BIOGRAFI SYEKH AHMAD KHATIB Al-Minangkabawi — SANG AHLI HISAB Yang Menjadi Rujukan —

  1. KELAHIRAN
    Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi bin Abdul Lathif bin Abdurrahman bin Abdullah bin Abdul Aziz al-Khathib atau yang kerap dipanggil dengan sapaan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi lahir pada hari Senin 6 Dzulhijjah 1276 H (1860 Masehi) di Koto Tuo, Balai Gurah, IV Angkek, Agam, Sumatera Barat.

Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi merupakan putra dari pasangan Abdul Lathif yang berasal dari Koto Gadang dengan Limbak Urai binti Tuanku Nan Rancak. Kakek beliau (KH. Abdullah) adalah seorang ulama kenamaan. Oleh masyarakat Koto Gadang, Abdullah ditunjuk sebagai Imam dan khathib. Sejak itulah gelar Khatib Nagari melekat dibelakang namanya dan berlanjut ke keturunannya di kemudian hari.

  1. Biografi Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi — SANG AHLI HISAB yang menjadi rujukan —
  2. KELAHIRAN
    Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi bin Abdul Lathif bin Abdurrahman bin Abdullah bin Abdul Aziz al-Khathib atau yang kerap dipanggil dengan sapaan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi lahir pada hari Senin 6 Dzulhijjah 1276 H (1860 Masehi) di Koto Tuo, Balai Gurah, IV Angkek, Agam, Sumatera Barat.
  3. Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi merupakan putra dari pasangan Abdul Lathif yang berasal dari Koto Gadang dengan Limbak Urai binti Tuanku Nan Rancak. Kakek beliau (KH. Abdullah) adalah seorang ulama kenamaan. Oleh masyarakat Koto Gadang, Abdullah ditunjuk sebagai Imam dan khathib. Sejak itulah gelar Khatib Nagari melekat dibelakang namanya dan berlanjut ke keturunannya di kemudian hari.
  4. WAFAT
    Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi wafat pada tanggal 13 Maret 1916 M / 9 Jumadil Awal tahun 1334 H di Mekkah, Saudi Arabia.
  5. KELUARGA
    Di antara kebiasaan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi di Mekkah adalah sering mengunjungi toko buku milik Muhammad Shalih Al Kurdi, yang terletak di dekat Masjidill Haram untuk membeli kitab-kitab, yang dibutuhkan atau sekadar membaca buku saja jika belum memiliki uang untuk membeli. Karena seringnya Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi mengunjungi toko buku itu membuat pemilik toko, Shalih Al Kurdi, menaruh simpati kepadanya, terutama setelah mengetahui kerajinan, ketekunan, kepandaian dan penguasaannya terhadap ilmu agama serta keshalihannya.
  6. Ketertarikan Shalih Al Kurdi terhadap Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi dibuktikan dengan dijadikannya Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi sebagai menantu. Setelah banyak mengetahui tentang perihal dan kepribadian Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi yang mulia itu, Shalih Al Kurdi pun menikahkannya dengan putri pertamanya, yang kata Hamka dalam Tafsir al-Azhar bernama Khadijah.
  7. Sebenarnya Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi sempat ragu menerima tawaran dari al-Kurdi karena tidak adanya biaya yang mencukupi dan telah mengatakan terus terang, akan tetapi justru tidak sedikit pun mengurangi niat besar dari al-Kurdi untuk menjadikannya menantu. Bahkan al-Kurdi berjanji menanggung semua biaya pernikahan termasuk mahar dan kebutuhan hidup keluarga Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Masya Allah. Jika bukan karena kepribadian Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi yang mulia dan keilmuannya, mungkin hal semacam ini tidak akan pernah terjadi.
  8. Tentang pengambilan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi sebagai menantu Shalih al-Kurdi, Syarif Aunur Rafiq bertanya terheran kepada Shalih, “Aku dengar Anda telah menikahkan putri Anda dengan lelaki Jawi yang tidak pandai berbahasa ‘Arab kecuai setelah belajar di mekkah?” “Akan tetapi ia adalah lelaki shalih dan bertaqwa,” jawab Shalih seketika, “Padahal Rasulullah shallallahu ‘alai wa sallam bersabda, ‘Jika datang kepada kalian seseorang yang agama dan amanahnya telah kalian ridhai, maka nikahkanlah ia.”
  9. Dari pernikahannya dengan Khadijah itu, Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi dikaruniai seorang putra, yaitu Abdul Karim (1300-1357 H). Ternyata pernikahan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi dengan Khadijah tidak berlangsung lama karena Khadijah meninggal dunia. Shalih al-Kurdi, sang mertua, meminta Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi untuk menikah kembali dengan putrinya yang lain, yaitu adik kandung Khadijah yang bernama Fathimah. Fathimah adalah seorang seorang wanita teladan dalam keshalihan dan memiliki hafalan al-Qur’an yang baik. Oleh karena itu tidak heran jika anak-anaknya kelak menjadi orang-orang yang memiliki kedudukan tinggi di Timur Tengah, yaitu: Abdul Malik. Ketua redaksi koran al-Qiblah dan memiliki kedudukan tinggi di al-Hasyimiyyah (Yordan). Belajar kepada sang sang ayah lalu mempelajari adab dan politik. Abdul Hamid Al Khathib seorang ulama ahli adab dan penyair kenamaan yang pernah menjadi staf pengajar di Masjid al-Haram dan duta besar Saudi untuk Pakistan.
  10. Di antara karya ilmiahnya adalah Tafsir al-Khathib al-Makki 4 jilid, sebuah nazham (sya’ir) berjudul Sirah Sayyid Walad Adam shallallahu ‘alaihi wa sallam, al-Imam al-‘Adil (sejarah dan biografi untuk Raja ‘Abdul ‘Aziz Alu Su’ud).
  11. PENDIDIKAN
    Ketika masih di kampung kelahirannya, Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi kecil sempat mengenyam pendidikan formal, yaitu pendidikan dasar dan berlanjut ke Sekolah Raja atau Kweekschool yang tamat tahun 1871 M.
  12. Di samping belajar di pendidikan formal yang dikelola Belanda itu, Ahmad kecil juga mempelajari mabadi’ (dasar-dasar) ilmu agama dari Syekh Abdul Lathif, sang ayah. Dari sang ayah pula, Ahmad kecil menghafal Al-Quran dan berhasil menghafalkan beberapa juz.
  13. Pada tahun 1287 H, Ahmad kecil diajak oleh sang ayah, Abdul Lathif, ke Tanah Suci Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Setelah rangkaian ibadah haji selesai ditunaikan, Abdullah kembali ke Sumatera Barat sementara Ahmad tetap tinggal di mekkah untuk menyelesaikan hafalan Al-Qurannya dan menuntut ilmu dari para ulama-ulama Mekkah terutama yang mengajar di Masjidil Haram.
  14. GURU-GURU
    Awal berada di Mekkah, Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi berguru dengan beberapa ulama terkemuka di sana seperti :
  15. Sayyid Umar bin Muhammad bin Mahmud Syatha Al Makki Asy Syafi’I (1259-1330 H)
  16. Sayyid Utsman bin Muhammad Syatha Al Makki Asy Syafi’i (1263-1295 H)
  17. Sayyid Bakri bin Muhammad Zainul Abidin Syatha Ad Dimyathi Al Makki Asy Syafi’i(1266-1310 H) –penulis I’anatuth Thalibin.
  18. Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan (wafat 1304) –mufti Madzhab Syafi’i di Mekkah
  19. Yahya Al Qalyubi
  20. Muhammad Shalih Al Kurdi
  21. Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah al-Makkiy
  22. MURID-MURID
    Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi adalah seorang ilmuan yang menguasai ilmu fiqih, sejarah, aljabar, ilmu falak, ilmu hitung, dan ilmu ukur (geometri). Dengan kecerdasan dan kealiman yang dimiliki oleh Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, beliau dikenal sebagai ulama yang sangat peduli terhadap pendidikan para santri-santri atau murid-muridnya yang belajar kepada beliau. Hal inilah yang membuat, murid-murid Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi menjadi tokoh-tokoh, ulama, kiai-kiai yang sangat berpengaruh di lingkungan masyarakatnya. Murid-murid beliau diantarannya:
  23. Syekh Abdul Karim bin Amrullah rahimahullah –ayah Ustadz Hamka-. Seorang ulama kharismatik yang memiliki pengaruh kuat di ranah Minang dan Indonesia. Di antara karya tulisnya adalah Al Qaulush Shahih yang membicarakan tentang nabi terakhir dan membantah paham adanya nabi baru setelah Nabi Muhammad terutama pengikut Mirza Ghulam Ahmad Al Qadiyani.
  24. KH. Abdul Halim Majalengka rahimahullah–pendiri Jam’iyyah I’anatul Mubta’allimin yang bekerja sama dengan Jam’iyyah Khairiyyah dan Al-Irsyad
  25. Syekh Abdurrahman Shiddiq bin Muhammad ‘Afif Al Banjarirahimahullah–mufti Kerajaan Indragiri
  26. Muhammad Thaib ‘Umar
  27. KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Jam’iyyah Nahdlatul Ulama (NU)
  28. KH. Ahmad Dahlan, pendiri Jam’iyyah Muhammadiyyah.
  29. Syekh Muhammad Jamil Jambek, Bukittinggi
  30. Syekh Sulaiman Ar-Rasuli, Candung, Bukittinggi
  31. Syekh Muhammad Jamil Jaho Padang Panjang
  32. Syekh Abbas Qadhi Ladang Lawas Bukittinggi
  33. Syekh Abbas Abdullah Padang Japang Suliki
  34. Syekh Khatib Ali Padang
  35. KH. Abbas Djamil Buntet
  36. Syekh Ibrahim Musa Parabek
  37. Syekh Mustafa Husein, Purba Baru, Mandailing
  38. Syekh Hasan Maksum, Medan
  39. PEMIKIRAN
    Perhatian Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi terhadap hukum waris juga sangat tinggi, kepakarannya dalam mawarits (hukum waris) telah membawa pembaharuan adat Minang yang bertentangan dengan Islam. Martin van Bruinessen mengatakan, karena sikap reformis inilah akhirnya al-Minangkabawi semakin terkenal. Salah satu kritik Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi yang cukup keras termaktub di dalam kitabnya Irsyadul Hajara fi Raddhi ‘alan Nashara mengatakan bahwa beliau menolak doktrin trinitas Kristen yang dipandangnya sebagai konsep Tuhan yang ambigu.
  40. Selain masalah teologi, dia juga pakar dalam ilmu falak. Hingga saat ini, ilmu falak digunakan untuk menentukan awal Ramadhan dan Syawal, perjalanan matahari termasuk perkiraan waktu salat, gerhana bulan dan matahari, serta kedudukan bintang-bintang tsabitah dan sayyarah, galaksi dan lainnya.
  41. Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi juga pakar dalam geometri dan trigonometri yang berfungsi untuk memprediksi dan menentukan arah kiblat, serta berfungsi untuk mengetahui rotasi bumi dan membuat kompas yang berguna saat berlayar. Kajian dalam bidang geometri ini tertuang dalam karyanya yang bertajuk Raudat al-Hussab dan Alam al-Hussab.
  42. MENJADI IMAM BESAR MASJIDIL HARAM
    Kealiman Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi dibuktikan dengan diangkatnya ia menjadi imam dan khathib sekaligus staf pengajar di Masjidil Haram. Jabatan sebagai imam dan khathib bukanlah jabatan yang mudah diperoleh. Jabatan ini hanya diperuntukkan orang-orang yang memiliki keilmuan yang tinggi.
  43. Mengenai sebab pengangkatan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi menjadi imam dan khathib, ada dua riwayat yang berbeda.
  44. Riwayat pertama dibawakan oleh ‘Umar ‘Abdul Jabbar dalam kamus tarajimnya, Siyar wa Tarajim (hal. 39). ‘Umar ‘Abdul Jabbar mencatat bahwa jabatan imam dan khathib itu diperoleh Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi berkat permintaan Shalih al-Kurdi, sang mertua, kepada Syarif ‘Aunur Rafiq agar berkenan mengangkat Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah menjadi imam & khathib.
  45. Sedangkan riwayat kedua dibawakan oleh Hamka rahimahullah dalam Ayahku, Riwayat Hidup Dr. ‘Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera yang kemudian dinukil oleh Dr. Akhria Nazwar dan Dadang A. Dahlan. Ustadz Hamka menyebutkan cerita ‘Abdul Hamid bin Ahmad Al Khathib, suatu ketika dalam sebuah salat berjama’ah yang diimami langsung Syarif ‘Aunur Rafiq.
  46. Di tengah salat, ternyata ada bacaan imam yang salah, mengetahui itu Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, yang ketika itu juga menjadi makmum, dengan beraninya membetulkan bacaan imam. Setelah usai salat, Syarif ‘Aunur Rafiq bertanya siapa gerangan yang telah membenarkan bacaannya tadi.
  47. Lalu ditunjukkannya Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi yang tak lain adalah menantu sahabat karibnya, Shalih Al Kurdi, yang terkenal dengan keshalihan dan kecerdasannya itu. Akhirnya Syarif ‘Aunur Rafiq mengangkat Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi sebagai imam dan khathib Masjid Al Haram untuk madzhab Syafi’i.
  48. TELADAN
    Kesuksesan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi dalam mendidik anak-anaknya sehingga menjadi tokoh-tokoh berhasil bukanlah omong kosong belaka. Keberhasilan itu berawal dari sistem pendidikan yang mengacu kepada nilai-nilai ajaran Islam yang mulia terutama masalah ‘aqidah.
  49. Mari sejenak kita dengar langsung penuturan ‘Abdul Hamid Al Khathib tentang bagaimana Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi menanamkan ‘aqidah pada anak-anaknya, “Ketika kecilku dulu, jika aku meminta sesuatu dari ayahku,” ia akan berkata, “Mintalah kepada Allah, pasti Dia akan memberimu (apa yang kamu minta)”. Aku pun balik bertanya, “Memangnya Allah di mana, yah?” “Dia berada di langit sana,” jawab ayahku, “Dia dapat melihatmu, sedangkan kamu tidak dapat melihatnya”.
  50. Tidak selang berapa lama, ayahku pun mendatangiku dengan membawa apa yang kuminta seraya berkata, “Ni, Allah telah mengirim kepadamu apa yang tadi kamu minta.”
  51. Dulu juga jika aku meminta sesuatu kepada Allah dan tidak aku dapatkan, maka aku pun segera mengadu kepada ayahku, “Sesungguhnya aku telah meminta ini dan itu kepada Allah, tapi kok Allah tidak memberiku, yah?” Ayah pun segera menjawab, “Ini tidak mungkin terjadi kecuali jika kamu sendiri yang bikin Allah murka. Ya mungkin kamu sudah berlaku sembrono dalam ibadahmu, atau kamu terlambat salat, atau mungkin kamu sudah menggunjing seseorang? Maka bertaubatlah dan minta ampunlah kepada Allah, pasti Dia akan memberikan semua permintaanmu. Aku pun segera melakukan wasiat ayahku, maka semua keinginanku pun dapat terwujud.”
  52. Bagaimana pendidikan aqidah yang diberikan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi kepada anaknya ini. Pendidikan mana lagi yang lebih mulia dari penanaman “aqidah yang kuat pada diri seorang anak. Bukankah melukis di batu itu sulit namun hasilnya akan lebih kekal? Demikian juga dengan diri seorang anak. Seorang anak kecil itu bagaikan gelas kaca yang masih kosong.”
  53. Ia tergantung dengan siapa yang pertama kali mengisinya. Pendidikan yang seperti inilah yang akan menanamkan rasa cinta yang tinggi kepada Allah, bersandar hanya kepada kepada-Nya, meminta hanya kepada-Nya semata bahkan hal-hal yang kecil sekalipun. Inilah pendidikan tauhid yang pernah dipraktikkan Rasulullah kepada keponakannya, Ibnu ‘Abbas, yang ketika itu usianya masih kanak-kanak, “Jika kamu meminta pertolongan, mintalah (pertolongan) kepada Allah.”
  54. Potret lain dari pendidikan yang diberikan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi kepada keluarganya adalah ia selalu menegur dan memperingati bagi siapa saja yang menyia-nyiakan waktunya dengan bermain-main dan berbagai hal yang dapat melalaikan termasuk alat-alat musik dan nyanyian. Semua ini dilakukan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi karena bentuk rasa sayangnya terhadap keluarganya. Karena melarang tidak selamanya bermakna benci.
  55. Tidak seperti anggapan sementara sebagian orang dalam mengekspresikan rasa cintanya kepada keluarganya. Mereka kira dengan membiarkan semua gerak-gerik dan tingkah laku keluarganya itulah yang disebut cinta. Padahal boleh jadi perilaku-perilaku itu mengundang murka Allah ‘Azza wa Jalla. Akan tetapi berbeda dengan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, ia menyadari bahwa seorang ayah kelak akan dimintai pertanggungjawaban di depan pengadilan Rabbul ‘alamin.
  56. Maka dengan segenap kemampuannya, Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi menganjurkan kepada semua keluarganya untuk menjauhi semua hal-hal yang tidak bermanfaat dan mencukupkan diri dengan sesuatu yang bermanfaat saja. Tidakkah Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, jagalah diri dan keluarga kalian dari neraka.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas tanggungannya.” Sampai sabdanya, “Dan laki-laki adalah pemimpin atas keluarganya, maka ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadapnya.”
  57. KARYA-KARYA
    Karya-karya tulis Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu karya-karya yang berbahasa Arab dan karya-karya yang berbahasa Melayu dengan tulisan Arab. Kebanyakan karya-karya itu mengangkat tema-tema kekinian terutama menjelaskan kemurnian Islam dan merobohkan kekeliruan tarekat, bid’ah, takhayul, khurafat, dan adat-adat yang bersebrangan dengan al-Qur’an & Sunnah.
  58. Karya-karya Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi dalam bahasab ’Arab:
  59. Hasyiyah An Nafahat ‘ala Syarhil Waraqat lil Mahalli
  60. Al Jawahirun Naqiyyah fil A’malil Jaibiyyah
  61. Ad Da’il Masmu’ ‘ala Man Yuwarritsul Ikhwah wa Auladil Akhwan Ma’a Wujudil Ushul wal Furu’
  62. Raudhatul Hussab
  63. Mu’inul Jaiz fi Tahqiq Ma’nal Jaiz
  64. As Suyuf wal Khanajir ‘ala Riqab Man Yad’u lil Kafir
  65. Al Qaulul Mufid ‘ala Mathla’is Sa’id
  66. An Natijah Al Mardhiyyah fi Tahqiqis Sanah Asy Syamsiyyah wal Qamariyyah
  67. Ad Durratul Bahiyyah fi Kaifiyah Zakati Azd Dzurratil Habasyiyyah
  68. Fathul Khabir fi Basmalatit Tafsir
  69. Al ‘Umad fi Man’il Qashr fi Masafah Jiddah
  70. Kasyfur Ran fi Hukmi Wadh’il Yad Ma’a Tathawuliz Zaman
  71. Hallul ‘Uqdah fi Tashhihil ‘Umdah
  72. Izhhar Zaghalil Kadzibin fi Tasyabbuhihim bish Shadiqin
  73. Kasyful ‘Ain fi Istiqlal Kulli Man Qawal Jabhah wal ‘Ain
  74. As Saifu Al Battar fi Mahq Kalimati Ba’dhil Aghrar
  75. Al Mawa’izh Al Hasanah Liman Yarghab minal ‘Amal Ahsanah
  76. Raf’ul Ilbas ‘an Hukmil Anwat Al Muta’amil Biha Bainan Nas
  77. Iqna’un Nufus bi Ilhaqil Anwat bi ‘Amalatil Fulus
  78. Tanbihul Ghafil bi Suluk Thariqatil Awail fima Yata’allaq bi Thariqah An Naqsyabandiyyah
  79. Al Qaulul Mushaddaq bi Ilhaqil Walad bil Muthlaq
  80. Hasyiyah Fathul Jawwad dalam 5 jilid
  81. Fatawa Al Khathib ‘ala Ma Warada ‘Alaih minal Asilah
  82. Al Qaulul Hashif fi Tarjamah Ahmad Khathib bin ‘Abdil Lathif
  83. Adapun yang berbahasa Melayu adalah:
  84. Mu’allimul Hussab fi ‘Ilmil Hisab
  85. Ar Riyadh Al Wardiyyah fi Ushulit Tauhid wa Al Fiqh Asy Syafi’i
  86. Al Manhajul Masyru’ fil Mawarits
  87. Dhaus Siraj Pada Menyatakan Cerita Isra’ dan Mi’raj
  88. Shulhul Jama’atain fi Jawaz Ta’addudil Jumu’atain
  89. Al Jawahir Al Faridah fil Ajwibah Al Mufidah
  90. Fathul Mubin Liman Salaka Thariqil Washilin
  91. Al Aqwal Al Wadhihat fi Hukm Man ‘Alaih Qadhaish Shalawat
  92. Husnud Difa’ fin Nahy ‘anil Ibtida’
  93. Ash Sharim Al Mufri li Wasawis Kulli Kadzib Muftari
  94. Maslakur Raghibin fi Thariqah Sayyidil Mursalin
  95. Izhhar Zughalil Kadzibin
  96. Al Ayat Al Bayyinat fi Raf’il Khurafat
  97. Al Jawi fin Nahw
  98. Sulamun Nahw
  99. Al Khuthathul Mardhiyyah fi Hukm Talaffuzh bin Niyyah
  100. Asy Syumus Al Lami’ah fir Rad ‘ala Ahlil Maratib As Sab’ah
  101. Sallul Hussam li Qath’i Thuruf Tanbihil Anam
  102. Al Bahjah fil A’malil Jaibiyyah
  103. Irsyadul Hayara fi Izalah Syubahin Nashara
  104. Fatawa Al Khathib dalam versi bahasa Melayu
  105. KELUARGA
    Di antara kebiasaan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi di Mekkah adalah sering mengunjungi toko buku milik Muhammad Shalih Al Kurdi, yang terletak di dekat Masjidill Haram untuk membeli kitab-kitab, yang dibutuhkan atau sekadar membaca buku saja jika belum memiliki uang untuk membeli. Karena seringnya Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi mengunjungi toko buku itu membuat pemilik toko, Shalih Al Kurdi, menaruh simpati kepadanya, terutama setelah mengetahui kerajinan, ketekunan, kepandaian dan penguasaannya terhadap ilmu agama serta keshalihannya.

Ketertarikan Shalih Al Kurdi terhadap Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi dibuktikan dengan dijadikannya Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi sebagai menantu. Setelah banyak mengetahui tentang perihal dan kepribadian Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi yang mulia itu, Shalih Al Kurdi pun menikahkannya dengan putri pertamanya, yang kata Hamka dalam Tafsir al-Azhar bernama Khadijah.

Sebenarnya Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi sempat ragu menerima tawaran dari al-Kurdi karena tidak adanya biaya yang mencukupi dan telah mengatakan terus terang, akan tetapi justru tidak sedikit pun mengurangi niat besar dari al-Kurdi untuk menjadikannya menantu. Bahkan al-Kurdi berjanji menanggung semua biaya pernikahan termasuk mahar dan kebutuhan hidup keluarga Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Masya Allah. Jika bukan karena kepribadian Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi yang mulia dan keilmuannya, mungkin hal semacam ini tidak akan pernah terjadi.

Tentang pengambilan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi sebagai menantu Shalih al-Kurdi, Syarif Aunur Rafiq bertanya terheran kepada Shalih, “Aku dengar Anda telah menikahkan putri Anda dengan lelaki Jawi yang tidak pandai berbahasa ‘Arab kecuai setelah belajar di mekkah?” “Akan tetapi ia adalah lelaki shalih dan bertaqwa,” jawab Shalih seketika, “Padahal Rasulullah shallallahu ‘alai wa sallam bersabda, ‘Jika datang kepada kalian seseorang yang agama dan amanahnya telah kalian ridhai, maka nikahkanlah ia.”

Dari pernikahannya dengan Khadijah itu, Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi dikaruniai seorang putra, yaitu Abdul Karim (1300-1357 H). Ternyata pernikahan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi dengan Khadijah tidak berlangsung lama karena Khadijah meninggal dunia. Shalih al-Kurdi, sang mertua, meminta Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi untuk menikah kembali dengan putrinya yang lain, yaitu adik kandung Khadijah yang bernama Fathimah. Fathimah adalah seorang seorang wanita teladan dalam keshalihan dan memiliki hafalan al-Qur’an yang baik. Oleh karena itu tidak heran jika anak-anaknya kelak menjadi orang-orang yang memiliki kedudukan tinggi di Timur Tengah, yaitu: Abdul Malik. Ketua redaksi koran al-Qiblah dan memiliki kedudukan tinggi di al-Hasyimiyyah (Yordan). Belajar kepada sang sang ayah lalu mempelajari adab dan politik. Abdul Hamid Al Khathib seorang ulama ahli adab dan penyair kenamaan yang pernah menjadi staf pengajar di Masjid al-Haram dan duta besar Saudi untuk Pakistan.

Di antara karya ilmiahnya adalah Tafsir al-Khathib al-Makki 4 jilid, sebuah nazham (sya’ir) berjudul Sirah Sayyid Walad Adam shallallahu ‘alaihi wa sallam, al-Imam al-‘Adil (sejarah dan biografi untuk Raja ‘Abdul ‘Aziz Alu Su’ud).

  1. PENDIDIKAN
    Ketika masih di kampung kelahirannya, Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi kecil sempat mengenyam pendidikan formal, yaitu pendidikan dasar dan berlanjut ke Sekolah Raja atau Kweekschool yang tamat tahun 1871 M.

Di samping belajar di pendidikan formal yang dikelola Belanda itu, Ahmad kecil juga mempelajari mabadi’ (dasar-dasar) ilmu agama dari Syekh Abdul Lathif, sang ayah. Dari sang ayah pula, Ahmad kecil menghafal Al-Quran dan berhasil menghafalkan beberapa juz.

Pada tahun 1287 H, Ahmad kecil diajak oleh sang ayah, Abdul Lathif, ke Tanah Suci Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Setelah rangkaian ibadah haji selesai ditunaikan, Abdullah kembali ke Sumatera Barat sementara Ahmad tetap tinggal di mekkah untuk menyelesaikan hafalan Al-Qurannya dan menuntut ilmu dari para ulama-ulama Mekkah terutama yang mengajar di Masjidil Haram.

  1. GURU-GURU
    Awal berada di Mekkah, Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi berguru dengan beberapa ulama terkemuka di sana seperti :

Sayyid Umar bin Muhammad bin Mahmud Syatha Al Makki Asy Syafi’I (1259-1330 H)
Sayyid Utsman bin Muhammad Syatha Al Makki Asy Syafi’i (1263-1295 H)
Sayyid Bakri bin Muhammad Zainul Abidin Syatha Ad Dimyathi Al Makki Asy Syafi’i(1266-1310 H) –penulis I’anatuth Thalibin.
Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan (wafat 1304) –mufti Madzhab Syafi’i di Mekkah
Yahya Al Qalyubi
Muhammad Shalih Al Kurdi
Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah al-Makkiy

  1. MURID-MURID
    Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi adalah seorang ilmuan yang menguasai ilmu fiqih, sejarah, aljabar, ilmu falak, ilmu hitung, dan ilmu ukur (geometri). Dengan kecerdasan dan kealiman yang dimiliki oleh Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, beliau dikenal sebagai ulama yang sangat peduli terhadap pendidikan para santri-santri atau murid-muridnya yang belajar kepada beliau. Hal inilah yang membuat, murid-murid Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi menjadi tokoh-tokoh, ulama, kiai-kiai yang sangat berpengaruh di lingkungan masyarakatnya. Murid-murid beliau diantarannya:

Syekh Abdul Karim bin Amrullah rahimahullah –ayah Ustadz Hamka-. Seorang ulama kharismatik yang memiliki pengaruh kuat di ranah Minang dan Indonesia. Di antara karya tulisnya adalah Al Qaulush Shahih yang membicarakan tentang nabi terakhir dan membantah paham adanya nabi baru setelah Nabi Muhammad terutama pengikut Mirza Ghulam Ahmad Al Qadiyani.
KH. Abdul Halim Majalengka rahimahullah–pendiri Jam’iyyah I’anatul Mubta’allimin yang bekerja sama dengan Jam’iyyah Khairiyyah dan Al-Irsyad
Syekh Abdurrahman Shiddiq bin Muhammad ‘Afif Al Banjarirahimahullah–mufti Kerajaan Indragiri
Muhammad Thaib ‘Umar
KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Jam’iyyah Nahdlatul Ulama (NU)
KH. Ahmad Dahlan, pendiri Jam’iyyah Muhammadiyyah.
Syekh Muhammad Jamil Jambek, Bukittinggi
Syekh Sulaiman Ar-Rasuli, Candung, Bukittinggi
Syekh Muhammad Jamil Jaho Padang Panjang
Syekh Abbas Qadhi Ladang Lawas Bukittinggi
Syekh Abbas Abdullah Padang Japang Suliki
Syekh Khatib Ali Padang
KH. Abbas Djamil Buntet
Syekh Ibrahim Musa Parabek
Syekh Mustafa Husein, Purba Baru, Mandailing
Syekh Hasan Maksum, Medan

  1. PEMIKIRAN
    Perhatian Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi terhadap hukum waris juga sangat tinggi, kepakarannya dalam mawarits (hukum waris) telah membawa pembaharuan adat Minang yang bertentangan dengan Islam. Martin van Bruinessen mengatakan, karena sikap reformis inilah akhirnya al-Minangkabawi semakin terkenal. Salah satu kritik Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi yang cukup keras termaktub di dalam kitabnya Irsyadul Hajara fi Raddhi ‘alan Nashara mengatakan bahwa beliau menolak doktrin trinitas Kristen yang dipandangnya sebagai konsep Tuhan yang ambigu.

Selain masalah teologi, dia juga pakar dalam ilmu falak. Hingga saat ini, ilmu falak digunakan untuk menentukan awal Ramadhan dan Syawal, perjalanan matahari termasuk perkiraan waktu salat, gerhana bulan dan matahari, serta kedudukan bintang-bintang tsabitah dan sayyarah, galaksi dan lainnya.

  1. MENJADI IMAM BESAR MASJIDIL HARAM
    Kealiman Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi dibuktikan dengan diangkatnya ia menjadi imam dan khathib sekaligus staf pengajar di Masjidil Haram. Jabatan sebagai imam dan khathib bukanlah jabatan yang mudah diperoleh. Jabatan ini hanya diperuntukkan orang-orang yang memiliki keilmuan yang tinggi.

Mengenai sebab pengangkatan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi menjadi imam dan khathib, ada dua riwayat yang berbeda.

Biografi Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi — SANG AHLI HISAB yang menjadi rujukan —

Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi juga pakar dalam geometri dan trigonometri yang berfungsi untuk memprediksi dan menentukan arah kiblat, serta berfungsi untuk mengetahui rotasi bumi dan membuat kompas yang berguna saat berlayar. Kajian dalam bidang geometri ini tertuang dalam karyanya yang bertajuk Raudat al-Hussab dan Alam al-Hussab.

Riwayat pertama dibawakan oleh ‘Umar ‘Abdul Jabbar dalam kamus tarajimnya, Siyar wa Tarajim (hal. 39). ‘Umar ‘Abdul Jabbar mencatat bahwa jabatan imam dan khathib itu diperoleh Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi berkat permintaan Shalih al-Kurdi, sang mertua, kepada Syarif ‘Aunur Rafiq agar berkenan mengangkat Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah menjadi imam & khathib.

Sedangkan riwayat kedua dibawakan oleh Hamka rahimahullah dalam Ayahku, Riwayat Hidup Dr. ‘Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera yang kemudian dinukil oleh Dr. Akhria Nazwar dan Dadang A. Dahlan. Ustadz Hamka menyebutkan cerita ‘Abdul Hamid bin Ahmad Al Khathib, suatu ketika dalam sebuah salat berjama’ah yang diimami langsung Syarif ‘Aunur Rafiq.

Di tengah salat, ternyata ada bacaan imam yang salah, mengetahui itu Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, yang ketika itu juga menjadi makmum, dengan beraninya membetulkan bacaan imam. Setelah usai salat, Syarif ‘Aunur Rafiq bertanya siapa gerangan yang telah membenarkan bacaannya tadi.

Lalu ditunjukkannya Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi yang tak lain adalah menantu sahabat karibnya, Shalih Al Kurdi, yang terkenal dengan keshalihan dan kecerdasannya itu. Akhirnya Syarif ‘Aunur Rafiq mengangkat Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi sebagai imam dan khathib Masjid Al Haram untuk madzhab Syafi’i.

  1. TELADAN
    Kesuksesan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi dalam mendidik anak-anaknya sehingga menjadi tokoh-tokoh berhasil bukanlah omong kosong belaka. Keberhasilan itu berawal dari sistem pendidikan yang mengacu kepada nilai-nilai ajaran Islam yang mulia terutama masalah ‘aqidah.

Mari sejenak kita dengar langsung penuturan ‘Abdul Hamid Al Khathib tentang bagaimana Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi menanamkan ‘aqidah pada anak-anaknya, “Ketika kecilku dulu, jika aku meminta sesuatu dari ayahku,” ia akan berkata, “Mintalah kepada Allah, pasti Dia akan memberimu (apa yang kamu minta)”. Aku pun balik bertanya, “Memangnya Allah di mana, yah?” “Dia berada di langit sana,” jawab ayahku, “Dia dapat melihatmu, sedangkan kamu tidak dapat melihatnya”.

Tidak selang berapa lama, ayahku pun mendatangiku dengan membawa apa yang kuminta seraya berkata, “Ni, Allah telah mengirim kepadamu apa yang tadi kamu minta.”

Dulu juga jika aku meminta sesuatu kepada Allah dan tidak aku dapatkan, maka aku pun segera mengadu kepada ayahku, “Sesungguhnya aku telah meminta ini dan itu kepada Allah, tapi kok Allah tidak memberiku, yah?” Ayah pun segera menjawab, “Ini tidak mungkin terjadi kecuali jika kamu sendiri yang bikin Allah murka. Ya mungkin kamu sudah berlaku sembrono dalam ibadahmu, atau kamu terlambat salat, atau mungkin kamu sudah menggunjing seseorang? Maka bertaubatlah dan minta ampunlah kepada Allah, pasti Dia akan memberikan semua permintaanmu. Aku pun segera melakukan wasiat ayahku, maka semua keinginanku pun dapat terwujud.”

Bagaimana pendidikan aqidah yang diberikan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi kepada anaknya ini. Pendidikan mana lagi yang lebih mulia dari penanaman “aqidah yang kuat pada diri seorang anak. Bukankah melukis di batu itu sulit namun hasilnya akan lebih kekal? Demikian juga dengan diri seorang anak. Seorang anak kecil itu bagaikan gelas kaca yang masih kosong.”

Ia tergantung dengan siapa yang pertama kali mengisinya. Pendidikan yang seperti inilah yang akan menanamkan rasa cinta yang tinggi kepada Allah, bersandar hanya kepada kepada-Nya, meminta hanya kepada-Nya semata bahkan hal-hal yang kecil sekalipun. Inilah pendidikan tauhid yang pernah dipraktikkan Rasulullah kepada keponakannya, Ibnu ‘Abbas, yang ketika itu usianya masih kanak-kanak, “Jika kamu meminta pertolongan, mintalah (pertolongan) kepada Allah.”

Potret lain dari pendidikan yang diberikan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi kepada keluarganya adalah ia selalu menegur dan memperingati bagi siapa saja yang menyia-nyiakan waktunya dengan bermain-main dan berbagai hal yang dapat melalaikan termasuk alat-alat musik dan nyanyian. Semua ini dilakukan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi karena bentuk rasa sayangnya terhadap keluarganya. Karena melarang tidak selamanya bermakna benci.

Tidak seperti anggapan sementara sebagian orang dalam mengekspresikan rasa cintanya kepada keluarganya. Mereka kira dengan

  1. KELAHIRAN
    Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi bin Abdul Lathif bin Abdurrahman bin Abdullah bin Abdul Aziz al-Khathib atau yang kerap dipanggil dengan sapaan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi lahir pada hari Senin 6 Dzulhijjah 1276 H (1860 Masehi) di Koto Tuo, Balai Gurah, IV Angkek, Agam, Sumatera Barat.

Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi merupakan putra dari pasangan Abdul Lathif yang berasal dari Koto Gadang dengan Limbak Urai binti Tuanku Nan Rancak. Kakek beliau (KH. Abdullah) adalah seorang ulama kenamaan. Oleh masyarakat Koto Gadang, Abdullah ditunjuk sebagai Imam dan khathib. Sejak itulah gelar Khatib Nagari melekat dibelakang namanya dan berlanjut ke keturunannya di kemudian hari.

  1. WAFAT
    Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi wafat pada tanggal 13 Maret 1916 M / 9 Jumadil Awal tahun 1334 H di Mekkah, Saudi Arabia.
  2. KELUARGA
    Di antara kebiasaan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi di Mekkah adalah sering mengunjungi toko buku milik Muhammad Shalih Al Kurdi, yang terletak di dekat Masjidill Haram untuk membeli kitab-kitab, yang dibutuhkan atau sekadar membaca buku saja jika belum memiliki uang untuk membeli. Karena seringnya Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi mengunjungi toko buku itu membuat pemilik toko, Shalih Al Kurdi, menaruh simpati kepadanya, terutama setelah mengetahui kerajinan, ketekunan, kepandaian dan penguasaannya terhadap ilmu agama serta keshalihannya.

Ketertarikan Shalih Al Kurdi terhadap Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi dibuktikan dengan dijadikannya Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi sebagai menantu. Setelah banyak mengetahui tentang perihal dan kepribadian Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi yang mulia itu, Shalih Al Kurdi pun menikahkannya dengan putri pertamanya, yang kata Hamka dalam Tafsir al-Azhar bernama Khadijah.

Sebenarnya Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi sempat ragu menerima tawaran dari al-Kurdi karena tidak adanya biaya yang mencukupi dan telah mengatakan terus terang, akan tetapi justru tidak sedikit pun mengurangi niat besar dari al-Kurdi untuk menjadikannya menantu. Bahkan al-Kurdi berjanji menanggung semua biaya pernikahan termasuk mahar dan kebutuhan hidup keluarga Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Masya Allah. Jika bukan karena kepribadian Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi yang mulia dan keilmuannya, mungkin hal semacam ini tidak akan pernah terjadi.

Tentang pengambilan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi sebagai menantu Shalih al-Kurdi, Syarif Aunur Rafiq bertanya terheran kepada Shalih, “Aku dengar Anda telah menikahkan putri Anda dengan lelaki Jawi yang tidak pandai berbahasa ‘Arab kecuai setelah belajar di mekkah?” “Akan tetapi ia adalah lelaki shalih dan bertaqwa,” jawab Shalih seketika, “Padahal Rasulullah shallallahu ‘alai wa sallam bersabda, ‘Jika datang kepada kalian seseorang yang agama dan amanahnya telah kalian ridhai, maka nikahkanlah ia.”

Dari pernikahannya dengan Khadijah itu, Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi dikaruniai seorang putra, yaitu Abdul Karim (1300-1357 H). Ternyata pernikahan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi dengan Khadijah tidak berlangsung lama karena Khadijah meninggal dunia. Shalih al-Kurdi, sang mertua, meminta Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi untuk menikah kembali dengan putrinya yang lain, yaitu adik kandung Khadijah yang bernama Fathimah. Fathimah adalah seorang seorang wanita teladan dalam keshalihan dan memiliki hafalan al-Qur’an yang baik. Oleh karena itu tidak heran jika anak-anaknya kelak menjadi orang-orang yang memiliki kedudukan tinggi di Timur Tengah, yaitu: Abdul Malik. Ketua redaksi koran al-Qiblah dan memiliki kedudukan tinggi di al-Hasyimiyyah (Yordan). Belajar kepada sang sang ayah lalu mempelajari adab dan politik. Abdul Hamid Al Khathib seorang ulama ahli adab dan penyair kenamaan yang pernah menjadi staf pengajar di Masjid al-Haram dan duta besar Saudi untuk Pakistan.

Di antara karya ilmiahnya adalah Tafsir al-Khathib al-Makki 4 jilid, sebuah nazham (sya’ir) berjudul Sirah Sayyid Walad Adam shallallahu ‘alaihi wa sallam, al-Imam al-‘Adil (sejarah dan biografi untuk Raja ‘Abdul ‘Aziz Alu Su’ud).

  1. PENDIDIKAN
    Ketika masih di kampung kelahirannya, Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi kecil sempat mengenyam pendidikan formal, yaitu pendidikan dasar dan berlanjut ke Sekolah Raja atau Kweekschool yang tamat tahun 1871 M.

Di samping belajar di pendidikan formal yang dikelola Belanda itu, Ahmad kecil juga mempelajari mabadi’ (dasar-dasar) ilmu agama dari Syekh Abdul Lathif, sang ayah. Dari sang ayah pula, Ahmad kecil menghafal Al-Quran dan berhasil menghafalkan beberapa juz.

Pada tahun 1287 H, Ahmad kecil diajak oleh sang ayah, Abdul Lathif, ke Tanah Suci Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Setelah rangkaian ibadah haji selesai ditunaikan, Abdullah kembali ke Sumatera Barat sementara Ahmad tetap tinggal di mekkah untuk menyelesaikan hafalan Al-Qurannya dan menuntut ilmu dari para ulama-ulama Mekkah terutama yang mengajar di Masjidil Haram.

  1. GURU-GURU
    Awal berada di Mekkah, Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi berguru dengan beberapa ulama terkemuka di sana seperti :

Sayyid Umar bin Muhammad bin Mahmud Syatha Al Makki Asy Syafi’I (1259-1330 H)
Sayyid Utsman bin Muhammad Syatha Al Makki Asy Syafi’i (1263-1295 H)
Sayyid Bakri bin Muhammad Zainul Abidin Syatha Ad Dimyathi Al Makki Asy Syafi’i(1266-1310 H) –penulis I’anatuth Thalibin.
Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan (wafat 1304) –mufti Madzhab Syafi’i di Mekkah
Yahya Al Qalyubi
Muhammad Shalih Al Kurdi
Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah al-Makkiy

  1. MURID-MURID
    Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi adalah seorang ilmuan yang menguasai ilmu fiqih, sejarah, aljabar, ilmu falak, ilmu hitung, dan ilmu ukur (geometri). Dengan kecerdasan dan kealiman yang dimiliki oleh Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, beliau dikenal sebagai ulama yang sangat peduli terhadap pendidikan para santri-santri atau murid-muridnya yang belajar kepada beliau. Hal inilah yang membuat, murid-murid Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi menjadi tokoh-tokoh, ulama, kiai-kiai yang sangat berpengaruh di lingkungan masyarakatnya. Murid-murid beliau diantarannya:

Syekh Abdul Karim bin Amrullah rahimahullah –ayah Ustadz Hamka-. Seorang ulama kharismatik yang memiliki pengaruh kuat di ranah Minang dan Indonesia. Di antara karya tulisnya adalah Al Qaulush Shahih yang membicarakan tentang nabi terakhir dan membantah paham adanya nabi baru setelah Nabi Muhammad terutama pengikut Mirza Ghulam Ahmad Al Qadiyani.
KH. Abdul Halim Majalengka rahimahullah–pendiri Jam’iyyah I’anatul Mubta’allimin yang bekerja sama dengan Jam’iyyah Khairiyyah dan Al-Irsyad
Syekh Abdurrahman Shiddiq bin Muhammad ‘Afif Al Banjarirahimahullah–mufti Kerajaan Indragiri
Muhammad Thaib ‘Umar
KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Jam’iyyah Nahdlatul Ulama (NU)
KH. Ahmad Dahlan, pendiri Jam’iyyah Muhammadiyyah.
Syekh Muhammad Jamil Jambek, Bukittinggi
Syekh Sulaiman Ar-Rasuli, Candung, Bukittinggi
Syekh Muhammad Jamil Jaho Padang Panjang
Syekh Abbas Qadhi Ladang Lawas Bukittinggi
Syekh Abbas Abdullah Padang Japang Suliki
Syekh Khatib Ali Padang
KH. Abbas Djamil Buntet
Syekh Ibrahim Musa Parabek
Syekh Mustafa Husein, Purba Baru, Mandailing
Syekh Hasan Maksum, Medan

  1. PEMIKIRAN
    Perhatian Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi terhadap hukum waris juga sangat tinggi, kepakarannya dalam mawarits (hukum waris) telah membawa pembaharuan adat Minang yang bertentangan dengan Islam. Martin van Bruinessen mengatakan, karena sikap reformis inilah akhirnya al-Minangkabawi semakin terkenal. Salah satu kritik Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi yang cukup keras termaktub di dalam kitabnya Irsyadul Hajara fi Raddhi ‘alan Nashara mengatakan bahwa beliau menolak doktrin trinitas Kristen yang dipandangnya sebagai konsep Tuhan yang ambigu.

Selain masalah teologi, dia juga pakar dalam ilmu falak. Hingga saat ini, ilmu falak digunakan untuk menentukan awal Ramadhan dan Syawal, perjalanan matahari termasuk perkiraan waktu salat, gerhana bulan dan matahari, serta kedudukan bintang-bintang tsabitah dan sayyarah, galaksi dan lainnya.

Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi juga pakar dalam geometri dan trigonometri yang berfungsi untuk memprediksi dan menentukan arah kiblat, serta berfungsi untuk mengetahui rotasi bumi dan membuat kompas yang berguna saat berlayar. Kajian dalam bidang geometri ini tertuang dalam karyanya yang bertajuk Raudat al-Hussab dan Alam al-Hussab.

  1. MENJADI IMAM BESAR MASJIDIL HARAM
    Kealiman Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi dibuktikan dengan diangkatnya ia menjadi imam dan khathib sekaligus staf pengajar di Masjidil Haram. Jabatan sebagai imam dan khathib bukanlah jabatan yang mudah diperoleh. Jabatan ini hanya diperuntukkan orang-orang yang memiliki keilmuan yang tinggi.

Mengenai sebab pengangkatan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi menjadi imam dan khathib, ada dua riwayat yang berbeda.

Riwayat pertama dibawakan oleh ‘Umar ‘Abdul Jabbar dalam kamus tarajimnya, Siyar wa Tarajim (hal. 39). ‘Umar ‘Abdul Jabbar mencatat bahwa jabatan imam dan khathib itu diperoleh Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi berkat permintaan Shalih al-Kurdi, sang mertua, kepada Syarif ‘Aunur Rafiq agar berkenan mengangkat Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah menjadi imam & khathib.

Sedangkan riwayat kedua dibawakan oleh Hamka rahimahullah dalam Ayahku, Riwayat Hidup Dr. ‘Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera yang kemudian dinukil oleh Dr. Akhria Nazwar dan Dadang A. Dahlan. Ustadz Hamka menyebutkan cerita ‘Abdul Hamid bin Ahmad Al Khathib, suatu ketika dalam sebuah salat berjama’ah yang diimami langsung Syarif ‘Aunur Rafiq.

Di tengah salat, ternyata ada bacaan imam yang salah, mengetahui itu Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, yang ketika itu juga menjadi makmum, dengan beraninya membetulkan bacaan imam. Setelah usai salat, Syarif ‘Aunur Rafiq bertanya siapa gerangan yang telah membenarkan bacaannya tadi.

Lalu ditunjukkannya Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi yang tak lain adalah menantu sahabat karibnya, Shalih Al Kurdi, yang terkenal dengan keshalihan dan kecerdasannya itu. Akhirnya Syarif ‘Aunur Rafiq mengangkat Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi sebagai imam dan khathib Masjid Al Haram untuk madzhab Syafi’i.

  1. TELADAN
    Kesuksesan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi dalam mendidik anak-anaknya sehingga menjadi tokoh-tokoh berhasil bukanlah omong kosong belaka. Keberhasilan itu berawal dari sistem pendidikan yang mengacu kepada nilai-nilai ajaran Islam yang mulia terutama masalah ‘aqidah.

Mari sejenak kita dengar langsung penuturan ‘Abdul Hamid Al Khathib tentang bagaimana Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi menanamkan ‘aqidah pada anak-anaknya, “Ketika kecilku dulu, jika aku meminta sesuatu dari ayahku,” ia akan berkata, “Mintalah kepada Allah, pasti Dia akan memberimu (apa yang kamu minta)”. Aku pun balik bertanya, “Memangnya Allah di mana, yah?” “Dia berada di langit sana,” jawab ayahku, “Dia dapat melihatmu, sedangkan kamu tidak dapat melihatnya”.

Tidak selang berapa lama, ayahku pun mendatangiku dengan membawa apa yang kuminta seraya berkata, “Ni, Allah telah mengirim kepadamu apa yang tadi kamu minta.”

Dulu juga jika aku meminta sesuatu kepada Allah dan tidak aku dapatkan, maka aku pun segera mengadu kepada ayahku, “Sesungguhnya aku telah meminta ini dan itu kepada Allah, tapi kok Allah tidak memberiku, yah?” Ayah pun segera menjawab, “Ini tidak mungkin terjadi kecuali jika kamu sendiri yang bikin Allah murka. Ya mungkin kamu sudah berlaku sembrono dalam ibadahmu, atau kamu terlambat salat, atau mungkin kamu sudah menggunjing seseorang? Maka bertaubatlah dan minta ampunlah kepada Allah, pasti Dia akan memberikan semua permintaanmu. Aku pun segera melakukan wasiat ayahku, maka semua keinginanku pun dapat terwujud.”

Bagaimana pendidikan aqidah yang diberikan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi kepada anaknya ini. Pendidikan mana lagi yang lebih mulia dari penanaman “aqidah yang kuat pada diri seorang anak. Bukankah melukis di batu itu sulit namun hasilnya akan lebih kekal? Demikian juga dengan diri seorang anak. Seorang anak kecil itu bagaikan gelas kaca yang masih kosong.”

Ia tergantung dengan siapa yang pertama kali mengisinya. Pendidikan yang seperti inilah yang akan menanamkan rasa cinta yang tinggi kepada Allah, bersandar hanya kepada kepada-Nya, meminta hanya kepada-Nya semata bahkan hal-hal yang kecil sekalipun. Inilah pendidikan tauhid yang pernah dipraktikkan Rasulullah kepada keponakannya, Ibnu ‘Abbas, yang ketika itu usianya masih kanak-kanak, “Jika kamu meminta pertolongan, mintalah (pertolongan) kepada Allah.”

Potret lain dari pendidikan yang diberikan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi kepada keluarganya adalah ia selalu menegur dan memperingati bagi siapa saja yang menyia-nyiakan waktunya dengan bermain-main dan berbagai hal yang dapat melalaikan termasuk alat-alat musik dan nyanyian. Semua ini dilakukan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi karena bentuk rasa sayangnya terhadap keluarganya. Karena melarang tidak selamanya bermakna benci.

Tidak seperti anggapan sementara sebagian orang dalam mengekspresikan rasa cintanya kepada keluarganya. Mereka kira dengan membiarkan semua gerak-gerik dan tingkah laku keluarganya itulah yang disebut cinta. Padahal boleh jadi perilaku-perilaku itu mengundang murka Allah ‘Azza wa Jalla. Akan tetapi berbeda dengan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, ia menyadari bahwa seorang ayah kelak akan dimintai pertanggungjawaban di depan pengadilan Rabbul ‘alamin.

Maka dengan segenap kemampuannya, Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi menganjurkan kepada semua keluarganya untuk menjauhi semua hal-hal yang tidak bermanfaat dan mencukupkan diri dengan sesuatu yang bermanfaat saja. Tidakkah Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, jagalah diri dan keluarga kalian dari neraka.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas tanggungannya.” Sampai sabdanya, “Dan laki-laki adalah pemimpin atas keluarganya, maka ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadapnya.”

  1. KARYA-KARYA
    Karya-karya tulis Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu karya-karya yang berbahasa Arab dan karya-karya yang berbahasa Melayu dengan tulisan Arab. Kebanyakan karya-karya itu mengangkat tema-tema kekinian terutama menjelaskan kemurnian Islam dan merobohkan kekeliruan tarekat, bid’ah, takhayul, khurafat, dan adat-adat yang bersebrangan dengan al-Qur’an & Sunnah.

Karya-karya Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi dalam bahasab ’Arab:

Hasyiyah An Nafahat ‘ala Syarhil Waraqat lil Mahalli
Al Jawahirun Naqiyyah fil A’malil Jaibiyyah
Ad Da’il Masmu’ ‘ala Man Yuwarritsul Ikhwah wa Auladil Akhwan Ma’a Wujudil Ushul wal Furu’
Raudhatul Hussab
Mu’inul Jaiz fi Tahqiq Ma’nal Jaiz
As Suyuf wal Khanajir ‘ala Riqab Man Yad’u lil Kafir
Al Qaulul Mufid ‘ala Mathla’is Sa’id
An Natijah Al Mardhiyyah fi Tahqiqis Sanah Asy Syamsiyyah wal Qamariyyah
Ad Durratul Bahiyyah fi Kaifiyah Zakati Azd Dzurratil Habasyiyyah
Fathul Khabir fi Basmalatit Tafsir
Al ‘Umad fi Man’il Qashr fi Masafah Jiddah
Kasyfur Ran fi Hukmi Wadh’il Yad Ma’a Tathawuliz Zaman
Hallul ‘Uqdah fi Tashhihil ‘Umdah
Izhhar Zaghalil Kadzibin fi Tasyabbuhihim bish Shadiqin
Kasyful ‘Ain fi Istiqlal Kulli Man Qawal Jabhah wal ‘Ain
As Saifu Al Battar fi Mahq Kalimati Ba’dhil Aghrar
Al Mawa’izh Al Hasanah Liman Yarghab minal ‘Amal Ahsanah
Raf’ul Ilbas ‘an Hukmil Anwat Al Muta’amil Biha Bainan Nas
Iqna’un Nufus bi Ilhaqil Anwat bi ‘Amalatil Fulus
Tanbihul Ghafil bi Suluk Thariqatil Awail fima Yata’allaq bi Thariqah An Naqsyabandiyyah
Al Qaulul Mushaddaq bi Ilhaqil Walad bil Muthlaq
Hasyiyah Fathul Jawwad dalam 5 jilid
Fatawa Al Khathib ‘ala Ma Warada ‘Alaih minal Asilah
Al Qaulul Hashif fi Tarjamah Ahmad Khathib bin ‘Abdil Lathif
Adapun yang berbahasa Melayu adalah:

Mu’allimul Hussab fi ‘Ilmil Hisab
Ar Riyadh Al Wardiyyah fi Ushulit Tauhid wa Al Fiqh Asy Syafi’i
Al Manhajul Masyru’ fil Mawarits
Dhaus Siraj Pada Menyatakan Cerita Isra’ dan Mi’raj
Shulhul Jama’atain fi Jawaz Ta’addudil Jumu’atain
Al Jawahir Al Faridah fil Ajwibah Al Mufidah
Fathul Mubin Liman Salaka Thariqil Washilin
Al Aqwal Al Wadhihat fi Hukm Man ‘Alaih Qadhaish Shalawat
Husnud Difa’ fin Nahy ‘anil Ibtida’
Ash Sharim Al Mufri li Wasawis Kulli Kadzib Muftari
Maslakur Raghibin fi Thariqah Sayyidil Mursalin
Izhhar Zughalil Kadzibin
Al Ayat Al Bayyinat fi Raf’il Khurafat
Al Jawi fin Nahw
Sulamun Nahw
Al Khuthathul Mardhiyyah fi Hukm Talaffuzh bin Niyyah
Asy Syumus Al Lami’ah fir Rad ‘ala Ahlil Maratib As Sab’ah
Sallul Hussam li Qath’i Thuruf Tanbihil Anam
Al Bahjah fil A’malil Jaibiyyah
Irsyadul Hayara fi Izalah Syubahin Nashara
Fatawa Al Khathib dalam versi bahasa Melayu

membiarkan semua gerak-gerik dan tingkah laku keluarganya itulah yang disebut cinta. Padahal boleh jadi perilaku-perilaku itu mengundang murka Allah ‘Azza wa Jalla. Akan tetapi berbeda dengan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, ia menyadari bahwa seorang ayah kelak akan dimintai pertanggungjawaban di depan pengadilan Rabbul ‘alamin.

Maka dengan segenap kemampuannya, Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi menganjurkan kepada semua keluarganya untuk menjauhi semua hal-hal yang tidak bermanfaat dan mencukupkan diri dengan sesuatu yang bermanfaat saja. Tidakkah Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, jagalah diri dan keluarga kalian dari neraka.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas tanggungannya.” Sampai sabdanya, “Dan laki-laki adalah pemimpin atas keluarganya, maka ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadapnya.”

  1. KARYA-KARYA
    Karya-karya tulis Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu karya-karya yang berbahasa Arab dan karya-karya yang berbahasa Melayu dengan tulisan Arab. Kebanyakan karya-karya itu mengangkat tema-tema kekinian terutama menjelaskan kemurnian Islam dan merobohkan kekeliruan tarekat, bid’ah, takhayul, khurafat, dan adat-adat yang bersebrangan dengan al-Qur’an & Sunnah.

Karya-karya Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi dalam bahasab ’Arab:

Hasyiyah An Nafahat ‘ala Syarhil Waraqat lil Mahalli
Al Jawahirun Naqiyyah fil A’malil Jaibiyyah
Ad Da’il Masmu’ ‘ala Man Yuwarritsul Ikhwah wa Auladil Akhwan Ma’a Wujudil Ushul wal Furu’
Raudhatul Hussab
Mu’inul Jaiz fi Tahqiq Ma’nal Jaiz
As Suyuf wal Khanajir ‘ala Riqab Man Yad’u lil Kafir
Al Qaulul Mufid ‘ala Mathla’is Sa’id
An Natijah Al Mardhiyyah fi Tahqiqis Sanah Asy Syamsiyyah wal Qamariyyah
Ad Durratul Bahiyyah fi Kaifiyah Zakati Azd Dzurratil Habasyiyyah
Fathul Khabir fi Basmalatit Tafsir
Al ‘Umad fi Man’il Qashr fi Masafah Jiddah
Kasyfur Ran fi Hukmi Wadh’il Yad Ma’a Tathawuliz Zaman
Hallul ‘Uqdah fi Tashhihil ‘Umdah
Izhhar Zaghalil Kadzibin fi Tasyabbuhihim bish Shadiqin
Kasyful ‘Ain fi Istiqlal Kulli Man Qawal Jabhah wal ‘Ain
As Saifu Al Battar fi Mahq Kalimati Ba’dhil Aghrar
Al Mawa’izh Al Hasanah Liman Yarghab minal ‘Amal Ahsanah
Raf’ul Ilbas ‘an Hukmil Anwat Al Muta’amil Biha Bainan Nas
Iqna’un Nufus bi Ilhaqil Anwat bi ‘Amalatil Fulus
Tanbihul Ghafil bi Suluk Thariqatil Awail fima Yata’allaq bi Thariqah An Naqsyabandiyyah
Al Qaulul Mushaddaq bi Ilhaqil Walad bil Muthlaq
Hasyiyah Fathul Jawwad dalam 5 jilid
Fatawa Al Khathib ‘ala Ma Warada ‘Alaih minal Asilah
Al Qaulul Hashif fi Tarjamah Ahmad Khathib bin ‘Abdil Lathif
Adapun yang berbahasa Melayu adalah:

Mu’allimul Hussab fi ‘Ilmil Hisab
Ar Riyadh Al Wardiyyah fi Ushulit Tauhid wa Al Fiqh Asy Syafi’i
Al Manhajul Masyru’ fil Mawarits
Dhaus Siraj Pada Menyatakan Cerita Isra’ dan Mi’raj
Shulhul Jama’atain fi Jawaz Ta’addudil Jumu’atain
Al Jawahir Al Faridah fil Ajwibah Al Mufidah
Fathul Mubin Liman Salaka Thariqil Washilin
Al Aqwal Al Wadhihat fi Hukm Man ‘Alaih Qadhaish Shalawat
Husnud Difa’ fin Nahy ‘anil Ibtida’
Ash Sharim Al Mufri li Wasawis Kulli Kadzib Muftari
Maslakur Raghibin fi Thariqah Sayyidil Mursalin
Izhhar Zughalil Kadzibin
Al Ayat Al Bayyinat fi Raf’il Khurafat
Al Jawi fin Nahw
Sulamun Nahw
Al Khuthathul Mardhiyyah fi Hukm Talaffuzh bin Niyyah
Asy Syumus Al Lami’ah fir Rad ‘ala Ahlil Maratib As Sab’ah
Sallul Hussam li Qath’i Thuruf Tanbihil Anam
Al Bahjah fil A’malil Jaibiyyah
Irsyadul Hayara fi Izalah Syubahin Nashara
Fatawa Al Khathib dalam versi bahasa Melayu