PROBLEMATIKA DAKWAH
DI TENGAH PENGUATAN VISI KEMBALI KE SURAU
SEBAGAI SUB SISTIM KEMBALI KE PEMERINTAHAN NAGARI
Oleh : H. Mas’oed Abidin
PENDAHULUAN
NIKMAT ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA yang kita peroleh dengan berbagai kelebihan atau kekurangan adalah hasil pengorbanan dan ketekunan kita secara sambung menyambung dan bukti adanya keterpaduan hati, tekad dan langkah yang di ayunkan bersama sampai hari ini.
Nikmat itu telah membuka banyak peluang dan kesem¬patan kepada kita semua untuk bergerak leluasa dan lebih bertanggung jawab.
Di daerah kita, Sumatra Barat tercinta ini, kini dirasakan nuansa lain, yakni dimulainya langkah kembali ke nagari, walaupun sebelumnya, selama tigadasawarsa wacana ini telah mencuat ke permukaan, sebagai bukti demokratisasi yang berkembang sejak lama, namun baru terbukti dengan diberlakukannya UU No.22/1999 yang memberi kesempatan luas kepada masyarakat untuk berpegang teguh dengan adat bersendi syarak dan syarak bersendikan Kitabullah terlebih di dalam melaksanakan otonomi sampai ketingkat terbawah.
Di daerah Sumbar, peluang tersebut didukung oleh lahirnya Perda No.9/2000 tentang Kembali Ke Pemerintahan Nagari.
Perda ini memberi keleluasaan tertib melaksanakan kaedah adat di ranah Minang yang senyatanya adalah kekayaan budaya paling berharga dalam mendorong motivasi masyarakat (motivation of force) untuk mendinasmisir diri di dalam membangun kampung halaman sampai ketaratak dan nagari.
Implementasi Perda No.9/2000 tentang kembali ke pemerintahan nagari itu, tentu akan memunculkan fenomena baru, mengingat selama 24 tahun kita sudah dibiasakan dengan pemerintahan Desa yang hampir saja menghilangkan kaedah adat salingka nagari yang dianut sebelumnya.
Untuk mengembalikan adat salingka nagari dimaksud, ketika Perda No.9/2000 diberlakukan, tentu bukan perkara mudah. Apalagi ditinjau dari sisi dakwah, maka pemungsian lembaga surau sebagai salah satu sistem pendidikan umat di nagari dengan panduan adat bersendi syarak dan syarak bersendi kitabullah menjadi titik focus yang tidak boleh diabaikan ketika masyarakat kita sedang berhadapan dengan perubahan cepat yang bersentuhan di semua aspek dalam kehidupan anak nagari.
Persoalan inilah yang mendasari pemikiran perlunya pembahasan lebih mendalam dari berbagai sisi, dan keharusan menampilkan model bersama yang amat sangat diperlukan, dalam upaya meraih terwujudnya harapan-harapan anak nagari di tengah banyaknya tantangan social dan pergeseran filosofi hidup masyarakat di Ranah Minang Sumatra Barat ketika bergesekan dengan arus perubahan kesejagatan (globalisasi). Salah satu hasil kajian teramat penting adalah penekanan kepada gerakan kemasyarakatan (social movement) bersama-sama dari anak nagari dalam upaya “Kembali ke Surau sebagai Sub Sistem Kembali ke Pemerintahan Nagari.”
FENOMENA YANG DIHADAPI
KETIKA KEMBALI KE NAGARI
SEPERTI disinggung sebelumnya, persoalan kembali ke Pemerintahan Nagari, merupakan kerja besar meletakan kembali sendi-sendi adat salingka nagari.
Sebuah kenyataan yang tidak terbantahkan infratruktur nagari selama 24 tahun berlalu telah tercabik-cabik adanya, kendati sampai saat ini infrastruktur adat itu masih tetap menjadi jiwa masyarakat Sumatra Barat.
Sebenarnya, ada beberapa fenomena yang sedang terjadi dan berdampak kepada memperlambat upaya merealisasikan idea mulia kembali ke nagari ini.
Di antaranya adalah:
PERUBAHAN PRILAKU
ALAF ini telah berubah begitu cepat dan transparan ditandai hubungan komunikasi, informasi, transportasi serba cepat dan tidak jarang telah memacu kearah lepasnya sekatan-sekatan .
Perubahan cepat yang terjadi di tengah derasnya arus globalisasi menghempaskan alunan baru, menompang riak di gelombang mengangkut pula sampah penetrasi budaya luar (asing). Keadaan ini menggiring perilaku masyarakat, praktek pemerintahan, pengelolaan wilayah dan asset, perkembangan norma dan adat istiadat di banyak nagari di ranah Sumatra Barat menjadi terlalaikan.
Perubahan perilaku ini tampak lebih mengedepan dalam perebutan prestise kelompok berbalut materialistis dan jalan sendiri-sendiri (individualistik) ketimbang mendahulukan kepentingan masyarakat dan anak nagari secara keseluruhan.
Idealisme kebudayaan Minangkabau telah pula menjadi sasaran cercaan.
Indikasinya terlihat pada upaya pencapaian hasil kebersamaan (kolektif bermasyarakat) kurang di pedulikan bila dibandingkan dengan pencapaian hasil perorangan (individual).
Sebenarnya, modal nagari di Sumatra Barat yang tata hidup bermasyarakatnya seakan sebuah republik kecil yang telah mempunyai sistim demokrasi murni, pemerintahan sendiri, asset sendiri, wilayah sendiri, perangkat masyarakat sendiri, sumber penghasilan sendiri, bahkan hukum dan norma-norma adat sendiri yang bertitik tumpu kepada kegotongroyongan.
Maka, salah satu jawaban ideal semestinya adalah menghidupkan semua upaya terpadu dengan mengutamakan pula kesepakatan bersama untuk Kembali ke Pemerintahan di Nagari dengan kewajiban pokok menjaga nilai-nilai ketangguhan yang titik beratnya adalah menerapkan arti dan makna kebersamaan dibimbing oleh adat basandi syarak syarak basandi kitabullah.
MELEMAHNYA WIBAWA GENERASI TUA
MASYARAKAT Sumatra Barat mesti bersyukur kepada Allah, yang menganugerahi rahmat besar dengan nilai tamaddun budaya Minangkabau yang terikat kuat penghayatan Islam dan telah pula diakui sebagai salah satu puncak kebudayaan dunia.
Namun, di sisi lain, keterpesonaan menatap budaya lain di luar kita di tengah derasnya penetrasi budaya asing, kerapkali mengancam generasi pengganti meluncur ke arah degradasi akhlak seiring terbukanya isolasi daerah-daerah sampai ke jantung Ranah Bundo Kanduang.
Hal ini diperparah oleh kurang berperannya da’i dan imam khatib di nagari dalam memfungsikan Surau dan Masjid menjadi pusat pembinaan anak nagari. Sementara itu, mereposisi peran elemen penentu di tengah masyarakat di nagari tidaklah mudah.
Pengalaman selama tiga dasawarsa menampakkan kecenderungan orang tua sebatas memenuhi serba keperluan fisik dan materi semata. Pengajaran akhlak di rumah tangga dan ditengah masyarakat tidak lagi sejajar dengan pengajaran ilmu pengetahuan di sekolah-sekolah.
Hal ini diperparah dengan menipisnya rasa kekerabatan keluarga.
Peran du’at dan peran dakwah terlihat pula melemah dalam membentuk watak generasi mendatang.
Di antara bukti nyata adalah tipisnya penghayatan syarak dalam bentuk ibadah di tengah kehidupan anak nagari, sungguhpun mereka masih tetap mengaku beragama Islam.
Fungsi ninik mamak pun terjebak menjadi pejabat adat yang hanya diperlukan ketika upacara seremonial keadatan.
Akibatnya, ninik mamak kurang signifikan mewarnai kehidupan anak kemenakannya yang pada usia muda mudi terbuka meniru apa saja, tanpa mengindahkan kaedah istiadat yang menjadi rambu-rambu perjalanan hidup bermasyarakat di Minangkabau.
Bila ditinjau lebih dalam, lapuknya pagar adat dan syarak sebenarnya disebabkan oleh lunturnya keteladanan yang diberikan generasi tua.
Hal ini memicu mencuatnya sikap enggan dan acuh generasi pengganti untuk menyerap nilai-nilai utama yang pernah dimiliki generasi tua yang sudah berprestasi.
Keadaan ini boleh dibilang mengkhawatirkan apabila dilihat pada kesiapan Sumatra Barat meniti abad ke duapuluh satu yang serba transparan.
Hal inilah yang mempengaruhi perjalanan serah terima generasi di Ranah Minang yang menghadapkannya pada fenomena ketauladanan yang amat mencemaskan.
Persoalan ini membelit remaja, umat dan anak nagari kita.
Implikasi ini jelas terlihat pada tumbuhnya kebiasaan di kalangan para pelajar kita seperti suka bolos sekolah, malas belajar, suka bermain di mall — pasar – di saat jam belajar di sekolah, suka berkelahi berkelompok seperti tawuran.
Bahkan pelajar pun berani merusak kelas belajar dan rumah sekolah, melempar toko-toko dan menghancurkan perpustakaan sekolah, memukul dan menyandera guru yang mengajar mereka dan berkembang kepada melakukan tindakan vandalisme.
Paling menakutkan, di antaranya terjangkiti pula prilaku “nan ka lamak dek salero” , terbawa arus peristiwa keganasan yang melanda kalangan muda remaja di negeri orang yang jelas faham dan adat istiadat-nya berbeda dengan kita.
Dan tidak jarang pula di antara mereka larut ke dalam tindakan melampaui batas yang menyeret kepada meruyaknya kriminalitas dan pelanggaran norma hukum dalam bermasyarakat.
Cabaran ini mesti dijawab dengan kesiapan menghadapi tantangan sosial, budaya, ekonomi, politik menyangkut setiap aspek kehidupan kemanusiaan ini.
Tidak dapat tidak, semua elemen masyarakat di Ranah Minang berkewajiban memper-siapkan generasi masa depan sejak dini untuk bersaing di era kesejagatan (global) ini, karena Sumbar termasuk salah satu kawasan pengembangan (Grouwth Triangle) Malaysia, Singapura dan Thailand. Globalisasi membawa perubahan prilaku, terutama pada generasi muda, anak didik dan para remaja.
Dahulu rabab nan batangkai, kini langgundi nan babungo
Dahulu adat nan bapakai, Kini pitih nan paguno.
Fenomena pergeseran budaya mencemaskan yang sedang digeluti para remaja kita akan menghempaskan mereka menjadi generasi buih yang akan terhempas menjadi dzurriyatan dhi’afan seperti digambarkan Rasulullah SAW,
Hampir saja bangsa-bangsa memperebutkan kamu dari seluruh penjuru, seperti orang memperebutkan makanan.
Generasi buih berpeluang menjadi the loses generation yang lemah fisik dan ruhani menjadi mangsa madat dan narkoba, akibatnya mereka tidak memiliki keberanian berlomba melawan gelombang kesejagatan ini. Jumlah mereka tidak lantaran sedikit, akan tetapi karena mereka telah dijangkiti penyakit masyarakat.
Bahkan kalian saat itu berjumlah banyak, namun kalian seperti buih diatas air – generasi buih –, dan Allah SWT mencabut rasa takut terhadap kalian dalam dada musuh-musuh kalian, sementara DIA – Allah – akan meletakkan kelemahan – al wahn – dalam hati kalian.
Kalau mancaliak contoh ka nan sudah, pada masa silam keadaan tersebut jarang dan bahkan tidak didapati pada prilaku umat di Ranah Bundo ini.
Kejadian ini lazimnya sering dan selalu dikaitkan dengan kemampuan du’at (pendidik, orang tua, ninik mamak, pemimpin) yang berperan mengajari umat. Kalau hal ini dibiarkan, mau tidak mau akan menyebabkan lahirnya di masa mendatang generasi yang kurang ilmu dan lemah dalam pemahamannya.
UPAYA PENYELAMATAN VISI
KEMBALI KE NAGARI
PARAHNYA kondisi yang dihadapi masyarakat Sumatra Barat memasuki kembali ke pemerintahan nagari, teranglah ada beberapa hal yang perlu dilakukan.
Di antara solusi yang mendesak dilakukan adalah menerapkan ajaran adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah atau secara khusus mendalami sub system dari pemerintahan nagari, dengan penguatan visi surau dan pembekalan para pembinanya.
Di antara yang perlu dilakukan bersama adalah:
MENGANGKAT MARTABAT SULUAH BENDANG DI NAGARI
SUDAH lama kita mendengar ungkapan, “jadilah kamu berilmu yang mengajarkan ilmunya, atau belajar (muta’alliman), atau menjadi pendengar (mustami’an). Dan sekali jangan menjadi kelompok keempat, yang tidak memiliki aktifitias keilmuan sama sekali. Yakni tidak mengajar, tidak pula belajar, tetapi enggan untuk mendengar”.
Suluah Bendang di Nagari adalah seorang du’at atau murabbi yang termasuk di dalamnya ulama, ustadz, ustadzah, malin, tuanku, imam khatib, mu’allim, ninik mamak dan orang tua di nagari-nagari di Sumbar telah menjadi sasaran dan pusat perhatian semua orang karena peranan mereka yang vital dan sangat menentukan dalam membentuk anak nagari menjadi warganegara yang bertanggung jawab.
Peranan Du’at – utamanya di Ranah Minang, Sumatra Barat – sesungguhnya adalah satu pengabdian amat mulia dengan tugas sangat berat.
Ketidakberdayaan para du’at (murabbi) dalam menampilkan model keteladanan yang baik telah menjadi penghalang pencapaian hasil membentuk generasi (umat) yang baik, bahkan dapat menjadi titik lemah dalam kepribadian du’at bersangkutan.
Seperti Pepatah Arab ada meyebutkan :
لا تنه عن خلق وتأتي مثله
عار عليك اذا فعلت عظيم
Jangan lakukan perbuatan yang anda tegah,
Perbuatan demikian aibnya amatlah parah.
Kemuliaan du’at (murabbi) terpancar dari keikhlasan membentuk umat sedari dini menjadi generasi pintar, yang berilmu dan mampu mengamalkan ilmunya, berbudi luhur – akhlakul karimah — dalam bertindak dan berbuat untuk kebaikan diri sendiri, keluarganya, dan kemaslahatan umat kelilingnya di nagari-nagari, atau dalam cakupan lebih luas untuk memperoleh kebahagiaan manusia di dunia dan di akhirat.
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (keni`matan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.
Boleh dikatakan tuntutan utama kepada kita dewasa ini adalah membentuk generasi berpribadi yang utuh dan unggul.
Di mana mereka memiliki kekuatan iman dan taqwa, berpengetahuan dalam dan menguasai teknologi, memiliki jiwa wiraswasta, berakhlak mulia dan masyarakat beradat bersendi syarak, syarak bersendi Kitabullah.
MEMELIHARA SAHSIAH (WATAK) SULUAH BENDANG DI NAGARI ADALAH DU’AT
TIDAK diragukan bahwa murabbi (du’at, mu’allim, tuangku, imam dan khatib) di nagari-nagari, yang memiliki kepribadian baik dan uswah hidup terpuji akan mampu melukiskan kesan positif pada diri masyarakat dalam proses pematangan sikap dan menanamkan laku perangai sahsiah anak nagari, yang mencerminkan watak, sifat fisik, kognitif, emosi, sosial dan rohani seorang.
Sahsiah (شخصية) cirinya terlihat di dalam pribadi atau personality seseorang du’at, yang memperlihatkan sifat individu yang merangkum di dalamnya gaya hidup, kepercayaan, harapan, nilai, motif, pemikiran, perasaan, budi pekerti, persepsi, tabiat, sikap dan watak seseorang.
Banyak kajian telah dilakukan untuk mengetahui identitas yang perlu ada pada du’at (murabbi). Kajian tersebut dilakukan tidak lain dan tidak bukan untuk memelihara watak generasi pengganti (para remaja) di ranah ini.
Sebagai pelajaran yang bisa diambil, lebih lanjut di telaah beberapa identitas dari du’at yang bisa memelihara watak para duat tersebut.
Di mana pembahasannya ditujukan pada sifat, sikap dan etika para du’at.
SIFAT DU’AT SULUAH BENDANG DI NAGARI
DARI kajian tentang sifat-sifat, yang seharusnya dimiliki para du’at (murabbi, muallim, tuangku, imam khatib) adalah :
A. SIFAT RUHANIAH DAN AKIDAH
1. Keimanan kental kepada Allah Maha Sempurna.
2. Keyakinan mendalam kepada hari akhirat.
3. Kepercayaan kepada Rasul SAW berasas keimanan (arkan al iman) shahih.
B. SIFAT-SIFAT AKHLAK
a). Benar dan jujur,
b). Menepati janji dan Amanah
c). Ikhlas dalam perkataan dan cekatan berbuat
d). Merendah diri – tawadhu’ –,
e). Sabar dan tabah, Lapang dada – hilm –,
f). Pemaaf dan toleransi
g). Menyayangi.
h). Mendahulukan kepentingan bersama.
i). Mengutamakan sikap pemurah, zuhud dan berani bertindak.
Tidaklah kalian dimenangkan dan mendapatkan rezeki kecuali dengan bantuan orang-orang lemah kamu.
C. SIFAT MENTAL, KEJIWAAN DAN JASMANI
a). Sikap Mental
1. Cerdas (pintar teori, amali dan sosial).
2. Menguasai hal yang takhassus.
3. Membina masyarakat (umat) melalui pembelajaran.
4. Luas pengetahuan umum.
5. Mencintai berbagai bidang akliah, ilmiah yang sehat.
6. Mengenal ciri, watak kecenderungan masyarakat dengan baik.
7. Menanggapi setiap perubahan dengan arif.
8. Fasih, bijak dan cakap di dalam penyampaian.
b). Sifat Kejiwaan
1. Tenang dengan emosi mantap terkendali
2. Optimistik dalam hidup,
Penuh harap kepada Allah dan tenang jiwa mengingatiNya.
3. Percaya diri dan mempunyai kemauan yang kuat
4. Lemah lembut dan baik dalam pergaulan
5. Berfikiran luas dan mampu menyesuaikan diri dengan masyarakat
c). Sifat Fisik
1. Sehat tubuh dan badan dari penyakit menular
2. Berperawakan menarik, bersih, rapi (kemas) dan menyejukkan.
SIKAP DU’AT SULUAH BENDANG DI NAGARI
Sifat-sifat ini lebih lanjut dirinci pula kepada sikap dari duat itu sendiri, yang merangkum senarai (daftar) yang seharusnya dipunyai para murabbi (du’at, mualim) :
a. Berkelakuan baik (penyayang dan penyabar), tidak memihak berat sebelah di dalam menyelesai masalah dan mampu menjawab persoalan masyarakat dengan jelas.
b. Berdisiplin, adil dalam menerapkan aturan pemarkahan, serius dalam membimbing generasi dan menarik perhatian karena amanah menunaikan janji.
c. Mempunyai sahsiah yang dihormati, memiliki semangat pembinaan yang tinggi dan mempunyai arahan yang jelas dan spesifik serta mampu memilah antara intan dari kaca.
d. Berkemauan yang kuat dan berbakat kepimpinan yang tinggi dan tidak mau menghina, tetapi memperbaiki dengan sadar.
e. Mempunyai pengetahuan umum yang luas dan selalu berupaya tidak menyimpang dari tajuk pembinaan masyarakat (umat), bernada lembut dan prinsip tegas merangkul dan mendidik.
f. Mengenal titik kuat dan lemah dari masyarakat binaan.
Pandai memberi nasihat, dan simpati terhadap kelemahan masyarakat (umat) dan pandai memilih kata-kata.
g. Memberi ruang penelaah dan pengulangan kaji dan tanggap dengan suasana masyarakat.
Membimbing kaedah berkesan dan mantap dengan mengedepankan darjah ilmu pengetahuan.
h. Mewujudkan sikap kerjasama dengan semangat riadah dan kedisiplinan.
ETIKA SULUAH BENDANG DI NAGARI ADALAH ETIKA DU’AT
Suluah Bendang di Nagari adalah seorang DU’AT (muallim, imam khatib, tuangku dan guru agama) di nagari memikul tanggung jawab murabbi dan wajib mempunyai sahsiah baik mengamalkan etika Islam yang standard dan mempunyai personality (keperabadian) terpuji.
Seperti penegasan Allah dalam firman-Nya:
شَرَعَ لَكُمْ مِنْ الدِّينِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحًا
وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِه إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى ِأَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهَِ
“Allah telah menyari’atkan dasar hidup “ad-din” bagi kamu seperti yang telah diwasiatkanNya kepada Nuh, dan seperti yang telah dipesankan kepadamu (wahai Muhammad). Agama yang telah dipesankan kepada Ibrahim, Musa, Isa dengan perintah agar kalian semua menegakkan (mendaulatkan) agama ini dan jangan kalian berpecah dari mengikutinya…” (QS.Syura : 13)
Etika suluah bendang di nagari atau du’at (murabbi) yang profesional, memiliki tanggung jawab yang diawali oleh kemauan dari dalam diri dan kemudian dapat di tukuk tambah khalayak dan dihayati sebagai suatu etika profesi malim, tuangku, imam khatib para ulama di nagari, antara lain ;
1. TANGGUNGJAWAB TERHADAP ALLAH
a). Suluah bendang di nagari adalah seorang du’at yang senantiasa mempunyai etika kepada Allah dengan memantapkan keyakinan iman kepada Allah dan mengukuhkan hubungan ibadah terus menerus denganNya.
b). Istiqamah, memiliki iltizam semangat ibadah, bakti dan amal soleh selalu menjadi amalan harian, wajib (mustahak) menghayati rasa khusyuk.
c). Takut dan harap kepada Allah, dalam mencapai derajat taqwa. Selalu mengagungkan syiar Islam dan senantiasa berusaha ke arah mendaulatkan syariat Islam dengan kemestian melaksanakan kewajiban syari’at, menghindari larangan, menyempurnakan segala hak dan ber tanggung jawab dengan agamanya dan bersyukur kepada Allah dengan selalu berdoa kepadaNya dan membaca ayat-ayat Allah dan merendahkan diri kehadratNya.
Akan selalu ada segolongan orang dari umat ku yang berdiri dengan seizin Allah. Orang yang mengecewakan mereka tidak akan memperdayakan mereka hingga datang perintah Allah, dan mereka tetap berada di tengah-tengah umat manusia – dengan bersungguh-sungguh memperjuangkan kebenaran –.
2. TANGGUNGJAWAB TERHADAP DIRI
a). Suluah bendang di nagari adalah seorang Du’at yang semestinya hendaklah memastikan keselamatan diri mencakup aspek fisik, emosional, mental maupun moral.
Memelihara kebersihan diri, perawakan dan pakaian tempat tinggal.
b). Memahami kekuatan dan kelemahan diri untuk selalu ditingkatkan disegenap aspek kehidupan.
c). Meningkatkan kemampuan dan kesejahteraan agar dapat berkhidmat sebanyak mungkin kepada Allah, masyarakat dan negara. Melibatkan diri dalam program peningkatan kualiti masyarakat di nagari.
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan debatlah mereka dengan cara yang lebih baik …. (QS.an Nahl : 125).
3. TANGGUNGJAWAB TERHADAP ILMU
a). Menguasai ilmu takhassus Islam dengan mantap dan mendalam.
b). Bercita dan berbuat – iltizam – dengan amanah ilmiah mengamalkan ilmu yang dimiliki dan mengembangkan untuk dipelajari.
c). Selalu mengikuti perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan terbaru dalam rangkaian pembelajaran ilmu berkaitan.
d). Sepanjang masa menelusuri dimensi spirituality Islam dalam berbagai lapangan ilmu pengetahuan.
e). Selalu memanfaatkan ilmu untuk tujuan kemanusiaan, kesejahteraan dan keamanan masyarakat dan umat manusia sejagat.
Setiap kamu adalah pemimpin – penggembala – dan setiap kamu akan ditanyai tentang rakyatnya, maka imam adalah pemimpin dan dia ditanyai tentang rakyat yang di pimpinnya. (HR.Muttafaq ‘alaihi).
4. TANGGUNGJAWAB TERHADAP PROFESI MURABBI
a). Suluah bendang di nagari adalah du’at dan muallim yang tidak boleh bertingkah laku mencemarkan sifat dan profesi dakwah yang dapat berakibat hilangnya kepercayaan orang ramai terhadap profesi dan lembaga alim ulama suluah bendang di nagari. Dia tidak boleh bertingkah laku yang dapat membawa kepada terbannya maruah diri, terutama hilangnya amanah menyangkut keuangan. Maka tugas seorang du’at di nagari hendaklah dilaksanakan dengan jujur.
b). Tanggungjawab suluah bendang di nagari atau du’at, mu’allim kepada hal yang baik, bermanfaat dan berguna untuk kepentingan masyarakat dengan menumpukan perhatian untuk semua dari berbagai suku, dan pengamalan. Maka sudah semestinya menerima perbedaan individu dikalangan masyarakat, mengembangkan potensi jasmani, intelek, daya cipta dan rohani dengan menghormati hak setiap orang dan tidak boleh bertingkah laku yang dapat membawa jatuhnya derajat profesi du’at, muallim di nagari itu.
c). Tidak mengajarkan sesuatu paham yang dapat merusak hubungan bermasyarakat di nagari dengan selalu berupaya menanamkan sikap yang baik terhadap keluarga, rumah tangga dan mendorong pemeranan ibu bapa supaya generasi yang ada dapat berkembang menjadi warga negara yang setia dalam hidup dan taat beragama. Seorang du’at, muallim di nagari dituntut bertingkah laku contoh yang baik (uswah hasanah) dan tidak boleh memaksakan kepercayaan yang bertentangan. Yang sangat perlu di jaga adalah menjauhi sikap tidak menjatuhkan nama baik para du’at lain dengan membesar-besarkan nama sendiri untuk mendapatkan sesuatu kedudukan ataupun pangkat dalam profesi kedakwah.
Sunnahnya adalah selalu mengajak kepada kebaikan.
Barangsiapa yang menyunnahkan suatu sunnah yang baik di dalam Islam, maka dia mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya sesudahnya, tanpa mengurangi sedikitpun dari pahala mereka.
5. TANGGUNGJAWAB TERHADAP MASYARAKAT
a). Suluah Bendang di nagarei (Du’at) semestinya lebih mengutamakan kebajikan dan keselamatan masyarakatnya.
b). Bersikap adil terhadap siapa saja tanpa dipengaruhi faktor-faktor jasmani, mental, emosi, politik, ekonomi, sosial, keturunan dan paham.
c). Menampilkan cara berpakaian, bertutur kata dan bertingkah laku yang dapat memberikan contoh. Memperbaiki kecakapan ikhtisas Islami dan meningkatan mutu profesi mendidik umat melalui pengkajian, supaya pengajaran umat mencapai mutu yang setinggi-tingginya, dalam rangkaian amaliah sedekah.
Sabda Rasulullah SAW: Tidak ada bagian dari anak cucu Adam – manusia seluruhnya – kecuali ada sedekah padanya setiap hari saat matahari terbit, Beliau Rasulullah SAW ditanya : “Wahai Rasulullah ! dari mana kami mendapatkan sedekah yang bisa kami sedekahkan ?” Maka Nabi SAW menjawab, “Sesungguhnya pintu-pintu kebaikan itu sangatlah banyaknya. Tasbih, tahmid, takbir, tahlil, menyuruh kepada perbuatan yang baik (amar makruf), menegah dari perbuatan salah (nahi munkar), menyingkirkan ganguan dari jalan (seperti membuangkan duri dari jalanan), membantu pendengaran orang tuli, menuntun orang buta, memberi petunjuk kepada orang yang meminta petunjuk – jalan – dalam keperluannya, berusaha keras dengan sepenuh tenagamu mebantu orang susah yang memerlukan pertolonganmu, dan membantu dengan segala kemampuanmu kepada orang yang lemah. Ini semua adalah bagian sedekah atas dirimu..” (H.R.Ibnu Hibban dan Baihaqi).
Bahkan lebih jauh sedekah itu mencakup juga;
Senyummu di depan saudaramu adalah sedekah, menyingkirkan batu, duri, dan tulang dari jalanan manusia adalah sedekah, dan petunjukmu kepada orang yang tersesat jalan – agar kembali menemui jalannya yang benar – adalah sedekah bagimu. (HR.Baihaqi).
6. TANGUNGJAWAB TERHADAP REKAN SEJAWAT DU’AT/MUALLIM
a). Hendaklah menghindari membuat ulasan yang dapat mencemarkan nama baik seorang du’at di nagari tempat bertugasnya, dan menjauhi sesuatu tindakan yang dapat menjatuhkan maruah du’at yang lainnya.
b). Tidak melibatkan diri dalam kegiatan yang dapat merendahkan martabat dan menghapus kecakapan sebagai du’at dengan berusaha sepenuh hatinya menunaikan tanggungjawab sungguh-sungguh dan mengedepankan kemajuan social hanya karena Allah.
c). Selalu bersedia membantu rekan sejawat melayari profesi dakwah dan senantiasa mawas diri agar tidak mencemarkan nama baik profesi para du’at di nagari.
“Dan orang-orang yang beriman lelaki dan perempuan, sebahagian mereka adalah menjadi penolong bagi sebahagian yang lainnya. Mereka menyuruh mengerjakan yang makruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan rasulNya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS.9, at Taubah : 71).
7. TANGGUNGJAWAB BERMASYARAKAT DAN NEGARA
a). Mengelak dari meyebarkan ajaran yang dapat merusak kepentingan masyarakat atau negara, ataupun yang dapat bertentangan dengan kerukunan bernegara di bawah syari’at Allah.
b). Memupuk diri selalu bersikap dengan nilai akhlak yang dapat membantu dan membimbing menjadi warga negara yang setia serta bertanggungjawab dan berguna.
c). Menghormati orang-orang yang lebih tua dan memahami adanya perbedaan budaya, keturunan dan agama. Menghormati masyarakat tempat berkhidmat dengan selalu ikut dalam kegiatan bermasyarakat dengan menggerakkan kerjasama dan persefahaman di antara para du’at di nagari.
d). Memberikan sumbangan tenaga dan pemikiran untuk meninggikan tahap kehidupan berakhlak (morality) sepanjang hayat memelihara budaya kecendikiawanan dengan teguh berpegang kepada syari’at Islam dengan bertingkah laku sopan yang diterima oleh masyarakat dalam menjalani kehidupan keseharian dengan baik hingga datangnya hari kiamat.
e). Menanam kebaikan adalah tugas yang tidak dapat di tolak mesti dikerjakan oleh du’at di nagari bagaimanapun berat tantangannya. Sesuai isyarat Rasulullah SAW, ” Jika hari kiamat terjadi, sedangkan salah seorang dari kalian ada yang memegang bibit — pohon korma –, maka sekiranya dia sanggu menanamnya sebelum terjadi hari kiamat, hendaklah dia menanamnya. (HR. Imam Ahmad dan Bukhari).
8. TANGGUNGJAWAB RUMAH TANGGA DAN KELUARGA
a). Menghormati tanggungjawab utama ibu bapa di rumah tangganya terhadap pembinaan generasi muda dengan berusaha mewujudkan hubungan mesra dan kerjasama yang erat di antara institusi dakwah, surau dan rumahtangga.
b). Menganggap semua informasi mengenai keadaan masyarakat di rumahtangganya sebagai alat untuk mengatasi kesulitan dengan teliti dan bijaksana.
c). Mengelak diri dari pengaruh buruk dalam kedudukan sosial dan ekonomi dan rumah tangga masyarakat dengan mengelakkan diri dari mengeluarkan kata yang dapat menghilangkan kepercayaan masyarakat.
d). Membudayakan saling menghormati sesama dengan senantiasa mengajak kepada hidayah Allah dan syar’iat Islam, sesuai pesan syarak dalam sabda Rasulullah SAW. ; Tidak tergolong umatku, yang tidak menghormati yang tua dan tidak mengasihi yang muda dan tidak pula mau mengarifi pandangan-pandangan orang berilmu – yang beriman — di antara kami.
MEMPERKUAT POSISI NAGARI
DALAM TUNTUNAN SYARAK
UPAYA untuk memperkuat posisi Nagari, secara syarak banyak tuntutan yang mestinya dilakukan, diantaranya mengetahui kelemahan dan kemampuan yang dimiliki oleh nagari itu.
Selain itu diperlukan pula upaya pemetaan tata ruang yang jelas terhadap langkah-langkah yang perlu dilakukan. Untuk lebih jelasnya, kita lihat bahasan berikut ini.
MENGGALI POTENSI NAGARI
TUGAS kembali ke Pemerintahan Nagari, sesungguhnya adalah menggali kembali potensi dan asset nagari – yang terdiri dari budaya, harta, manusia, dan agama anutan anak nagari –, karena apabila tidak digali, akan mendatangkan kesengsaraan baru bagi masyarakat nagari itu. Kerja ini semestinya dimulai dengan menghimpun dan memanggil potensi yang ada dalam unsur manusia di dalam masyarakat nagari.
Kesadaran akan benih-benih kekuatan yang ada dalam diri masing-masing digerakkan dan dikembangkan dengan cara-cara yang lazim dan tidak terpaksa, yaitu melalui ; observasinya dipertajam, daya pikirnya ditingkatkan, daya geraknya didinamiskan , daya ciptanya diperhalus, daya kemauannya dibangkitkan, kemudian menumbuhkan dan mengembalikan kepercayaan kepada diri sendiri.
Handak kayo badikik-dikik, Handak tuah batabua urai,
Handak mulia tapek-i janji, Handak luruih rantangkan tali,
Handak buliah kuat mancari, Handak namo tinggakan jaso,
Handak pandai rajin balaja.
Dek sakato mangkonyo ado, Dek sakutu mangkonyo maju,
Dek ameh mangkonyo kameh, Dek padi mangkonyo manjadi.”.
Tujuannya harus sampai kepada taraf yang memungkinkan untuk mampu berdiri sendiri dan membantu nagari tetangga secara selfless help, dengan memberikan bantuan dari rezeki yang telah kita dapatkan tanpa mengharap balas jasa, “Pada hal tidak ada padanya budi seseorang yang patut dibalas, tetapi karena hendak mencapai keredhaan Tuhan-Nya Yang Maha Tinggi”. (Q.S. Al Lail, 19 – 20).
Walaupun di depan mata terpampang jelas ada kendala-kendala, namun optimisme banagari mesti selalu dipelihara ;
“Alah bakarih samporono, Bingkisan rajo Majopahik,
Tuah basabab bakarano, Pandai batenggang di nan rumik”.
Sebagai masyarakat nagari yang hidup dengan pegangan adat bersendi syariat dan syariat yang bersendikan Kitabullah, maka kaedah-kaedah adat akan dipertajam makna dan fungsinya oleh kuatnya peran surau yang memberikan pelajaran-pelajaran sesuai dengan syara’ itu, antara lain dapat di ketengahkan ;
1. Mengutamakan prinsip hidup berkeseimbangan
Hukum Syara’ menghendaki keseimbangan antara perkembangan hidup rohani dan jasmani. “Sesungguhnya jiwamu (rohani-mu) berhak atas kamu (supaya kamu pelihara) dan badanmu (jasmanimu) berhak atasmu supaya kamu pelihara” (Hadist).
Keseimbangan akan tampak dalam mewujudkan kemakmuran di ranah ini,
“Rumah gadang gajah maharam,
Lumbuang baririk di halaman,
Rangkiang tujuah sajaja,
Sabuah si bayau-bayau,
Panenggang anak dagang lalu,
Sabuah si Tinjau lauik,
Birawati lumbuang nan banyak,
Makanan anak kamanakan.
Manjilih ditapi aie,
Mardeso di paruik kanyang”.
Sesuai bimbingan syara’, “Berbuatlah untuk hidup akhiratmu seolah-olah kamu akan mati besok dan berbuatlah untuk hidup duniamu, seolah-olah akan hidup selama-lamanya” (Hadist).
2. Kesadaran kepada luasnya bumi Allah, merantaulah !
Allah telah menjadikan bumi mudah untuk digunakan.
Maka berjalan atau merantau di atas permukaan bumi, dan makanlah dari rezekiNya dan kepada Nya tempat kembali, telah lama menjadi pegangan hidup anak nagari di Minangkabau. “Maka berpencarlah kamu diatas bumi, dan carilah karunia Allah dan (di samping itu) banyaklah ingat akan Allah, supaya kamu mencapai kejayaan“, (QS.62, Al Jumu’ah : 10).
Agar supaya “jangan tetap tertinggal dan terkurung dalam lingkungan yang kecil”, dan sempit (QS.4, An Nisak : 97).
Karatau madang di hulu babuah babungo balun.
Marantau buyuang dahulu di rumah paguno balun.
3. Mencari nafkah dengan “usaha sendiri”
Memiliki jati diri, self help dengan tulang delapan kerat sekalipun “lebih terhormat”, daripada meminta-minta dan menjadi beban orang lain, “Kamu ambil seutas tali, dan dengan itu kamu pergi kehutan belukar mencari kayu bakar untuk dijual pencukupkan nafkah bagi keluargamu, itu adalah lebih baik bagimu dari pada berkeliling meminta-minta“. (Hadist).
`
Pemahaman hadist ini melahirkan sikap kemandirian, bahwa setiap anak nagari paling berkepentingan memajukan nagarinya.
Nagari yang maju berkewajiban membantu kemajuan nagari tetangga, karena telah diikat oleh kaedah barek sapikua, riangan sajinjiang (mutual help), dan karena setiap nagari tetangga telah dipertautkan oleh pengalaman sejarah adaik salingka nagari dan kekerabatan.
Maka membiarkan diri hidup di dalam kemiskinan tanpa berupaya adalah salah , “Kefakiran (kemiskinan) membawa orang kepada kekufuran (ke-engkaran)” (Hadist).
4. Tawakkal dengan bekerja dan tidak boros.
Tawakkal, bukan “hanya menyerahkan nasib” dengan tidak berbuat apa-apa, “Bertawakkal lah kamu, seperti burung itu bertawakkal” (Atsar dari Shahabat).
Tak ada kebun tempat bertanam, tak ada pasar tempat berdagang. Tak kurang, setiap pagi terbang meninggalkan sarangnya dalam keadaan lapar, dan setiap sore kembali dalam keadaan “kenyang”. Ditanamkan pentingnya kehati-hatian,
“Ingek sa-balun kanai,
Kulimek sa-balun abih,
Ingek-ingek nan ka-pai,
Agak-agak nan ka-tingga”.
5. Kesadaran kepada ruang dan waktu
Peredaran bumi, bulan dan matahari, pertukaran malam dan siang, menjadi bertukar musim berganti bulan dan tahun, “Kami jadikan malam menyelimuti kamu (untuk beristirahat), dan kami jadikan siang untuk kamu mencari nafkah hidup”. (QS.78, An Naba’ : 10-11), dan menanamkan kearifan akan adanya perubahan-perubahan.
Yang perlu dijaga ialah supaya dalam segala sesuatu harus pandai mengendalikan diri, agar jangan melewati batas, dan berlebihan,
“Ka lauik riak mahampeh,
Ka karang rancam ma-aruih,
Ka pantai ombak mamacah.
Jiko mangauik kameh-kameh,
Jiko mencancang, putuih – putuih,
Lah salasai mangko-nyo sudah”.
Artinya bekerja sepenuh hati, dengan mengerahkan semua potensi yang ada, dengan tidak menyisakan kelalaian ataupun ke-engganan.
Tidak berhenti sebelum sampai, dan tidak berakhir sebelum benar-benar sudah.
KONSEP TATA RUANG YANG JELAS
NAGARI di Minangkabau berada di dalam konsep tata ruang yang jelas,
Basasok bajarami,
Bapandam bapakuburan,
Balabuah batapian,
Barumah batanggo,
Bakorong bakampuang,
Basawah baladang,
Babalai bamusajik.
Ba-balai (balairuang atau balai-balai adat) tempat musyawarah dan menetapkan hukum dan aturan.
“ Balairuang tampek manghukum,
ba-aie janieh basayak landai,
aie janiah ikan-nyo jinak,
hukum adie katonyo bana,
dandam agiae kasumaik putuih,
hukum jatuah sangketo sudah”.
Ba-musajik atau ba-surau tempat beribadah.
“Musajik tampek ba ibadah,
tampek balapa ba ma’ana,
tampek balaja al Quran 30 juz,
tampek mangaji sah jo batal” ,
Artinya menjadi pusat pembinaan umat untuk menjalin hubungan bermasyarakat yang baik (hablum-minan-naas) dan terjaminya pemeliharaan ibadah dengan Khalik (hablum minallah), maka adanya balairuang dan musajik (surau) ini menjadi lambang utama terlaksananya hukum dalam “adat basandi syara’, syara’ basandi Kitabullah., syara’ mangato adat nan kawi syara’ nan lazim”.
Kedua lembaga ini – balai adat dan surau – keberadaannya tidak dapat dipisah dan dibeda-bedakan.
“Pariangan manjadi tampuak tangkai,
pagarruyuang pusek Tanah Data,
Tigo luhak rang mangatokan.
Adat jo syara’ jiko bacarai,
bakeh bagantuang nan lah sakah,
tampek bapijak nan lah taban”.
Apabila kedua konsep yang membentuk prilaku anak nagari di Minangkabau ini, yakni adat dan syarak telah berperan sempurna, maka akan ditemui di kelilingnya tampilan kehidupan masyarakat yang memiliki akhlak perangai terpuji dan mulia atau memiliki akhlakul-karimah.
“Tasindorong jajak manurun,
tatukiak jajak mandaki,
adaik jo syara’ kok tasusun,
bumi sanang padi manjadi”.
Konsep tata-ruang yang memungkinkan umat dibentuk prilakunya ini adalah salah satu kekayaan budaya yang sangat berharga di nagari dan bukti idealisme nilai budaya di Minangkabau, termasuk di dalam mengelola kekayaan alam dan pemanfaatan tanah ulayatnya.
“Nan lorong tanami tabu,
Nan tunggang tanami bambu,
Nan gurun buek kaparak,
Nan bancah jadikan sawah,
Nan munggu pandam pakuburan,
Nan gauang katabek ikan,
Nan padang kubangan kabau,
Nan rawang ranangan itiak”.
Tata ruang yang jelas memberikan posisi peran pengatur, pemelihara dan pendukung sistim banagari yang terdiri dari orang ampek jinih yaitu, ninik mamak , alim ulama , cerdik pandai , urang mudo , bundo kanduang .
WILAYAH KESEPAKATAN
Dengan demikian, nagari di Minangkabau tidak hanya sebatas pengertian ulayat hukum adat namun yang lebih mengedepan dan paling utama adalah wilayah kesepakatan antar berbagai komponen masyarakat di dalam nagari dengan spiritnya adalah ;
a. Kebersamaan (sa-ciok bak ayam sa-danciang bak basi), ditemukan dalam pepatah
“Anggang jo kekek cari makan,
Tabang ka pantai kaduo nyo,
Panjang jo singkek pa uleh kan,
mako nyo sampai nan di cito.”
b. Keterpaduan (barek sa-pikua ringan sa-jinjiang) yang diperlihatkan dalam kaedah,
“ Adat hiduik tolong manolong,
Adat mati janguak man janguak,
Adat isi bari mam-bari,
Adat tidak salang ma-nyalang”.
Basalang tenggang, yakni saling meringankan dengan kesediaan memberi dukungan terhadap pencapaian derajat kehidupan dengan “Karajo baiak ba-imbau-an, Karajo buruak bahambau-an”.
c. Musyawarah (bulek aie dek pambuluah, bulek kato dek mupakat), dalam kerangka “Senteng ba-bilai, Singkek ba-uleh, Ba-tuka ba-anjak, Barubah ba-sapo”
d. Keimanan kepada Allah SWT menjadi pengikat spirit yang menjiwai sunnatullah dalam setiap gerak mengenal alam keliling,
“Panggiriak pisau sirauik,
Patungkek batang lintabuang,
Satitiak jadikan lauik,
Sakapa jadikan gunuang,
Alam takambang jadikan guru ”.
Alam ini telah diciptakan oleh Yang Maha Kuasa dengan mengandung faedah kekuatan dan khasiat yang diperlukan untuk memperkembang dan mempertinggi mutu hidup jasmani manusia, dengan keharusan berusaha membanting tulang dan memeras otak untuk mengambil sebanyaknya faedah dari alam sekelilingnya agar dinikmati sambil mensyukuri dengan beribadah kepada Ilahi.
e. Kecintaan kenagari adalah perekat yang dibentuk oleh perjalanan waktu dan pengalaman sejarah.
Menjaga anak nagari dari pada melewati batas-batas yang patut dan pantas agar tidak terbawa hanyut materi dan hawa nafsu yang merusak, adalah satu bentuk persembahan manusia kepada Maha Pencipta, dan satu pola hidup yang mempunyai keseimbangan antara kemajuan dibidang rohani dan jasmani.
“Jiko mangaji dari alif,
Jiko babilang dari aso,
Jiko naiak dari janjang,
Jiko turun dari tango”.
Pengkajian lebih mendalam membuktikan bahwa kecintaan kepada nagari itu tumbuh dari sistem dan pola yang telah ditanamkan oleh adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah di dalam mewujudkan Mulkiyah Allah di Bumi yang merujuk kepada Sunnah.
Kecintaan kepada nagari, adalah bagian dari kecintaan kepada Allah (mahabbatullah) mesti dibangun dan ditegakkan dengan sistem kooperatif melalui lembaga musyawarah (kelembagaan syura) di nagari-nagari, yakni musyawarah sesama orang beriman dan bertaqwa.
Setiap kamu adalah pemimpin – penggembala – dan setiap kamu akan ditanyai tentang rakyatnya, maka imam adalah pemimpin dan dia ditanyai tentang rakyat yang di pimpinnya. (HR.Muttafaq ‘alaihi).
Tidak ada kamus di dalam Kitabullah (Alquran) musyawarah untuk menetapkan hal yang bertalian keperluan sesama mukmin mesti merujuk kepada konsepsi kuffar.
Sikap hidup (attitude towards life) ini menjadi sumber pendorong kegiatan anak nagari dibidang ekonomi, dengan tujuan utama terpenuhinya keperluan hidup jasmani (material needs).
Hasilnya tergantung kepada dalam atau dangkalnya sikap hidup tersebut berurat dalam jiwa masyarakat nagari dan sangat ditentukan juga oleh tingkat kecerdasan anak nagari yang telah dicapai.
Wahai orang-orang yang beriman janganlah engkau ambil menjadi orang kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu, karena mereka tidak henti-hentinya menimbulkan kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa-apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan ayat-ayat Kami, jika kamu mau memahaminya. (QS.3, ali Imran : 118).
Inilah prinsip utama adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah itu.
Non kooperatif sesama muslim akan membuka peluang untuk adanya tawar menawar antara mukmin dan kafir.
Dalam hubungan ini, peran dan fungsi surau amat menentukan pula.
KEMBALI KE SURAU
SALAHSATU sub sistem Kembali ke Pemerintahan Nagari, adalah upaya kembali ke surau.
Selama ini kembali surau sebagai pusat dari pendidikan umat di Nagari benar-benar telah luntur, padahal Surau di Sumatra Barat bukan hanya sekedar tempat ibadah akan tetapi sebagai wadah duat untuk membentuk generasi yang berkualitas.
Sejarah telah membuktikan bahwa surau di Sumatra Barat banyak melahirkan generasi muda yang berkualitas yang berhasil mengukir sejarah di tingkat nasional dan internasional.
Sebut saja Mohammad Natsir, HAMKA, Agus Salim, Mohammad Yamin dan lain-lainnya.
Ketika surau mulai ditinggalkan, dan bahkan hanya berfungsi sebagai langgar dan rumah ibadah kebanyakan, surau tidak lagi menelorkan generasi yang berkualitas.
Untuk itu tentu dalam upaya kembali ke Pemerintahan Nagari, jelaslah kembali ke surau sangat pantas diupayakan.
Mungkin ada baiknya kita lihat kajian berikut ini;
UPAYA MEMUNGSIKAN SURAU
PRAKARSA umat Islam di Ranah Minang memfungsikan surau amat berarti dan dominan sepanjang sejarah surau menjadi sarana pembinaan anak nagari. Pengembangan, pemberdayaan dan pengupayaan surau menjadi tempat pembinaan umat sangatlah besar pada setiap nagari, sampai kepelosok kampung, dusun dan taratak.
Fungsi Surau tidak semata menjadi tempat ibadah mahdhah (shalat, tadarus, dan pengajian majlis ta’lim), tetapi menjadi cikal bakal lahir dan tumbuhnya lembaga-lembaga dakwah dan pembinaan umat Islam atau madrasah.
Contohnya, Sumatra Thawalib di Parabek, Surau Jembatan Besi di Padangpanjang, Surau Simabur di Batusangkar, Surau Inyiak Syekh Abdul Mu’in di Lambah Sianok Agam dan Madrasah Diniyah Islamiyah di Minangkabau yang lahir dari surau.
Seiring perkembangan zaman pendidikan dakwah anak nagari dimulai dari tingkat ibtidaiyah awaliyah, tsanawiyah, sampai ‘aliyah ditambah pengetahuan keterampilan, kepandaian putri, ilmu basilek, pasambahan, adab sopan bernagari yang dikenal sejak lama.
Para thalabah lulusan pembinaan umat surau (contohnya madrasah Thawalib) umumnya berkiprah di kampung halaman setelah selesai menuntut ilmu bersama-sama dan mengawali langkah dari surau.
Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah adalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian (akhirat) serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut — kepada siapapun – kecuali kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan mendapat petunjuk (QS.9, at Taubah : 18).
Sasarannya, membuat anak nagari menjadi terdidik, berakhlak mulia, beribadah kepada Allah, mengamalkan syari’at agama Islam dengan berkualitas, capable, fungsional, integrated di tengah masyarakat.
Sebaik-baik mukmin seseorang adalah yang paling sempurna akhlaknya.
Untuk mencapai sasaran ini, maka setiap Muslim harus jeli (‘arif) dalam menangkap setiap pergeser¬an yang terjadi di dalam perubahan zaman ini.
Menghidupkan surau dengan maksud mencerdaskan umat menanamkan budi pekerti (akhlak) Islami, sejalan dengan kaedah adat bersendi syara’, syara’ bersendi Kitabullah di Ranah Minang didorong keinginan mengamalkan Firman Allah.
Satu hal perlu di pahami pada awal maraknya surau di abad 18, para ulama penggagas dan pengasuh surau mempunyai jalinan hubungan yang kuat dengan masyarakat, yakni satu hubungan saling menguntungkan.
Sejarah juga mencatat bahwa surau menjadi kekuatan membisu (silent opposition) terhadap penjajah dan pekik kemerdekaan yang bergema dari surau lebih jelas adalah respon pemimpin dan masyarakat anak nagari menentang penjajahan.
Pada dasawarsa 1980, pemerintah mulai melakukan rekonsiliasi dengan gerakan pembinaan umat Islam dan melaksanakan kiat dekat mendekati dan penyesuaian-penyesuaian (rapprochement).
Merosotnya peran kelembagaan surau ikut mendorong sebahagian masyarakat mengadopsi istilah pondok pesantren yang semula nyaris di identikkan dengan pembinaan umat tradisional di Jawa.
Konsekwensinya, pembinaan umat di surau khususnya di Ranah Minang bertukar nama Pondok Pesantren yang bergerak “mengokohkan tangan” bergayut kepada anggaran dari pemerintah.
Dampak lebih jauh kepada potensi masyarakat nagari yang sejak awal lebih banyak “berdiri diatas kaki sendiri“ menjadi melemah pula.
Kemandirian surau di nagari-nagari yang pada mulanya menjadi tumpuan harapan bagi pembinaan anak nagari mulai kurang di acuhkan, “ibarat karakok di atas batu, hidup segan matipun enggan”.
Padahal warisan kebersamaan dalam mencapai tujuan amat menentukan keberhasilan di tengah realitas perbedaan yang ada.
UPAYA KEMBALI KE SURAU
SEMESTINYA dipahami bahwa kembali ke surau zaman ini tentulah jangan diartikan dengan kembali kepada tinggal dan bermalam di surau seperti yang telah terjadi di zaman penjajahan, yang dalam banyak hal mungkin tidak sesuai dengan alam kemerdekaan dan reformasi.
Akan senantiasa dan tetap sesuai pada setiap masa adalah menjadikan surau sebagai pusat pembinaan umat dan menjadi salah satu tangga dari jenjang bermasyarakat di nagari yang melaksanakan prinsip musyawarah (demokrasi), yang pada dasarnya adalah asas dan pondasi utama dari adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah.
Kembali ke surau bermula dari kesediaan untuk rujuk kepada hukum dan norma yang berlaku disertai kesetiaan melaksanakan undang-undang bernagari.
Maka dukungan masyarakat adat dan kesepakatan tungku tigo sajarangan yang terdiri dari urang nan ampek jinih yaitu, ninik mamak, alim ulama dan cadiak pandai, bundo kanduang dan kalangan rang mudo, menjadi penggerak utama mewujudkan tatanan sistim dalam menerjemahkan peraturan daerah kembali kepemerintahan nagari — sebagai buah dari OTODA –, karena anak nagari sangat berkepentingan dalam merumuskan nagarinya, dan aturan adat di nagari lebih mangkus daripada aturan yang di buat dan datang dari luar.
Konsepnya mesti tumbuh dari akar nagari itu sendiri, bukanlah suatu pemberian dari luar, “Lah masak padi ‘rang singkarak, masaknyo batangkai-tangkai, satangkai jarang nan mudo, Kabek sabalik buhus sintak, Jaranglah urang nan ma-ungkai, Tibo nan punyo rarak sajo”,
Artinya diperlukan orang-orang yang ahli di bidangnya untuk menatap setiap perubahan peradaban yang tengah berlaku.
Hal ini perlu dipahami supaya jangan tersua seperti kata orang “ibarat mengajar kuda memakan dedak”.
Masyarakat nagari sesungguhnya tidak terdiri dari satu keturunan (suku) saja tetapi terdiri dari beberapa suku yang pada asal muasalnya berdatangan dari berbagai daerah asal di sekeliling ranah bundo.
Sungguhpun berbeda, namun mereka dapat bersatu dalam satu kaedah, sesuai untaian kata hikmah di Minangkabau yang mengungkapkan pemahaman bahwa perbedaan semestinya dihormati, “Pawang biduak nak rang Tiku, Pandai mandayuang manalungkuik, Basilang kayu dalam tungku, Di sinan api mangko hiduik”.
Di sini tampak satu bentuk perilaku duduk samo randah tagak samo tinggi, menjadi prinsip egaliter di Minangkabau.
Kalau bisa dipertajam, inilah asas demokrasi yang murni dan otoritas masyarakat yang sangat independen.
Maka tidak dapat tidak, langkah penting ke depan adalah,
1. Menguasai informasi substansial
2. Mendukung pemerintahan yang menerapkan low-enforcment
3. Memperkuat kesatuan dan Persatuan di nagari-nagari, dengan muaranya adalah ketahanan masyarakat dan ketahanan diri.
LANGKAH-LANGKAH tersebut tidaklah dimulai dengan hal yang muluk-muluk.
Akan tetapi dimulai dengan apa yang ada, — yakni kekayaan alam dan potensi yang terpendam dalam unsur manusia, kekayaan nilai-nilai budaya lengkap dengan sarana pendukungnya –, selangkah demi selangkah.
Melaksanakan idea self help semestinya di iringkan oleh sikap berhati-hati, yakni adanya kesadaran tinggi bahwa setiap gerak di awasi, dan kesungguhan diri ditumbuhkan dari dalam dengan keyakinan bahwa Allah SWT satu-satunya pelindung dalam kehidupan disini dan disana.
Masyarakat Minangkabau yang beradat dan beragama selalu hidup dengan mengenang hidup sebelum mati dan hidup sesudah mati.
Sesuai dengan peringatan Ilahi, “Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah Subhanahu Wata’ala tidak merobah keadan sesuatu kaum, kecuali mereka mau merubah keadaan yang ada dalam dirinya masing-masing …. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap satu kaum, maka tidak ada yang dapat menolaknya; sekali-kali tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia”.(QS.13, Ar Ra’du : 11).
UPAYA MEMAKMURKAN SURAU
MEMAKMURKAN surau (masjid) dimaksudkan untuk menetapkan visi dan menentukan program pembinaan yang akan dilakukan di tengah anak nagari, dengan pemahaman dan pengamalan syarak dengan benar dan berprilaku santun yang sesungguhnya akan mendukung percepatan pembangunan di era otonomi daerah di Sumbar.
Siapa yang dikehendaki Allah untuk mereka kebaikan maka diberikan padanya pemahaman kepada agama (Islam)
Langkah-langkah kearah ini diperlukan upaya terpadu diantaranya;
1. Meningkatkan Mutu SDM anak nagari,
Memperkuat Potensi yang sudah ada melalui program utama,
a. menumbuhkan SDM anak nagari yang sehat dengan gizi cukup, meningkatkan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (terutama terapan),
b. mengokohkan pemahaman agama, sehingga anak negari menjadi sehat rohani,
c. menjaga terlaksananya dengan baik norma-norma adat, sehingga anak nagari menjadi masyarakat masyarakat yang beragama (Islam).
Memperkuat SDM tersebut juga bertujuan membentuk masyarakat masyarakat dan beragama sebagai suatu identitas yang tidak dapat ditolak dalam upaya kembali datang..
2. Menggali potensi SDA di nagari, diselaraskan dengan perkembangan global yang tengah berlaku, memperkuat ketahanan ekonomi rakyat. Membangun kesejahteraan bertitik tolak pada pembinaan unsur manusianya.
Dari self help yakni menolong diri sendiri, selanjutnya akan melangkah kepada mutual help yaitu bersikap tolong-menolong sesama anak nagari, sebagai puncak budaya Adat basandi syara’, syara’ basandi Kitabullah.
Dalam rangka pembagian pekerjaan kata orang ekonomi atau ber-ta’awun sesuai dengan anjuran Islam, bantu membantu, ta’awun, mutual help dalam rangka pembagian pekerjaan (division of labour) menurut keahlian masing-masing ini, akan mempercepat proses produksi, dan mempertinggi mutu, yang dihasilkan. Itulah taraf ihsan yang hendak di capai.
3. Memperindah nagari dengan menumbuhkan contoh di nagari dengan indicator utama kepada moral adat “nan kuriak kundi, nan sirah sago, nan baik budi nan indah baso”.
Mengefisienkan organisasi pemerintahan dengan reposisi dan refungsionisasi semua pemeranan fungsi dari elemen masyarakat.
Ketiga pengupayaan diatas menjadi satu konsepsi tata cara hidup, sistem sosial dalam “iklim adat basandi syara’ syara’ basandi Kitabullah“, dalam rangka pembinan negara dan bangsa keseluruhannya dan untuk melaksanakan Firman Ilahi “Berbuat baiklah kamu (kepada sesama makhluk) sebagaimana Allah berbuat baik terhadapmu sendiri (yakni berbuat baik tanpa harapkan balasan)”. (QS.28, Al Qashash : 77).
Kekuatan moral yang dimiliki, ialah menanamkan “nawaitu” dalam diri masing-masing.
Untuk membina umat dalam masyarakat di nagari harus diketahui pula kekuatan dan kelemahannya.
Kekuatan warisan budaya Minang adalah karena pandai meletakkan sesuatu pada tempatnya, “pandai baretong” sesuai pituah adat kita yang menyebutkan ;
“Latiak-latiak tabang ka Pinang, Hinggok di Pinang duo-duo,
Satitiak aie dalam piriang, Sinan bamain ikan rayo”.
Teranglah sudah, bagi setiap orang yang serius ingin berjuang di bidang pembangunan masyarakat nagari lahir dan batin, material dan spiritual pasti akan menemui di ranah bundo ini satu iklim (mental climate) yang subur, apabila pandai menggunakannya dengan tepat, tentulah akan banyak membantu usaha pembangunan di nagari itu.
Melupakan atau mengabaikan ini, adalah satu kerugian, karena berarti mengabaikan satu partner “yang amat berguna” dalam pembangunan masyarakat di nagari dan bernegara.
HAKIKAT DAKWAH BIL HAL DI NAGARI
PERAN dakwah di Ranah Minang sekarang ini adalah menyadarkan umat akan peran mereka dalam membentuk diri mereka sendiri, “Sesungguhnya Allah tidak akan merobah nasib satu kaum, hingga kaum itu sendiri yang berusaha merobah sikap mereka sendiri.” (QS.Ar-Ra’du).
Kenyataan sosial terhadap penduduk anak nagari harus di awali dengan mengakui keberadaan mereka, menjunjung tinggi puncak-puncak kebudayaan mereka, menyadarkan mereka akan potensi besar yang mereka miliki, mendorong mereka kepada satu bentuk kehidupan yang bertanggung jawab dengan gerakan kasih sayang dan persaudaraan.
Yang tidak bisa menyangi sesama manusia tidak akan disayangi oleh Allah
Inilah tuntutan Dakwah Ila-Allah.
Dakwah adalah satu kata, di dalam Alquran, bermakna ajakan atau seruan kepada Islam, yang sangat sesuai dengan fithrah manusia itu.
Islam adalah agama Risalah, yang ditugaskan kepada Rasul, dan penyebaran serta penyiarannya dilanjutkan oleh dakwah, untuk keselamatan dan kesejahteraan hidup manusia. Dalam rentangan sejarah perjalanannya tercatat “Risalah merintis, dakwah melanjutkan”
Risalah yang menjadi tugas rasul itu, berisi khabar gembira dan peringatan. Ditujukan untuk seluruh umat manusia.
Risalah itu cocok untuk semua zaman.
Maksudnya untuk Rahmat seluruh alam.
Nabi Muhammad Rasulullah S.A.W, adalah da’i pertama yang ditetapkan oleh Allah (QS. Saba’, 34 : 28), mengajak manusia dengan ilmu, hikmah dan akhlak.
Perintah untuk melaksanakan tugas-tugas dakwah itu, secara kontinyu diturunkan oleh Allah SWT seperti,
a).Supaya menyeru kejalan Allah, dengan petunjuk yang lurus (QS.Al-Ahzab, 33 : 45-46).
b). Seruan untuk menyembah Allah, kepada seluruh manusia . Perintah untuk menyembah Allah, tidak boleh musyrik, agar hanya meminta kepadaNya dan mempersiapkan diri untuk kembali kepadaNya (QS.Al Qashash, 28 : 87).
Tugas para Rasul ini menjadi lebih sempurna dan lengkap dengan diutusnya Nabi Muhammad SAW, dan umat manusia sekarang menjadi penerus dan pelaksana dakwah itu terus menerus sepanjang masa (QS. Ar-Ra’d, 13 : 35).
Dengan kalimat sederhana dan padat dapat kita jelaskan bahwa dakwah kita di nagari-nagari adalah Dakwah Ila-Allah (QS. Ali Imran, 3 : 104).
Manhaj-nya adalah Alquran dan Sunnah Rasul, dan pelaksananya setiap muslim, setiap mukmin adalah umat dakwah pelanjut Risalah Rasulullah yakni Risalah Islam.
Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanku yang lurus, maka ikutilah dia. Dan jangan kamu mengkiuti jalan-jalan yang lain (yakni agama atau kepercayaan lain selain Islam, dan jangan dituruti bid’ah dan jalan yang tidak benar), karena akan menceraiberaikan kamu dari jalan Nya. Demikian itu diperintahkan oleh Allah kepadamu, agar kamu bertaqwa (QS.6, al an’am : 153).
Terlaksananya tugas-tugas dakwah dengan baik akan menjadikan umat Islam mampu menjawab harapan masyarakat dunia.
“Siapapun yang membawa seseorang kepada petunjuk hidayah Allah – kemudian di ikutinya petunjuk itu –, maka dia akan mendapatkan balasan sebagaimana balasan yang diterima oleh orang yang mengikutnya, tanpa mengurangi sedikitpun pahala yang mereka peroleh” (H.R. Imam Muslim dan Ash-habus-Sunan)
Maka perlu setiap Da’i – Imam, Khatib, Urang Siak, Tuanku, alim ulama suluah bendang di nagari-nagari wajib meneladani pribadi Muhammad SAW membentuk diri untuk mengerakkan umat menuju kepada inti dan isi Agama Islam (QS. Al Ahzab, 33 : 21).
Inti agama Islam adalah tauhid.
Implementasinya adalah Akhlak.
Umat masa kini hanya akan menjadi baik dan kembali berjaya, bila sebab-sebab kejayaan umat terdahulu di kembalikan.
Kita semestinya bertindak atas dasar syara’ itu, dan mengajak orang lain untuk menganutnya. “Memulai dari diri, mencontohkannya kepada masyarakat lain“, (Al Hadist).
MENGUNAKAN BAHASA DAKWAH DI NAGARI
BAHASA dakwah di dalam nagari akan bisa menggalang saling pengertian sesama umat.
Koordinasi sesama akan mempertajam faktor pendukung, membuka pintu dialog persaudaraan (hiwar akhawi).
Orang-orang penyayang akan disayangi oleh Yang Maha Penyayang, maka sayangilah penduduk bumi agar yang di langit ikut pula menyayangimu.
Kaedah syara’ dengan dialog persaudaraan ini telah menjadi pendorong dan anak kunci keberhasilan dakwah untuk menghidupkan adagium adat basandi syara’ syara; basandi Kitabullah di Sumatra Barat.
Aktualisasi nilai-nilai Alquran hanya dengan gerakan amal nyata yang berkesinambungan (kontinyu), dan terkait dengan seluruh segi dari aktivitas kehidupan manusia, — seperti, kemampuan bergaul, mencintai, berkhidmat, menarik, mengajak (dakwah), merapatkan potensi barisan (shaff) dalam mengerjakan amal-amal Islami secara bersama-sama (jamaah) –, sehinga membuahkan agama yang mendunia.
Usaha inilah yang akan menjadi gerakan antisipatif terhadap arus globalisasi negatif pada abad-abad sekarang, dan sudah semestinya menjadi visi kembali ke surau .
Kitabullah (Alquran) telah mendeskripsikan peran agama Allah (Islam) sebagai agama yang kamal (sempurna) dan nikmat yang utuh, serta agama yang di ridhai (QS.Al Maidah, 5 : 3), dan menjadi satu-satunya Agama yang diterima di sisi Allah,yaitu Agama Islam (QS. Ali Imran, 3 : 19).
Konsekuensinya adalah yang mencari manhaj atau tatanan selain Islam, tidak akan di ridhai ( QS. Ali Imran, 3 : 85).
Maka tentu tidak ada pilihan lain untuk menghidupkan syarak mestilah menggalinya dari ajaran Islam, “Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang menyerahkan dirinya kepada Allah secara ikhlas, yakni orang Muslim, merekapun mengerjakan kebaikan-kebaikan” (QS. An Nisak, 4 : 125).
Setiap Muslim, dengan nilai-nilai Kitabullah (Alquran) wajib mengemban missi yang berat dan mulia yaitu merombak kekeliruan ke arah kebenaran.
KESIMPULAN
KEMBALI ke Nagari menjadi langkah komprehensif dan solusi efektif untuk mengantisipasi pengaruh budaya asing yang dipicu oleh teknologi informasi dan telekomunikasi yang hadir begitu cepat tanpa batas ruang dan waktu dan telah mempengaruhi tatacara kehidupan umat di nagari.
Untuk kembali ke Nagari mesti diseiringkan dengan memperkuat visi kembali ke Surau sebagai salah satu sub sistem kembali ke nagari itu.
Hal ini menghendaki gerak yang kontinyu, utuh dan terprogram. Hasilnya tidak mungkin di raih dengan kerja sambilan, karena buah yang di petik adalah sesuai dengan bibit yang di tanam, sesuai natuur-wet (sunnatullah, = undang-undang alami).
Dalam langkah dakwah Ila-Allah, setiap muslim berkewajiban menapak tugas tabligh (menyampaikan), kemudian dakwah (mengajak) dan mengujudkan kehidupan agama yang mendunia (dinul-harakah al-alamiyyah).
Peran surau dalam menghidupkan adat basandi syara’ syara’ basandi Kitabullah menjadi tugas setiap insan anak nagari yang telah terikat dalam “umat dakwah” menurut Kitabullah – yakni nilai-nilai Alquran (QS. Ali Imran, 3 : 104 ).
Dakwah ini tidak akan berhenti dan akan berkembang terus sesuai dengan variasi zaman yang senantiasa berubah, namun tetap di bawah konsep mencari ridha Allah.
Suluah Bendang di nagari sangat dituntut oleh masyarakat untuk ;
1. Menerapkan manajemen pengelolaan pembinaan umat dakwah dan pembinaan anak nagari di surau, dengan peningkatan manajemen yang lebih accountable dari segi keuangan maupun organisasi.
Melalui peningkatan ini, sumber finansial masyarakat dapat di pertanggung jawabkan secara lebih efisien dan peningkatan kualitas pembinaan umat melalui surau dapat dicapai.
Segi organisasi lebih menjadi viable — dapat hidup terus, berjalan tahan banting, bergairah, aktif dan giat – menurut permintaan zaman, dan durable – yakni dapat tahan lama – seiring perubahan dan tantangan zaman.
2. Pengembangan pembinaan umat harus berorientasi kepada mutu sehingga menjadikan pembinaan – madrasah, majlis ta’lim, umat, dakwah — di surau dapat berkembang menjadi lembaga center of exellence, yang menghasilkan generasi berparadigma ilmu yang komprehensif, yakni pengetahuan agama, berbudi akhlak plus keterampilan.
3. Pengelolaan surau dalam sistim terpadu boleh terpisah dan menjadi bagian dari gerakan masyarakat di nagari di Sumatra Barat.
Pengembangan surau dengan peran pembinaan bisa menjadi core, inti, mata dan pusar dari learning society, masyarakat belajar.
Sasarannya, membuat anak nagari generasi baru menjadi terdidik, berkualitas, capable, fungsional, integrated di tengah masyarakatnya.
Personal Web-site : http://www.masoedabidin.wordpress.com
Mailinglist : http://buya_masoedabidin@yahoogroups.com
Email: buyamasoedabidin@gmail.com
masoedabidin@yahoo.com
masoedabidin@hotmail.com