll.

Bodi dan Caniago berkembang menjadi beberapa suku; Sungai Napa, Singkuang, Supayang, Lubuk Batang, Panyalai, Mandaliko, Sumagek dll.

Dalam majlis peradatan keempat pimpinan dari suku-suku ini disebut urang nan ampek suku.

Dalam sebuah nagari ada yang tetap dengan memakai ampek suku tapi ada juga memakai limo suku, maksudnya ada nama suku lain; Malayu yang dimasukkan ke sana.

Sebuah suku dengan suku yang lain, mungkin berdasarkan sejarah, keturunan atau kepercayaan yang mereka yakini tentang asal sulu mereka, boleh jadi berasal dari perempuan yang sama.

Suku-suku yang merasa punya kaitan keturunan ini disebut dengan sapayuang. Dari beberapa payuang yang juga berasal sejarah yang sama, disebut sahindu. Namun, yang lazim dikenal dalam berbagai aktivitas sosial masyarakat Minangkabau adalah; sasuku dan sapayuang saja.

Sebuah kaum mempunyai keterkaitan dengan suku-suku lainnya, terutama disebabkan oleh perkawinan. Oleh karena itu kaum punya struktur yang umumnya dipakai oleh setiap suku;

(1) struktur di dalam kaum

Di dalam sebuah kaum, strukturnya sebagai berikut;

a. Mamak yang dipercaya sebagai pimpinan kaum yang disebut Penghulu bergelar datuk.

b. Mamak-mamak di bawah penghulu yang dipercayai memimpin setiap rumah gadang, karena di dalam satu kaum kemungkinan rumah gadangnya banyak. Mamak-mamak yang mempimpin setiap rumah gadang itu disebut; tungganai.

Seorang laki-laki yang memikul tugas sebagai tungganai rumah pada beberapa suku tertentu mereka juga diberi gelar datuk.

Di bawah tungganai ada laki-laki dewasa yang telah kawin juga, berstatus sebagai mamak biasa.

Di bawah mamak itulah baru ada kemenakan.

(2) Struktur dalam kaitannya dengan suku lain.

Akibat dari sistem matrilienal yang mengharuskan setiap anggota suku harus kawin dengan anggota suku lain, maka keterkaitan akibat perkawinan melahirkan suatu struktur yang lain, struktur yang mengatur hubungan anggota sebuah suku dengan suku lain yang terikat dalam tali perkawinan tersebut.

a. Induk bako anak pisang

Induak bako anak pisang merupakan dua kata yang berbeda; induak bako dan anak pisang. Induak bako adalah semua ibu dari keluarga pihak ayah.

Bako adalah semua anggota suku dari kaum pihak ayah.

Induak bako punya peranan dan posisi tersendiri di dalam sebuah kaum pihak si anak.

b. Andan pasumandan

Andan pasumandan juga merupakan dua kata yang berbeda; andan dan pasumandan.

Pasumandan adalah pihak keluarga dari suami atau istri. Suami dari rumah gadang A yang kawin dengan isteri dari rumah gadang B, maka pasumandan bagi isteri adalah perempuan yang berada dalam kaum suami.

Sedangkan andan bagi kaum rumah gadang A adalah anggota kaum rumah gadang C yang juga terikat perkawinan dengan salah seorang anggota rumah gadang B.

c. Bundo Kanduang

Dalam masyarakat Minangkabau dewasa ini kata Bundo Kanduang mempunyai banyak pengertian pula, antara lain;

a) Bundo kanduang sebagai perempuan utama di dalam kaum, sebagaimana yang dijelaskan di atas.

b) Bundo Kanduang yang ada di dalam cerita rakyat atau kaba Cindua Mato. Bundo Kanduang sebagai raja Minangkabau atau raja Pagaruyung.

c) Bundo kanduang sebagai ibu kanduang sendiri.

d) Bundo kanduang sebagai sebuah nama organisasi perempuan Minangkabau yang berdampingan dengan LKAAM.

Bundo kanduang yang dimaksudkan di sini adalah, Bundo Kanduang sebagai perempuan utama.

Bundo kanduang sebagai perempuan utama

Apabila ibu atau tingkatan ibu dari mamak yang jadi penghulu masih hidup, maka dialah yang disebut Bundo Kanduang, atau mandeh atau niniek. Dialah perempuan utama di dalam kaum itu.

Perempuan yang disebut bundo anduang dalam kaumnya, mempunyai kekuasaan lebih tinggi dari seorang penghulu karena dia setingkat ibu, atau ibu penghulu itu betul.

Dia dapat menegur penghulu itu apabila si penghulu melakukan suatu kekeliruan. Perempuan-perempuan setingkat mande di bawahnya, apabila dia dianggap lebih pandai, bijak dan baik, diapun sering dijadikan perempuan utama di dalam kaum. Secara implisit tampaknya, perempuan utama di dalam suatu kaum, adalah semacam badan pengawasan atau lembaga kontrol dari apa yang dilakukan seorang penghulu.

SISTIM KEMASAYARAKATAN DAN KELARASAN DI MINANGKABU

Draft : Subangan Pikiran untuk Kompilasi ABSSBK, oleh BuyaHMA;-.[…]

SISTIM KEMASAYARAKATAN DAN KELARASAN DI MINANGKABU

Sistim kemasyarakatan atau yang dikenal sebagai sistem kelarasan merupakan dua instisusi adat yang dibentuk semenjak zaman kerajaan Minangkabau/Pagaruyung dalam mengatur pemerintahannya. Bahkan ada juga pendapat yang mengatakan, penyusunan itu dilakukan sebelum berdirinya kerajaan Pagaruyung.

Kedua institusi tersebut masih tetap dijalankan oleh masyarakat adat Minangkabau sampai sekarang. Keberadaan dan peranannya sudah menjadi bakuan sosial atau semacam tatanan budaya yang diakui dan menjadi rujukan dalam menjalankan dan membicarakan tatanan adat alam Minangkabau.

Kedua institusi itu tidak berdiri keduanya begitu saja. Dalam sebuah tatanan pemerintahan, kedua institusi tersebut berjalan searah dengan instisuti lainnya atau lembaga-lembaga lainnya. Lembaga-lembaga tersebut terdiri dari: Rajo Tigo Selo; yang terdiri dari Raja Alam, Raja Adat dan Raja Ibadat.

Rajo Tigo Selo berasal dari keturunan yang sama. Hanya penempatan, tugas serta kedudukannya yang berbeda.

Kedudukan/tempat tinggal

Raja Alam di Pagaruyung, Raja Adat di Buo dan Raja Ibadat di Sumpur Kudus.

Daerah-daerah rantau barat dan timur merupakan daerah yang berada langsung di bawah raja, dengan mengangkat “urang gadang” atau “rajo kaciak” pada setiap daerah. Mereka setiap tahun menyerahkan “ameh manah” kepada raja.

Daerah-daerah yang langsung berada di bawah pengawasan raja

Daerah-daerah rantau tersebut adalah:

Rantau pantai timur

1. Rantau nan kurang aso duo puluah (di sepanjang Batang Kuantan) disebut juga Rantau Tuan Gadih.

2. Rantau duo baleh koto (sepanjang batang Sangir) disebut juga Nagari Cati Nan Batigo.

3. Rantau Juduhan (kawasan Lubuk Gadang dan sekitarnya) disebut juga Rantau Yang Dipertuan Rajo Bungsu

4. Rantau Bandaro nan 44 (sekitar Sei.Tapung dan Kampar)

5. Negeri Sembilan

Rantau pantai barat:

1. Bayang nan 7, Tiku Pariaman, Singkil Tapak Tuan disebut juga Rantau Rajo

2. Bandar X disebut juga Rantau Rajo Alam Surambi Sungai Pagu.

Perangkat Raja

Basa Ampek Balai

Dalam menjalankan pemerintahan, raja dibantu oleh 4 orang menterinya yang disebut Basa Ampek Balai dan seorang Panglima Perang, Tuan Gadang Batipuh.

Datuk Nan Batujuh

Di daerah kedudukan (tempat raja menetap/tinggal), setiap raja mempunyai perangkat penghulu tersendiri untuk mengurus masalah masalah daerah kedudukan dan kerumah tangga. Datuk Nan Batujuh, yang mengurus segala hal tentang wilayah raja (Pagaruyung). Datuk Nan Barampek di Balai Janggo yang mengurus segala hal tentang kerumahtanggaan.

Pada mulanya, datuk-datuk ini diangkat oleh raja. Jadi, datuk-datuk ini berbeda dengan datuk-datuk di nagari-nagari lainnya. Datuk di nagari lainnya merupakan pimpinan kaum, sedangkan datuk-datuk ini perangkat raja.

Datuk-datuk tepatan raja pada wilayah atau nagari-nagari tertentu ada datuk-datuk yang ditunjuk untuk perpanjangan tangan raja, tempat tepatan raja.

Sistem Kelarasan

1. Kelarasan Koto Piliang (yang menjalankan pemerintahan) yang dipimpin oleh Datuk bandaro Putih Pamuncak Koto Piliang berkedudukan di Sungai Tarab. Hirarki dalam kelarasan Koto Piliang mempunyai susunan seperti di atas yang disebut; bajanjang naiak batanggo turun, dengan prinsip pengangkatan penghulu-penghulunya; patah tumbuah.

2. Kelarasan Bodi Caniago (yang menjalankan persidangan) yang dipimpin oleh Datuk Badaro Kuniang, Gajah Gadang Patah Gadiang berkedudukan di Limo Kaum.

Hirarki dalam kelarasan Bodi Caniago mempunyai susunan yang disebut; duduak samo randah tagak samo tinggi.

Kedudukan raja terhadap kedua kelarasan

Kedudukan raja berada di atas dua kelarasan; Koto Piliang dan Bodi Caniago. Bagi kelarasan Koto Piliang, kedudukan raja di atas segalanya. Sedangkan bagi Kelarasan Bodi Caniago kedudukan raja adalah symbolik sebagai pemersatu.

Tempat Persidangan

1. Balai Panjang.

Tempat persidangan untuk semua lembaga; Raja, Koto Piliang, Bodi Caniago, Rajo-rajo

di rantau berada di Balai Panjang, Tabek Sawah Tangah.

2. Balairung

Tempat persidangan raja dengan basa-basa disebut Balairung

3. Medan nan bapaneh

Tempat persidangan kelarasan koto piliang disebut Medan Nan Bapaneh dipimpin

Pamuncak Koto Piliang, Datuk Bandaro Putih

4. Medan nan Balinduang

Tempat persidangan kelarasan bodi caniago disebut Medan Nan Balinduang dipimpin

oleh Pucuak Bulek Bodi Caniago, Datuk Bandaro Kuniang.

5. Balai Nan Saruang

Tempat persidangan Datuk Badaro Kayo di Pariangan disebut Balai Nan Saruang

Lareh nan Duo

Lareh atau sistem, di dalam adat dikenal dengan dua; Lareh Nan Bunta dan Lareh nan Panjang. Lareh nan Bunta lazim juga disebut Lareh Nan Duo, yang dimaksudkan adalah Kelarasan Koto Piliang yang disusun oleh Datuk Ketumanggungan dan Kelarasan Bodi Caniago oleh Datuk Perpatih Nan Sabatang.

Sedangkan Lareh nan Panjang di sebut; Bodi Caniago inyo bukan, Koto Piliang inyo antah disusun oleh Datuk Suri Nan Banego-nego.(disebut juga Datuk Sikalab Dunia Nan Banego-nego) Namun yang lazim dikenal hanyalah dua saja, Koto Piliang dan Bodi Caniago.

Kedua sistem (kelarasan) Koto Piliang dan Bodi Caniago adalah dua sistem yang saling melengkapi dan memperkuat. Hal ini sesuai dengan sejarah berdirinya kedua kelarasan itu. Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sabatang kakak adik lain ayah, sedangkan Datuk Suri Nan Banego-nego adalah adik dari Datuk Perpatih Nan Sabatang.

Di dalam tambo disebutkan;

Malu urang koto piliang, malu urang bodi caniago.

Di dalam mamangan lain dikatakan:

Tanah sabingah lah bapunyo, rumpuik sahalai lah bauntuak

Malu nan alun kababagi.

a. Kelarasan Koto Piliang

Dipimpin oleh Datuk Bandaro Putiah

Roda pemerintahan dijalankan dalam sistem Koto Piliang, yang dalam hal ini dijalankan oleh Basa Ampek Balai:

1. Panitiahan – berkedudukan di Sungai Tarab – Pamuncak Koto Piliang

2. Makhudum – berkedudukan di Sumanik – Aluang bunian Koto Piliang

3. Indomo – berkedudukan di Saruaso – Payung Panji Koto Piliang

4. Tuan Khadi – berkedudukan di Padang Ganting – Suluah Bendang Koto Piliang

(Ditambah seorang lagi yang kedudukannya sama dengan Basa Ampek Balai)

5. Tuan Gadang – berkedudukan di Batipuh – Harimau Campo Koto Piliang

Setiap Basa, mempunyai perangkat sendiri untuk mengurus masalah-masalahdaerah kedudukannya.

Setiap basa membawahi beberapa orang datuk di daerah tempat kedudukannya, tergantung kawasannya masing-masing. (Ada yang 9 datuk seperti Sungai Tarab, 7 datuk seperti di Saruaso dll).

Setiap Basa diberi wewenang oleh raja untuk mengurus wilayah-wilayah tertentu, untuk memungut ameh manah, cukai, pengaturan wilayah dan sebagainya. Misalnya;

a) Datuk Bandaro untuk daerah pesisir sampai ke Bengkulu

b) Makhudum untuk daerah pesisir timur sampai ke Negeri Sembilan

c) Indomo untuk daerah pesisir barat utara.

d) Tuan Kadi untuk daerah Minangkabau bagian selatan.

Pada setiap nagari, ada beberapa penghulu yang berada di bawah setiap basa yang mengepalai nagari-nagari tersebut.[1]

Langgam nan tujuah (7 daerah istimewa)

Di dalam sistem pemerintahan itu, ada daerah-daerah istimewa yang dipimpin oleh seorang penghulu yang langsung berada di bawah kuasa raja. Dia tidak berada di bawah Basa 4 Balai.

Daerah-daerah istimewa ini mempunyai fungsi dan kedudukan tersendiri dan sampai sekarang masih dijalankan.

Langgam nan tujuh itu terdiri dari tujuh daerah/wilayah dengan gelar kebesarannya masing-masing:

1. Pamuncak Koto Piliang

Daerahnya Sungai Tarab salapan batu

2. Gajah Tongga Koto Piliang

Daerahnya Silingkang & Padang Sibusuak

3. Camin Taruih Koto Piliang

Daerahnya Singkarak & Saningbaka

4. Cumati Koto Piliang

Daerahnya Sulik Aie & Tanjuang Balik

5. Perdamaian Koto Piliang

Daerahnya Simawang & Bukik Kanduang

6. Harimau Campo Koto Piliang

Daerahnya Batipuh 10 Koto

7. Pasak kungkuang Koto Piliang

Daerahnya Sungai Jambu & Labu Atan

Sistem yang dipakai dalam kelarasan Koto Piliang

Memakai sistem cucua nan datang dari langik, kaputusan indak buliah dibandiang. Maksudnya; segala keputusan datang dari raja. Raja yang menentukan.

Bila persoalan timbul pada suatu kaum, kaum itu membawa persoalan kepada Basa Ampek Balai. Jika persoalan tidak putus oleh Basa Ampek Balai, diteruskan kepada Rajo Duo Selo. Urusan adat kepada Rajo Adat, dan urusan keagamaan kepada Rajo Ibadat.

Bila kedua rajo tidak dapat memutuskan, diteruskan kepada Rajo Alam. Rajo Alamlah yang memutuskan.

Karena itu dalam kelarasan ini hirarkinya adalag sebagai berikut; kamanakan barajo ka mamak, mamak barajo ka pangulu, pangulu barajo ka Basa Ampek Balai, Basa Ampek Balai ka Rajo Duo Selo.

Kelarasan Bodi Caniago

Dipimpin oleh Datuk Bandaro Kuniang, Gajah Gadang Patah Gadiang di Limo Kaum.

Di bawahnya disebut Datuak Nan Batigo; Datuk nan di Dusun Tuo, Datuk nan di Paliang, Datuk nan Kubu Rajo. (Nama-nama Datuk tak disebutkan, karena mereka memakai sistem “gadang balega”, pimpinan dipilih berdasarkan kemufakatan (Hilang Baganti).

Kelarasan Bodi Caniago, juga mempunyai daerah setaraf Langgam Nan Tujuh dalam kelarasan Koto Piliang, yang disebut Tanjuang nan ampek, lubuak nan tigo (juga tujuh daerah khusus dengan tujuh penghulu/pucuak buleknyo)

a. Tanjuang Bingkuang (Limo kaum dan sekitarnya)

b. Tanjung Sungayang

c. Tanjuang Alam

d. Tanjuang Barulak

e. Lubuk Sikarah

f. Lubuk Sipunai

g. Lubuk Simawang

Sistem yang dipakai dalam kelarasan Bodi Caniago

Memakai sistem nan bambusek dari tanah, nan tumbuah dari bawah.

Kaputusan buliah dibandiang. Nan luruih buliah ditenok, nan bungkuak buliah dikadang. Maksudnya; segala keputusan ditentukan oleh sidang kerapatan para penghulu. Keputusan boleh dibanding, dipertanyakan dan diuji kebenarannya.

Bila persoalan timbul pada suatu kaum, kaum itu membawa persoalan kepada Datuak nan Batigo di Limo Kaum. Karena itu dalam kelarasan ini hirarkinya adalah sebagai berikut; kamanakan barajo ka mamak, mamak barajo ka pangulu, pangulu barajo ka mupakaik, nan bana badiri sandirinyo.

Lareh Nan Panjang

Dipimpin oleh Datuk Bandaro Kayo. Selain itu pula, ada satu lembaga lain yang dipimpin oleh Datuk Badaro Kayo yang berkedudukan di Pariangan Padang Panjang. Tugasnya menjadi juru damai sekiranya terjadi pertikaan antara Datuk Badaro Putiah di Sungai Tarab (Koto Piliang) dengan Datuk Bandaro Kuniang (Bodi Caniago). Dia bukan dari kelarasan Koto Piliang atau Bodi Caniago, tetapi berada antara keduanya. Di dalam pepatah adat disebutkan:

Pisang sikalek-kalek utan

Pisang simbatu nan bagatah

Bodi Caniago inyo bukan

Koto piliang inyo antah

Daerah kawasannya disebut : 8 Koto Di ateh, 7 Koto Di bawah, batasan wilayahnya disebutkan Sajak dari guguak Sikaladi Hilie, sampai ka Bukik Tumasu Mudiak, Salilik Batang Bangkaweh.

8 Koto Di ateh terdiri dari; Guguak, Sikaladi, Pariangan, Pd.Panjang, Koto Baru, Sialahan, Koto Tuo, Batu Taba.

7 Koto Di bawah terdiri dari; Galogandang, Padang Lua, Turawan, Balimbiang, Kinawai, Sawah Laweh, Bukik Tumasu.

Dengan demikian, ada tiga Datuk Bandaro di dalam daerah kerajaan itu. Kemudian disusul dengan adanya Datuk Bandaro Hitam yang juga punya fungsi sama seperti Datuk Bandaro Putiah, dengan kedudukan di wilayah Minangkabau bagian selatan (Jambu Limpo dllnya).

Penghulu

Penghulu pada setiap kaum yang ada naari-nagari masing-masingnya punya perangkat tersendiri pula dalam mengatur kaumnya. Perangkat itu terdiri dari: Manti, Malin, Dubalang. Mereka berempat disebut pula Urang nan ampek jinih.

Setiap rumah gadang, punya seorang mamak yang mengatur. Mamak yang mengatur rumah gadang tersebut Tungganai, atau mamak rumah. Dia juga bergelar datuk.

Nama Gelar Penghulu.

Nama gelar penghulu yang mula-mula hanya terdiri satu kata; Bandaro misalnya. Datuk Bandaro.

Pada lapis kedua, atau sibaran baju, nama datuk menjadi dua kata, untuk memisahkan sibaran yang satu dengan sibaran yang lain; Datuk Bandaro Putih, Datuk Badaro Kuniang, Datuk Bandaro Kayo dan Datuk Bandaro Hitam.

Apabila kemenakan datuk Bandaro ini sudah semakin banyak, dan memerlukan seorang penghulu untuk mengatur mereka, maka mereka memecah lagi gelaran itu; Datuk Bandaro Lubuak Bonta misalnya, adalah sibaran pada peringkat ke empat dari gelar asalnya. Begitu seterusnya.

Semakin panjang gelar Datuk itu, itu pertanda bahwa gelar itu adalah sibaran dalam tingkat ke sekian.


[1] Masing-masing unsur (elemen) dari perangkat adat ini banyak diubah dan berubah akibat ekspansi pemerintahan Belanda dalam mencampuri urusan hukum adat. Namun “batang” dari sistem ini tetap diikuti sampai sekarang.

Minangkabau dan Sistim Kekerabatan

Draft : Subangan Pikiran untuk Kompilasi ABSSBK, oleh BuyaHMA;-.[…]

MINANGKABAU DAN SISTIM

KEKERABATAN


Hubungan Kekeluargaan Minangkabau, bersuku ke ibu, bersako ke mamak, dan bernasab ke ayah

Oleh : H Mas’oed Abidin

MINANGKABAU DALAM SEJARAH DAN TAMBO

1. Asal usul manusia Minangkabau

Kata Minangkabau mengandung banyak pengertian. Minangkabau dipahamkan sebagai sebuah kawasan budaya, di mana penduduk dan masyarakatnya menganut budaya Minangkabau. Kawasan budaya Minangkabau mempunyai daerah yang luas. Batasan untuk kawasan budaya tidak dibatasi oleh batasan sebuah propinsi. Berarti kawasan budaya Minangkabau berbeda dengan kawasan administratif Sumatera Barat.

Minangkabau dipahamkan pula sebagai sebuah nama dari sebuah suku bangsa, suku Minangkabau. Mempunyai daerah sendiri, bahasa sendiri dan penduduk sendiri.

Minangkabau dipahamkan juga sebagai sebuah nama kerajaan masa lalu, Kerajaan Minangkabau yang berpusat di Pagaruyung. Sering disebut juga kerajaan Pagaruyung, yang mempunyai masa pemerintahan yang cukup lama, dan bahkan telah mengirim utusan-utusannya sampai ke negeri Cina. Banyaknya pengertian yang dikandung kata Minangkabau, maka tidak mungkin melihat Minangkabau dari satu pemahaman saja.

Membicarakan Minangkabau secara umum mendalami sebuah suku bangsa dengan latar belakang sejarah, adat, budaya, agama, dan segala aspek kehidupan masyarakatnya. Mengingat hal seperti itu, ada dua sumber yang dapat dijadikan rujukan dalam mengkaji Minangkabau, yaitu sumber dari sejarah dan sumber dari tambo. Kedua sumber ini sama penting, walaupun di sana sini, pada keduanya ditemui kelebihan dan kekurangan, namun dapat pula saling melengkapi.

Menelusuri sejarah tentang Minangkabau, sebagai satu cabang dari ilmu pengetahuan, maka mesti didasarkan bukti-bukti yang jelas dan otentik. Dapat berupa peninggalan-peninggalan masa lalu, prasasti-prasasti, batu tagak (menhir), batu bersurat, naskah-naskah dan catatan tertulis lainnya. Dalam hal ini, ternyata bukti sejarah lokal Minangkabau termasuk sedikit.

Banyak catatan dibuat oleh pemerintahan Hindia Belanda (Nederlandsche Indie), tentang Minaangkabau atau Sumatera West Kunde, yang amat memerlukan kejelian di dalam meneliti. Hal ini disebabkan, catatan-catatan dimaksud dibuat untuk kepentingan pemerintahan Belanda, atau keperluan dagang oleh Maatschappij Koningkliyke VOC.

Tambo atau uraian mengenai asal usul orang Minangkabau dan menerakan hukum-hukum adatnya, termasuk sumber yang mulai langka di wilayah Minangkabau sekarang. Sungguhpun, penelusuran tambo sulit untuk dicarikan rujukan seperti sejarah, namun apa yang disebut dalam tambo masih dapat dibuktikan ada dan bertemu di dalam kehidupan masyarakat Minangkabau.

Tambo diyakini oleh orang Minangkabau sebagai peninggalan orang-orang tua. Bagi orang Minangkabau, tambo dianggap sebagai sejarah kaum. Walaupun, di dalam catatan dan penulisan sejarah sangat diperhatikan penanggalan atau tarikh dari sebuah peristiwa, serta di mana kejadian, bagaimana terjadinya, bila masanya, dan siapa pelakunya, menjadikan penulisan sejarah otentik. Sementara tambo tidak terlalu mengutamakan penanggalan, akan tetapi menilik kepada peristiwanya. Tambo lebih bersifat sebuah kisah, sesuatu yang pernah terjadi dan berlaku.

Tentu saja, bila kita mempelajari tambo kemudian mencoba mencari rujukannya sebagaimana sejarah, kita akan mengalami kesulitan dan bahkan dapat membingungkan. Sebagai contoh; dalam tambo Minangkabau tidak ditemukan secara jelas nama Adhytiawarman, tetapi dalam sejarah nama itu adalah nama raja Minangkabau yang pertama berdasarkan bukti-bukti prasasti.

Dalam hal ini sebaiknya sikap kita tidak memihak, artinya kita tidak menyalahkan tambo atau sejarah. Sejarah adalah sesuatu yang dipercaya berdasarkan bukti-bukti yang ada, sedangkan tambo adalah sesuatu yang diyakini berdasarkan ajaran-ajaran yang terus diturunkan kepada anak kemenakan.

Minangkabau menurut sejarah

Banyak ahli telah meniliti dan menulis tentang sejarah Minangkabau, dengan pendapat, analisa dan pandangan yang berbeda. Tetapi pada umumnya mereka membagi beberapa periode kesejarahan; Minangkabau zaman sebelum Masehi, zaman Minangkabau Timur dan zaman kerajaan Pagaruyung. Seperti yang ditulis MD Mansur dkk dalam Sejarah Minangkabau, bahwa zaman sejarah Minangkabau pada zaman sebelum Masehi dan pada zaman Minangkabau Timur hanya dua persen saja yang punya nilai sejarah, selebihnya adalah mitologi, cerita-cerita yang diyakini sebagai tambo.

Prof Slamet Mulyana dalam Kuntala, Swarnabhumi dan Sriwijaya mengatakan bahwa kerajaan Minangkabau itu sudah ada sejak abad pertama Masehi.

Kerajaan itu muncul silih berganti dengan nama yang berbeda-beda. Pada mulanya muncul kerjaan Kuntala dengan lokasi sekitar daerah Jambi pedalaman. Kerajaan ini hidup sampai abad ke empat. Kerajaan ini kemudian berganti dengan kerajaan Swarnabhumi pada abad ke lima sampai ke tujuh sebagai kelanjutan kerajaan sebelumnya. Setelah itu berganti dengan kerajaan Sriwijaya abad ke tujuh sampai 14.

Mengenai lokasi kerajaan ini belum terdapat kesamaan pendapat para ahli. Ada yang mengatakan sekitar Palembang sekarang, tetapi ada juga yang mengatakan antara Batang Batang Hari dan Batang Kampar. Candi Muara Takus merupakan peninggalan kerajaan Kuntala yang kemudian diperbaiki dan diperluas sampai masa kerajaan Sriwijaya. Setelah itu muncul kerajaan Malayapura (kerajaan Melayu) di daerah yang bernama Darmasyraya (daerah Sitiung dan sekitarnya sekarang). Kerajaan ini merupakan kelanjutan dari kerajaan Sriwijaya. Kerajaan ini kemudian dipindahkan oleh Adhytiawarman ke Pagaruyung. Sejak itulah kerajaan itu dikenal dengan kerajaan Pagaruyung.

Menurut Jean Drakar dari Monash University Australia mengatakan bahwa kerajaan Pagaruyung adalah kerajaan yang besar, setaraf dengan kerajaan Mataram dan kerajaan Melaka. Itu dibuktikannya dengan banyaknya negeri-negeri di Nusantara ini yang meminta raja ke Pagaruyung, seperti Deli, Siak, Negeri Sembilan dan negeri-negeri lainnya.

Minangkabau menurut tambo

Dalam bentuk lain, tambo menjelaskan pula tentang asal muasal orang Minangkabau. Tambo adalah satu-satunya keterangan mengenai sejarah Minangkabau. Bagi masyarakat Minangkabau, tambo mempunyai arti penting, karena di dalamtambo terdapat dua hal; (1) Tambo alam, suatu kisah yang menerangkan asal usul orang Minangkabau semenjak raja pertama datang sampai kepada masa kejayaan kerajaan Pagaruyung. (2) Tambo adat, uraian tentang hukum-hukum adat Minangkabau. Dari sumber inilah hukum-hukum, aturan-aturan adat, dan juga berawalnya sistem matrilineal dikembangkan.

Di dalam Tambo alam diterangkan bahwa raja pertama yang datang ke Minangkabau bernama Suri Maharajo Dirajo. Anak bungsu dari Iskandar Zulkarnain. Sedangkan dua saudaranya, Sultan Maharaja Alif menjadi raja di benua Rum dan Sultan Maharajo Dipang menjadi raja di benua Cina. Secara tersirat tambo telah menempatkan kerajaan Minangkabau setaraf dengan kerajaan di benua Eropa dan Cina. Suri Maharajo Dirajo datang ke Minangkabau ini, di dalam Tambo disebut pulau paco lengkap dengan pengiring yang yang disebut; Kucing Siam, Harimau Campo, Anjiang Mualim, Kambiang Hutan.

Masing-masing nama itu kemudian dijadikan “lambang” dari setiap luhak di Minangkabau. Kucing Siam untuk lambang luhak Tanah Data, Harimau Campo untuk lambang luhak Agam dan Kambiang hutan untuk lambang luhak Limo Puluah. Suri Maharajo Dirajo mempunya seorang penasehat ahli yang bernama Cati Bilang Pandai.

Suri Maharajo Dirajo meninggalkan seorang putra bernama Sutan Maharajo Basa yang kemudian dikenal dengan Datuk Katumanggungan pendiri sistem kelarasan Koto Piliang. Puti Indo Jalito, isteri Suri Maharajo Dirajo sepeninggalnya kawin dengan Cati Bilang Pandai dan melahirkan tiga orang anak, Sutan Balun, Sutan Bakilap Alam dan Puti Jamilan. Sutan Balun kemudian dikenal dengan gelar Datuk Perpatih Nan Sabatang pendiri kelarasan Bodi Caniago.

Datuk Katumanggungan meneruskan pemerintahannya berpusat di Pariangan Padang Panjang kemudian mengalihkannya ke Bungo Sitangkai di Sungai Tarab sekarang, dan menguasai daerah sampai ke Bukit Batu Patah dan terus ke Pagaruyung.

Maka urutan kerajaan di dalam Tambo Alam Minangkabau adalah;

(1) Kerajaan Pasumayan Koto Batu,

(2) Kerajaan Pariangan Padang Panjang

(3) Kerajaan Dusun Tuo yang dibangun oleh Datuk Perpatih Nan Sabatang

(4) Kerajaan Bungo Sitangkai

(5) Kerajaan Bukit Batu Patah dan terakhir

(6) Kerajaan Pagaruyung.

Menurut Tambo Minangkabau, kerajaan yang satu adalah kelanjutan dari kerajaan sebelumnya. Karena itu, setelah adanya kerajaan Pagaruyung, semuanya melebur diri menjadi kawasan kerajaan Pagaruyung.

Kerajaan Dusun Tuo yang didirikan oleh Datuk Perpatih Nan Sabatang, karena terjadi perselisihan paham antara Datuk Ketumanggungan dengan Datuk Perpatih nan Sabatang, maka kerajaan itu tidak diteruskan, sehingga hanya ada satu kerajaan saja yaitu kerajaan Pagaruyung. Perbedaan paham antara kedua kakak beradik satu ibu ini yang menjadikan sistem pemerintahan dan kemasyarakatan Minangkabau dibagi atas dua kelarasan, Koto Piliang dan Bodi Caniago.

Dari uraian tambo dapat dilihat, bahwa awal dari sistem matrilineal telah dimulai sejak awal, yaitu dari “induknya” Puti Indo Jalito. Dari Puti Indo Jalito inilah yang melahirkan Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sabatang. Namun, apa yang diuraikan setiap tambo punya berbagai variasi, karena setiap nagari punya tambo.

Dr. Edward Jamaris yang membuat disertasinya tentang tambo, sangat sulit menenyukan pilihan. Untuyk keperluan itu, dia harus memilih salah satu tambo dari 64 buah tambo yang diselidikinya. Namun pada umumnya tambo menguraikan tentang asal usul orang Minangkabau sampai terbentuknya kerajaan Pagaruyung.

Asal kata Minangkabau

Kata Minangkabau mempunyai banyak arti. Merujuk kepada penelitian kesejarahan, beberapa ilmuan telah mengemukakan pendapatnya tentang asal kata Minangkabau.

a. Purbacaraka (dalam buku Riwayat Indonesia I) Minangkabau berasal dari kata Minanga Kabawa atau Minanga Tamwan yang maksudnya adalah daerah-daerah disekitar pertemuan dua sungai; Kampar Kiri dan Kampar Kanan. Hal ini dikaitkannya dengan adanya candi Muara Takus yang didirikan abad ke 12.

b. Van der Tuuk mengatakan kata Minangkabau berasal dari kata Phinang Khabu yang artinya tanah asal.

c. Sutan Mhd Zain mengatakan kata Minangkabau berasal dari Binanga Kamvar maksudnya muara Batang Kampar.

d. M.Hussein Naimar mengatakan kata Minangkabau berasal dari kata Menon Khabu yang artinya tanah pangkal, tanah yang mulya.

e. Slamet Mulyana mengatakan kata Minangkabau berasal dari kata Minang Kabau. Artinya, daerah-daerah yang berada disekitar pinggiran sungai-sungai yang ditumbuhi batang kabau (jengkol).

Dari berbagai pendapat itu dapat disimpulkan bahwa Minangkabau itu adalah suatu wilayah yang berada di sekitar muara sungai yang didiami oleh orang Minangkabau.

Namun dari Tambo, kata Minangkabau berasal dari kata Manang Kabau. Menang dalam adu kerbau antara kerbau yang dibawa oleh tentara Majapahit dari Jawa dengan kerbau orang Minang.

Wilayah asal Minangkabau

Membicarakan tentang wilayah Minangkabau, seperti yang dijelaskan di atas, harus dilihat dalam dua pengertian yang masing-masingnya berbeda;

1. Pengertian budaya

2. Pengertian geografis

Dalam pengertian budaya, wilayah Minangkabau itu itu adalah suatu wilayah yang didukung oleh suatu masyarakat yang kompleks, yang bersatu bersamaan persamaan asal usul, adat, dan falsafah hidup.

Menurut tambo, wilayah Minangkabau disebutkan saedaran gunuang Marapi, salareh batang Bangkaweh, sajak Sikilang Aie Bangih, lalu ka gunuang Mahalintang, sampai ka Rokan Pandalian, sajak di Pintu Rayo Hilie, sampai Si Alang Balantak Basi, sajak Durian Ditakuak Rajo, lalu ka Taratak Aie Hitam, sampai ka Ombak Nan Badabua.

Mengenai batas-batas yang disebutkan di atas, berbagai penafsiran terjadi. Ada yang mengatakan bahwa batas-batas itu adalah simbol-simbol saja tetapi wilayah itu tidak ada yang jelas dan tepat, tetapi ada juga yang berpendapat bahwa batas-batas itu adalah benar dan nagari-nagari yang disebutkan itu ada sampai sekarang. Dalam hal ini tentu kita tidak perlu melihat perbedaan-perbedaan pendapat tersebut, karena kedua-dua pendapat itu ada benarnya.

Dalam pengertian geografis, wilayah Minangkabau terbagi atas wilayah inti yang disebut darek dan wilayah perkembangannya yang disebut rantau dan pesisir.

a. Darek

Daerah dataran tinggi di antara pegunungan Bukit Barisan; di sekitar gunung Singgalan, sekitar gunung Tandikek, sekitar gunung Merapi dan sekitar gunung Sago. Daerah darek ini dibagi dalam tiga luhak; (1) Luhak Tanah Data sebagai luhak nan tuo, buminyo nyaman, aienyo janiah ikannyo banyak, (2) Luhak Agam sebagai luhak nan tangah, buminyo anegk, aienyo karuah, ikannyo lia, (3) dan Luhak Limo Puluah Koto sebagai luhak nan bongsu, buminyo sajuak, aienyo janiah, ikannyo jinak.

Nagari-nagari yang termasuk ke dalam luhak Tanah Data adalah; Pagaruyung, Sungai tarab, Limo Kaum, Sungayang, Saruaso, Sumanik, Padang Gantiang, Batusangka, Batipuh 10 koto, Lintau Buo, Sumpur Kuduih, Duo puluah koto, Koto Nan Sambilan, Kubuang Tigobaleh, Koto Tujuah, Supayang, Alahan Panjang, Ranah Sungai Pagu.

Nagari-nagari yang termasuk ke dalam luhak Agam adalah; Agam tuo, Tujuah lurah salapan koto, Maninjau, Lawang, Matua, Ampek Koto, Anam Koto, Bonjol, Kumpulan, Suliki.

Nagari-nagari yang termasuk ke dalam luhak Limo Puluah Koto adalah; luhak terdiri dari Buaiyan Sungai Balantik, Sarik Jambu Ijuak, Koto Tangah, Batuhampa, Durian gadang, Limbukan, Padang Karambie, Sicincin, Aur Kuniang, Tiakar, Payobasuang, Bukik Limbuku, Batu Balang Payokumbuah, Koto Nan Gadang (dari Simalanggang sampai Taram); ranah terdiri dari Gantiang, Koto Laweh, Sungai Rimbang, Tiakar, Balai Mansiro, Taeh Simalanggang, Piobang, Sungai Baringin, Gurun, Lubuk Batingkok, Tarantang, Selo Padang Laweh (Sajak dari Simalanggang sampai tebing Tinggi, Mungkar); lareh terdiri dari Gaduik, Tebing Tinggi, Sitanang, Muaro Lakin, Halaban, Ampalu, Surau, Labuah Gurun ( dari taram taruih ka Pauh Tinggi, Luhak 50, taruih ka Kuok, Bangkinang, Salo, Aie Tirih dan Rumbio)

b. Rantau.

Daerah pantai timur Sumatera. Ke utara luhak Agam; Pasaman, Lubuk Sikaping dan Rao. Ke selatan dan tenggara luhak Tanah Data; Solok Silayo, Muaro Paneh, Alahan Panjang, Muaro Labuah, Alam Surambi Sungai Pagu, Sawah lunto Sijunjung, sampai perbatasan Riau dan Jambi. Daerah ini disebut sebagai ikue rantau.

Kemudian rantau sepanjang iliran sungai sungai besar; Rokan, Siak, Tapung, Kampar, Kuantan/Indragiri dan Batang Hari. Daerah ini disebut Minangkabau Timur yang terdiri dari;

a) Rantau 12 koto (sepanjang Batang Sangir); Nagari Cati nan Batigo (sepanjang Batang Hari sampai ke Batas Jambi), Siguntue (Sungai Dareh), Sitiuang, Koto Basa.

b) Rantau Nan Kurang Aso Duopuluah (rantau Kuantan)

c) Rantau Bandaro nan 44 (sekitar Sungai Tapuang dengan Batang Kampar)

d) Rantau Juduhan (rantau Y.D.Rajo Bungsu anak Rajo Pagaruyung; Koto Ubi, Koto Ilalang, Batu Tabaka)

e) NegeriSembilan

c. Pesisir

Daerah sepanjang pantai barat Sumatera. Dari utara ke selatan; Meulaboh, Tapak Tuan, Singkil, Sibolga, Sikilang, Aie Bangih, Tiku, Pariaman, Padang, Bandar Sapuluah, terdiri dari; Air Haji, Balai Salasa, Sungai Tunu, Punggasan, Lakitan, Kambang, Ampiang Parak, Surantiah, Batang kapeh, Painan (Bungo Pasang), seterusnya Bayang nan Tujuah, Indrapura,Kerinci,Muko-muko,Bengkulu.

Membangkitkan Kembali Kesadaran Kolektif Akan Nilai dan Norma Dasar Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah Untuk Membangun Manusia dan Masyarakat Minangkabau Yang Unggul Dan Tercerahkan (Bagian kedua)

Krisis Budaya Minangkabau Merupakan Miniatur

Dari Krisis Peradaban Manusia Abad

Oleh : H. Mas’oed Abidin


Buya Masoed Abidin

Buya Masoed Abidin

Budaya Minangkabau memang mengalami krisis, karena lebih dari setengah abad terakhir ini tidak melahirkan tokoh-tokoh yang memiliki peran sentral di dalam berbagai segi kehidupan di tataran nasional apatah lagi di tataran kawasan dan tataran global. Budaya Minangkabau selama setengah abad terakhir ini gagal membentuk lingkungan sosial ekonomi yang subur bagi persemaian manusia serta masyarakat unggul dan tercerahkan.

Dalam satu sudut pandang, krisis budaya Minangkabau menggambarkan krisis yang dihadapi Ummat Manusia pada Alaf atau Millennium ke Tiga ini. Salah satu isu yang menjadi kehebohan Dunia akhir-akhir ini adalah isu Perubahan Iklim (“Climate Change”).

Perubahan Iklim telah dirasakan sebagai ancaman serius bagi keberlanjutan keberadaan Umat Manusia di bumi yang hanya satu ini. Perubahan iklim disebabkan oleh berbagai kegiatan manusia yang memengaruhi lingkungan sedemikian rupa sehingga mengurangi daya-dukungya sebagai tempat hidup dan sumber kehidupan manusia.

Kemajuan ilmu yang dapat dianggap sebagai “Peta Alam Terkembang” telah menambah pemahaman manusia akan bagaimana bekerjanya alam semesta ini, sehingga “manusia mampu menguasai alam”.

Penerapan ilmu dalam berbagai teknologi telah meningkatkan kemampuan manusia untuk memanfaatkan alam sesuai berbagai keinginan manusia. Terjadinya Perubahan Iklim menunjukkan bahwa “penguasaan manusia terhadap alam lingkungan” telah menyebabkan perubahan yang tidak dapat balik (“irreversible”) terhadap alam itu sendiri. Dan ternyata, Perubahan Iklim sangat mungkin mengancam keberadaan manusia di muka bumi ini.

Dari sisi kemanusiaan, ada beberapa kemungkinan penyebab. Kemungkinan pertama, Ilmu sebagai Peta Alam Terkembang ternyata tidak sama dengan Realitas Di Alam Nyata. Artinya ada “batas Ilmu”, yaitu wilayah di mana “ignora mus et ignozabi mus”, kita manusia tidak tahu, dan tidak akan pernah tahu atau memiliki ilmu tentang itu.

Kemungkinan kedua, para ilmuwan telah “lebih dahulu memahami apa yang bakal terjadi”, namun tidak memiliki ilmu yang dapat diterapkan untuk merubah perilaku manusia dan masyarakat. Jadi, Peta Ilmuwan tentang Manusia dan Masyarakat tidak sama dengan Realitas Di Dalam Diri Manusia Dan Masyarakat. Singkat kata, apa yang ada dalam benak manusia moderen (baik ilmu maupun isme-isme) yang menjadi kesadaran kolektif yang secara keseluruhan membentuk Pandangan Dunia dan Pandang Hidup (PDPH), ternyata tidak sama sebangun dengan Realitas.

Ketika PDHP itu menjadi acuan perilaku serta kegiatan perorangan dan bersama-sama, tentu saja dan pasti telah membawa kepada bencana, antara lain, berupa Perubahan Iklim yang kemungkinan besar tidak dapat balik itu.

Manusia moderen sangat berbangga dengan berbagai isme-isme yang dikembangkannya serta meyakini kebenarannya di dalam memahami manusia serta mengatur kehidupan bersama di dalam masyarakat. Kapitalisme, liberalisme dan isme-isme lain telah menjadi semacam berhala yang dipuja serta diterapkan dalam kehidupan masyarakat di kebanyakan belahan Dunia. Hasil penerapan isme-isme itulah yang sekarang memicu berbagai krisis global di Millennium atau Alaf Ketiga ini.

Jika kita merujuk kepada Kitabullah, yaitu Al-Qur’an, kita akan menemukan gejala dan sebab-sebab dari Perubahan Iklim yang mendera Umat Manusia. Salah satu ayat Al-Qur’an menyatakan, “…..Telah menyebar kerusakan di muka bumi akibat ulah manusia”.

Perilaku manusia-lah penyebab semua kerusakan itu. Penyebab perilaku merusak manusia ialah penerapan isme-isme yang ternyata tidak memiliki hubungan satu-satu dengan kenyataan di alam semesta termasuk di dalam diri manusia dan masyarakat.

Kitabullah yang menjadi landasan dari syarak mangato adat memakai, menjelaskan tentang penghormatan terhadap perbedaan itu,

يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berkabilah-kabilah (bangsa-bangsa)dan berpuak-puak (suku-suku) supaya kamu saling kenal mengenal …”, (QS.49, al Hujurat : 13).

Apabila anak nagari di biarkan terlena dengan apa yang dibuat orang lain, dan lupa membenah diri dan kekuatan ijtima’i (kebersamaan), tentulah umat ini akan di jadikan jarum kelindan oleh orang lain di dalam satu pertarungan gazwul fikri. “Pariangan manjadi tampuak tangkai, Pagarruyuang pusek Tanah Data, Tigo Luhak rang mangatokan. Adat jo syarak jiko bacarai, bakeh bagantuang nan lah sakah, tampek bapijak nan lah taban”.

Apabila kedua sarana ini berperan sempurna, maka di kelilingnya tampil kehidupan masyarakat yang berakhlaq perangai terpuji dan mulia (akhlaqul-karimah) itu. “Tasindorong jajak manurun, tatukiak jajak mandaki, adaik jo syarak kok tasusun, bumi sanang padi manjadi”.

Kekuatan tamaddun dan tadhamun (budaya) dari syarak (Islam) menjadi rujukan pemikiran, pola tindakan masyarakat berbudaya yang terbimbing dengan sikap tauhid (aqidah kokoh), kesabaran (teguh sikap jiwa) yang konsisten, keikhlasan (motivasi amal ikhtiar), tawakkal (penyerahan diri secara bulat) kepada kekuasaan Allah yang jadi ciri utama (sibghah, identitas) iman dan takwa secara nyata yang memiliki relevansi diperlukan setiap masa, dalam menata sisi-sisi kehidupan kini dan masa depan.

Suatu individu atau kelompok masyarakat yang kehilangan pegangan hidup (aqidah dan adat), walau secara lahiriyah kaya materi namun miskin mental spiritual, akan terperosok kedalam tingkah laku yang menghancurkan nilai fithrah itu. Salah satu ayat dalam Al-Qur’an Surat 12, Yusuf , Ayat 40, sebagai berikut ;


Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun tentang nama-nama itu. Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS 12, Yusuf : 40).

Manusia memiliki kemampuan terbatas untuk menguji kesebangunan antara apa yang ada dalam pikirannya dengan apa yang sesungguhnya ada dalam Realitas. Isme-isme itu serta keyakinan berlebihan akan keampuhan hasil pemikiran manusia hanyalah sekadar ” nama-nama yang dibuat-buat saja” atau sama dengan khayalan manusia saja. Dan, disebutkan dalam Al-Quran bahwa jenis manusia yang demikian telah “mempertuhan diri dan hawa nafsunya”.

“ Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran? “ (QS.45, Al Jatsiah : 23).

“ …. dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun. sesung- guhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. ” (QS.28 : 50)

Dengan keterbatasan itu bagaimana manusia mungkin meneruka jalan keselamatan di alam semesta, paling tidak dalam menjalani kehidupan di Dunia ini.

Keutusan Rasul SAW dengan membawa Kitab Suci, yang paling terakhir Al Qur’an, adalah Peta Realitas serta Petunjuk dan Pedoman Hidup Bagi Manusia Dan Penjabaran Rinci Dan Jelas Dari Pedoman Serta Tolok Ukur Kebenaran dalam menjalani hidup di bumi yang fana ini.

Simpulannya, krisis global yang dihadapi manusia moderen disebabkan karena kebanyakan mereka mempercayai apa yang tidak layak diyakini berupa isme-isme, karena kebanyakanmya telah menjauh dari agama langit, bahkan dari konsep-konsep agama itu sendiri, dalam pikiran apalagi dalam perbuatan dan kegiatan mereka.

Jika dikaitkan dengan kondisi dan situasi masyarakat Minangkabau di abad ke 21 ini, mungkin telah ada jarak yang cukup jauh antara ABS-SBK sebagai konsep PDPH (Pandangan Dunia dan Pandangan Hidup) dengan kenyataan kehidupan sehari-hari.

Asumsi atau dugaan ini menjadi penjelas serta alasan kenapa budaya Minangkabau selama setengah abad terakhir ini gagal membentuk lingkungan sosial ekonomi yang subur bagi persemaian manusia serta masyarakat unggul dan tercerahkan

Masyarakat Unggul dan Tercerahkan

Mampu Mencetak SDM Unggul

Yang Tercerahkan Yaitu Para Ulul Albaab.

Siapakah manusia unggul yang tercerahkan itu. Barangkali konsep yang menyamai serta t digali dari Al-Qur’an adalah para “Ulul Albaab”. Dalam Surat Ali Imran, Surat ke 3, Ayat 190 s/d 194, disebutkan sebagai berikut ; Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,(3:190).(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.(3:191).Ya Tuhan kami, sesungguhnya barangsiapa yang Engkau masukkan ke dalam neraka, maka sungguh telah Engkau hinakan ia, dan tidak ada seorang penolong pun bagi orang-orang yang zalim.(3:192).Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman, (yaitu): “Berimanlah kamu kepada Tuhanmu”, maka kamipun beriman. Ya Tuhan kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang banyak berbakti.(3:193)Ya Tuhan kami, berilah kami apa yang telah Engkau janjikan kepada kami dengan perantaraan rasul-rasul Engkau. Dan janganlah Engkau hinakan kami di hari kiamat. Sesungguhnya Engkau tidak menyalahi janji.”(3:194)

Bagi para “uluul albaab” seluruh gejala di alam semesta ini merupakan tanda-tanda. Tanda-tanda merupakan sesuatu yang merujuk kepada yang lain di luar dirinya. Menjadikan gejala sebagai tanda berarti membuat makna yang berada disebalik tanda itu. Proses menjawab pertanyaan itu disebut berpikir yang terarah. Hasil berpikir adalah pikiran tentang sebagian dari kenyataan. Dengan perkataan berpikir akan menghasilkan semacam “peta bagian kenyataan” yang dipikirkan.

Hikmah yang dikandung Al-Qur’an hanya dipahami oleh “ulul albaab” yaitu mereka yang mau berpikir dan merenungkan secara meluas, mendalam tentang apa yang perlu dan patut dipahami dengan maksud agar mengerucut kepada beberapa simpulan kunci.

Para “ulul albaab” adalah mereka yang unggul dan tercerahkan, yang di dalam dirinya zikir dan fikir menyatu. Zikir disini bukan sekadar mengingat Allah s.w.t dengan segala Asmaul-Husna-Nya, tapi harus dipahami lebih luas sebagai hidup dengan penuh kesadaran akan keberadaan Allah s.w.t dengan segenap aspek hubungan-Nya dengan manusia dan segenap makhluk Ciptaan-Nya. Fikir berarti membuat Peta Kenyataan sesuai dengan Petunjuk dan Ajaran Allah s.w.t. sebagaimana diurai-jelaskan oleh Al-Qur’an serta ditafsirkan dan diterapkan oleh Rasullullah lewat Sunnahnya sebagai Teladan Utama (Uswatun Hasanah).

Simpulannya, penerapan ABS-SBK mengharuskan kehidupan perorangan serta pergaulan masyarakat Minangkabau berakar dari dan berpedoman kepada Al-Quran serta Sunnah Rasullullah.

Hanya dengan demikianlah, ABS-SBK dapat membentuk lingkungan sosial-budaya yang akan mampu menghasilkan manusia dan masyarakat Minangkabau yang unggul dan tercerahkan yang berintikan para “ulul albaab” sebagai tokoh dan pimpinan masyarakat. Manusia seperti itulah barangkali yang dimaksudkan oleh Kato Pusako “Nan Pandai Manapiak Mato Padang, Nan Indak Takuik Manantang Matoari, Nan Dapek Malawan Dunia Urang, Sarato Di Akhiraik Beko Masuak Sarugo“.

Tugas kembali kembali bernagari adalah menggali potensi dan asset nagari yang terdiri dari budaya, harta, manusia, dan agama anutan anak nagari. Apabila tidak digali, akan mendatangkan kesengsaraan baru bagi masyarakat nagari. Dimulai dengan memanggil potensi yang ada dalam unsur manusia, masyarakat nagari. Gali kesadaran akan benih-benih kekuatan yang ada dalam diri masing-masing. Kemudian observasinya dipertajam, daya pikirnya ditingkatkan, daya geraknya didinamiskan , daya ciptanya diperhalus, daya kemauannya dibangkitkan. Upaya ini akan berhasil dengan menumbuhkan atau mengembalikan kepercayaan kepada diri sendiri.

Kekuatan moral yang dimiliki, ialah menanamkan “nawaitu” dalam diri masing-masing, untuk membina umat dalam masyarakat di nagari harus mengetahui kekuatan-kekuatan yang dipunyai.

Latiak-latiak tabang ka Pinang, Hinggok di Pinang duo-duo,

Satitiak aie dalam piriang, Sinan bamain ikan rayo”.

Maka “Kembali bernagari “,mesti lebih dititik beratkan kepada kembali banagari dalam makna kebersamaan dan mengenali alam keliling.

Panggiriak pisau sirauik, Patungkek batang lintabuang, Satitiak jadikan lauik, Sakapa jadikan gunuang, Alam takambang jadikan guru [1].

Melaksanakan ABSSBK adalah dengan melahirkan sikap cinta ke nagari, yang telah menjadi perekat pengalaman sejarah. Menumbuhkan sikap positif menjaga batas-batas patut dan pantas.

Membentuk umat utama yang kuat dengan sehat fisik, sehat jiwa, sehat pemikiran, dan sehat social, ekonomi, pendidikan mengambil bentuk pemikiran konstruktif (amar makruf). Menjauhi pemikiran destruktif (nahyun ‘anil munkar) menurut tata cara hidup yang diajarkan agama Islam (syarak).

Membuat masyarakat Minang yang mampu berdikari membantu diri sendiri (self help), membantu dengan ikhlas karena Allah SWT (selfless help), dan saling bekerjasama membantu satu sama lain (mutual help).

Menguatkan sikap tabayun di tengah masyarakat Minangkabau dalam menerima berita mesti selalu dipakai, agar tidak silap menetapkan amar putusan yang menyisakan penyesalan. Maka meninggalkan tabayun memancing lahirnya tindakan zalim atau aniaya.

Sesuai Firman Allah, Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu (QS. al-Hujurat : 6).

Perbuatan ‘aku‑isme” atau “ananiyah” akan menyuburkan tafarruq dan tanazu’, maka perlu diajarkan cara-cara pembinaan hidup bermasyarakat itu.

Khulasah,

membangun masyarakat minangkabau masa datang

Filsul dan pemikir yang merenda Adat Minangkabau telah mengakui dan memahami keberadaan Nan Bana, Nan Badiri Sandirinyo. Nan Bana, Nan Badiri Sandirinyo termasuk Alam Terkembang yang menjadi Guru. Dari pemahaman bagaimana Alam Terkembang bekerja, termasuk di dalam diri manusia dan masyarakatnya, direndalah Adat Minangkabau. Konsep dasar Adat Minangkabau (Adat Nan Sabana Adat) kemudian menjadi kesadaran kolektif berupa Pandangan Dunia dan Pandangan Hidup (PDPH) manusia dan masyarakat Minangkabau. Di samping itu, pengaruh kepercayaan lama serta Hindu dan Budha telah mewarnai tata-cara dan praktek penyembahan yang kita belum memiliki catatan yang lengkap tentang itu.

Konsep dasar PDPH (Adat Nan Sabana Adat) itu diungkapkan lewat Bahasa, terutama Bahasa Lisan (Sesungguhnya Minangkabau pernah memiliki tulisan berupa adaptasi dari Huruf Pallawa dari India (pengaruh agama Hindu/Budha). Keseluruhan pepatah, petatah petitih, mamang, bidal, pantun yang berisikan gagasan-gagasan bijak itu dikenal sebagai Kato Pusako. Kato Pusako itu yang kemudian dilestarikan secara formal lewat pidato-pidato Adat dalam berbagai upacara Adat. Sastera Lisan juga merekam Kato Pusako dala kemasan cerita-cerita rakyat, seperti Cindua Mato, dll.

PDPH Masyarakat Minangkabau juga diungkapkan seni musik (saluang, rabab), seni pertunjukan (randai), seni tari (tari piriang), dan seni bela diri (silek dan galombang). Benda-benda budaya (karih, pakaian pangulu, mawara dll), bangunan (rumah bagonjong) serta artefak lain-lain mengungkapkan wakil fisik dari konsep PDPH Adat Minangkabau. sehingga masing-masing menjadi lambang dengan berbagai makna.

Konsep PDPH yang merupakan inti Adat Minangkabau (Adat Nan Sabana Adat) memengaurhi sikap umum dan tata-cara pergaulan, yang lebih dikenal sebagai Adat nan Diadatkan dan Adat nan Taradat.

Peristiwa yang menghasilkan Piagam Sumpah Satie Bukik Marapalam telah merubah konstruksi gagasan dasar dan penerapannya dalam Adat Minangkabau. Tampaknya dahulu itu tekah terjadi asimilasi (atau pemesraan) yang cukup padu antara Islam dengan Kitabullah serta Adat Nan Sabana Adat (Konsep Dasar Adat sebagai PDPH) yang selanjutnya memengaruhi Adat Nan Taradat dan Adat Istiadat.

ABS-SBK sekarang menjadi konsep dasar Adat (Adat Nan Sabana Adat) diungkapkan, antara lain lewat Bahasa, yang direkam sebagai Kato Pusako. ABS SBK memengaruhi sikap umum dan tata-cara pergaulan masyarakat.

Di dalam menghadapi tantangan kontemporer yang sedang menjajah hati budi umat khusus di Minangkabau (Sumatra Barat), dapat dilakukan dengan berapa agenda kerja, antara lain ;

1. Mengokohkan pegangan generasi Minangkabau dengan keyakinan dasar Islam sebagai suatu cara hidup yang komprehensif.

2. Menyebarkan budaya wahyu di atas kemampuan akal.

Ø Memperbanyak program meningkatkan hubungan umat dengan pengamalan Alquran.

Ø Melipatgandakan pengaruh sunnah Rasulullah dalam kehidupam masyarakat Minangkabau.

Ø Meningkatkan pengetahuan umat mengenai sirah Rasulullah SAW, dengan menggiatkan gerakan dakwah kultural di Ranah Minang.

Ø Menyuburkan amalan ruhaniah yang positif dan proaktif membangun masyarakat dengan bekalan tauhid ibadah yang shahih.

3. Memperluas penyampaian fiqh Islam dalam aspek-aspek sosio politik, ekonomi, komunikasi, pendidikan dan lain-lain.

4. Menghidupkan semangat jihad di jalan Allah.

Ø Menggali sejarah kejayaan Minangkabau masa silam untuk menjadi pendorong kemajuan masa datang.

Ø Menanam semangat kepahlawanan menghadapi musuh-musuh budaya Minangkabau yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.

Ø Menyebarluaskan pemahaman kepada masyarakat Minangkabau tentang bahaya sekularis, materialisme, kapitalisme dan budaya kebarat-baratan.

Ø Menentang aliran pemurtadan terhadap budaya Minangkabau yang menjauhkan dari ajaran ABSSBK.

5. Meningkatkan program menguatkan peran bundo kanduang yang telah membentuk sejarah gemilang di zaman silam di ranah bundo.

6. Menampilkan sistem pendidikan akhlak Islami melawan aliran pendidikan sekular.

Ø Menjauhi budaya pornografi dan pornoaksi.

Ø Menggandakan usaha melahirkan penulis-penulis Minangkabau yang dijiwai ajaran Islam sebagai realisasi syarak mangato adaik mamakai, dalam berbagai lapangan media.

7. Menggandakan bilangan ulama suluah bendang di nagari.

8. Melahirkan pendakwah pembangunan nagari dan adat budaya Minangkabau yang sesuai dengan Islam, sebagai implementasi dari ABSSBK di nagari-nagari.

9. Penting sekali dilakukan usaha pembentukan imam khatib, para mu’allim dan tuangku di nagari-nagari pada saat kembali menerapkan ABSSBK di tengah kehidupan masyarakat Minangkabau..

Ø Memberikan bekal yang cukup melalui pelatihan dan pembekalan ilmu yang memadai.

Ø Membuatkan anggaran belanja yang memadai di daerah-daerah menjadi sangat penting di dalam mendukung satu usaha yang wajib.

Ø Meningkatkan keselarasan, kesatuan, kematangan dan keupayaan haraki Islami.

10. Menjalin dan membuat kekuatan bersama untuk menghambat gerakan-gerakan yang merusak agama Islam.

Ø Mengukuhkan pergerakan masyarakat Minangkabau dalam memerangi semangat anti agama, anti keadilan, dan demokrasi.

Ø Meningkatkan budaya syura dalam masyarakat, untuk mengelak dari cara-cara imperialisme masuk kedalam masyarakat di era kebebasan.

Ø Meningkatkan kesadaran dan keinsafan tentang hak asasi manusia, hak-hak sipil (madani) dan politik untuk seluruh rakyat.

Ø Meningkatkan keinsafan mempunyai undang-undang yang adil sesuai syarak.

Ø Memastikan kehadiran media massa yang bebas, sadar, amanah, beretika dan profesional agar umat tidak mudah dimangsa oleh penjajah baru, baik dari kalangan bangsa sendiri atau orang luar.

Ø Memastikan pemimpin bangsa, negara dan nagari terdiri dari kalangan orang yang bertaqwa, berakhlak dan bersih dari penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan diri, keluarga dan kelompoknya.

11. Menimbulkan keinsafan mendalam di kalangan masyarakat Minangkabau tentang perlunya penghakiman yang adil sesuai tuntutan syarak dalam agama Islam.

12. Meningkatkan program untuk melahirkan masyarakat Minangkabau yang penyayang, saling menghargai, menghormati sesama, dan tidak aniaya satu sama lain. Menanamkan tata kehidupan saling kasih mengasihi dan beradab sopan sesuai adat basandi syarak syarak basandi Kitabullah di Minangkabau.

Generasi Minangkabau, mesti meniru kehidupan lebah, yang kuat persaudaraannya, kokoh organisasinya, berinduk dengan baik, terbang bersama membina sarang, dan baik hasil usahanya serta dapat dinikmati oleh lingkungannya.

Barangkali langkah yang perlu kita lalui adalah:

1) Kompilasi

2) Kategorisasi

3) Kajian:

1. Tema

2. Aspek kehidupan perorangan

3. Aspek-aspek kehidupan masyarakat

4. Simpulan: Pandangan Dunia dan Pandangan Hidup Dasar Masyarakat

(Bagaimana Adat Minangkabau menyatu-padukan aplikasinya dengan Kitabullah atau bagaimana Islam diamalkan dalam konteks budaya Minangkabau)

Wassalamu ‘alaikum Wa Rahmatullahi Wa barakatuh,

Disampaikan sebagai bahan pengantar filosofi dalam Kompilasi ABSSBK di Genta Budaya 7 April 2008.

Daftar Pustaka

1. Al Quranul Karim,

2. Al-Ghazali, Majmu’ Al-Rasail, Beirut, Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1986,

3. Al-Falimbangi, ‘Abd al-Samad, Siyarus-Salikin,

4. Ibn ‘Ajibah, Iqaz al-Himam,

5. Lu’Lu’wa al-Marjan, hadist-hadis riwayat Bukhari, Muslim, Tarmizi dan Nasa^i.

6. Sa’id Hawa, Tarbiyatuna Al-Ruhiyah,

7. Sahih al-Bukhari, Kitab al-Da’awat,

8. Sorokin, Pitirim, “The Basic Trends of Our Time”, New Haven, College & University Press, 1964, hal.17-18.


[1] Alam ini tidak diciptakan dengan sia-sia. Di dalamnya terkandung faedah kekuatan, dan khasiat yang diperlukan untuk mempertinggi mutu hidup jasmani manusia dengan bekerja membanting tulang dan memeras otak untuk mengambil sebanyak faedah dari alam dengan menikmati sambil mensyukurinya dan beribadah kepada Ilahi Yang Maha Kuasa.

Membangkitkan Kesadaran Kolektif akan Nilai dan Norma Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, untuk Membangun Manusia dan Masyarakat Mianangkabau yang Unggul dan Tercerahkan (Bagian 1).

ADAT BASANDI SYARAK

(ABS), SYARAK BASANDI

KITABULLAH (SBK)

Membangkitkan Kembali Kesadaran Kolektif Akan Nilai dan Norma Dasar Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah

Untuk Membangun Manusia dan Masyarakat Minangkabau

Yang Unggul Dan Tercerahkan

Oleh : H. Mas’oed Abidin[1]

ABS SBK adalah Batu Pojok Bangunan Masyarakat Minangkabau Yang Unggul Dan Tercerahkan

Buya H. Masoed Abidin

Buya H. Masoed Abidin

Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah merupakan hasil kesepakatan — Piagam Sumpah Satie Bukik Marapalam di awal abad ke 19 — dari dua arus besar (”main-streams”) Pandangan Dunia dan Pandangan Hidup (PDPH) Masyarakat Minangkabau yang sempat melewati konflik yang melelahkan. Sejarah membuktikan, kesepakatan yang bijak itu telah memberikan peluang tumbuhnya beberapa angkatan ”generasi emas” selama lebih satu abad berikutnya.

Dalam periode keemasan itu, Minangkabau dikenal sebagai lumbung penghasil tokoh dan pemimpin, baik dari kalangan alim ulama ”suluah bendang anak nagari” maupun ”cadiak pandai” (cendekiawan pemikir dan pemimpin sosial politik), yang berkiprah di tataran nusantara serta dunia internasional. Mereka merupakan ujung tombak kebangkitan budaya dan politik bangsa Indonesia pada awal abad ke 20, serta dalam upaya memerdekakan bangsa ini di pertengahan abad 20.

Sebagai kelompok etnis kecil yang hanya kurang dari 3% dari jumlah bangsa ini, peran kunci yang dilakukan oleh sejumlah tokoh besar dan elit pemimpin berbudaya asal Minangkabau telah membuat ”Urang Awak” terwakili-lebih (”over-represented”) di dalam kancah perjuangan dan kemerdekaan bangsa Indonesia ini.

Alhamdulillah, Minangkabau sebagai kelompok etnis kecil pernah berada di puncak piramida bangsa ini (”the pinnacle of the country’s culture, politics and economics”). Putera-puteri terbaik berasal dari budaya Minangkabau pernah menjadi pembawa obor peradaban (”suluah bendang”) bangsa Indonesia ini.

ABS-SBK merupakan landasan yang memberikan lingkungan sosial budaya yang melahirkan kelompok signifikan manusia unggul dan tercerahkan. ABS-SBK dapat diibaratkan ”Surau Kito” tempat pembinaan ”anak nagari” yang ditumbuh-kembangkan menjadi ”nan mambangkik batang tarandam, nan pandai manapiak mato padang, nan bagak manantang mato ari, nan abeh malawan dunia urang, dan di akhiraik beko masuak Sarugo ”.

Namun, ketika ”jalan lah di alieh urang lalu” dan di masa ”lupo kacang di kuliknyo”, adat dan syaraak mulai dikucawaikan, maka bagian peran yang berada di tangan etnis Minangkabau nyaris tak terdengar. Para penghulu ninik mamak, para ulama suluh bendang, dan para cerdik cendekia, menjadi sasaran keluhan dan pertanyaan umat banyak.

Orang Minangkabau terkenal kuat agamanya dan kokoh adatnya. Seorang anak Minangkabau di mana saja berdiam tidak akan senang di sebut tidak beragama, dan tidak beradat.

Orang yang tidak beradat dan tidak beragama Islam, di samakan kedudukannya dengan orang tidak berbudi pekerti Di sebutkan indak tahu di nan ampek.[2]

Adat Minangkabau dinamis, menampakkan raso (hati, arif, intuitif) dan pareso (akal, rasio, logika), hasil nyata dari alam takambang jadi guru, makin kokoh dengan keyakinan yang diisi oleh agama Islam yang benar (haq dari Rabb).

Masyarakat Madani Minangkabau adalah

Masyarakat Yang Beradat Dan Beradab

Kegiatan hidup masyarakat dipengaruhi oleh berbagai lingkungan tatanan (”system”) pada berbagai tataran (”structural levels”). Yang paling mendasar adalah ”meta-environmental system” yaitu tatanan nilai dan norma dasar sosial budaya berupa Pandangan Dunia dan Pandangan Hidup (PDPH).

PDPH ini memengaruhi seluruh aspek kehidupan masyarakat berupa sikap umum dan perilaku serta tata-cara pergaulan masyarakat. PDPH ini merupakan landasan pembentukan pranata sosial budaya yang melahirkan berbagai lembaga formal maupun informal.

Pranata sosial budaya (”social and cultural institution”) adalah batasan-batasan perilaku manusia atas dasar kesepakatan bersama yang menjadi ”kesadaran kolektif” di dalam pergaulan masyarakat berupa seperangkat aturan main dalam menata kehidupan bersama. (“humanly devised constraints on actions; rules of the game.”).

PDPH merupakan pedoman serta petunjuk perilaku bagi setiap dan masing-masing anggota masyarakat di dalam kehidupan sendiri-sendiri maupun bersama-sama.

PDPH memberikan ruang (dan sekaligus batasan-batasan) yang merupakan ladang bagi pengembangan kreatif potensi manusiawi dalam menghasilkan buah karya sosial, budaya dan ekonomi serta karya-karya pemikiran intelektual yang merupakan mesin perkembangan dan pertumbuhan masyarakat di segala bidang kehidupan.

PDPH masyarakat Minangkabau yang dahulu itu (1800-1950) melahirkan angkatan-angkatan “generasi emas” adalah “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”(ABS-SBK). ABS-SBK adalah PDPH yang menata seluruh kehidupan masyarakat Minangkabau dalam arti kata dan kenyataan yang sesungguhnya.

Dalam menghadapi berbagai tantangan perubahan, generasi Minangkabau dengan filosofi adat basandi syarak syarak basandi Kitabullah mampu berpegang pada sikap istiqamah (konsistensi).

Fatwa adat menyebutkan, “Alang tukang tabuang kayu, Alang cadiak binaso adat, Alang alim rusak agamo, Alang sapaham kacau nagari. Dek ribuik kuncang ilalang, Katayo panjalin lantai, Hiduik jan mangapalang, Kok tak kayo barani pakai. Baburu kapadang data, Dapeklah ruso balang kaki, Baguru kapalang aja, Bak bungo kambang tak jadi”.

Kalangan terdidik (el-fataa) di Minangkabau khususnya selalu hidup dalam bimbingan agama Islam. Dengan bimbingan agama dalam kehidupan, maka ukhuwah persaudaraan (ruh al ukhuwwah) yang terjalin baik.

Kekerabatan yang erat telah menjadi benteng yang kuat dalam menghadapi berbagai tantangan. Kekerabatan tidak aakan wujud dengan meniadakan hak-hak individu orang banyak.[3] Tamak dan loba akan mempertajam permusuhan antara sesama. Bakhil akan meruntuhkan perasaan persaudaraan dan perpaduan.

Setiap Muslim wajib mengagungkan Allah dan menghargai nikmatNya yang menjadi sumber dari rezeki, kekuatan, kedamaian dan membimbing manusia keluar dari kegelapan menuju cahaya.

اللَّهُ وَلِيُّ الَّذِينَ ءَامَنُوا يُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَوْلِيَاؤُهُمُ الطَّاغُوتُ يُخْرِجُونَهُمْ مِنَ النُّورِ إِلَى الظُّلُمَاتِ

Allah adalah pelindung bagi orang-orang yang beriman yang mengeluarkan mereka dari berbagai kegelapan kepada nur(hidayah-Nya). Dan orang-orang kafir itu pelindung-pelindung mereka ialah taghut ( sandaran kekuatan selain Allah) yang mengeluarkan mereka daripada nur (hidayah Allah) kepada berbagai kegelapan. [4]

Meta-environment yang dibentuk ABS-SBK sebagai PDPH membentuk lembaga pemerintahan ”tigo tungku sajarangan” yang menata kebijakan “macro-level” (dalam hal ini “adat nan sabana adat, adat istiadat, dan adat nan taradat) bagi pengaturan kegiatan kehidupan masyarakat untuk kemaslahatan “anak nagari” Minangkabau.

Dengan demikian setiap dan masing-masing anggota pelaku kegiatan sosial, budaya dan ekonomi pada tingkat sektoral (meso-level) maupun tingkat perorangan (micro-level) dapat mengembangkan seluruh potensi dan kreativitasnya sehingga terciptalah manusia dan masyarakat Minangkabau yang unggul dan tercerahkan. Maka dapat dinyatakan bahwa Masyarakat Minangkabau (dahulu itu, 1800-1950) merupakan salah contoh dari Masyarakat Madani Yang Beradat dan Beradab.

Masyarakat Ber-Adat Yang Beradab

Hanya Mungkin Jika Dilandasi Kitabullah

Pokok pikiran ”alam takambang jadi guru” menunjukkan bahwa para filsuf dan pemikir Adat Minangkabau (Datuk Perpatih Nan Sabatang dan Datuk Katumanggungan, menurut versi Tambo Alam Minangkabau) meletakkan landasan filosofis Adat Minangkabau atas dasar pemahaman yang mendalam tentang bagaimana bekerjanya alam semesta serta dunia ini termasuk manusia dan masyarakatnya. Mereka telah menjadikan alam semesta menjadi ”ayat dari Nan Bana”, menjadi sunnatullah.

Secara jujur, kita harus mengakui bahwa adat tidak mungkin lenyap, manakala orang Minangkabau memahami dan mengamalkan fatwa adatnya. “Kayu pulai di Koto alam, batangnyo sandi ba sandi, Jikok pandai kito di alam, patah tumbuah hilang baganti”.

Secara alamiah (natuurwet) adat itu akan selalu ada dalam prinsip. Jika patah akan tumbuh (maknanya hidup dan dinamis), mengikuti perputaran masa yang tidak mengenal kosong. Setiap kekosongan akan selalu terisi, dengan dinamika akal dan kekuatan ilmu (raso jo pareso). Diperkuat sendi keyakinan akidah tauhid, bahwa yang hilang akan berganti. Apa yang ada di tangan kita akan habis, apa yang ada di sisi Allah akan kekal abadi.[5] Di sini kita menemui kearifan menangkap perubahan yang terjadi, “sakali aie gadang, sakali tapian baralieh, sakali tahun baganti, sakali musim bakisa”.

Setiap perubahan tidak akan mengganti sifat adat, selama adat itu berjalan dengan aturan Allah SWT. Penampilan adat di alam nyata mengikut zaman dan waktu. “Kalau d balun sabalun kuku, kalau dikambang saleba alam, walau sagadang biji labu, bumi jo langit ado di dalam”.

Keistimewaan adat ada pada falsafah adat mencakup isi yang luas. Ibarat tampang manakala ditanam, dipelihara, tumbuh dengan baik, semua bagiannya (urat, batang, kulit, ranting, dahan, pucuk, yang melahirkan generasi baru pula, menjadi satu kesatuan besar, manakala terletak pada tempat dan waktu yang tepat.

Perputaran harmonis dalam “patah tumbuh hilang berganti”, menjadi sempurna dalam “adat di pakai baru, kain dipakai usang”. Adat adalah aturan satu suku bangsa. Menjadi pagar keluhuran tata nilai yang dipusakai. Bertanggungjawab penuh menjaga diri dan masyarakat kini, jikalau tetap dipakai, dan akan mengawal generasi yang akan datang.

Konsep ”Adaik basandi ka mupakaik, mupakaik basandi ka alua, alua basandi ka patuik, patuik basandi ka Nan Bana, Nan Bana Badiri Sandirinyo” menunjukkan bahwa sesungguhnya para filsuf dan pemikir yang merenda Adat Minangkabau telah mengakui keberadaan dan memahami ”Nan Bana, Nan Badiri Sandirinyo”. Artinya, kekuasaan dan kebenaran hakiki ada pada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ini dapat dimaknai sebagai landasan masyarakat bertauhid.

Adat Minangkabau dibangun di atas ”Peta Realitas” yang dikonstruksi-kan secara kebahasaan (”linguistic construction of realities”) yang direkam terutama lewat bahasa lisan berupa pepatah, petatah petitih, mamang, bidal, pantun yang secara keseluruhan dikenal juga sebagai Kato Pusako.

Pengonstruksian kebahasaan itu berlaku lewat berbagai upacara Adat serta kehidupan masyarakat se-hari-hari, Kato Pusako menjadi rujukan di dalam penerapan PDPH di dalam kehidupan masyarakat Minangkabau. Dengan perkataan lain, Adat yang bersendi kepada “Nan Bana” adalah Peta Realitas sekaligus Pedoman serta Petunjuk Jalan Kehidupan Masyarakat Minangkabau.

Sangat sedikit catatan sejarah dengan bukti asli/otentik tentang bagaimana sesungguhnya bentuk dan keberhasilan masyarakat Minangkabau di dalam menjalankan Adat yang bersendikan Nan Bana itu. Sejarah yang dekat (dua tiga abad yang silam) menunjukkan bahwa di dalam kehidupan sehari-hari Masyarakat Minangkabau banyak ditemukan praktek-praktek yang kontra produktif bagi perkembangan masyarakat seperti judi, sabung ayam dan tuak dan lain-lain. Sejarah sebelum ABS-SBK juga belum mencatatkan peran signifikan tokoh-tokoh berasal budaya Minangkabau yang menjadi pembawa obor peradaban di kawasan ini.

Sebaliknya, sesudah ABS-SBK, terjadi semacam lompatan kuantum (”quantum leap”) di dalam budaya Minangkabau, dengan bertumbuh-kembangnya manusia-manusia unggul dan tercerahkan yang muncul menjadi tokoh-tokoh yang berperan penting dalam sejarah kawasan ini. Karena mereka hidup dengan perilaku beradat yang dipagari oleh arama (syarak).

Masyarakat Minangkabau pra-ABS-SBK adalah Masyarakat Ber-Adat yang bersendikan Nan Bana, Nan Badiri Sandirinyo. Sebagai buah hasil dari konstruksi realitas lewat jalur kebahasaan, petatah dan petitih. Hasil penerapannya di dalam kehidupan masyarakat se-hari-hari tergantung kepada sejauh mana ”peta realitas” itu memiliki ”hubungan satu-satu” (”one-to-one relationship”) atau sama sebangun dengan Realitas yang sebenarnya (Nan Bana, Nan Badiri Sandirinyo itu).

Terterapkannya berbagai perilaku kontra-produktip oleh beberapa bagian masyarakat menunjukkan bahwa ada kelemahan. Kekurangan pertama yang menjadi akar dari segenap kelemahan yang terperagakan itu adalah ada bagian dari Peta Realitas itu yang ternyata tidak sama sebangun dengan Nan Bana, yang bersumber dari Allah SWT Yang Maha Pencipta.

Kekurangan turunan pertama adalah Adat Minangkabau Sebagai Peta Realitas tidak dilengkapi dengan Pedoman dan Petunjuk yang memadai tentang bagaimana ia seharusnya digunakan. Peta yang tidak dilengkapi dengan bagaimana menggunakannya secara memadai adalah tidak bermanfaat, malah dapat menyesatkan.

Kekurangan selanjutnya, tidak dilengkapinya Adat Minangkabau Sebagai Peta Realitas itu dengan Pedoman serta Petunjuk Jalan Kehidupan yang memadai. Peta tanpa petunjuk jalan yang memadai tidak akan membawa kita ke mana-mana.

Kekurangan selanjutnya, Adat yang menjadi Pedoman serta Petunjuk Jalan Kehidupan itu tidak dilengkapi dengan pedoman teknis perekayasaan perilaku (”social and behavioral engineering techniques”) yang memadai sehingga rumus-rumus dan resep-resep pembentukan masyarakat sejahtera berkeadilan berdasar Adat Minangkabau tidak dapat diterapkan.

Akar segala kekurangan serta sebab-musabab segala kelemahan berupa ketidak-lengkapan serta ketiadaan “hubungan satu-satu” antara Peta Realitas dengan Realitas itu sendiri.

Peristiwa sejarah yang menghasilkan Piagam Sumpah Satie Bukik Marapalam dapat diibaratkan bagaikan “siriah nan kambali ka gagangnyo, pinang nan kambali ka tampuaknyo”. Dari Adat yang pada akhirnya bersendikan kepada Nan Badiri Sandirinyo, disepakati menjadi Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”(ABS-SBK).

Ketika Adat hanya bersendikan kepada Nan Badiri Sandirinyo, ada yang kurang dan hilang dalam tali hubungan keduanya, yaitu antara Adat sebagai Pedoman serta Petunjuk Jalan Kehidupan dengan Nan Bana, Nan Badiri Sandirinyo itu yang kita urai-jelaskan tadi.

Dengan diproklamasikannya Adat Basandi Syarak Syarak, dan Syarak Bansandi Kitabullah (ABS-SBK) maka tali hubungan antara Adat Sebagai Pedoman serta Petunjuk Jalan Kehidupan itu dibuhul-eratkan kembali dengan Nan Sabana-bana Nan Bana, Nan Sabana-bana Badiri Sandirinyo.

Rarak kalikih dek mindalu, tumbuah sarumpun jo sikasek, Kok hilang raso jo malu, bak kayu lungga pangabek, dan Nak urang Koto Hilalang, nak lalu ka Pakan Baso, malu jo sopan kalau lah hilang, habihlah raso jo pareso.

Membina masyarakat dengan memahamkan adat, yang menjangkau pikiran dan rasa yang dipunyai setiap diri, kemudian di bimbing oleh agama yang mengisi keyakinan sahih (Islam), menanam rasa malu (haya’), raso dan pareso, iman kepada Allah, yakin kepada hari akhirat.

Mengenali hidup akan mati, memancangkan benteng aqidah (tauhid) dari rumah tangga dan lingkungan (surau) menjadi gerakan mencerdaskan umat, sesuai pantun adat di Minangkabau,

Indak nan merah pado kundi, indak nan bulek pado sago, Indak nan indah pado budi, indak nan indah pado baso”,

“Anak ikan dimakan ikan, gadang di tabek anak tanggiri, ameh bukan pangkaik pun bukan, budi sabuah nan di haragoi”,

“Dulang ameh baok ba –laia, batang bodi baok pananti, utang ameh buliah di baie, utang budi di baok mati”,

“Pucuak pauh sadang tajelo, panjuluak bungo galundi, Nak jauah silang sangketo, Pahaluih baso jo basi”,

“Anjalai tumbuah di munggu, sugi-sugi di rumpun padi, nak pandai rajin baguru, nak tinggi naiakkan budi”.[6]

Dengan mengamalkan Firman Allah:

وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلاَ نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ

Tidak sepatutnya bagi orang Mukmin itu pergi semuanya kemedan perang. Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa orang untuk memperdalam ilmu pengetahuan mereka tentang agama (syariat, syarak) dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya (dengan cara-cara mengamalkannya pada setiap perilaku dan tindakan dengan kehidupan beradat), apabila mereka telah kembali kepadanya – kekampung halamannya –, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (QS.IX, at Taubah, ayat 122).

Alangkah indahnya satu masyarakat yang memiliki adat yang kokoh dan agama (syarak) yang kuat. Tidak bertentangan satu dan lainnya, malahan yang satu bersendikan yang lainnya. Di mana dalam PDPH hidup mengamalkan “kokgadang indak malendo, kok cadiek indak manjua, tibo di kaba baik baimbauan, tibo di kaba buruak ba hambauan”.

Alangkah indahnya masyarakat yang hidup dalam rahmat kekeluargaan kekerabatan dengan benteng aqidah yang kuat, berusaha baik di dunia fana dan membawa amal shaleh kealam baqa. Labuah nan pasa terbentang panjang, tepian tempat mandi terberai (terserak dan terdapat) di mana-mana, gelanggang untuk yang muda-muda serta tempat sang juara (yang mempunyai keahlian, prestasi) dapat mengadu ketangkasan secara sportif berdasarkan adat main “kalah menang” (rules of game).

Masyarakatnya hidup aman dan makmur, dengan anugerah alam dan minat seni yang indah.

“Rumah gadang basandi batu, atok ijuak dindiang ba ukie, cando bintangnyobakilatan, tunggak gaharu lantai candano, taralinyo gadiang balariak, bubungan burak katabang, paran gambaran ula ngiang, bagaluik rupo ukie Cino, batatah dengan aie ameh, salo manyalo aie perak, tuturan kuro bajuntai, anjuang batingkek ba alun-alun, paranginan puti di sinan , Lumbuang baririk di halaman, rangkiang tujuah sa jaja, sabuah si Bayau-bayau, panenggang anak dagang lalu, sabuah si Tinjau Lauik, panengggang anak korong kampuang, birawari lumbuang nan banyak, makanan anak kamanakan”.

Artinya, ada perpaduan ilmu rancang, seni ukir, budaya, material, mutu, keyakinan agama yang menjadi dasar rancang bangun berkualitas punya dasar social, cita-cita keperibadian, masyarakat dan idea ekonomi yang tidak mementingkan nafsi-nafsi, tapi memperhatikan pula ibnusabil (musafir, anak dagang lalu) dan anak kemenakan di korong kampung, “nan elok di pakai, nan buruak di buang, usang-usang di pabaharui, lapuak-lapuak di kajangi”, maknanya sangat selektif dan moderat.

Kitabullah adalah Al-Quran.

Al Qur’an mengurai-jelaskan segala sesuatu tafshiila li kulli sya’iin” (Surat 12, Yusuf, ayat 111), atau dengan perkataan lain “Peta Realitas Lewat Kebahasaan” yang pasti memiliki hubungan satu-satu atau sama sebangun dengan Realitas “al-haqqu min amri Rabbika”, keberaran dari Allah SWT.

Al Quran adalah juga Petunjuk dan Pedoman Hidup Bagi Manusia Dan Penjabaran Rinci Dan Jelas Dari Petunjuk/Pedoman Serta Tolok Ukur Kebenaran, hudal linnaasi wa bayyinatin minal huda wal furqaan(Q.S 2, Al-Baqarah Ayat 184).

Penerapan Al-Qur’an yang merupakan Ajaran Allah menurut Teladan Nabi Muhammad s.a.w. (atau Sunnah Rasulullah) telah mentransformasikan masyarakat Jahiliyah empat belas abad yang lalu menjadi Pembawa Obor Peradaban. Selama tidak kurang tujuh dari abad, kebudayaan dan peradaban yang ditegakkan atas Ajaran Al Quran telah mendominasi Dunia Beradab.

Kekalahan dan keterpinggiran yang terjadi sampai hari disebabkan berbagai penyebab. Faktor utamanya karena meninggalkan ke dua panduan hidup itu Al Quran dan Sunnah Rasulullah. Dalam syarak diketengahkan “aku tinggalkan bagi kamu dua pusaka, yang manakala kamu selalu berpegang kepada keduanya, niscaya tidak akan sesat selama-lamanya, dan ingatlah itu Kitabulah dan Sunnah Rasulullah SAW”. Kitabullah yakni Alquran mengeluarkan manusia dari sisi gelap kealam terang cahaya (nur)[7] dengan aqidah tauhid.

Di dalam masyarakat Minangkabau hidup menjadi beradab (madani) dengan spirit kebersamaan yaitu sa-ciok bak ayam sa-danciang bak basi, sesuai pepatah “Anggang jo kekek cari makan, Tabang ka pantai kaduo nyo, Panjang jo singkek pa uleh kan, mako nyo sampai nan di cito”.

Kehidupan kebersamaan dikuatkan dengan keterpaduan di dalam berkarya, barek sa-pikua ringan sa-jinjiang atau “Adat hiduik tolong manolong, Adat mati janguak man janguak, Adat isi bari mam-bari, Adat tidak salang ma-nyalang”.

Nyata pula adanya terpelihara tangga musyawarah di antara seluruh komponen masyarakat di dalam mengambil keputusan dan kebijakan, bulek aie dek pambuluah, bulek kato dek mupakat. Masyarakat hidup dalam kebiasaan tolong menolong, “Senteng ba-bilai, Singkek ba-uleh, Ba-tuka ba-anjak, Barubah ba-sapo”. Rona hidup masyarakat sedemikian bersinar di dalam menerjemahkan iman kepada Allah SWT, dan menjadi pengikat spirit sunnatullah dalam setiap gerak.

Dalam Fatwa adat disebut tanggung jawab masyarakat adat menjaga ketaatan hukum dan memelihara keteraturan bagai ciri utama masyarakat bersyukur, dengan selalu berbuat menurut aturan dan undang-undang.

“Nan babarih babalabeh, nan ba-ukua nan ba jangko, Mamahek manuju barih, Tantang bana lubang katabuak. Manabang manuju pangka, Malantiang manuju tangkai, Tantang bana buah ka rareh. Kok manggayuang iyo bana putuih, Kok ma-umban iyo bana rareh.”

Artinya, setiap pekerjaan mesti sesuai dengan aturan dan tidak boleh ada bengkalai yang tertinggal. Ada aturan sesuai garis sunnatullah. Dalam pelaksanaannya mesti tertata dengan baik. Dengan mendalami ilmu, lahirlah rasa khasyyah (takut) dan takwa kepada Allah. Dengan iman dan melaksanakan ajaran syari’at, lahirlah watak menjauhi rasa takabbur, kufur dan bangga diri dengan merendahkan orang lain.

Seorang Muslim merasakan nilai-nilai aqidah dan penghayatan di dalam kehidupan menjadi satu yang wajib. Al-Sunnah telah memberikan perhatian mendalam kepada masalah nilai aqidah, seperti sabda Nabi SAW:

ذاق طعام الا يمان من رضي بالله ربا وبا لا سلا م دينا وبمحمد رسولا.

Yang merasakan lazatnya iman adalah orang yang redha terhadap Allah sebagai Tuhannya, dan redha terhadap Islam sebagai agamanya dan redha terhadap Muhammad sebagai Rasul.[8]

Dengan mengamalkan ajaran agama Islam ditanamkan mahabbah (kasih sayang) sesama, sesuai sabda Rasulullah SAW :

ثلاث من كن فيه وجد طعم الايمان : من كان الله ورسوله احب اليه مما سواهما, ومن احب عبدا لا يحبه الا الله, ومن يكره ان يعود فى الكفر بعد ان انقذه الله منه كما يكره ان يلقى فى النار.

Ada tiga perkara, barangsiapa terdapat pada dirinya, maka dia akan merasakan lazatnya keimanan : Orang yang mencintai Allah dan RasulNya lebih daripada selain keduanya, orang yang mencintai seorang hamba hanya karena Allah, dan orang yang benci untuk kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkannya sebagaimana dia benci untuk dilempar ke dalam neraka.[9]

Generasi Minangkabau yang beradat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah berpandangan luas dan menghormati hak-hak asasi manusia secara integratik dan umatik sifatnya, yakni bermanfaat untuk semua, terbuka transparan, namun teguh, bertanggung jawab, dan kesatria.

“Kok di pakok urang banda sawah, Di aliehnyo lantak pasupadanan,

Busuangkan dado padek-padek, Paliekkan buyuang laki-laki,

Jan takuik tanah tasirah, Aso hilang duo tabilang,

Sabalun aja bapantang mati, Namun di dalam kabanaran,

Bago di pancuang lihie putuih, Satapak jan namuah suruik.”

Kekuatan taqarrub ila Allah inilah kekuatan besar PDPH yang mesti di warisi generasi Minangkabau yang beragama Islam. Dan inilah buah dari tauhid uluhiyah.

Allah SWT telah menyediakan alam sebagai sumber daya (material resources) bagi manusia yang hidup di alam (bumi) ini. Alam memang tidak menyiapkan segalanya serba jadi (ready to used). Alam perlu diolah oleh tangan manusia, sehingga dapat mendatangkan nilai lebih dan nilai guna yang optimal bagi manusia. Untuk itu, manusia memerlukan alat dan ilmu. Supaya kita dapat serta merta merealisasikan hikmatnya.

Di dalam Islam, setiap insan didorong agar memiliki ilmu pengetahuan yang cukup dan memadai. “Siapa yang menginginkan dunia dia peroleh dengan ilmu, sesiapa yang inginkan (kebahagiaan) akhirat juga dengan ilmu, bahkan yang menginginkan keduanya, juga hanya dengan ilmu”. Menuntut ilmu adalah kewajiban asasi setiap Muslim, karena pengetahuan manusia sedikit sekali …,

وَ مَا أُوْتِيْتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلاَّ قَلِيْلاً.

“ …. dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit”. (QS.17, al Isra’ : 85).

Kesediaan membuat sesuatu yang lebih baik untuk masa datang, material maupun ruhaniyah (spiritual), selalu diringi dengan keteguhan pendirian menjauhi segala bentuk kemungkaran dan berharap supaya dihindarkan dari azab neraka.

Akhlak karimah mesti berperan dalam kehidupan, dengan mengutamakan kesopanan pergaulan dan memakaikan rasa malu. Apabila malu sudah hilang, tidak ada lagi yang mengikat seseorang untuk berbuat seenak hatinya. Sebagai disebutkan dalam pepatah, malu jo sopan kalau lah hilang, habihlah raso jo pareso.

Itu pulalah yang tampaknya terjadi dengan Masyarakat Minangkabau ketika menerapkan ABS-SBK secara “murni dan konsekwen”. Walau berada dalam lingkungan nasional dan internasional yang sulit penuh tantangan, sejak zaman kolonialisme hingga ke masa perjuangan melawan penjajahan, budaya Minangkabau yang berazaskan ABS-SBK telah terbukti mampu menciptakan lingkungan yang menghasilkan jumlah yang signifikan tokoh-tokoh yang menjadi pembawa obor peradaban di kawasan ini.

Rentang sejarah itu membuktikan bahwa penerapan ABS-SBK telah memberikan lingkungan sosial budaya yang subur bagi seluruh anggota masyarakat dalam mengembangkan segenap potensi dan kreativitasnya sehingga terciptalah manusia dan masyarakat Minangkabau yang unggul dan tercerahkan.


[1][Disampaikan sebagai bahan pengantar filosofi dalam Kompilasi ABSSBK di Genta Budaya 7 April 2008.

[2] Sama artinya dengan bodoh. Sangat menarik pemakaian angka-angka di Minangkabau, lebih nyata bilangan genap, realistis seperti ”kato nan ampek (4), undang-undang nan duopuluah (20), urang nan ampek jinih, nagari nan ba ampek suku, cupak nan duo (2), cupak usali jo cupak buatan, rumah basandi ganok, tiang panjang jo tonggak tapi, basagi lapan (8) atau sapuluah (10) artinya angka genap. Datang agama Islam, di ajarkan pula pitalo langik nan tujuah (7), sumbayang nan limo wakatu, rukun Islam nan limo (5), maka secara batinnya antara adat dan agama saling melengkapi dari yang genap sampai yang ganjil.

[3] Pepatah Arab menyebutkan, اخاك اخاك ان من لا اخا له- كساع الى الهيجا بغير سلاح

[4] Al-Baqarah, 257

[5] QS.16, an-Nahl : 96.

[6] Tidak ada yang lebih indah daripada budi dan basabasi. Yang dicari bukan emas dan bukan pula pangkat, akan tetapi budi pekerti yang paling dihargai. Hutang emas dapat di bayar, hutang budi dibawa mati. Agar jauh silang sengketa, perhalus basa dan basi (budi pekerti yang mulia). Jika ingin pandai rajin belajar, jika ingin tinggi (mulia), naikkan budi pekerti.

[7] Lihat QS.14, Ibrahim : 1.

[8] Hadith riwayat Muslim dan Tarmizi.

[9] Hadith riwayat Bukhari, Muslim, Tarmizi dan nasa^i.

Pokok Pikiran untuk Kompilasi ABS SBK di Sumatera Barat masa kini.

Draft dari Buya H.Mas’oed Abidin

Kompilasi ABS SBK

Buya H. Masoed Abidin

Buya H. Masoed Abidin

I. Mukadimah

Visi propinsi Sumatera Barat adalah ingin menjadikan masyarakat Sumatera Barat sejahtera dunia akhirat. Visi tersebut akan sulit dicapai bila tidak dirumuskan misi yang jelas, tujuan yang akan dicapai, dan sasaran yang hendak diraih, serta cara yang akan ditempuh untuk mewujudkan tujuan tersebut secara tepat. Berhasilnya teknik pencapaian tujuan dimaksud, di antaranya adalah pemahaman masyarakat dan para ninik mamak pemangku adat Minangkabau terhadap nilai-nilai adat dan agama dalam kehidupan sehari-hari. Ninik mamak sebagai pemimpin masyarakat adat Minangkabau sebagian besar berada di propinsi Sumatera Barat kini, sedang menghadapi perubahan besar, sebagai akibat dari proses globalisasi dan dunia informasi.

Minangkabau sejak dahulu hingga sekarang, tatanan kehidupan masyarakatnya sangat ideal karena didasari nilai-nilai, norma-norma adat dan agama Islam yang menyeluruh, dalam satu ungkapan adat berbunyi Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah Adat dan syarak di Minangkabau merupakan benteng kehidupan dunia akhirat yang disebutkan dalam petatah adat “kesudahan adat ka balairung, kasudahan syarak ka akhirat”. Mamangan ini menyiratkan teguhnya benteng orang Minangkabau yang terkandung di dalam adat dan kokohnya perisai Islam yang di pagar oleh syarak.

Fenomena sekarang terlihat norma lama yang luhur mulai agak memudar, sementara tatanan baru belum pula terbentuk. Nilai-nilai kehidupan pada mulanya bersifat kebersamaan di masa sekarang agak cendrung bersifat individual. Nilai-nilai kehidupan selama ini tumbuh di nagari, sekarang kecendrungan masyarakat lebih suka hidup di perkotaan. Pada masa doeloe norma kehidupan berpegang kepada budi dan rasa malu, sekarang cenderung mulai meninggalkan sifat tenggang rasa, dan fenomena seperti itu sering menjadikan adat Minangkabau yang mempunyai banyak sekali nilai-nilai ideal itu, mulai jadi bahan cercaan.

Nilai-nilai universal dalam masyarakat Minangkabau berkaitan dengan nilai-nilai adat dan syarak dapat dikategorikan ke dalam 6 kelompok, yaitu: (1) nilai-nilai ketuhanan, (2) nilai-nilai kemanusiaan, (3) nilai-nilai persaudaraan atau ukhuwah Islamiyah / kesatuan dan persatuan, (4) nilai musyawarah dan demokrasi, (5) raso pareso / akhlak / budi pekerti, (6) gotong royong / sosial kemasyarakatan.

Keenam nilai-nilai tersebut sangat dipahami oleh para ninik mamak pemangku adat Minangkabau dan menjadi prilakunya sehari-hari, karena ninik mamak adalah suri teladan bagi anak kemenakannya.

Fenomena terjadi akhir-akhir ini sosok ninik mamak kurang dihargai oleh kemanakannya. Anak kemenakan seolah-olah tidak ambil pusing lagi dengan ninik mamaknya. Terkadang perkataan ninik mamak sering tidak diacuhkan oleh kemanakannya. Bahkan kehadiran ninik mamak di tengah-tengah anak kemanakannya seolah-olah tidak diperlukan lagi.

Saat ini terjadi krisis kepercayaan terhadap ninik mamak oleh anak kemenakan. Ninik mamak seharusnya memegang kendali dan menentukan dalam pembentukan kepribadian anak kemenakan. Penyebab terjadinya krisis kepercayaan di kalangan anak kemenakan terhadap ninik mamak saat ini di antaranya adalah karena kurangnya pemahaman Ninik Mamak Pemangku Adat Minangkabau terhadap nilai-nilai adat dan syarak. Jika masalah ini dibiarkan terus menerus, maka tidak mustahil masyarakat Minangkabau yang dikenal masyarakat beradat, mungkin hanya akan tinggal kenangan, dan hanya menjadi sebuah catatan sejarah bahwa dulu masyarakat Minangkabau sangat menjunjung tinggi adatnya yang kokoh dipagari oleh nilai-nilai agama atau syarak.

II. Adat di Minangkabau

Orang Minangkabau terkenal dengan adatnya yang kuat. Adat sangat penting dalam kehidupan masyarakatnya. Oleh karena itu dalam petatah Minangkabau diungkapkan, hiduik di kanduang adat. Maka, ada empat tingkatan adat di Minangkabau.

1.  Adat Nan Sabana Adat

Adat nan sabana adat adalah kenyataan yang berlaku tetap di alam, tidak pernah berubah oleh keadaan tempat dan waktu. Kenyataan itu mengandung nilai-nilai, norma, dan hukum. Di dalam ungkapan Minangkabau dinyatakan sebagai adat nan indak lakang dek paneh, indak lapuak dek hujan, diasak indak layua, dibubuik indak mati; atau adat babuhua mati. Adat nan sabana adat bersumber dari alam.

Pada hakikatnya, adat ini ialah kelaziman yang terjadi sesuai dengan kehendak Allah. Maka, adat Minangkabau tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Hal itu melahirkan konsep dasar pelaksanaan adat dalam kehidupan masyarakat Minangkabau, yakni adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah dan syarak mangato, adat mamakai. Dari konsep itu lahir pulalah falsafah dasar orang Minangkabau yakni alam takambang jadi guru.

Adat nan sabana adat menempati kedudukan tertinggi dari empat jenis adat di Minangkabau, sebagai landasan utama dari norma, hukum, dan aturan-aturan masyarakat Minangkabau. Semua hukum adat, ketentuan adat, norma kemasyarakatan, dan peraturan-peraturan yang berlaku di Minangkabau bersumber dari adat nan sabana adat.

2.  Adat Nan Diadatkan

Adat nan diadatkan adalah adat buatan yang dirancang, dan disusun oleh nenek moyang orang Minangkabau untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Aturan yang berupa adat nan diadatkan disampaikan dalam petatah dan petitih, mamangan, pantun, dan ungkapan bahasa yang berkias hikmah.

Orang Minangkabau mempercayai dua orang tokoh sebagai perancang, perencana, dan penyusun adat nan diadatkan, yaitu Datuak Parpatiah Nan Sabatang dan Datuak Katumangguangan.

Inti dari adat nan diadatkan yang dirancang Datuak Parpatiah Nan Sabatang ialah demokrasi, berdaulat kepada rakyat, dan mengutamakan musyawarah untuk mufakat. Sedangkan adat yang disusun Datuak Katumangguangan intinya melaksanakan pemerintahan yang berdaulat ke atas, otokrasi namun tidak sewenang-wenang. Sepintas, kedua konsep adat itu berlawanan. Namun dalam pelaksanaannya kedua konsep itu bertemu, membaur, dan saling mengisi. Gabungan keduanya melahirkan demokrasi yang khas di Minangkabau. Diungkapkan dalam ajaran Minangkabau sebagai berikut:

Bajanjang naiak, batanggo turun.
Naiak dari janjang nan di bawah, turun dari tanggo nan di ateh.
Titiak dari langik, tabasuik dari bumi.

Penggabungan kedua sistem ini ibarat hubungan legislatif dan eksekutif di sistem pemerintahan saat ini.

3.  Adat Nan Taradat

Adat nan taradat adalah ketentuan adat yang disusun di nagari untuk melaksanakan adat nan sabana adat dan adat nan diadatkan sesuai dengan keadaan dan kebutuhan nagarinya. Adat ini disusun oleh para tokoh dan pemuka masyarakat nagari melalui musyawarah dan mufakat. Dari pengertian itu lahirlah istilah adat salingka nagari.

Adat nan taradat disebut juga adat babuhua sentak, artinya dapat diperbaiki, diubah, dan diganti. Fungsi utamanya sebagai peraturan pelaksanaan dari adat Minangkabau. Contoh penerapannya antara lain dalam upacara batagak pangulu, turun mandi, sunat rasul, dan perkawinan, yang selalu dipagari oleh ketentuan agama, di mana syarak mangato adaik mamakaikan.

4.  Adat Istiadat

Adat istiadat merupakan aturan adat yang dibuat dengan mufakat niniak mamak dalam suatu nagari. Peraturan ini menampung segala kemauan anak nagari yang sesuai menurut alua jo patuik, patuik jo mungkin. Aspirasi yang disalurkan ke dalam adat istiadat ialah aspirasi yang sesuai dengan adat jo limbago, manuruik barih jo balabeh, manuruik ukuran cupak jo gantang, manuruik alua jo patuik.

Ada dua proses terbentuknya adat istiadat. Pertama, berdasarkan usul dari anak nagari, anak kemenakan, dan masyarakat setempat. Kedua, berdasarkan fenomena atau gejala yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat. Ini diungkapkan dalam kato pusako:

Tumbuah bak padi digaro, tumbuah bak bijo disiang.
Elok dipakai, buruak dibuang.
Elok dipakai jo mufakat, buruak dibuang jo rundiangan.

Adat istiadat umumnya tampak dalam bentuk kesenangan anak nagari seperti kesenian, langgam dan tari, dan olahraga.

III. Adat Basandi Syarak

Sebelum Islam masuk ke Minangkabau, orang Minang memanfaatkan alam sebagai sumber ajarannya. Mereka menggali nilai-nilai yang diberikan alam. Ini diungkapkan dalam filsafat orang Minangkabau alam takambang jadi guru.

Ketika agama Islam masuk, adat di Minangkabau secara hakikinya tidak bertentangan dengan ajaran syarak dalam agama Islam, karena alam yang telah dijadikan pedoman hidup masyarakat Minangkabau adalah ciptaan Allah semata. Itulah sebabnya ketika Islam masuk langsung diterima oleh orang Minangkabau. Maka, kalaupun dalam sejarah, timbulnya Perang Paderi tidak semata karena disebabkan pertentangan kaum adat dan kaum agama (Islam), akan tetapi karena pemurnian ajaran syarak di dalam pelaksanaan adat semata, sebagai akibat dari amar makruf nahi munkar. Akan tetapi pemerintahan kolonial Belanda, memakai peristiwa ini sebagai alat politik adu domba.

Namun pada tahun 1811 penguasa adat di Minangkabau, yakni Sultan Begagarsyah mempermaklumkan perang bahu membahu antara seluruh masyarakat anak nagari di Minangkabau, melawan pemerintahan kolonial Belanda. Kaum adat dan kaum agama menyatukan pendapat dalam pertemuan pangulu tigo luhak beserta para ulamanya. Pertemuan ini melahirkan Piagam Bukik Marapalam yang menegaskan bahwa antara adat dan Islam tidak bertentangan.

Adat bapaneh, syarak balinduang.
Syarak mangato, adat mamakai.

Adat bapaneh, syarak balinduang maksudnya adat bagaikan tubuh, agama sebagai jiwa. Antara tubuh dan jiwa tidak bisa dipisahkan. Syarak mangato, adat mamakai maksudnya syarak memberikan hukum dan syariat, adat mengamalkan apa yang difatwakan agama. Kesimpulan piagam ini lazim disebut adat jo syarak sanda-manyanda, kemudian lebih dikenal lagi dengan adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah.

Kelarasan di Minangkabau

Laras (lareh) adalah dasar pemerintahan menurut adat Minangkabau. Kelarasan adalah sistem pemerintahan menurut adat Minangkabau. Ada dua kelarasan di Minangkabau, yaitu Kelarasan Bodi Caniago dan Kelarasan Koto Piliang.

Bodi Caniago

Koto Piliang

Dikembangkan dan dipimpin oleh Datuak Parpatiah Nan Sabatang

Dikembangkan dan dipimpin oleh Datuak Katumangguangan

Berdaulat pada rakyat, diungkapkan:
putuih rundiangan dek sakato
rancak rundiangan disapakati
kato surang dibulek-i
kato basamo kato mufakat
saukua mako manjadi, sasuai mako takanak
tuah dek sakato, mulonyo rundiang dimufakati
di lahia lah samo nyato, di batin buliah diliek-i

Berpusat pada pimpinan, diungkapkan:
nan babarih nan bapaek
nan baukua nan bacoreng
titiak dari ateh, turun dari tanggo
tabujua lalu, tabalintang patah

Semboyannya mambasuik dari bumi

Semboyannya titiak dari ateh

Bersifat demokratis

Bersifat otokratis

Pengambilan keputusan mengutamakan kata mufakat. Keputusan diambil berdasarkan kesepakatan bersama, bukan hanya berasal dari pimpinan saja, akan tetapi masyarakatnya ikut dilibatkan.

Pengambilan keputusan berpedoman pada kebijaksanaan dari atas. Segala bentuk keputusan datangnya dari atas. Masyarakat tinggal menerima apa yang telah ditetapkan.

Penggantian gelar pusaka secara hiduik bakarelaan, artinya penghulu bisa diganti jika sudah tidak mampu lagi melaksanakan tugasnya

Penggantian gelar pusaka secara mati batungkek budi, artinya penghulu baru bisa diganti jika sudah meninggal

Pewarisan gelar disebut gadang bagilia, artinya gelar penghulu boleh digilirkan pada kaum mereka walau bukan saparuik, asalkan melalui musyawarah adat

Pewarisan gelar disebut patah tumbuah hilang baganti, artinya gelar penghulu harus tetap di pihak mereka yang saparuik (sekeluarga).

Rumah gadang lantainya rata saja dari ujung sampai pangkal

Rumah gadang mempunyai anjung pada lantai kiri dan kanan

Menurut tambo, daerah kebesarannya:

§ Tanjuang Nan Ampek

1. Tanjuang Alam

2. Tanjuang Sungayang

3. Tanjuang Barulak

4. Tanjuang Bingkuang

§ Lubuak Nan Tigo

1. Lubuak Sikarah

2. Lubuak Simauang

3. Lubuak Sipunai

Susunan kebesaran ini dinamakan Lareh Nan Bunta.

Menurut tambo, daerah kebesarannya:

§ Langgam Nan Tujuah

1. Singkarak – Saningbaka

2. Sulik Aia – Tanjuang Balik

3. Padang Gantiang

4. Saruaso

5. Labutan – Sungai Jambu

6. Batipuah

7. Simawang – Bukik Kanduang

§ Basa Ampek Balai

1. Sungai Tarab

2. Saruaso

3. Padang Gantiang

4. Sumaniak

Susunan kebesaran ini dinamakan Lareh Nan Panjang.

Kekuasaan penghulu sama di nagari, disebut pucuak tagerai.

Penghulunya bertingkat-tingkat, disebut pucuak bulek, urek tunggang. Tingkatannya adalah panghulu pucuak, panghulu kaampek suku, dan panghulu andiko.

Pemahaman Adat Minangkabau Terhadap Nilai-Nilai ABSSBK.

Nilai-nilai Adat Basandi Syarak di kelompokkan menjadi enam kelompok yaitu:

(1) Nilai ketuhanan Yang Maha Esa,

(2) Nilai kemanusiaan,

(3) Nilai persatuan dan kesatuan,

(4) Nilai demokrasi dan musyawarah,

(5) Nilai budi pekerti dan raso pareso,

(6) Nilai sosial kemasyarakatan.

Dasar pikiran yang berhubungan dengan nilai-nilai, yaitu nilai ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan dan persatuan, musyawarah dan demokrasi, serta nilai-nilai sosial kemasyarakatan di antaranya adalah :

1. Nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa

Nilai-nilai ketuhanan dalam adat dikategorikan dalam bidal yang meliputi:

a. Si Amat mandi di luhak, parigi bapaga bilah, samo dipaga kaduonyo, adat basandi syarak, syarak basandi kitabbullah, sanda manyanda kaduonyo.

“ menjaga adat yang Islami”

b. Pangulu tagak di pintu adat, malin tagak di pintu syarak, manti tagak di pintu susah, dubalang tagak di pintu mati.

“ pembagian tugas yang baik, sesuai fungsi masing-masing, mesti bekerja dengan professional.”

c. Indak dapek sarimpang padi, batuang dibalah ka paraku, indak dapek bakandak hati, kandak Allah nan balaku.

“selalu berusaha, dinamis, tidak berputus asa, (rencana di tangan manusia keputusan di tangan Allah SWT).”

d. Limbago jalan batampuah, itu nan hutang ninik mamak, sarugo dek iman taguah, narako dek laku awak.

“kuat beramal karya yang baik, jauhi maksiyat.”

e. Jiko bilal alah maimbau, sado karajo dibarantian, sumbahyang bakaum kito daulu.

“menghidupkan surau, menjaga ibadah masyarakat, jamaah yang kuat dan memajukan pendidikan agama dengan baik,”

f. Jiko urang Islam indak bazakat, harato kumuah diri sansaro.

“zakat kekuatan membangun umat, menghindar dari harta yang kotor, menjauhi korupsi.”

g. Kasudahan adat ka balairung, kasudahan dunia ka akhirat, salah ka Tuhan minta taubat, salah ka manusia minta maaf.

“(menyesali kesahalan, mohon ampunan atas kesahalan, dan berjanji tidak akan melakukan lagi)”

h. Tadorong jajak manurun, tatukiak jajak mandaki. Adat jo syarak kok tasusun, bumi sanang padi manjadi.

“ menjaga pelaksanaan adat dan agama selalu berjalan seiring”.

Nilai-nilai Adat dalam Syarak

Nilai-nilai ketuhanan dalam syarak meliputi beberapa aspek nilai di antaranya ;

a. Mengabdi hanya kepada Allah

Allah Swt. berfirman:

وما خلقت الجن والانس الا ليعبدون (الذريت: 57)

“Dan Aku (Allah) tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembah-Ku” (adz-Zariyat: 56)

وما امر الاليعبدوا الله مخلصين له الدين حنفاء ويقموا الصلوة ويؤتوا الذكوة وذلك دين القيمة (البينة: 5)

“Pada hal tidak diperintahkan mereka, melainkan supaya mereka menyembah Allah dengan mengikhlaskan agama karena-Nya dengan menjauhi kesesatan, dan (supaya) mereka mendirikan shalat dan memberi zakat, karena yang demikian itulah agama yang lurus”. (al-Bayinah: 5)

b. Tunduk dan patuh hanya kepada Allah.

Allah berfirman:

يايها الذين امنوا اطيعوا الله ورسوله ولاتولوا عنه وانتم تسمعون (الانفال: 20)

“Wahai ummat yang beriman, taatlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berpaling dari padanya, padahal kamu mendengar”. (al-Anfal: 20)

ومن يطع الله والرسول فاولئك مع الذين انعم الله عليهم من النبيين والصديقين والشهداء والصالحين وحسن اولئك رفيقا (الناس: 6)

“Karena siapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya maka mereka itu adalah beserta ummat yang Allah beri nikmat atasnya, dari Nabi-Nabi, Shiddiqin, Syuhada dan Shalihin dan alangkah baiknya mereka ini sebagai sahabat karib”. (an-Nisa: 69)

c. Berserah diri kepada ketentuan Allah.

Allah berfirman:

وعسى ان تكرهوا شيئا خيرلكم وعسى ان تحبوا شيئا وهو شر لكم والله يعلم وانتم لاتعلمون (البقرة: 216)

“ Mungkin kamu benci kepada sesuatu, padahal ia itu satu kebaikan bagi kamu, dan mungkin kamu suka akan sesuatu tapi ia tidak baik kamu, dan Allah itu Maha Mengetahui dan kamu tidak mengetahuinya”. (al-Baqarah: 216)

الذين إذا اصابتهم مصيبة قالوا انا الله وانا اليه راجعون (البقرة: 157)

“Yang apabila terjadi terhadap mereka suatu kesusahan, mereka berkata: Sesungguhnya kami ini milik Allah dan sesungguhnya kepada-Nyalah kami akan kembali”. (al-Baqarah: 156)

d. Bersyukur kepada Allah

Allah berfirman

واذا تأذن ربكم لئن شكرتم لازيدنكم ولئن كفرتم ان عذابى لشديد (ابراهيم: 7)

“Dan (ingatlah) tatkala Tuhan kamu memberi tahu jika kamu berterima kasih niscaya Aku akan tambah nikmat bagi kamu, bila kamu tidak bersyukur akan nikmat maka azab-Ku itu sangat pedih”. (Ibrahim: 6-7)

e. Ikhlas menerima keputusan Allah.

ولو انهم رضوا ما اتهم الله ورسوله وقالوا حسبنا الله سيؤتينا الله من فضله ورسوله انا إلى الله راغبون (التوبة: 59)

“Dan alangkah baiknya jika mereka ridha dengan apa yang Allah dan Rasul-Nya berikan kepada mereka, sambil mereka berkata: cukuplah Allah bagi kami, sesungguhnya Allah dan rasul-Nya akan beri kepada kamu karunia-Nya, sesungguhnya kami mencintai Allah”. (al-Taubah: 59)

كتب الله مقا د ير الخلا ئق قبل ان يخلق السموات والارض بخمسين الف سنه (رواه مسلم)

“Allah telah menentukan kepastian/ketetapan terhadap semua makhluk-Nya sebelum Allah menciptakan langit dan bumi 50.000 tahun”. (HR. Muslim)

f. Penuh harap kepada Allah

Allah berfirman:

وا ما تعرضن عنهم ابتعاء رحمة من ربك ترجوها فقل لهم قولاميسورا (بني اسرائيل: 28)

“Dan jika engkau berpaling dari mereka, karena mengharapkan (menunggu) rahmat dari Tuhanmu, yang engkau harapkan, maka berkatalah kepada mereka dengan ucapan yang lemah lembut”. (bani Isra’il: 28)

من كان يرجوا لقاء الله فان اجل الله رات وهو السميع عليم (العنكبوت: 5)

“Siapa saja yang mengharapkan pertemuan (dengan) Allah, maka sesungguhnya waktu (perjanjian) Allah akan datang, dan Dia yang Mendengar, yang Mengetahui”. (al-Ankabut: 5)

ان الذين امنوا والذين هاجروا وجاهدوا فى سبيل الله اولئك يرجون رحمت الله والله غفور رحيم (البقرة: 218)

“Sesungguhnya ummat yang beriman dan berhijrah serta bekerja keras (berjihad) di jalan Allah, mereka itu (ummat yang) berharap rahmat Allah dan Allah itu Pengampun, Penyayang”. (al-Baqarah: 218)

g. Takut dengan rasa tunduk dan patuh

انما يعمر مساجد الله من أ من بالله واليوم الأ خر واقام الصلوة واتى الزكوة ولم يخسى الا الله فعسى اولئك ان يكونوا من المهتدين (الاتوبة: 18)

“Sesungguhnya ummat yang memakmurkan masjid Allah ummat yang beriman kepada Allah dan hari kemudian dan mendirikan shalat dan membayarkan zakat. Maka Allahlah yang lebih berhak kamu takuti, jika memang kamu ummat yang beriman”. (al-Taubah: 13

فلا تخشوا الناس واخشون ولاتشتروا بأ يا تي ثمنا قليلا (المائدة: 44)

“Janganlah kamu takut kepada manusia tetapi takutlah kepada-Ku (Allah) dan janganlah kamu jual ayat-ayat-Ku dengan harga yang murah (sedikit)”. (al-Maidah: 44)

امنا يخشى الله من عباده العلماؤا … (فاطر: 28)

“Tidak ada yang takut kepada Allah dari hamba-hamba-Nya kecuali ulama (berilmu)”. (Fathir: 28)

h. Takut terhadap siksaan Allah

Allah Berfirman:

ان في ذلك لاية لمن خاف عذاب الاخرة ذلك يوم تجموع له الناس وذلك يوم مشهود … (هود: 103)

“Sesungguhnya di dalam itu ada tanda bagi orang yang takut kepada azab akhirat: ialah hari yang dikumpulkan padanya manusia dan ialah hari yang akan disaksikan”. (Hud: 103)

كمثل الشيطن اذ قال للا نسان اكفر فلما كفر قال اني بريء منك انى اخاف الله رب العالمين … (الحشر: 16)

“(Mereka adalah) seperti syetan tatkala berkata kepada mereka: kufurlah setelah manusia itu kufur, ia berkata: Aku berlepas diri dari padamu, karena sesungguhnya aku takut kepada Allah Tuhan bagi alam semesta”. (al-Hasyr: 16)

i. Berdo’a memohon pertolongan Allah.

Allah berfirman:

واذا سألك عبادي عنى فانى قريب أ جيب دعوة الداع إذا دعان فليستجبوا لى وليؤمنوا بي لعلهم يرشدون (البقرة: 186)

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang aku, maka katakanlah bahwa Aku dekat (hampir), Aku akan …

وقال ربكم ادعونى استجب لكم (المؤمن: 60)

“Dan telah berkata Tuhan kamu: berdoalah kepada-Ku, niscaya Aku kabulkan doa untukmu”. (al-mukmin: 60)

ولله الاسماء الحسنى فادعوه بها (الاعراف: 180)

“Dan bagi Allah nama-nama yang baik, oleh karena itu berdo’alah kepada-Nya dengan menyebut nama-nama itu”. (al-A’raf: 180)

ولا تدع من دون الله مالا ينفعك ولا يضرك (يونس: 106)

“Jangan kamu berdo’a kepada selain Allah, yang tidak bisa memberi manfaat kepadamu dan tidak bisa memudarakan (membahayakan)”. (Yunus: 106)

j. Cinta dengan penuh harap kepada Allah.

Allah berfirman:

فإ ذا فرغت فانصب وإ لى ربك فارغب (الانشراح: 7-8)

“Lantaran itu, apabila kamu telah selesai mengerjakan sesuatu tugas maka kerjakanlah tugas baru dengan baik. Dan kepada Tuhanmu maka hendaklah kamu berharap dengan rasa cinta”. (al-Insyirah: 7-8)

عسى ربنا أ ن يبدلنا خيرا منها إ نا إلى ربنا راغبون (القلم: 32)

“Mudah-mudahan Tuhan kita mengganti untuk kita (kebun) yang lebih baik dari pada itu. Sesungguhnya kepada Tuhan kitalah kita berpegang baik”. (al-Qarim: 32)

Dalam adat diungkapkan “indak dapek salendang pagi, ambiak galah ka paraku, indak dapek bakandak hati, kandak Allah juo nan balaku”.

Bahwa bimbingan syarak berlaku dalam adat, disebutkan: “kasudahan dunia ka akhirat, kasudahan adat ka balairung, syarak ka ganti nyawa, adat ka ganti tubuah”.

2. Nilai-nilai Kemanusiaan

Nilai-nilai kemanusiaan ini dinyatakan dalam adat meliputi:

a) Duduak samo randah, tagak samo tinggi, duduak sahamparan, tagak sapamatang.

“menjaga kesetaraan dalam bermasyarakat.”

b) Sasakik sasanang, sahino samalu, sabarek sapikua.

peduli dan solidaritas mesti dipelihara.

c) Kaba baiak bahimbauan, kaba buruak bahambauan.

“setia kawan, dengan pengertian membagi berita baik kepada semua orang.”

d) Nan ketek dikasihi, nan samo gadang lawan baiyo, nan tuo dihormati. Nan bungkuak ka tangkai bajak, nan luruih ka tangkai sapu, satampok ka papan tuai, nan ketek ka pasak suntiang, panarahan ka kayu api.

santun dan hormat terhadap orang yang lebih tua, memungsikan semua elemen masyarakat yang ada.”

e) Kok gadang jan malendo, panjang jan malindih, cadiak jan manjua.

“berbuat sesuai dengan aturan yang berlaku, cerdik tidak memakan lawan.”

f) Nan buto paambuih lasuang, nan pakak palapeh badia, nan lumpuah pangajuik ayam, nan binguang pangakok karajo, nan cadiak lawan baiyo, nan pandai tampek batanyo, nan tahu tampek baguru, nan kayo tampek batenggang, nan bagak ka parik paga dalam nagari.

“memberikan tugas sesuai dengan kemampuan, menghargai sesama.”

Nilai-nilai kemanusiaan dinyatakan dalam syarak :

a. Kewajiban untuk menghargai persamaan (egaliter)

Allah berfirman:

يايها الناس إ نا خلفناكم من ذكر وأ نثى وجعلنكم شعوبا وقبا ئل لتعارفوا إ ن أ كرمكم عند الله أ تقاكم، إ ن الله عليم خبير. الحجرات: 13)

“Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha mengenal”. (al-Hujurat: 12)

b. Menghormati persamaan manusia lain.

Sabda rasulullah

ليس المسلم بالطعان ولا اللعان ولا الفاحش ولا البذئ (رواه الترمذي)

Tidaklah termasuk muslim apabila bersikap penohok, pelaknat, sikap kejam dan pencaci (HR. Tirmidzi)

c. Mencintai sesama saudara muslim

لا يؤمن أ حدكم حتى يحب لأ خيه ما يحب لنفسه (رواه البخارى ومسلم)

Tidaklah dikatakan seorang muslim, sehingga dia menyenangi apa yang disenangi oleh saudaranya, sebagaimana dia menyenangi apa yang disenanginya (HR. Bukari Muslim)

d. Pandai berterima kasih

Sabda rasulullah

لا يشكر الله من لا يشكر الناس (ابو داود واحمد)

Tidak dapat bersukur kepada Allah orang yang tidak pernah berterima kasih atas kebaikan orang lain (HR. Abu Daud dan Ahmad

e. Memenuhi janji

Allah berfirman

وأ فوا بعهد الله إذا عاهدتم ولا تنقضوا الأيمان بعد توكيدها وقد جعلتم الله عليكم كفيلا إ ن الله يعلم ما تفعلون (النحل: 91)

Dan penuhilah janji-janji tatkala kamu berjanji, dan janganlah kamu mengingkari itu sebab kamu telah menjadikan Allah sebagai pemelihara. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan (al-Nahl: 91).

f. Tidak boleh mengejek dan meremehkan orang lain

Firman Allah:

يأ يها الذين أ منوا لا يسخر قوم من قوم عسى أن يكونوا خيرا منهم (الحجرات: 11)

Janganlah kamu mengejek atau merendahkan diri orang lain, saudara atau teman dekatmu dengan membicarakan kekurangan atau membuka aib dan cacatnya, atau menjulukinya sampai menyakitkan hatinya, sesungguhnya perbuatan demikian adalah sikap yang tercela.

g. Tidak mencari kesalahan

Allah berfirman:

ولا يغتب بعضكم بعضا أ يحب أ حدكم أن يأكل لحم أخيه ميتا فكرهتموه (الحجرات: 12)

Dan janganlah mengumpat atau menceritakan kesalahan sebagian dari kamu terhadap sebagian yang lain, sukakah kamu memakan daging saudaramu yang sudah menjadi bangkai, sedangkan kamu membencinya (al-Hujurat: 12)

h. Bergaul baik dengan menjaga persaudaraan dan persatuan

Allah berfirman

إ نما المؤمنون إ خوة فأ صلحوا بين أخويكم واتقوا الله لعلكم ترحمون (الحجرات: 10).

Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat (al-Hujurat: 10).

i. Tidak boleh sombong

ولا تمشى في الأ رض مرحا … (لقمان: 19)

Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong (Lukman: 18)

3. Nilai-nilai Persatuan dan Kesatuan

Nilai-nilai persatuan dan kesatuan dalam adat

a. Tagak kampuang paga kampuang, tagak suku paga suku, tagak banagari paga nagari

b. Satinggi-tinggi tabang bangau, kumbalinyo ka kubangan juo, hujan ameh di rantau urang, hujan batu di kampuang awak, kampuang halaman tatap dikana juo

c. Jauh bajalan banyak diliek, lamo hiduik banyak dirasoi

d. Malu tak dapek dibagi, suku tak dapek diasak, raso ayia ka pamatang, raso minyak ka kuali

e. Takajuik urang tagampa awak, kaba baiak bahimbauan, kaba buruak bahambauwan

f. Banabu-nabu bak cubadak, baruang-ruang bak durian, nan tangkainyo hanya sabuah, nan batangnyo hanyo satu, saikek umpamo lidi, sarumpun umpamo sarai, satandan umpamo pinang, sakabek umpamo siriah.

4.3.1 Nilai Persatuan dan Kesatuan

4.3.1.1 Umumnya NMPA Minangkabau memahami secara benar pengertian mamangan tentang “bulek kato ka mupakat”.

4.3.1.2 Umumnya NMPA Minangkabau memahami mamangan tentang “banyak indak buliah dibuang, saketek indak buliah disimpan” secara benar (sesuatu itu harus dimunculkan dari bawah).

4.3.1.3 NMPA Minangkabau umumnya memahami mamangan tentang “kemenakan barajo ka mamak” dengan pemahaman yang benar.

4.3.1.4 Pada umumnya NMPA Minangkabau dapat memahami mamangan tentang “pikia palito hati” secara baik dan benar, walaupun demikian masih ada juga sebagian kecilnya yang tidak memahaminya secara benar.

4.3.1.5 Umumnya memahami mamangan tentang “janji babuek batapeki” dapat memahaminya.

4.3.1.6 Umumnya mereka memahami secara baik dan benar mamangan tentang “nan rajo kato mupakat” dengan pengertian kemufakatan di atas segalanya.

4.3.1.7 Pada umumnya mereka memahami mamangan tentang “duduak basamo ba lapang-lapang” dengan baik dan benar.

4.3.1.8 Umumnya mereka dapat memahami mamangan tentang “elok di ambiak jo mupakat, buruak di buang jo etongan” dengan pengertian yang tepat dan benar.

4.3.1.9 Umumnya NMPA Minangkabau dapat memahami secara benar dan tepat maksud mamangan “randah tak dapek dilangkahi tinggi tak dapek dipanjek”.

4.3.1.10Umumnya NMPA Minangkabau dapat memahami mamangan tentang “bersilang kayu dalam tungku sinan nasi mangko masak” dengan tepat dan benar.

Nilai-nilai persatuan dan kesatuan dalam syarat meliputi:

a. Bersatu tidak boleh bercerai-cerai

يأ يها الذين أ منوا إ تقوا الله حق تقاته ولا تموتن إلا وأ نتم مسلمون. واعتصموا بحيبل الله جميعا ولا تفرقوا، واذكروا نعمت الله عليكم إذ كنتم أعداء فأ لف بين قلوبكم فأ صبحتم بنعمته إخوانا، وكنتم على شفا حفرة من النار فأ نقذ كم منها، كذلك يبين الله لكم أ ياته لعلكم تهتدون (ال عمران: 102-103).

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dengan sebenar-benar takwa, dan jangan sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan berserah diri kepada Allah dan berpegang teguhlah kamu semuanya kepada tali Allah, dan janganlah kamu bercerai-cerai dan ingatlah akan nikmat Allah kepada kalian ketika kamu dulu bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hati kamu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara (QS. Ali Imran; 102-103).

b. Orang yang beriman ibarat sebuat bangunan

Sabda Rasulullah saw

أ لمؤمن للمؤمن كالبنيان يشد بعضه بعضا (رواه البخارى ومسلم)

Seorang mukmin terhadap mukmin lainnya, bagi suatu bangunan yang menopang satu bagian terhadap bagian lainnya (HR. Bukhri dan Muslim.

Firman Allah SWT

ضربت عليهم الذلة أ ين ما ثقفوا إلا بحبل من الله وحبل من الناس وبأؤ بغضب من الله وضربت عليهم المسكنة، ذلك بأ انهم كانوا يكفرون بأ يات الله ويقتلون الأ ابياء بغير حق، ذلك بما عصوا وكانوا يعتدون (ال عمران: 112).

Mereka diliputi kehinaan dimana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tlai (perjanjian) dengan manusia, dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi kerendahan. Yang demikian itu karena mereka kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa alasan yang benar. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas (QS. Ali Imran: 112).

4. Nilai-nilai Demokrasi dan Musyawarah

Nilai-nilai demokrasi dan musyawarah dalam adat meliputi beberapa aspek

a. Bulek aia ka pambuluah, bulek kato ka mufakek, bulek dapek digolongkan, pipiah buliah dilayangkan.

b. Kato nan banyak dari bawah, banyak indak buliah dibuang, saketek indak buliah disimpan.

d. Kamanakan barajo ka mamak, mamak barajo ka pangulu, pangulu barajo ka mufakek, mufakek barajo ka nan bana, bana badiri sandirinya, manuruik alua jo patuik.

e. Pikia palito hati, tanang hulu bicaro, aniang saribu aka, dek saba bana mandatang

f. Suri tagantuang batanuni, luak taganang nan basawuak, kayu batakuak barabahkan, janji babuek batapati.

g. Duduak basamo balapang-lapang, duduak surang basampik-sampik, kato surang babulati, kato basamo dipaiyokan

h. Baiyo-iyo jo adiak, batido-tido jo kakak, elok diambiak jo mufakek, buruak dibuang jo etongan.

i. Sabalik bapaga kawek, randah tak dapek dilangkahi, tinggi tak dapek dipanjek.

j. Galugua buah galugua, tumbuah sarumpun jo puluik-puluik, badampiang jo batang jarak, basilang kayu dalam tungku, sinan nasi nasi mangko masak.

k. Saukua mangko manjadi, sasuai mangko takana, nan bana kato saiyo, nan rajo kato mufakek.

4.3.2 Nilai Demokrasi dan Musyawarah

4.3.2.1 Umumnya NMPA Minangkabau dapat memahami maksud mamangan tentang “tagak kampung paga kampung” secara baik dan benar.

4.3.2.2 Sebagian besar NMPA Minangkabau dapat memahami maksud mamangan tentang “malu tak dapek dibagi” dengan benar dan baik.

4.3.2.3 Sebagian besar NMPA Minangkabau memahami mamangan tentang “satinggi-tinggi tabang bangau hinggoknyo ka kubangan juo” dengan baik dan benar, namun demikian masih ada di antara NMPA Minangkabau pemahamannya belum tepat.

4.3.2.4 NMPA Minangkabau umumnya memahami mamangan tentang “jauh banyak diliek lamo iduik banyak dirasai” secara baik dan benar (perlu adanya pengalaman hidup).

4.3.2.5 Sebagian besar NMPA Minangkabau memahami maksud mamangan tentang “nan tampuak hanyolah sabuah nan batang iyolah satu” dengan benar dan baik (bersatu dalam perbedaan), sedangkan yang lainnya tidak memahami secara tepat dan benar.

4.3.2.6 Umumnya NMPA Minangkabau memahami maksud mamangan tentang “nan tampuak hanyo sebuah” secara benar dan tepat (satu keturunan).

4.3.2.7 NMPA Minangkabau umumnya memahami maksud mamangan tentang “satinggi-tinggi tabang bangau hinggoknyo ka kubangan juo” dengan tepat dan benar (kita semua akan kembali ke asal).

4.3.2.8 Walaupun pemahaman mereka bervariasi namun sebagian besar NMPA Minangkabau dapat memahami maksud mamangan tentang “suku tak dapek di asak” secara benar dan tepat (suku tak bisa dipertukarkan).

4.3.2.9 Walaupun ada variasi pemahaman NMPA Minangkabau, namun umumnya mereka memahami mamangan tentang “raso aie ka pamatang raso minyak ka kuali” dengan benar dan tepat (menyatu dengan lingkungan di mana berada).

4.3.2.10Nampaknya NMPA Minangkabau umumnya memahami maksud “tagampa awak” secara baik dan benar sesuai dengan maksud mamangan tersebut.

Nilai-nilai demokrasi dan musyawarah dalam syarak meliputi beberapa aspek yang jelas dalam tata cara melaksanakan musyawarah serta perilaku, di antaranya ;

Firman Allah SWT

فبما رحمة من الله لنت لهم، ولو كنت فظا غليظ القلب لانفضوا من حولك، فاعف عنهم واستغفرلهم وشاورهم فى الامر فإ ذا عزمت فتوكل على الله، إ ن الله يحب المتوكلين (ال عمران: 159).

Maka disebabkan rahmat dari Allahlah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah ia menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya (QS. Ali Imran: 159).

Firman Allah SWT

… وأمرهم شورى بينهم ومما رزقناهم ينفقون (الشورى: 38).

“…Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka, dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka” (QS. Al-Syura: 38).

Sabda Rasulullah SAW

ما خاب من اتخار ولا ندم من اشتشار

Tidak akan gagal orang yang mengerjakan istikharah dan tidak pula menyesal orang yang melakukan musyawarah

Sabda Rasulullah

المستشار مؤتمن

“Orang-orang yang melakukan musyawarah akan tentram (aman)”

5. Nilai-nilai Akhlak / Budi Pekerti

Nilai-nilai budi pekerti / akhlak dalam adat meliputi:

a. Nan kuriak kundi, nan merah sago, nan bayiak budi, nan indah baso

b. Satali pambali kumayan, sakupang pambali katayo, sakali lancuang ka ujian, salamo hiduik urang tak picayo

c. Batanyo lapeh arak, barundiang sudah makan

d. Raso dibaok nayiak, pareso dibaok turun

e. Sulaman manjalo todak, naiak sampan turun parahu, punyo padoman ambo tidak, angin bakisa ambo tau

f. Bajalan paliharo kaki, bakato paliharo lidah

g. Pisang ameh baok balayia, masak sabuah di dalam peti, utang ameh dapek dibayia, utang budi dibaok mati.

h. Dek ribuik rabahlah padi, dicupak Datuak Tumangguang, jikok hiduik indak babudi, duduak tagak ka mari tangguang.

i. Nilai Budi Pekerti dan Raso Pareso

1. Sebagian besar NMPA Minangkabau dapat memahami makna mamangan tentang “nan bayiak iyolah budi” dengan baik dan benar.

2. Sebagian besar mereka memahami maksud mamangan tentang “nan indah iyolah baso” dengan banar.

3. Umumnya NMPA Minangkabau dapat memahami maksud mamangan tentang “nan baiak iyolah budi nan indah iyolah baso” secara tepat dan benar.

4. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa seluruh NMPA Minangkabau memahami maksud mamangan “utang budi dibaok mati” secara tepat dan benar.

5. NMPA Minangkabau seluruhnya dapat memahami maksud mamangan tentang “sekali lancuang kaujian salamo iduik urang tak picayo” dengan baik dan benar.

6. Umumnya NMPA Minangkabau dapat memahami mamangan tentang “barunding sesudah makan” dengan benar.

7. Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa NMPA Minangkabau dapat memahami maksud mamangan tentang “pareso dibao turun” secara baik dan benar (memikirkan akibat sebelum berbuat).

8. Umumnya NMPA Minangkabau memahami maksud mamangan “raso dibao naik” secara tepat dan benar (mempergunakan akal sehat sebelum berbuat).

9. Nampaknya sebagian besar NMPA Minangkabau dapat memahami mamangan tentang “punyo pedoman ambo tidak angin bakisa ambo tau” dengan baik dan benar.

10. Sebagian besar NMPA Minangkabau dapat memahami arti dan maksud mamangan tentang “bakato paliharo lidah” secara baik dan benar.

Nilai-nilai budi pekerti dan akhlak dalam syarak sangat banyak ditemukan:

Firman Allah SWT

لا إ كراه في الدين، قد تبين الرشد من الغي، فمن يكفر بالطاغوت ويؤمن بالله فقد إ ستمسك بالعروة الوثقى لا انفصام لها، والله سميع عليم (البقرة: 256)

Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari pada jalan yang sesat. Karena itu barang siapa yang ingkar kepada Taghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. al-Baqarah: 256)

Firman Allah SWT

هو الذي خلقكم فمنكم كا فر ومنكم مؤمن والله بما تعملون بصير (التغابون: 2)

Dialah yang menciptakan kamu, maka diantara kamu ada yang kafir dan diantaramu ada yang beriman. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan (QS. Al-Taghabun: 2)

Firman Allah SWT

لا يكلف الله نفسا إ لا وسعها، لها ما كسبت وعليها ما ا كتسبت، ربنا لا تؤخذنا إ ن نسينا أو اخطأنا، ربنا ولا تحمل علينا إ صرا كما حملته على الذين من قبلنا، ربنا ولا تحملنا ما لا طقة لنا به، واعف عنا، واغفرلنا، وارحمنا، انت مولنا فانصرنا على القوم الكفرين (البقرة: 286).

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya, (mereka berdoa): ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum kafir (QS. Al-Baqarah: 286).

Sabda Rasulullah SAW

يسروا ولا تعسروا وبشروا ولا تنفروا (رواه البخارى)

Permudahlah jangan mempersulit dan gembirakanlah jangan menakut-nakuti (HR. Bukari).

6. Nilai-nilai Sosial Kemasyarakatan

Nilai-nilai sosial kemasyarakatan adat dan syarak meliputi antara lain

a. Nan buto pahambuih lasuang, nan lumpuah pengajuik ayam, nan pakak palatuih badia

b. Barek samo dipikua, ringan samo dijinjiang, nan barek makanan bahu, nan ringan makanan jinjiang.

c. Takajuik urang tagampa awak, kaba baiak bahimbauan, kaba buruak bahambauan.

d. Bungka ameh manahan asah, ameh batua manahan uji, kato batua manahan sudi, hukum batuah manahan bandiang.

e. Nan tak untuak jan diambiak, nan bakeh yo diunyi, turuik alua nan luruih, tampuah jalan nan pasa

f. Sawahlah diagiah pamatang, ladanglah diagiah bamintalak, lah tantu hinggo jo batehnya, lah tahu rueh jo buku

g. Ketek taraja-raja, gadang tarubah tidak, lah tuo jadi parangai.

“ Pendidikan di rumah tangga tentang perilaku dan budi pekerti

sangat penting. Menanamkan perilaku bertanggung jawab

sejak kecil ”

h. Kato sapatah dipikiri, jalan salangkah ma adok suruik

“ Hati-hati dalam berucap dan bertindak “

i. Syarak mangato, adat mamakai, syarak mandaki, adat manurun

“ Ketetapan syarak dipakai dalam adat “

j. Sasakik sasanang, sahino samalu, nan ado samo dimakan, kok indak samo ditahan, barek samo dipikua, ringan samo dijinjiang. Ka bukik samo mandaki, ka lurah samo manurun, tatilungkuik samo makan tanah, talilantang samo makan angin.

“ Gotong royong wajib ditumbuhkan di tengah masyarakat

Minangkabau (Sumbar), menggerakkan potensi moril materil,

untuk membangun nagari, dan menghapus kemiskinan”

4.3.3 Nilai Sosial Kemasyarakatan

4.3.3.1 Hanya sebagian kecil NMPA Minangkabau yang dapat memahami maksud mamangan tentang “nan buto paambuih lasuang, nan lumpuah pengajuik ayam” secara benar (fungsi kemanusiaan), dan sebagian besar kurang memahaminya secara benar.

4.3.3.2 Pada umumnya NMPA Minangkabau dapat memahami maksud mamangan tentang “barek samo dipikul ringan samo dijunjing” secara tepat dan benar (suka bergotong royong).

4.3.3.3 Umumnya NMPA Minangkabau dapat memahami maksud mamangan tentang “takajuit urang tagampa awak” dengan benar(sifat tolong menolong).

4.3.3.4 Umumnya NMPA Minangkabau dapat memahami mamangan tentang “hukum batuah manahan banding” dengan tepat dan benar (menegakkan nilai-nilai keadilan).

4.3.3.5 Umumnya NMPA Minangkabau dapat memahami maksud mamangan tentang “nan tak untuak jan di ambik” secara tepat dan benar (menjaga keseimbangn antara hak dan kewajiban).

4.3.3.6 Sebagian besar NMPA Minangkabau memahami secara baik dan benar maksud mamangan tentang “lah tau rueh jo buku” (mematuhi aturan yang ada).

4.3.3.7 Sebagain besar NMPA Minangkabau dapat memahami maksud “lah gadang barubah tidak” secara benar dan tepat.

4.3.3.8 Sebagian besar NMPA Minangkabau dapat memahami mamangan tentang “kato sapatah dipikiri” secara tepat dan benar (memikirkan hal yang akan disampaikan sebelum berbicara).

4.3.3.9 Umumnya pemahaman NMPA Minangkabau tentang maksud mamangan tentang “syarak mangato adat mamakai” berada pada pemahaman yang benar (perjalanan adat penghulu seiring dengan ulama).

4.3.3.10Sebagian besar NMPA Minangkabau memahami maksud “sasakik sasanang” dengan pengertian yang tepat dan benar (rasa kebersamaan).

Nilai-nilai sosial kemasyarakatan dalam syarak sebagai berikut:

a. Saling tolong menolong

Firman Allah SWT

تعاونوا على البر واتقوا ولا تعاونوا على الاثم والعدوان (المائدة: 2)

Saling tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan takwa dan janganlah kamu tolong menolong berbuat dosa dan permusuhan (QS. Al-Maidah: 2).

Sabda Rasulullah SAW

انصر اخاك ظالما أو مظلوما (رواه البخارى)

Tolonglah saudaramu yang berbuat zalim dan yang dizalimi (HR. Bukari)

Sabda Rasulullah

ليس منا من لم يرحم صغيرنا ولم يعرف حق كبيرنا (رواه ابو داود وترمذى)

Tidak termasuk umatku orang yang tidak mengasihi generasi muda dan tidak menghormati orang tua (HR. Abu Daud dan Tirmizi).

Sabda Rasulullah

تحجزة من ظلمه فذلك نصره

“Hindarkanlah atau cegahlah dia dari bertindak aniaya itulah cara menolongnya”

c. Tidak boleh keluar dari kelompok (jama’ah)

وعليكم بالجمعة فمن شذ شذ في النار (رواه ترميذ)

Kamu harus hidup dalam jama’ah siapa saja yang mengasingkan diri dari jama’ah, dia akan menyendiri masuk ke dalam api neraka (HR. Tirmizi).

d. Waspada dan menjaga keselamatan bersama

Allah berfirman

وتقوا فتنة لا تصيبن الذين ظلموا منكم خاصة (الانفال: 25).

Takutlah kamu kepada fitnah yang tidak hanya menimpa kepada orang yang zalim saja (QS. al-Anfal: 25)

Allah SWT berfirman

وتواصوا بالحق وتواصو بالصبر (العصر: 3)

Saling menasehatilah tentang kebenaran dan saling menasehatilah dengan kesabaran (al-Ashr: 3)

Sabda Rasulullah SAW

إذا استنصح احدكم اخاه فالينصح له (رواه البخارى)

Jika kamu dimintai nasehat oleh salah seorang saudaramu, maka berikanlah nasehatmu kepadanya (HR. Bukari)

Sabda Rasulullah SAW:

الدين النصيحة سئل لمن؟ فقال: فقال: لله ولكتابه ولرسوله ولامة المسلمين عامتهم

Agama itu nasehat, kemudian ditanyakan kepada beliau, bagi siapa nasehat itu? Rasulullah menjawab: bagi Allah, bagi kitab-kitabnya, bagi rasulnya, bagi para pemimpin muslim, dan jama’ah pada umumnya (HR. Muslim)

e. Berlomba mencapai kebaikan

Allah SWT berfirman

فاستبقوا الخيرات … (البقرة: 146)

Dan saling berlombalah kamu untuk berbuat kebaikan dimana kamu berada (QS. al-Baqarah: 146)

Sabda Rasulullah SAW

اتق الله حيث ما كنت واتبع السيئة الحسنة تمحها وخالق الناس بخلق حسن (رواه الحاكم والترمذي)

Bertakwalah selalu kepada Allah dimana saja kamu berada, dan iringilah selalu perbuatan salahmu dengan kebaikan, semoga dapat terhapus kesalahan tersebut, dan pergaulilah manusia dengan selalu bersikap ikhlas (terpuji). (HR. Hakim dan Tarmizi).

f. Tidak boleh mencela dan menghina

Allah SWT berfirman

يايها الذين امنوا لا يسخر قوم من قوم عسى ان يكونوا خيرا منه

ولا نساء من عسى ان يكن خيرا منهن ولا تلمزوا انفسكم

ولا تنابزوا بالالقاب بئس الاسم الفسوق بعد الايمان

ومن لم يتب فاولئك ثم الظلمون (الحجرات: 11).

Wahai umat yang beriman, janganlah hendaknya terjadi suatu kaum menghina kaum yang lainnya, boleh jadi yang dihina ternyata lebih baik keadaannya daripada yang menghina. Demikian juga janganlah para wanita itu menghina kelompok wanita yang lainnya, karena boleh jadi wanita yang dicela itu lebih baik dari yang mencela. Janganlah saling mencerca dan janganlah berolok-olok dengan sebutan-sebutan yang jelek. Seburuk-buruk sebutan fasik sesudah orang itu beriman (al-Hujurat: 11).

g. Menepati janji

Firman Allah:

لا يحل لمسلم ان يحجر اخاه فوق ثلاث يلتقيان

Penuhilah janji, karena sesungguhnya janji itu akan diper-tanggungjawabkan (al-Isra’: 34)

Firman Allah SWT:

يايها الذين امنوا اوفوا بالعقود (المائدة: 1)

Wahai umat yang beriman, penuhilah selalu janji-janjimu (QS. al-Maidah: 1)

Firman Allah SWT:

والموفون بعهدهم إذا عاهدوا (البقرة: 177)

Dan orang-orang yang selalu menyempurnakan janji-janjinya, jika ia membuat perjanjian (QS. al-Baqarah: 177)

h. Bersikap adil

Allah SWT berfirman:

قل امر ربي بالقسط (البقرة: 29)

Katakanlah: telah memerintahkan Tuhanku agar berbuat adil (QS. al-A’raf: 29)

Allah SWT berfirman:

يايها الذين امنوا كونوا قوامين لله شهداء بالقسط ولا يجرمنكم شنان قوم على الا تعدلوا اعدلوا هو اقرب للتقوى ان الله خبير بما تعملون (المائدة: 8).

Wahai umat yang beriman, hendaklah kamu menjadi manusia yang lurus karena Allah dan menjadi saksi, dan janganlah kebencian atas suatu kaum menyebabkan kamu tidak adil. Berlaku adilah kamu, karena adil itu lebih dekat kepada takwa (kebaktian). Bertakwalah kamu kepada Allah, karena sesungguhnya Allah amat mengetahui terhadap apa yang kamu kerjakan. (QS. al-Maidah: 8).

Allah SWT berfirman:

خذ العفو وأمر بالمعرف واعرض عن الجاهلين (الاعراف: 199)

Berilah maaf dan anjurkanlah orang untuk berbuat adil dan hindarilah pergaulan dengan orang-orang bodoh (kecuali untuk mendidik mereka). (QS. al-A’raf: 199)

Sabda Rasulullah SAW:

اتق الله حيث ما كنت واتبع السيئة الحسنة تمحها وخالق الناس بخلق حسن (رواه الحاكم والترمذي)

Bertakwalah selalu kepada Allah dimana saja kamu berada, dan iringilah selalu perbuatan salahmu dengan kebaikan, semoga dapat terhapus kesalahan tersebut, dan pergaulilah manusia dengan selalu bersikap ikhlas (terpuji) (HR. al-Hakim dan Tirmizi).

Tidak boleh bermusuh-musuhan

Rasulullah SAW bersabda:

عن ابى هريرة رضى الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: لا تحاسدوا ولا تباغضوا ولا تجسسوا ولا تسسو ولا تناجشوا وكونوا عبد الله اخوانا (متفق عليه).

Dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda; janganlah kamu saling mendengki, saling membenci, saling mencari kesalahan yang lain, saling mengumpat dan jangan pula saling menipu. Tetapi jadilah kam hamba-hamba Allah penuh persaudaraan (HR. Bukhari dan Muslim).

Sabda Rasulullah SAW

سباب المسلم لسوق وقتاله كفر (رواه بخارى ومسلم)

Mencerca seorang muslim adalah fasiq, dan membunuh seorang muslim adalah kufur (HR. Bukhri dan Muslim)

Sabda Rasulullah SAW:

انصر اخاك ظالما أو مظلوما (رواه البخارى)

Tolonglah saudaramu yang berbuat zalim dan yang dizalimi (HR. Bukhari).

Sabda Rasulullah:

ليس منا من لم يرحم صغيرنا ولم يعرف حق كبيرنا (رواه ابو داود وترميذي).

Tidak termasuk umatku orang yang tidak mengasihi generasi muda dan tidak menghormati orang tua (HR. Abu Daud dan Tirmizi)

Sabda Rasulullah:

تحجزه من ظلمه فذلك نصره

Hindarkanlah atau cegahlah dia dari bertindak aniaya itulah cara menolongnya.

Sabda Rasulullah:

المسلم اخو المسلم لا يظلمه ولا يخذ له (رواه ابو داود)

Seorang muslim adalah saudara muslim yang lainnya, karena itu tidak menganiaya saudaranya, tidak merendahkan derajatnya dan tidak menanggapinya sepele dan hina (HR. Abu Daud).

Tidak boleh bermarahan.

Rasulullah SAW bersabda:

لا يحل لمسليم ان يهجر اخاه فوق ثلاث

Tidak halal bagi seorang muslim mendiamkan saudaranya (sesama muslim) lebih dari tiga hari (HR. Bukari, Muslim, Abu Daud, Tirmizi, Muwatha’ dan Ahmad).

Allah SWT berfirman:

يايها الذين امنوا كونوا قوامين لله شهداء بالقسط ولا تجر منكم شنان قوم على الا تعدلوا اعدلوا هو اقرب للتقوى ان الله خير بما تعملون (المائدة: 8)

Wahai umat yang beriman, hendaklah kamu menjadi manusia yang lurus karena Allah dan menjadi saksi dan janganlah kebencian atas suatu kaum menyebabkan kamu tidak adil. Berlaku adillah kamu, karena adil itu lebih dekat kepada takwa (kebaktian). Bertakwalah kamu kepada Allah, karena sesungguhnya Allah amat mengetahui terhadap apa yang kamu kerjakan. (QS. al-Maidah: 8).

Allah SWT berfirman:

خذ العفو وأمر بالعرف واعرض عن الجاهلين (الاعراف: 199).

Berilah maaf dan anjurkanlah orang untuk berbuat adil dan hindarilah pergaulan dengan orang-orang bodoh (kecuali untuk mendidik mereka).

Pengamalan Nilai-Nilai Adat Basandi Syarak

Pauh IX, di Kota Padang, Propinsi Sumatera Barat. Nagari Pauh IX penduduknya berasal dari pendatang dari daerah Saniang Baka dan Muaro Paneh. Di Nagari Pauh IX terdapat beberapa suku yaitu Koto, Sikumbang, Melayu, Tanjung, Jambak, Caniago, dan Guci. Kelengkapan NMPA Minangkabau yang ada disini adalah: penghulu, nan tuo, pandito adat (malin) dan rang basako (dubalang).

Sistem pewarisan pemangku adat terjadi bila seorang penghulu meninggal dunia. Hal ini sesuai dengan mamangan yang berbunyi: “Sileh baju tanah tasirah di kuburan”. Pemikiran pengganti penghulu yang meninggal melalui sistem pewarisan yang disebut, gadang balega cayo batimbang, kalupuak pakai memakai malatakkan parmato di kapuaknyo”. Ada juga dengan cara “Iduik bakarilaan mati batungkek budi”. Maksudnya jika usia tidak mengizinkan lagi maka dapat ditunjuk penggantinya melalui musyawarah kaum atau suku.

Kanagarian Pariangan, di Kecamatan Pariangan, Kebupaten Tanah Datar, Propinsi Sumatera Barat. Nagari Pariangan mempunyai ninik mamak nan salapan dan suku nan salapan, adalah: 1) Datuk Sinaro, suku Piliang, 2) Datu Basar, suku Koto, 3) Datuk Tinaro, suku Dalimo Panjang, 5) Datu Kayo, suku Pisang, 6) Datuk Suri Dirajo, suku Dalimo Singkek, 7) Datuk Marajo Japang, suku Piliang Laweh, 8) Datuk Tan Bijo, suku Sikumbang. Di samping ninik mamak nan salapan sebagai pimpinan adat, ada Tuangku nan barampek sebagai pimpinan syarak, yaitu ; 1) Tuangku Piliang jo Malayu, Panjang jo Piliang, Laweh, dan 4) Tuanku Dalimo Singkek jo Sikumbang. Sedangkan pimpinan tertinggi menurut adat dan syarak di kenagarian Pariangan adalah: “Bandaro Kayo” sebagai tampuak tangkai alam Minangkabau.

Nilai-Nilai Ketuhanan. Pemahaman nilai-nilai ketuhanan masyarakat Nagari Pauh IX Padang masih tampak dalam penggunaan Masjid. Sebagian besar masyarakat Nagari Pauh IX beragama Islam. Masjid digunakan oleh masyarakat Nagari Pauh IX Padang untuk pelaksanaan ibadah sholat setiap waktu (Shubuh, Zuhur, Ashar, Magrib, dan Isya). Jumlah mereka yang menggunakannya tidaklah banyak. Masjid di Nagari Pauh IX selain digunakan untuk ibadah sholat juga digunakan untuk pendidikan Islaminya masyarakat sekitarnya. Selain itu, di masjid juga digunakan untuk pelaksanaan MTQ dan Khatam Quran, dan untuk pelaksanaan ijab Qabul (nikah).

Disamping masjid juga ada banyak mushalla, yang digunakan oleh sebagian besar masyarakat untuk pelaksanaan ibadah sholat lima waktu (wajib), sholat Tarwih saat bulan puasa. Hampir di setiap nagari di Pauh IX memiliki surau. Bahkan setiap komplek memilikinya. Bila dibandingkan jumlahnya, mushalla lebih banyak daripada masjid. Selain tempat ibadah sholat, mushalla juga digunakan untuk pelaksanaan pendidikan Islami.

Saat-saat situasi azan beberapa anggota masyarakat usia lanjut pergi ke masjid dan surau untuk melaksanakan ibadah sholat. Namun, jumlah jamaah yang paling banyak adalah saat sholat Magrib dan Isya.

Pengamalan keagamaan dalam ABSSBK di Kenagarian Pariangan Tanah Datar, masih jauh dari harapan. Hal ini dapat dilihat dari jumlah penduduk yang melaksanakan shalat berjama’ah di masjid. Pada umumnya yang melaksanakan shalat berjama’ah adalah kaum ibu yang sudah tua-tua. Sementara para remaja lebih senang nongkrong di kedai-kedai sekitar masjid saat azan berkumandang, sedang kaum bapak sibuk dengan pekerjaannya. Begitu juga mushalla-mushalla yang ada di Kanagarian Pariangan kurang dimanfaatkan untuk pembinaan pendidikan anak, bahkan ada mushalla yang tidak dimanfaatkan sama sekali. Akan tetapi dalam pembayaran zakat dan zakat fitrah masyarakat melaksanakan dengan sepenuhnya.

Nilai-Nilai Kemanusiaan. Pemahaman masyarakat Nagari Pauh IX terhadap nilai-nilai kemanusiaan terlihat pada hari baik dan hari buruk. Filosofi adat yang berbunyi “kaba bayiak bahimbauan, kaba buruak bahambauan” masih terlihat dalam kehidupan sehari-hari, misalnya saat acara kematian, mereka selalu melakukan “tagak payuang” sebagai lambang duka. Masyarakat sekitarnya ikut mendatangi rumah yang ditimpa musibah (manjanguak). Hari berikutnya, masyarakat juga masih mendatangi rumah yang berduka untuk menyumbangkan “kaji” (mangaji di rumah yang kemalangan, yaitu membacakan yasin secara bersama-sama) sebagai rasa ikut membantu si almarhum melapangkan dari azab kubur. Dalam pesta kebaikan seperti baralek, di masyarakat Pauh IX Padang ditemukan nilai-nilai kemanusiaan seperti tetangga terdekat ikut membantu mamasak di rumah si Alek tanpa diperintahkan terlebih dahulu.

Pengamalan nilai-nilai ukhuwah Islamiyah masih dijumpai pengamalannya dalam masyarakat di Kanagarian Pariangan, namun tidak seerat pada masa lalu. Dahulu aspek kehidupan yang membutuhkan orang banyak selalu dikerjakan secara gotong royong, seperti dalam mengolah sawah, pembuatan rumah, perhelatan/upacara perkawinan, pembuatan masjid/mushalla. Sekarang lebih banyak dikerjakan secara sendiri-sendiri. Yang masih konsisten sampai sekarang dilaksanakan secara bersama adalah perhelatan/upacara perkawinan, sedangkan yang lainnya sudah dilaksanakan secara sendiri-sendiri. Bahkan pembuatan masjid/mushalla tidak lagi dilaksanakan secara gotong royong.

Nilai Ukhuwah Islamiyah/Kesatuan dan Persatuan. Nilai-nilai ukhuwah Islamiyah/Kesatuan dan Persatuan juga dapat dijumpai dalam masyarakat Pauh IX, seperti dalam alek buruak dan alek bayiak. Dalam alek buruak seperti, kedatangan mereka tanpa diundang terlebih dahulu. Dalam masyarakat Nagari Pauh IX juga ditemui nilai-nilai ukhuwah Islamiah/Kesatuan dan Persatuan seperti untuk membangun rumah. Di daerah ini juga ditemui sebuah kaum yang sangat menjunjung tinggi nilai kesatuan dan persatuan. Di dalam kaum, pekerjaan baik dan pekerjaan buruk selalu dikerjakan secara bersama.

Pengamalan nilai-nilai kemanusiaan di Kenagarian Pariangan masih diamalkan oleh masyarakat. Salah satu indikator pengamalan masyarakat adalah “kaba baiak baimbauan, kaba buruak baambauan”. Setiap terjadi kematian salah seorang anggota masyarakat, maka diumumkan dari masjid tentang peristiwa tersebut, maka masyarakat berduyun datang ke rumah duka untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan jenazah. Begitu juga malam-malam berikutnya, orang berkumpul di rumah duka untuk melaksanakan tadarusan.

Nilai Musyawarah dan Demokrasi. Nilai musyawarah yang dijumpai dalam masyarakat Pauh IX seperti terlihat dalam pemberian gelar adat untuk marapulai dan atau datuak, musyawarah dalam mencari hari baik bulan baik untuk pesta perkawinan. Nilai-nilai musyawarah dan demokrasi tersebut terlihat saat ninik mamak dengan ninik mamak berunding tentang apa gelar yang akan diturunkan kepada kemenakan (marapulai). Keputusan diambil ninik mamak berdasarkan filosofi “bulek ayia ka pambuluah, bulek kato ka mufakat”, “karajo bayiak elok dipacapek nak jan tumbuah di nan buruak”.

Pengamalan nilai-nilai musyawarah/demokrasi yang membudaya di Kanagarian Pariangan disebut dengan “baiyo batido”, salah satu bentuk sistem musyawarah di Nagari, dalam berbagai aspek kehidupan seperti, mendirikan rumah baru, mencari jodoh anak perempuan, melakukan perhelatan perkawinan dan sebagainya.

Nilai Raso Pareso/Akhlak/Budi Pekerti. Nilai-nilai yang berhubungan dengan raso pareso/akhlak/budi pekerti yang dijumpai dalam masyarakat Nagari Pauh IX Padang adalah semakin hilangnya identitas keminangkabauan, terutama rasa malu di dalam diri, seperti berpakaian ketat, memperlihatkan aurat (anak gadis pergi sekolah atau ke pasar mengenakan pakaian ketat dan celana pendek), main bola dan main domino dengan anak kemenakan. Hal ini seperti terlihat di sebuah kedai di Pauh IX, kemenakan dan mamaknya satu meja domino. Bahkan sama-sama mencari nomor buntut di kedai tersebut.

Nilai-nilai akhlak/budi pekerti dalam masyarakat Kanagarian Pariangan nampaknya semakin kurang seperti juga masyarakat lain, masyarakat Kanagarian Pariangan mengalami krisis identitas terutama di kalangan anak muda. Para remaja dalam berpakaian tidak lagi mengikuti norma-norma agama dan adat, begitu juga dalam pergaulan, para remaja putri banyak yang berpakaian tidak menutup aurat. Remaja putra dan putri sering keluar malam berdua-duan tanpa didampingi oleh muhrimnya.

Gotong Royong/Sosial Kemasyarakatan. Nilai-nilai gotong royong masih dijumpai dalam masyarakat Nagari pauh IX, terutama dalam pembangunan masjid, mushalla dan perbaikan/pemeliharaan jalan. Mereka melakukannya dengan hati ikhlas, bahkan kaum ibunya ikut menyumbangkan nasi bungkus untuk pelaksanaan gotong royong tersebut.

Nilai-nilai sosil kemasyarakat yang diamalkan oleh masyarakat Pariangan dapat dilihat dari aplikasi “syarak mangato adat mamakai”. Ini terbukti bahwa antara Ninik Mamak Pemangku Adat, selalu bekerja sama dengan ulama dalam membangun dan membina masyarakat. Tradisi-tradisi yang berlaku disana sulit untuk dibedakan apakah tradisi tersebut adat atau agama, karena tradisi tersebut disokong oleh Ninik Mamak dan ulama.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Pemerintah Sumatera Barat hendaknya menyediakan dana untuk peningkatan pemahaman terhadap nilai-nilai adat basandi syarak dengan perencaanan yang tepat dengan hasil yang berlipat.

Pemerintah Sumatera Barat hendaklah menempatkan nilai-nilai adat dan syarak sebagai paradigma kultural landasan pembangunan di Sumatera Barat.

ABS-SBK hendaklah diimplementasikan dalam seluruh sendi kehidupan masyarakat Sumatera Barat. Untuk itu ABS-SBK perlu ditingkatkan pengkajiannya dengan menggunakan berbagai pendekatan seperti pendekatan empiris, normatif, historis dan integralistik.


DAFTAR BACAAN

Azyumardi Azra. 1999. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Jakarta: Logis.

Donal Ary, dkk. 1984. Pengantar Penelitian dalam Pendidikan, terjemahan Arief Farchan. Sutabaya. Usaaha Nasioanl.

Haroen,dkk. 2001. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: Penerbit

I.H.Dt. Rajo Panghulu. 1984. Rangkaian Mustika Adat Basandi Syarak di Minangkabau. Bandung: CV. Remaja Karya.

M. Nasroen. 1971.Dasar Filsafat Adat Minangkabau. Jakarta: Bulan Bitang, 1971

M.R.M. Dt. Radjo Panghoeloe. 1969. Minangkabau: Sejarah Ringkas. Padang: t.p.

Muchtar Naim. 1984. Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau. Yogyakarta: UGM Press.

Pemerintah Propinsi Sumatera Barat. 2001. Program Pembangunan Daerah Propinsi Sumatera Barat Tahun 2001-2005. t.p.

Ramayulis. 2003. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia.

Salmadanis, dkk,. 2003. Adat Basandi Syarak: Nilai dan Aplikasinya Menuju Kembali ke Nagari dan Surau. Jakarta: Kartina Insan Lestari.

Caro Urang Minang Baralek Gadang di Padang

Mananti aleh nan tibo sabondong

Mananti aleh nan tibo sabondong

Galeri Minangkabau

Balai Adaik Nagari di Kotogadang, Kecamatan IV Koto, Kabupaten Agam

Balai Adaik Nagari di Kotogadang, Kecamatan IV Koto, Kabupaten Agam

manjapuik-jo-sirieh-carano.jpg

Talempong Minangkabau

Talempong Minangkabau

Mande Rubiah, Profil Bundo Kanduang dari Lunang

Mande Rubiah, Profil Bundo Kanduang dari Lunang

Basuntiang pakaian anak daro jo marakpulai urang Padang

Basuntiang pakaian anak daro jo marakpulai urang Padang

group-ulama-national-businees-2

Maninjau

Maninjau