Imam & Khathib Masjid Al Haram, Ahmad Al Khathib Al Minangkabawi

Kategori: Biografi

14 September 2012

A. Muqaddimah

Dalam panggung sejarah, Islam sudah lama dikenal oleh penduduk Melayu. Bahkan menurut Ustadz ‘Abdul Malik bin ‘Abdul Karim bin Amrullah rahimahullah atau yang lebih dikenal dengan Hamka, Islam sudah melebarkan sayapnya di bumi Melayu sejak abad pertama hijriah. Namun sayang, meski Islam sudah sekian abad di Melayu, ajaran-ajaran yang diamalkan kaum muslimin di sana banyak yang menyimpang dari ajaran Islam yang dibawa Rasulullah. Ajaran-ajaran tasawwuf ala shufi dan keyakinan-keyakinan bid’ah dan sesat seperti takhayul, khurafat sampai ajaran martabat tujuh atau wihdatul wujud banyak mewarnai amalan-amalan kaum muslimin di bumi Melayu.

Seiring bergulingnya waktu, kaum muslimin di Melayu mulai sadar akan kekeliruan ajaran yang selama ini mereka anggap bagian dari Islam justru bertentangan. Maka usaha-usaha dalam memurnikan ajaran Islam di Melayu pun segera dimulai. ‘Episode’ pertama diawali oleh tiga jama’ah haji yang membawa oleh-oleh dari Tanah Suci berupa ‘filter’ ajaran sesat di ranah Minangkabau. Kemudian ‘episode’ berikutnya ditunjukkan oleh Syaikh Ahmad Al Khathib rahimahullah, seorang ulama yang muqim di Makkah yang terkenal dengan kegigihannya dalam menyerang kelompok-kelompok ahlul bida’ wal ahwa’ dan adat-adat yang bertentangan dengan syariat Islam baik melalui tulisan-tulisan maupun murid-muridnya yang kembali ke Melayu.

B. Nasab & Kelahiran Syaikh Ahmad Al Khathib

Beliau bernama lengkap Al ‘Allamah Asy Syaikh Ahmad bin ‘Abdul Lathif [bin ‘Abdurrahman] bin ‘Abdullah bin ‘Abdul ‘Aziz Al Khathib Al Minangkabawi [Al Minkabawi] Al Jawi Al Makki Asy Syafi’i Al Atsari rahimahullah.

Syaikh Ahmad Al Khathib dilahirkan di Koto Tuo, Desa Kota Gadang, Kec. Ampek Angkek Angkat Candung, Kab. Agam, Prov. Sumatera Barat pada hari Senin 6 Dzul Hijjah 1276 H bertepatan dengan 26 Mei 1860 M di tengah keluarga bangsawan. ‘Abdullah, kakek Syaikh Ahmad atau buyut menurut riwayat lain, adalah seorang ulama kenamaan. Oleh masyarakat Koto Gadang, ‘Abdullah ditunjuk sebagai imam dan khathib. Sejak itulah gelar Khathib Nagari melekat dibelakang namanya dan berlanjut ke keturunannya di kemudian hari.

Ada perbedaan mengenai siapa kakek Syaikh Ahmad. Menurut ‘Umar ‘Abdul Jabbar, ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman Al Mu’allimi, dan Ibrahim bin ‘Abdullah Al Hazimi, kakek Syaikh Ahmad adalah ‘Abdullah. Sedangkan menurut Dadang A. Dahlan, kakek Syaikh Ahmad adalah ‘Abdurrahman yang bergelar Datuk Rangkayo Basa. Terlepas dari perbedaan itu, yang jelas Syaikh Ahmad berasal dari keluarga bangsawan, baik dari jalur ayah maupun ibu.

C. Perjalanan Syaikh Ahmad dalam Thalabul ‘Ilmi

Ketika masih di kampung kelahirannya, Ahmad kecil sempat mengenyam pendidikan formal, yaitu pendidikan dasar dan berlanjut ke Sekolah Raja atau Kweek School yang tamat tahun 1871 M.

Di samping belajar di pendidikan formal yang dikelola Belanda itu, Ahmad kecil juga mempelajari mabadi’ (dasar-dasar) ilmu agama dari Syaikh ‘Abdul Lathif, sang ayah. Dari sang ayah pula, Ahmad kecil menghafal Al Quran dan berhasil menghafalkan beberapa juz.

Pada tahun 1287 H, Ahmad kecil diajak oleh sang ayah, ‘Abdul Lathif, ke Tanah Suci Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Setelah rangkaian ibadah haji selesai ditunaikan, ‘Abdullah kembali ke Sumatera Barat sementara Ahmad tetap tinggal di Makkah untuk menyelesaikan hafalan Al Qurannya dan menuntut ilmu dari para ulama-ulama Makkah terutama yang mengajar di Masjid Al Haram terutama yang mengajar di Masjid Al Haram.

Di antara guru-guru Syaikh Ahmad di Makkah adalah:

  1. Sayyid ‘Umar bin Muhammad bin Mahmud Syatha Al Makki Asy Syafi’I (1259-1330 H)
  2. Sayyid ‘Utsman bin Muhammad Syatha Al Makki Asy Syafi’i (1263-1295 H)
  3. Sayyid Bakri bin Muhammad Zainul ‘Abidin Syatha Ad Dimyathi Al Makki Asy Syafi’I (1266-1310 H) –penulis I’anatuth Thalibin.

    Dalam Ensiklopedi Ulama Nusantara dan Cahaya dan Perajut Persatuan mencatat beberapa ulama lain sebagai guru Syaikh Ahmad, yaitu:
  4. Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan (wafat 1304) –mufti Madzhab Syafi’I di Makkah-
  5. Yahya Al Qalyubi
  6. Muhammad Shalih Al Kurdi

Mengenai bagaimana semangat Syaikh Ahmad dalam thalabul ‘ilmi, mari sejenak kita dengarkan  penuturan seorang ulama yang sezaman dengan beliau, yaitu Syaikh ‘Umar ‘Abdul Jabbar rahimahullah dalam Siyar wa Tarajim hal. 38-39, “…Beliau adalah santri teladan dalam semangat, kesungguhan, dan ketekunan dalam menuntut ilmu serta bermudzakarah malam dan siang dalam pelbagai disiplin ilmu. Karena semangat dan ketekunannya dalam muthala’ah dalam ilmu pasti seperti mathematic (ilmu hitung), aljabar, perbandingan, tehnik (handasah), haiat, pembagian waris, ilmu miqat, dan zij, beliau dapat menulis buku dalam disiplin ilmu-ilmu itu tanpa mempelajarinya dari guru (baca: otodidak).”

Selain mempelajari ilmu Islam, Ahmad juga gemar mempelajari ilmu-ilmu keduniaan yang mendudkung ilmu diennya seperti ilmu pasti untuk membantu menghitung waris dan juga bahasa Inggris sampai betul-betul kokoh.

D. Syaikh Ahmad Menikah dan Menjadi Seorang Ayah

Di antara kebiasaan Syaikh Ahmad di Makkah adalah menyeringkan diri mengunjungi toko buku milik Muhammad Shalih Al Kurdi yang terletak di dekat Masjid Al Haram untuk membeli kitab-kitab yang dibutuhkan atau sekedar membaca buku saja jika belum memiliki uang untuk membeli. Karena seringnya Syaikh Ahmad mengunjungi toko buku itu membuat pemilik toko, Shalih Al Kurdi, menaruh simpati kepadanya, terutama setelah mengetahui kerajinan, ketekunan, kepandaian dan penguasaannya terhadap ilmu agama serta keshalihannya.

Ketertarikan Shalih Al Kurdi terhadap Syaikh Ahmad dibuktikan dengan dijadikannya Syaikh Ahmad sebagai menantu. Ya. Setelah banyak mengetahui tentang prihal dan kepribadian Syaikh Ahmad yang mulia itu, Shalih Al Kurdi pun menikahkannya dengan putrid pertamanya yang kata Hamka dalam Tafsir Al Azhar bernama Khadijah. Sebenarnya Syaikh Ahmad sempat ragu menerima tawaran dari Al Kurdi karena tidak adanya biaya yang mencukupi dan telah mengatakan terus terang, akan tetapi justru tidak sedikit pun mengurangi niat besar dari Al Kurdi untuk menjaqdikannya menantu. Bahkan Al Kurdi berjanji menanggung semua biaya pernikahan termasuk mahar dan kebutuhan hidup keluarga Syaikh Ahmad. Masya Allah. Jika karena bukan kepribadian Syaikh Ahmad yang mulia dan keilmuannya, mungkin hal semacam ini tidak akan pernah terjadi.

Tentang pengambilan Syaikh Ahmad sebagai menantu Shalih Al Kurdi, Syarif ‘Aunur Rafiq bertanya terheran kepada Shalih, “Aku dengar Anda telah menikahkan putrid Anda dengan lelaki Jawi yang tidak pandai berbahasa ‘Arab kecuai setelah belajar di Makkah?” “Akan tetapi ia adalah lelaki shalih dan bertaqwa,” jawab Shalih seketika, “Padahal Rasulullah shallallahu ‘alai wa sallam bersabda, ‘Jika dating kepada kalian seseorang yang agama dan amanahnya telah kalian ridhai, maka nikahkanlah ia.’

Dari pernikahannya dengan Khadijah itu, Syaikh Ahmad dikaruniai seorang putra, yaitu ‘Abdul Karim (1300-1357 H).

Ternyata pernikahan Syaikh Ahmad dengan Khadijah tidak berlangsung lama karena Khadijah meninggal dunia.

Shalih Al Kurdi, sang mertua, untuk menikah kembali dengan purinya yang lain, yaitu adik kandung Khadijah yang bernama Fathimah. Fathimah adalah seorang seorang wanita teladan dalam keshalihan dan memiliki hafalan Al Quran yang baik. Oleh karena itu tidak heran jika anak-anaknya kelak menjadi orang-orang yang memiliki kedudukan tinggi di Timur Tengah, yaitu:

  1. ‘Abdul Malik. Ketua redaksi koran Al Qiblah dan memiliki kedudukan tinggi di Al Hasyimiyyah (Yordan). Belajar kepada sang sang ayah lalu mempelajari adab dan politik.
  2. ‘Abdul Hamid Al Khathib –seorang ulama ahli adab dan penyair kenamaan yang pernah menjadi staf pengajar di Masjid Al Haram dan duta besar Saudi untuk Pakistan. Di antara karya ilmiahnya adalah Tafsir Al Khathib Al Makki 4 jilid, sebuah nazham (sya’ir) berjudulSirah Sayyid Walad Adam shallallahu ‘alaihi wa sallam, Al Imam Al ‘Adil (sejarah dan biografi untuk Raja ‘Abdul ‘Aziz Alu Su’ud)-

Kesuksesan Syaikh Ahmad dalam mendidik anak-anaknya sehingga menjadi tokoh-tokoh berhasil bukanlah omong kosong belaka. Keberhasilan itu berawal dari sistem pendidikan yang mengacu kepada nilai-nilai ajaran Islam yang mulia terutama masalah ‘aqidah. Mari sejenak kita dengar langsung penuturan ‘Abdul Hamid Al Khathib tentang bagaimana Syaikh Ahmad menanamkan ‘aqidah pada anak-anaknya, “Ketika kecilku dulu, jika aku meminta sesuatu dari ayahku, beliau akan berkata,’Mintalah kepada Allah, pasti Dia akan memberimu (apa yang kamu minta).’ Aku pun balik bertanya, ‘Memangnya Allah di mana, yah?’ ‘Dia berada di langit sana,’ jawab ayahku,’Dia dapat melihatmu, sedangkan kamu tidak melihat-Nya.’ Tidak selang berapa lama, ayahku pun mendatangiku dengan membawa apa yang kuminta seraya berkata, ‘Ni, Allah telah mengirim kepadamu apa yang tadi kamu minta .’

Dulu juga jika aku meminta sesuatu kepada Allah dan tidak aku dapatkan, maka aku pun segera mengadu kepada ayahku, ‘Sesungguhnya aku telah meminta ini dan itu kepada Allah, tapi kok Allah tidak memberiku, yah?’ Ayah pun segera menjawab, ‘Ini tidak mungkin terjadi kecuali juka kamu sendiri yang bikin Allah murka. Ya mungkin kamu sudah berlaku sembrono dalam ibadahmu, atau kamu terlambat shalat, atau mungkin kamu sudah menggunjing seseorang? Maka bertaubatlah dan minta ampunlah kepada Allah, pasti Dia akan memberikan semua permintaanmu.’ Aku pun segera menlakukan wasiat ayahku, maka semua keinginanku pun dapat terwujud.”

Lihatlah, bagaimana pendidikan aqidah yang diberikan Syaikh Ahmad kepada anaknya ini. Pendidikan mana lagi yang lebih mulia dari penanaman ‘aqidah yang kuat pada diri seorang anak. Bukankah melukis di batu itu sulit namun hasilnya akan lebih kekal? Demikian juga dengan diri seorang anak. Seorang anak kecil itu bagaikan gelas kaca yang masih kosong. Ia tergantung dengan siapa yang pertama kali mengisinya. Pendidikan yang seperti inilah yang akan menanamkan rasa cinta yang tinggi kepada Allah, bersandar hanya kepada kepada-Nya, meminta hanya kepada-Nya semata bahkan hal-hal yang kecil sekalipun. Inilah pendidikan tauhid yang pernah dipraktekkan Rasulullah kepada keponakannya, Ibnu ‘Abbas, yang ketika itu usianya masih kanak-kanak, “Jika kamu meminta pertolongan, mintalah (pertolongan) kepada Allah.”

Potret lain dari pendidikan yang diberikan Syaikh Ahmad kepada keluarganya adalah beliau selalu menegur dan memperingati bagi siapa saja yang menyia-nyiakan waktunya dengan bermain-main dan berbagai hal yang dapat melalaikan termasuk alat-alat music dan nyanyian. Semua ini dilakukan Syaikh Ahmad karena bentuk rasa sayangnya terhadap keluarganya. Karena melarang tidak selamanya bermakna benci. Tidak seperti anggapan sementara sebagian orang dalam mengekspresikan rasa cintanya kepada keluarganya. Mereka kira dengan membiarkan semua gerak-gerik dan tingkah laku keluarganya itulah yang disebut cinta. Padahal boleh jadi prilaku-prilaku itu mengundang murka Allah ‘Azza wa Jalla.  Akan tetapi berbeda dengan Syaikh Ahmad, ia menyadari bahwa seorang ayah kelak akan dimintai pertanggungjawaban di depan pengadilan Rabbul ‘alamin. Maka dengan segenap kemampuannya, Syaikh Ahmad menganjurkan kepada semua keluarganya untuk menjauhi semua hal-hal yang tidak bermanfaat dan mencukupkan diri dengan sesuatu yang bermanfaat saja. Tidakkah Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, jagalah diri dan keluarga kalian dari neraka.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas tanggungannya.” Sampai sabda beliau, “Dan laki-laki adalah pemimpin atas keluarganya, maka ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadapnya.”

E. Karir Syaikh Ahmad di Makkah

Kealiman Syaikh Ahmad dibuktikan dengan dilangkatnya beliau menjadi imam dan khathib sekaligus staf pengajar di Masjid Al Haram. Jabatan sebagai imam dan khathib bukanlah jabatan yang mudah diperoleh. Jabatan ini hanya diperuntukkan orang-orang yang memiliki keilmuan yang tinggi.

Mengenai sebab pengangkatan Syaikh Ahmad Al Khathib menjadi imam dan khathib, ada dua riwayat yang nampaknya saling bertentangan. Riwayat pertama dibawakan oleh ‘Umar ‘Abdul Jabbar dalam kamus tarajimnya, Siyar wa Tarajim (hal. 39). ‘Umar ‘Abdul Jabbar mencatat bahwa jabatan imam dan khathib itu diperoleh Syaikh Ahmad berkat permintaan Shalih Al Kurdi, sang mertua, kepada Syarif ‘Aunur Rafiq agar berkenan mengangkat Syaikh Ahmad menjadi imam & khathib. Sedangkan riwayat kedua dibawakan oleh Hamka rahimahullah dalam Ayahku, Riwayat Hidup Dr. ‘Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera yang kemudian dinukil oleh Dr. Akhria Nazwar dan Dadang A. Dahlan. Ustadz Hamka menyebutkan cerita ‘Abdul Hamid bin Ahmad Al Khathib, suatu ketika dalam sebuah shalat berjama’ah yang diimami langsung Syarif ‘Aunur Rafiq. Di tengah shalat, ternyata ada bacaan imam yang salah, mengetahui itu Syaikh Ahmad pun, yang ketika itu juga menjadi makmum, dengan beraninya membetulkan bacaan imam. Setelah usai shalat, Syarif ‘Aunur Rafiq bertanya siapa gerangan yang telah membenarkan bacaannya tadi. Lalu ditunjukkannya Syaikh Ahmad yang tak lain adalah menantu sahabat karibnya, Shalih Al Kurdi, yang terkenal dengan keshalihan dan kecerdasannya itu. Akhirnya Syarif ‘Aunur Rafiq mengangkat Syaikh Ahmad sebagai imam dan khathib Masjid Al Haram untuk madzhab Syafi’i.

F. Sekelumit Aktifitas Keseharian Syaikh Ahmad Al Khathib

Keseharian para ulama memang sangat menakjubkan. Di setiap aktifitasnya selalu bernilai ibadah, sebagaimana kata pepatah Arab,‘adatul ‘abdid ‘ibadah wa ‘ibadatul ghafil ‘adah (kebiasaannya ahli ibadah itu bernilai ibadah sementara ibadahnya orang lalai itu hanya bernilai kebiasaan saja). Mereka sangat mahir dalam membagi waktu dan sangat berhati-hati dalam menggunakan waktunya. Meski mereka memiliki aktifitas mengajar, akan tetapi tidak lantas melupakan hak keluarganya. Mereka tahu kapan harus bercengkrama dengan keluarga dan kapan harus pergi mengajar para muridnya. Demikianlah yang terjadi pada diri seorang Syaikh Ahmad rahimahullah.

Berhubungan dengan aktifitas keseharian Syaikh Ahmad, sebaiknya kita dengar langsung saja penuturan Syaikh ‘Umar ‘Abdul Jabbar yang memang hidup sezaman, “(Setelah mengajar para santri di Masjid Al Haram), beliau pulang ke rumah untuk sarapan pagi dan berbaring (tidur-tiduran atau dalam bahasa jawa klekaran) sejenak, lalu kembali bermudzakarah sampai datang waktu zhuhur. Pergilah beliau ke masjid untuk menunaikan shalat zhuhur secara berjama’ah. (Usai shalat jama’ah), beliau pulang ke rumah untuk menyampaikan dua mata pelajar an kepada murid-muridnya, lalu makan siang dan tidur siang sesaat. Lalu beliau pergi ke masjid untuk menunaikan shalat ‘Ashar secara berjama’ah, pulang ke rumah menyampaikan satu pelajaran kepada para santri, kemudian mengulangi (mudzakarah) pelajaran-pelajarannya hingga datang maghrib. Beliau pun pergi ke masjid untuk shalat berjama’ah dan menyampaikan satu pelajaran berupa nasehat dan arahan sampai datang ‘Isya.

Setelah shalat, beliau pulang ke rumah untuk makan malam dan bercengkrama dengan keluarganya lalu tidur sedini mungkin. Ia bangun tidur pada sepertiga malam terakhir dan menyibukkan diri dengan menulis sampai dekat waktu fajar, lalu pergi ke masjid. Ia pun memulai aktifitasnya seperti biasanya. Demikianlah beliau menghabiskan hidupnya dalam ketaatan kepada Allah dan menyebarkan agama-Nya.”  [Siyar wa Tarajim (hal. 40)]

G.    Akhlak Syaikh Ahmad Al Khathib

Syaikh Ahmad Al Khathib dikenal ditengah masyarakat dengan baik hatinya, mulia akhlaknya, lurus niatnya, tidak suka menjilat (cari muka), dan amat murka dengan orang-orang yang sombong, dan lapang dadfa.

Itulah akhlak seorang ulama yang benar-benar mengamalkan ilmunya. Meski kedudukannya tinggi, namun beliau tidak sombong. Justru dengan kedudukannya yang tinggi itu, beliau manfaatkan untuk mengajarkan kepada manusia nilai-nilai positif. Maka tidak heran apabila nama beliau harum di kalangan manusia dan bahkan berkat akhlak mulianya itu dapat mengundang ratusan santri dari berbagai kalangan untuk belajar kepadanya.

H.    Wafatnya Syaikh Ahmad

Pada tanggal 9 Jumadil Ula tahun 1334 H, Allah ‘memanggil’ Syaikh Ahmad ke hadhirat-Nya setelah sekian lama hidup di dunia yang fana ini. Ya, jatah beliau tinggal di dunia ini telah habis setelah mencetak kader-kader yang hingga detik ini masih disebut-sebut. Jasad beliau memang sudah tiada, namun kehadirannya seakan-akan masih bisa dirasakan karena keilmuan dan peninggalan-peninggalannya berupa murid-muridnya yang terus memperjuangkan misi-misinya dan terutama karya-karya ilmiahnya yang masih terus dibaca hingga hari ini. Rahimahullah wa askanahu fasiha jannatih.

I.       Karya Tulis Syaikh Ahmad

Karya-karya tulis Syaikh Ahmad dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu karya-karya yang berbahasa Arab dan karya-karya yang berbahasa Melayu dengan tulisan Arab. Kebanyakan karya-karya itu mengangkat tema-tema kekinian terutama menjelaskan kemurnian Islam dan merobohkan kekeliruan tarekat, bid’ah, takhayul, khurafat, dan adat-adat yang bersebrangan dengan Al Quran & Sunnah.

Karya-karya Syaikh Ahmad dalam bahasab ’Arab:

  1. Hasyiyah An Nafahat ‘ala Syarhil Waraqat lil Mahalli
  2. Al Jawahirun Naqiyyah fil A’malil Jaibiyyah
  3. Ad Da’il Masmu’ ‘ala Man Yuwarritsul Ikhwah wa Auladil Akhwan Ma’a Wujudil Ushul wal Furu’
  4. Raudhatul Hussab
  5. Mu’inul Jaiz fi Tahqiq Ma’nal Jaiz
  6. As Suyuf wal Khanajir ‘ala Riqab Man Yad’u lil Kafir
  7. Al Qaulul Mufid ‘ala Mathla’is Sa’id
  8. An Natijah Al Mardhiyyah fi Tahqiqis Sanah Asy Syamsiyyah wal Qamariyyah
  9. Ad Durratul Bahiyyah fi Kaifiyah Zakati Azd Dzurratil Habasyiyyah
  10. Fathul Khabir fi Basmalatit Tafsir
  11. Al ‘Umad fi Man’il Qashr fi Masafah Jiddah
  12. Kasyfur Ran fi Hukmi Wadh’il Yad Ma’a Tathawuliz Zaman
  13. Hallul ‘Uqdah fi Tashhihil ‘Umdah
  14. Izhhar Zaghalil Kadzibin fi Tasyabbuhihim bish Shadiqin
  15. Kasyful ‘Ain fi Istiqlal Kulli Man Qawal Jabhah wal ‘Ain
  16. As Saifu Al Battar fi Mahq Kalimati Ba’dhil Aghrar
  17. Al Mawa’izh Al Hasanah Liman Yarghab minal ‘Amal Ahsanah
  18. Raf’ul Ilbas ‘an Hukmil Anwat Al Muta’amil Biha Bainan Nas
  19. Iqna’un Nufus bi Ilhaqil Anwat bi ‘Amalatil Fulus
  20. Tanbihul Ghafil bi Suluk Thariqatil Awail fima Yata’allaq bi Thariqah An Naqsyabandiyyah
  21. Al Qaulul Mushaddaq bi Ilhaqil Walad bil Muthlaq
  22. Tanbihul Anam fir Radd ‘ala Risalah Kaffil ‘Awwamsebuah kitab bantahan untuk risalah Kafful ‘Awwam fi Khaudh fi Syirkatil Islam karya Ustadz Muhammad Hasyim bin Asy’ari yang melarang kaum muslimin untuk nimbrung di Sarekat Islam (SI)
  23. Hasyiyah Fathul Jawwad dalam 5 jilid
  24. Fatawa Al Khathib ‘ala Ma Warada ‘Alaih minal Asilah
  25. Al Qaulul Hashif fi Tarjamah Ahmad Khathib bin ‘Abdil Lathif

    Adapun yang berbahasa Melayu adalah:
  26. Mu’allimul Hussab fi ‘Ilmil Hisab
  27. Ar Riyadh Al Wardiyyah fi [Ushulit Tauhid wa] Al Fiqh Asy Syafi’i
  28. Al Manhajul Masyru’ fil Mawarits
  29. Dhaus Siraj Pada Menyatakan Cerita Isra’ dan Mi’raj
  30. Shulhul Jama’atain fi Jawaz Ta’addudil Jumu’atain
  31. Al Jawahir Al Faridah fil Ajwibah Al Mufidah
  32. Fathul Mubin Liman Salaka Thariqil Washilin
  33. Al Aqwal Al Wadhihat fi Hukm Man ‘Alaih Qadhaish Shalawat
  34. Husnud Difa’ fin Nahy ‘anil Ibtida’
  35. Ash Sharim Al Mufri li Wasawis Kulli Kadzib Muftari
  36. Maslakur Raghibin fi Thariqah Sayyidil Mursalin
  37. Izhhar Zughalil Kadzibin
  38. Al Ayat Al Bayyinat fi Raf’il Khurafat
  39. Al Jawi fin Nahw
  40. Sulamun Nahw
  41. Al Khuthathul Mardhiyyah fi Hukm Talaffuzh bin Niyyah
  42. Asy Syumus Al Lami’ah fir Rad ‘ala Ahlil Maratib As Sab’ah
  43. Sallul Hussam li Qath’i Thuruf Tanbihil Anam
  44. Al Bahjah fil A’malil Jaibiyyah
  45. Irsyadul Hayara fi Izalah Syubahin Nashara
  46. Fatawa Al Khathib dalam versi bahasa Melayu

J.       Murid-Murid Syaikh Ahmad Rahimahullah

Mengenai murid-murid Syaikh Ahmad rahimahullah, Siradjuddin ‘Abbas berkata, “Sebagaimana dikatakan di atas bahwa hamper ulama Syafi’I yang kemudian mengembangkan ilmu agama di Indonesia, seperti Syeikh Sulaiman Ar Rasuli, Syeikh Muhd. Jamil Jaho, Syeikh ‘Abbas Qadhli, Syeikh Musthafa Purba Baru, Syaikh Hasan Ma’shum Medan Deli dan banyak lagi ulama-ulama Indonesia pada tahun-tahun abad XIV adalah murid dari Syeikh Ahmad Khathib Minangkabau ini.” [Thabaqatus Syafi’iyah (hal. 406)]

Ucapan senada juga dinyatakan penulis Ensiklopedi Ulama Nusantara di banyak tempat.Bahkan Dr. Kareel A. Steenbrink membuat satu pasal dalam Beberapa Aspek:Guru untuk Generasi Pertama Kau Muda. Namun demikian, tidak salah kiranya kita sebutkan di sini beberapa murid-muridnya yang menonjol, baik secara keilmuan maupun dakwah yang mereka lancarkan, di antaranya adalah:

  1. Syaikh ‘Abdul Karim bin Amrullah rahimahullah –ayah Ustadz Hamka-. Seorang ulama kharismatik yang memiliki pengaruh kuat di ranah Minang dan Indonesia. Di antara karya tulisnya adalah Al Qaulush Shahih yang membicarakan tentang nabi terakhir dan membantah paham adanya nabi baru setelah Nabi Muhammad terutama pengikut Mirza Ghulam Ahmad Al Qadiyani.
  2. Muhammad Darwis alias Ustadz Ahmad Dahlan bin Abu Bakar bin Sulaiman rahimahullah –pendiri Jam’iyyah Muhammadiyyah-.
  3. Ustadz Muhammad Hasyim bin Asy’ari Al Jumbangi rahimahullah –salah satu pendiri Jam’iyyah Nahdlatul ‘Ulama-.
  4. Ustadz ‘Abdul Halim Majalengka rahimahullah–pendiri Jam’iyyah I’anatul Mubta’allimin yang bekerja sama dengan Jam’iyyah Khairiyyah dan Al Irsyad
  5. Syaikh ‘Abdurrahman Shiddiq bin Muhammad ‘Afif Al Banjari rahimahullah –mufti Kerajaan Indragiri-.
  6. Muhammad Thaib ‘Umar
  7. Dan lain-lain.

K.     Usaha (Juhud) Syaikh Ahmad dalam Memurnikan Ajaran Islam di Nusantara Khususnya dan Dunia Islam Umumnya

Usaha yang dilancarkan Syaikh Ahmad dalam memurnikan ajaran Islam dari perkara-perkara bid’ah yang menyesatkan namun tidak disadari di Nusantara diekspresikan melalui murid-murid dan karya-karyanya.

Adapun melalui karya-karyanya, Syaikh Ahmad sangat gigih dan keras tanpa kompromi sediktpun dalam memberantas bid’ah, khurafat, tarikat, ajaran menyimpang dan adat yang bertolak belakang dengan syariat. Dalam masalah tarekat, misalnya, Syaikh Ahmad menulis minimal tiga kitab rudud (bantahan), yaitu, Izhhar Zaughalil Kadzibin fi Tasyabbuhihim bish Shadiqin yang kemudian ditranslit ke dalam tulisan latin oleh A. Arief dengan judul Thariqat Naqasyabandiyah, As Saiful Battar fi Mahq Kalimat Ba’dhil Aghrar , dan Al Ayat Al Bayyinat fi Raf’il Khurafat. Bahasan dalam kitab-kitab ini mengacu kepada kitab Al Ba’its fi Inkaril Bida’ wal Hawadits karya Imam Abu Syamah rahimahullah. Menurut Ustadz Hamka, sebagaimana yang dikutib Ustadz Armen Halim Narorahimahullah dalam salah satu kajiannya, metode bantahan kitab ini –Al Izhhar- persis dengan bantahan yang diberikan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah terhadap orang-orang menyimpang di zamannya. Melalui karya-karya ini pula Syaikh Ahmad membantah pandangan Syaikh Muhammad Sa’ad Mungka dan Syaikh Ali Khathib yang gigih mempertahankan tharikat Naqsyabandiyyah.

Sebenarnya melalui judul-judul kitab-kitab Syaikh Ahmad saja kita sudah faham kurang lebihnya bahasan yang disajikan dalam masing-masing kitab trsebut. Misalnya kitab Husnud Difa’ fin Nahy ‘anil Ibtida’ yang berarti pembelaan yang baik tentang larangan melakukan bid’ah, dapat diasumsikan bahasan dalam kitab ini banyak berbicara masalah bid’ah dan khurafat di tengah masyarakat. Ini menunjukkan bahwa usaha Syaikh Ahmad benar-benar sangat berarti dalam pemurniat Islam di negerinya.

Dalam masalah adat yang menyimpang terutama dalam masalah waris dan harta pusaka, Syaikh Ahmad menulis Ad Da’il Mamu’dan Al Manhajul Masyru’. Kedua buku ini dicetak dalam satu jilid dengan Ad Da’il Masmu’ dicetak dipinggiran Al Manhajul Masyru’.

Tidak hanya sapai di situ perjuangan Syaikh Ahmad dalam membersihkan noda-noda keyakinan umat Islam, beliau juga membantah  syubhat-syubhat yang dihembuskan Belanda terutama mempertanyakan keabsahan terjadinya isra’ dan mi’raj di tengah kaum muslimin di Indonesia. Beliau kemudian membantah syubhat-syubhat dalam bukunya, Dha’us Siraj Pada Menyatakan Isra’ dan Mi’raj yang terbit tahun 1312 H. Berikutnya, beliau juga menulis Irsyadul Hayara fi Radd Syubahin Nashara.

Ada kitab Ar Riyadhul Wardiyyah fil Ushul wal Furu’ yang beliau tulis dalam bahasa Melayu huruf ‘Arab, membicarakan masalah dasar-dasar aqidahtauhid dan fiqih syafi’I praktis supaya menjadi pegangan orang-orang yang balu belajar dan ‘awwam dari kalangan kaum muslimin. Kitab ini sudah dicetak berulang kali. Allahua’lam.[]

 

Refrensi:

  • ‘Abduljabbar, ‘Umar. 1403 H. Siyar wa Tarajim Ba’dhi ‘Ulamaina fil Qarn Ar Rabi’ ‘Asyar lil Hijrah. KSA: Tihamah
  • Al-Hazimi, Ibrahim bin ‘Abdullah. 1419 H. Mausu’ah A’lamil Qarn Ar Rabi’ ‘Asyar wal Khamis ‘Asyar Al Hijri fil ‘Alam Al ‘Arabi wal Al Islami min 1301-1417. KSA: Dar Asy Syarif lin Nasyr wat Tauzi’
  • Al-Mu’allimi, ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman. 1421 H. A’lamul Makkiyyin min Al Qarn At Tasi’ ilal Qarn Ar Rabi’ ‘Asyar Al Hijri. KSA: Muassasah Al Furqan lit Turats Al Islami
  • Steenbrink, Dr. Karel A. 1984 M. Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad Ke-19. Jakarta: Bulan Bintang
  • Dahlan, Dadang A. 2007. Cahaya dan Perajut Persatuan Waliullah Ahmad Khatib Al Minangkabawy. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa
  • Suprapto, Muhammad Bibit. 2009. Ensiklopedi Ulama Nusantara. Jakarta: Glegar Media Indonesia
  • Amrullah, ‘Abdul Malik bin ‘Abdul Karim. Tafsir Al Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas
  • Ad-Dahlawi, ‘Abdus Sattar bin ‘Abdul Wahhab. 1430 H. Faidhul Malikil Wahhabil Muta’ali bi Anba’ Awailil Qarn Ats Tsalits ‘Asyar wat Tawali. KSA: Maktabah Al Asadi
  • ‘Abbas, Siradjuddin. 2011. Thabaqatus Syafi’iyah, Ulama Syafi’I dan Kitab-Kitabnya dari Abad ke Abad. Jakarta: Pustaka Tarbiyah Baru

Penulis: Ibnu Mawardi
Artikel Muslim.Or.Id 

Dari artikel Imam & Khathib Masjid Al Haram, Ahmad Al Khathib Al Minangkabawi — Muslim.Or.Id by null

SUBSTANSI Hijrah, Kiat MEMBENTUK GENERASI MAJU

 

Oleh : H.Mas’oed Abidin

 

Hijrah[1] bukan melarikan diri karena takut siksaan, atau karena tekanan musyrikin Quraisy semata. Hijrah adalah satu peristiwa penting yang menjadi titik awal — starting-point — kebangkitan Dakwah Islam, dedikasi keyakinan Tauhid — beriman kepada Allah,  bukti kepatuhan, buah kesetiaan –, ketaatan kepada prinsip-prinsip ajaran tauhid. Hijrah adalah jawaban tegas seorang mukmin atas seruan Allah, tanda kecintaan sejati – mahabbah — kepada Muhammad Rasulullah SAW. Cinta akan Allah dan Rasul SAW dibuktikan oleh kemampuan menundukkan kecintaan kepada harta benda, sanak keluarga dan kerelaan menggantinya dengan keikhlasan menerima Ajaran Islam.

Hijrah adalah wadah latihan ketahanan umat. Citra ajaran Rasulullah SAW, serta  ujian menghadapi krisis yang akan tersua sepanjang masa. Allah berfirman, artinya ; Dan ingatlah (hai para Muhajirin) ketika kamu masih berjumlah sedikit, lagi tertindas dipermukaan bumi (Makkah), kamu takut orang-orang (Makkah) akan menculik kamu, maka Allah memberi kamu tempat menetap (di Madinah) dan dijadikan-Nya kamu kuat dengan pertolongannya, dan diberinya kamu rezeki dari yang baik-baik, agar kamu bersyukur” (QS.8, al-Anfaal :26).

Hijrah adalah penerjemahan nyata dari Wahyu Al Quran. Hijrah adalah kebenaran perjalanan sejarah manusia pemilik keyakinan tauhid — berakidah Islam — sepanjang masa, siap sedia melaksanakan reformasi actual — menanggalkan kehidupan jahili — menumbuh biasakan karakter masyarakat Sunnah – Islami —  dalam membentuk generasi Qurani. Membentuk Militansi Khayra Ummah. Hijrah pada hakekatnya melahirkan militansi – bersemangat, penuh ghairah dalam melakukan sesuatu (lihat KUBI, hal.898) – di tengah ummat tauhid itu.

 Militansi  menampilkan sosok umat bermutu — khaiyr-ummah –, yakni umat yang siap memikul tanggung jawab manusiawi – menjadi khalifah Allah di muka bumi – itulah puncak kewibawaan ajaran Islam. Setiap upaya menjadikan Islam sebagai agama yang haq (benar) dari Allah oleh ummat yang militan — secara pasti tidak bisa dirusak oleh perdayaan dan tekanan dari golongan musyrikin – atheism — Quraisy.

Dalam fenomena kekinian — di era global dan arus kebebasan informasi – tekanan paham-paham – atheis, sekuler, anarchism, permissivism – dalam bentuk neo-communism bergenetika tidak berakhlaq.  Militansi ummat mengamalkan ajaran Islam – di antaranya menampilkan akhlak Islami yang karimah – menjadi satu-satunya benteng terkuat melindungi harkat-martabat kemanusiaan.

Militansi Muhajirin — umat yang tidak cemas dan takut – berhadapan dengan penangkapan, pemenjaraan, pembunuhan, pengusiran, penculikan, pengucilan, intimidasi — dari pihak Jahiliyah Qureisy –, tidak takut menentang kemusyrikan maupun atheis – laa diniyah –, walau dalam masa yang panjang tidak boleh berhubungan dagang — embargo ekonomi — serta bermacam usaha makar yang diperlakukan terhadap Rasulullah SAW dan orang-orang Mukmin di masa itu. Firman Allah menyebutkan, artinya : Dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan daya upaya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakan kamu atau membunuhmu, atau mengusirmu. Mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baik Pembalas tipu daya” (QS.8, al Anfal :30).

Tantangan Ummat Di Depan

Kebiasaan sikap Masyarakat Jahiliyah yang selalu menyembah berhala, hilangnya batas halal-haram, berkelakuan keji tercela — zina, sadis, miras, korupsi, kolusi, manipulasi, hedonis dan riba, dan segala bentuk p[enyakit masyarakat –, menjadi ancaman terhadap jiran, memutus silaturrahim dengan membahayakan ketenteraman tetangga, yang kuat menelan yang lemah. ( Lihat “Al Islam Ruhul Madaniyah”, berisi jawaban Sahabat Ja’far bin Abi Thalib kepada Kaisar Negus di Habsyi.)

Strukturisasi ruhaniyah Risalah Muhammad SAW, dikenal shiddiq (lurus, transparan), amanah (jujur), tabligh (dialogis), fathanah (ilmiah), memancangkan keyakinan bersih kepada kekuasaan Allah Yang Esa (tauhidiyah), percaya kepada hari berbangkit (akhirat), disiplin dalam beribadah (syari’at), memiliki optimisme yang tinggi terhadap luasnya bumi (rezki), hidup dalam kesaudaraan mendalam (mu-akhah), — sesungguhnya adalah bentuk-bentuk militansi yang dikiatkan dan di kaitkan kepada setiap pribadi mukmin –, siap sedia untuk berhijrah – tidak ada hijrah lagi sesudah futuh Makkah, dan yang sebenar hijrah itu adalah meninggalkan apa-apa yang dilarangkan oleh Allah – maka hijrah sedemikian semata-mata dikerjakan hanya mengharapkan balasan (pahala) dari Allah semata. Firman Allah menjelaskan artinya ; Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati dimuka bumi ini tempat berhijrah yang luas dan rezeki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ketempat yang dituju), maka sesungguhnya telah tetap pahalanya disisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS.4, an-Nisa’:100).

Hijrah telah menjadi ketetapan operatif yang berlangsung terus menerus dalam proses restrukturisasi masyarakat baru, — tegak dengan ikatan kepercayaan, dengan prinsip dasar yang lebih tinggi dari sekedar hubungan solidaritas kelompok ‘ashabiyah, nepotisme –.

Kemudian, tumbuh-kembang menjadi masyarakat majemuk pertama yang hidup diatas landasan keadilan berkemakmuran dengan kekayaan — iman, harta dan ilmu – menjadi  sumber kekuatan dalam membangun. Sejarah kemudian membuktikan betapa Shahabat Ali bin Abi Thalib pernah diadili atas aduan seorang Yahudi dengan dakwaan pemilikan seperangkat baju besi oleh seorang hakim Muslim dan akhirnya demi hukum dan keadilan Ali bin Abi Thalib bisa di kalahkan lantaran tidak dapat mengetangahkan bukti-bukti di pengadilan (mahkamah).

Nash (teks) Al Quran membuktikan pula bahwa masyarakat Madinah tumbuh berkeamanan yang tenteram serta dihuni tidak hanya oleh umat Mukmin — homogrenitas agama –, tapi juga oleh Yahudi-Nashara (Judeo-kristiani) dan bahkan kalangan Munafik (hipokrit).

Hijrah telah membentuk tatanan masyarakat yang terbuka untuk semua. Kesempatan berkembang mencari kehidupan berdasar hak asasi yang sama bagi semua anggota masyarakatnya — tidak ada kelompok yang bisa mencegah berbagai anggota masyarakatnya untuk maju –, menjadi salah satu keutamaan yang ditampilkan Islam membangun satu masyarakat yang kuat berdasarkan sikap saling mengasihi (ukhuwwah dan mahabbah) dan saling membantu (ta’awun). Peradaban Islami yang tinggi melahirkan suatu lingkungan yang sehat politik, ekonomi, kebudayaan dan materil, memungkinkan manusia mengarahkan dirinya untuk menyembah Allah dalam semua kegiatan — lihat QS.Tahrim,ayat 6 — tanpa rintangan dari institusi-institusi yang memerintah di masyarakat itu.

Simpulannya adalah masyarakat akan tetap dianggap terbelakang sepanjang ia gagal menciptakan satu lingkungan yang tepat untuk menyembah Allah sesuai dengan syari’at-Nya. Tidak dapat disangkal bahwa Islam dan Iman mampu membangkitkan motivasi kuat dengan  keyakinan diri yang unggul dengan militansi penghayatan dan pengamalan syari’at agamanya.
     

Hijrah mengajarkan umat untuk memiliki kebebasan terarah dan bertanggung jawab, baik secara moral maupun intelektual adalah menjadi satu catatan kaki dari sejarah hijrah yang tak boleh di abaikan.

Generasi umat Islam hari ini harus mampu mencapai visi baru dalam gelombang kesadaran Islam. Pengaruhnya akan tampak jelas dalam tatanan kehidupan duniawi.

Hanya kelompok Yahudi (zionis) yang tidak akan pernah diam. Mereka akan selalu berupaya sekuat daya agar manusia senantiasa mengikut millah (konsepsi dan cara-cara) mereka. Walan tardha ‘ankal yahauudu wa lan-nashara hatta tattabi’ millatahum (QS.2:120).
Wallahu a’lamu bis-shawaab

.

Padang, 11  Muharram 1434 H – 25 Nopember   2012 M.

 

 


[1] Hijrah berarti pindah kenegeri lain – emigrasi / eksodus – ( Lihat Al ‘Ashry, Kamus Kontemporer Arab Indonesia, Atabik Ali, Ahmad Zuhdi Mudhor, Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta, Cetakan Pertama, 1996, hal.1966. dan lihat juga Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al Munawwir Pustaka Progressif Surabaya 1997, hal. 1489.). Dalam sejarah Islam, hijrah Rasul adalah satu peristiwa Sirah Nabawi (sejarah Rasulullah SAW) bersama-sama Mukminin pindah dari Makkah ke Madinah pada satu setengah millenium yang lalu, dan kemudian menjadi awal penghitungan tahun baru Islam di zaman Sahabat Umar Ibnu Al-Khattab RA di saat menjabat Khalifah III sesudah wafatnya Rasulullah SAW.

 

Membangun Generasi Utama yang Unggul yang beriman dan berakhlak dan selalu siap memimpin umat dan bangsa

Membangun Generasi Utama yang Unggul

Oleh : H. Mas’oed Abidin

 

A.    Generasi Unggul

Generasi Muda adalah kelompok besar di tengah satu bangsa semestinya dibentuk menjadi Generasi Unggul (khaira Ummah) yang akan memikul amanah peran pelopor perubahan (agent of changes) berbekal keyakinan dan keimanan kepada Allah SWT selalu melaksanakan misi amar makruf nahyun anil munkar.

Fitman Allah menyebutkan ; “  kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS.Ali Imran : 110)

Generasi Unggul harus tumbuh  menjadi kelompok  muda yang penuh dengan keimanan kepada Allah dan Allah lengkapkan mereka lagi dengan hidayah. (QS.al Kahfi).

Generasi Unggul memiliki akal budi yang jernih, sehingga berkem,ampuan menghadapi berbagai tantangan global. Mereka memiliki  jati diri sesuai fitrah anugerah Allah, yakni Beriman serta selalu mengajak kepada kebaikan serta melarang dari kemungkaran.

Tantangan masa kini  antara lain infiltrasi dan penetrasi budaya sekular yang menjajah mentalitas manusia, seperti the globalization life style serta suburnya budaya lucah yang menonjolkan keindahan sebatas yang dilihat, didengar, dirasa, disentuh, sensual, erotik, seronok atau sikap hedonis, kadang-kadang ganas (anarkis), dengan kebiasaan menengggak miras, pergaulan bebas dan kecanduan madat dan narkoba. Hal sedemikian terjadi karena mengabaikan batasan-batasan perilaku luhur yang telah menjadi ”kesadaran kolektif” di dalam pergaulan masyarakat berupa seperangkat aturan dalam menata kehidupan bersama.

Pranata sosial Masyarakat Beragama yang Madani di Sumatera Barat, semestinya berpedoman kepada bimbingan wahyu Allah (Alquran) dalam menata adat perilaku bermasyarakatnya. Dalam keniscayaan ini, maka kekerabatan yang erat  menjadi benteng yang kuat dalam menghadapi berbagai tantangan. Kekerabatan tidak akan wujud dengan meniadakan hak-hak individu orang banyak. Peran amar ma’ruf nahi munkar menjadi wujud penciptaan tatanan masyarakat yang rukun, damai, aman sentosa penuh keharmonisan dan sopan santun penduduknya. Tidak dapat diabaikan dan mesti digerakkan dengan terarah dan terpadu, gerakan da’wah  akhlaqul Karimah  dengan tujuan untuk keselamatan dan kesejahteraan hidup manusia.

Hilangnya Akhlak , umumnya disebabkan   Agama tidak diamalkan, Ibadah lalai, nilai etika budaya terabaikan,  akibatnya masyarakat akan hancur.

Sabda Rasul Allâh SAW mengingatkan, Ada tiga faktor yang membinasakan manusia yaitu mengikuti hawa nafsu, kikir yang melampaui batas dan mengagumi diri sendiri (‘ujub).” (HR. al-Tirmidziy).

 

B.    Upaya Membangun Generasi Unggul Berprestasi.

Dapat dilakukan melalui pendidikan berkarakter,

  1. Membudayakan Wahyu Al Quran,
  2. Memakaikan adat  budaya luhur yang berpedoman kepada syari’at Islam  dengan akhlaq  Qurani, sebagai aplikasi dari ABSSBK itu. 

Ada kiat untuk meraih keberhasilan, “Dek sakato mangkonyo ado, dek sakutu mangkonyo maju, dek ameh sagalo kameh, artinya perlu kesepakatan  dalam tujuan bersama pencapaian cita-cita bersama,  “hasanah fid dunya wa hasanah fil akhirah”

Amat diharapkan berkembangnya pendidikan menjadi pengawal pusat kebudayaan berkarakter (memiliki marwah).  Perilaku luhur akan bergeser ketika menipisnya ukhuwah, serta berkembangnya perbuatan maksiat.  Pergeseran budaya akan terjadi ketika mengabaikan nilai-nilai agama. Pengabaian nilai-nilai agama, menumbuhkan penyakit social yang kronis, kegemaran membuang waktu (korupsi), aqidah tauhid melemah, perilaku tidak mencerminkan akhlak Islami, serta suka melalaikan ibadah.

Generasi Unggul  wajib lahir dengan budaya luhur (tamaddun) yang berpaksikan tauhidik. Artinya generasi yang memiliki daya inovasi dan daya kreasi yang tinggi, ditupang oleh tamaddun yang luhur. Cahaya akal mesti diletakkan di bawah naungan wahyu agar berpadu kepintaran dengan kebijaksanaan, pengetahuan dengan hidayah, sehingga rahmat dan barakah dapat diraih. Ihsan dan kasih sayang dapat dicapai.

Dengan ilmu yang berteraskan iman, para pemimpin dan aktivis Generasi Unggul (khaira ummah) akan dapat merumus fikrah harakiah untuk merancang gerak membangun kehidupan yang diredhai Allah Azza wa Jalala.

  1.  Islam tidak mengenal  ada “pengabdian kepada benda”. Pengabdian kepada benda apapun selain Allah adalah sikap munafik dan musyrik. Konsekwensnya seorang muslim dituntut semata-mata mengabdi (menyembah) hanya kepada Allah saja. (Lihat QS.24:56, 18:110, 1:5).
  2. Ajaran Islam adalah Monotheisme berarti setiap Muslim menolak pengamalan semua bentuk ideologi dan falsafah di luar konsepsi tauhid. Allah adalah al Ma’bud  artinya sesuatu yang disembah, secara maknawi adalah pengabdian hanya kepada Allah dan kepada Allah seorang hamba minta pertolongan  (lihat QS.1:5). Dalam tatanan masyarakat Sumatera Barat dengan ciri adat Minangkabau dirakitkan keyakinan tauhid itu kedalam filosofi hidup anak nagarinya dengan adat basandi syarak syarak basandi Kitabullah.
  3. Konsepsi Tauhid Uluhiyah adalah konsepsi tertinggi dalam ajaran ke-Tuhanan. Tanpa konsistensi (istiqamah) secara gagasan maupun gerak akan dinyatakan sebagai  musyrik (Lihat QS.6:106, 41:6,7).
  4. Seluruh Rasul diutus dengan Misi Tauhid. Apabila syari’at telah menetapkan (syarak mengata),  mestinya adat memakai. Perpaduan Adat dan Syarak di Minangkabau masa dulu itu menjadi undang-undang nagari. Undang-undang tersebut dilaksanakan dengan sempurna. Kehidupan bermasyarakat terjamin aman dan tenteram.
  5. Apabila kedua sarana ini telah berperan sempurna, maka akan didapati dikelilingnya masyarakat yang hidup dengan memiliki akhlaq perangai yang terpuji dan mulia (akhlaqul-karimah) sesuai bimbingan syarak.  “Pariangan manjadi tampuak tangkai,  Pagarruyuang pusek Tanah Data, Tigo luhak rang mangatokan. Adat jo syarak jiko bacarai, bakeh bagantuang nan lah sakah, tampek bapijak nan lah taban.” 

C.     Generasi Unggul adalah Generasi Dinamik

Generasi yang dinamik tumbuh dengan kejelian akal fikir disertai kejernihan budi pekerti. Pucuak pauah sadang tajelo, Panjuluak bungo galundi,  Nak jauh silang sangketo, Pahaluih baso juo  basi. Anjalai tumbuah di munggu, Sugi-sugi di rumpun padi, Nak pandai sungguah baguru, Nak tinggi naiakkan budi.”  Dinamika kehidupan hanya dapat dibangun dengan akal yang jernih serta budi pekerti yang luhur. Apabila generasi kini dibiarkan terlena dan lupa membenah diri dengan kekuatan ijtima’i (kebersamaan), tentulah mereka akan dijadikan jarum kelindan oleh orang lain di dalam satu pertarungan gazwul fikri.

Generasi Unggul wajib meningkatkan kualitas kepimpinan dengan kemahiran tanzim Islami. Teguh ubudiyyah dan zikrullah. Mahir merancang dan mengurus, seiring dengan melatih dan membimbing. Memelihara kesinambungan proses  pembelajaran bagi generasi yang terdidik dengan paksi Islam, mampu menilai teknologi informasi, mahir bergaul dan berkomunikasi, sebagai bekal di dalam menyelesai konflik, yang kesudahannya menarik minat dan dukungan umat banyak, serta mahir berpolitik, menguasai bahasa, falsafah dan sejarah.

Generasi muda di Sumatra Barat memiliki tanggung jawab masa lalu yakni kewajiban terhadap budaya luhur (cultural base). Mempunyai tanggung jawab masa kini yaitu kewajiban terhadap diri dan masyarakat dengan menata kehidupan berlandaskan norma-norma adat dan syarak (religious base). Memiliki kewajiban masa depan yang hanya dapat diraih dengan keberhasilan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi (knowledge base). Ketiga asas (basis) tersebut tampak dalam kualitas kepribadian generasi unggul di Sumatera Barat dalam mendidik dan melatih kader pimpinan. Mengatasi kurenah dan perbedaan pendapat untuk memenangkan pertarungan menumpas kebatilan. Generasi Muda berprestasi terlihat pada iltizam harakah atau gerakan saciok bak ayam sa danciang bak basi. Mengedepankan manhaj haraki yakni lazim dipakai dengan program bulek aie dek pambuluah bulek kato kamupakaik. Mengamalkan budaya amal  jama’i  yaitu kok gadang indak malendo, kok cadiek indak manjua, tibo di kaba baik bahimbauan, tibo di kaba buruak bahambauan. 

 

D.    Gerakan Masyarakat Bersama

Pendekatan social movement menangani isu perubahan global, mesti dilaksanakan dengan tanggungjawab bersama nan elok dipakai, nan buruak dibuang. Kepemimpinan adalah amanah dan tanggungjawab didalam Manyuruah babuek baik, malarang babuek jahek,Mahirik mambantang, manunjuak ma-ajari. Managua manyapo. Tadorong mahelo, talompek manyentak, Gawa ma-asak, ma asak lalu ka nan bana. Tak ado karuah nan tak janieh. Tak ado karuik nan tak salasai.  Satu gerakan masyarakat bersama untuk mengangkat umat mencapai kejayaan hidup sesuai syari’at Islam. Kreativiti dan inovasi selalu berkait rapat dengan berbagai gerakan dakwah mencakupi pengurusan sumber daya manusia, komunikasi, kinerja, sinerji dan sebagainya. Akhirnya, kreativitas didukung keikhlasan mencari redha Allah.

Generasi muda masa kini mesti memiliki ilmu berasas epistemologi Islam yang jelas, dalam kata adat disebutkan, Iman nan tak buliah ratak, kamudi nan tak buliah patah, padoman indak buliah tagelek, haluan nan tak buliah barubah”. Generasi masa datang mesti memiliki pemahaman luas dengan tasawwur (world view). Dalam kondisi kritis sekalipun, generasi unggul (khaira ummah) itu selalu awas dan berhati-hati, Bakato sapatah dipikiri, Bajalan salangkah maliek suruik,  Mulik tadorong ameh timbangannyo, Kaki tataruang inai padahannya, Urang pandorong gadang kanai, Urang pandareh ilang aka.”

Dalam menghadapi berbagai tantangan perubahan tata nilai dan pergaualan dunia, generasi Muda berkualtias khususnya di Sumatera Barat yang hidup dengan filosofi adat basandi syarak syarak basandi Kitabullah mesti istiqamah (konsisten) selalu, sebagai fatwa adat menyebutkan, Alang tukang tabuang kayu, Alang cadiak binaso adat, Alang alim rusak agamo, Alang sapaham kacau nagari. Dek ribuik kuncang ilalang, Katayo panjalin lantai, Hiduik jan mangapalang, Kok tak kajo barani pakai. Baburu kapadang data, Dapeklah ruso balang kaki, Baguru kapalang aja, Bak bungo kambang tak jadi”. Para aktivis generasi unggulan perlu meningkatkan kreativitas. Sudah sampai masanya menampilkan wawasan dan perspektif Islam dalam berbagai bidang informasi, TV dan Radio Internet, adalah contoh mutakhir dalam usaha mengatasi halangan dalam menyampaikan informasi alternatif kepada masyarakat dengan lebih efektif dan bersifat global.

 

E.     Pembangunan Karakter Khayra Ummah

Pembentukan karakter atau watak berawal dari penguatan unsur unsur perasaan (affective component), hati (qalbin Salim) yang menghiasi nurani manusia dengan nilai-nilai luhur  yang tumbuh mekar dengan kesadaran kearifan  menjadikan cerdas budaya serta memperhalus kecerdasan emosional  dengan dipertajam oleh kemampuan periksa  (evaluasi positif  dan negatif)  atau kecerdasan rasional intelektual  serta dilindungi oleh kesadaran yang melekat pada keyakinan (kecerdasan spiritual) yakni bagi kebanyakan masyarakat Sumatera Barat atau Indonesia adalah hidayah Islam. Watak yang sempurna dengan nilai nilai luhur (akhlaqul karimah) akan melahirkan tindakan terpuji dengan motivasi (nawaitu) yang bersih (ikhlas). Nilai-nilai ajaran Islam mengajarkan kewajiban mengagungkan Allah dan menghargai nikmatNya yang menjadi sumber dari rezeki, kekuatan, kedamaian serta membimbing manusia keluar dari kegelapan menuju cahaya. Pengenalan akidah Islam (tauhidiyah) di iringi oleh pengamalan ibadah (syari’at) akan mendorong setiap muslim memahami tentang arti kehidupannya.

اللَّهُ وَلِيُّ الَّذِينَ ءَامَنُوا يُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ  وَالَّذِينَ كَفَرُوا  أَوْلِيَاؤُهُمُ الطَّاغُوتُ  يُخْرِجُونَهُمْ  مِنَ النُّورِ إِلَى الظُّلُمَاتِ

Allah adalah pelindung bagi orang-orang yang beriman yang mengeluarkan mereka dari berbagai kegelapan kepada nur(hidayah-Nya). Dan orang-orang kafir itu pelindung-pelindung mereka ialah taghut ( sandaran kekuatan selain Allah) yang mengeluarkan mereka daripada nur (hidayah Allah) kepada berbagai kegelapan. (Al-Baqarah, 257).

Berjalan menuju Allah (rihlah  ilaa Allah)  dicapai dengan al-qalb al-salim yakni  hati yang salim, tenteram dan sejahtera. Kebaikan hati awal langkah untuk mencapai kebaikan jiwa dan jasad,

ان فى الجسد مضغة اذا صلحت صلح الجسد كله  واذا فسدت فسد الجسد كله, ألا وهي القلب

Sesungguhnya di dalam jasad terdapat segumpal mudhghah (benda darah), jika ia sehat  maka baiklah seluruh jasad, dan jika ia fasad maka rusaklah seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah hati” (Hadith riwayat Bukhari).

Kebaikan hati, titik tolak kehidupan dalam  Islam. Bersih hati adalah pintu menerima perintah Allah dengan sempurna. Generasi Unggul selalu membersihkan diri dari perangai kufur jahiliyyah dan munafik. Wajib mengikis habis sifat jahil, engkar, bohong, memfitnah, zalim, tamak dan membelakangkan dasar politik musyawarah (demokratik), sehingga hati tetap bersih.   Jiwa yang bersih menerima hidayah dengan  mengenali  yang baik untuk diamalkan dan mengenali perkara buruk untuk dijauhi.

Imam al-Ghazali menjelaskan maksud النفس  ialah  nafsu jauhari النفس الجوهري   yang bercahaya, brilliant dan dapat mengetahui serta memahami, yang menggerakkan atau memdorong kepada motivasi. Allah berfirman :  وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا —  فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا  Dan demi jiwa serta penyempurna-an ciptaanNya.  Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) jahat (untuk dijauhkan) dan (jalan) kebaikkan (untuk diamalkan).

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا.   وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا  Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (QS. As-Syams, 7-10).

 

F.     Menanam Akhlaq melalui Pendidikan

Seorang dapat dikatakan “orang baik” apabila pergaulannya dan hubungan  dengan tetangga yang berada di lingkungannya baik. Jika sikap, tingkah laku dan prilakunya selalu meresahkan tetangganya, sehingga para tetangganya terganggu dan tidak nyaman, maka orang itu sangat dibenci dan dimurkai oleh Allah SWT.  Rasulullah SAW menegaskan dalam hadits beliau, ….  لاَ يَدْخُلُ اْلجَنَّةَ مَنْ لاَ يَأْمَنُ جَارَهُ بِوَائِقَهُ  .. “Tidak dapat masuk sorga orang yang tetangganya tidak merasa  aman dari gangguannya”. (H.R. Muslim).

Bila wasiat-wasiat Rasulullah berkenaan dengan masalah tetangga ini terwujud dalam kehidupan bermasyarakat, niscaya komunitas masyarakat tersebut akan menjadi sebuah keluarga yang selalu komit dalam melaksanakan pesan-pesan ajaran Islam, yang saling tolong-menolong bahu membahu dalam kebaikan dan taqwa.

Kita memahami, Wahyu pertama kepada Nabi Muhammad SAW adalah perintah iqra (bacalah)  menghendaki perpindahan dari pasif menjadi aktif  dan dari diam kepada  gerak  dengan sadar memahami informasi simbolik menimba ilmu, menggali pengetahuan dan potensi alam.  Berkembangnya budaya dan peradaban manusia di semua zaman selalu mengalami perubahan drastis. Tuntutan hidup dalam segala aspek makin tinggi.  Keperluan manusia terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi tak terelakkan, dan telah menjadi prasyarat imperatif  bagi perkembangan zaman dan inovasi peradaban.

PENDIDIKAN dan BELAJAR dapat mengantarkan manusia pada kemajuan berkualitas dengan iman dan taqwa, berpengetahuan luas, menguasai teknologi, berjiwa wiraswasta, beradat dan berakhlak. Generasi kedepan mesti tumbuh dengan Iman yang kokoh.  Kemajuan materi dipacu oleh akhlak manusia yang menggenggam materi tersebut. Rapuhnya akhlak generasi akan merusak bangunan  kehidupan.

Sebuah pertanyaan, “ Mengapa Minangkabau di Masa Lampau  Mampu ‘Melahirkan’ Tokoh-tokoh Besar Nasional ?” .. Salah satu jawabannya adalah, “Akhlak mulia berperan mendorong lahirnya generasi berkemajuan dan bermartabat dengan minat  terarah  guna memelihara sumber kehidupan yang  terbimbing  menjadi insan-insan yang pandai  bersyukur.” Tantangan Pendidikan Generasi ke depan sangat berat. Hanya dapat diringankan dengan hubungan kekerabatan  yang harmonis  dan baik, dimulai dari rumah tangga, lingkungan sekolah, lingkungan kehidupan masyarakat, dapat menjadi modal utama mengawal pendidikan berkarakter di Sumatera Barat.

Ada perasaan malu, bila tidak membina hubungan dengan baik. Selalu terjaga kaidah, ” nan tuo di hormati, nan ketek di sayangi, pandai ba gaul samo gadang”. Dengan demikian nilai-nilai ideal kehidupan itu akan terlihat pada ;

  1. adanya rasa memiliki bersama,
  2. kesadaran terhadap hak milik,
  3. kesadaran terhadap suatu ikatan kaum dan suku,
  4. kesediaan untuk pengabdian,
  5. terjaga  hubungan positif  akibat hubungan pernikahan,  hubungan semenda menyemenda, bako baki, ipa bisan, andan pasumandan, dan hubungan mamak kamanakan .

 

G.    Tanamkan Rasa Selalu diawasi oleh Allah.

Mukmin sejati dalam berbagai bidang kehidupannya selalu berkaitan dengan akidah, ibadah. Semua hubungan sosial, kekeluargaan, moral maupun yang berkaitan dengan sifat emosional, intelektual, profesional dan sifat-sifat jasadi (fisik), selalu disadari dan dirasakan bernilai aqidah dan penghayatannya didalam kehidupan menjadi satu yang difardhukan.  Akhlaq Qurani menjadi bukti mendarah dagingnya Islam didalam diri.

Sunnah telah memberikan perhatian mendalam kepada masalah nilai aqidah ini.

ذاق طعام الا يمان من رضي بالله ربا وبا لا سلا م دينا وبمحمد رسولا

Yang merasakan lazatnya iman adalah orang yang redha terhadap Allah sebagai Tuhannya, dan redha terhadap Islam sebagai agamanya dan redha terhadap Muhammad sebagai Rasul. (Hadith riwayat Muslim dan Tarmizi.)

Etika Profesional Generasi Unggul adalah selalu bertanggung jawab dalam setiap geraknya. Tanggung jawab tersebut mencakup ;

  1. Tanggungjawab Kepada Allah.
  2. Tanggungjawab Kepada Diri,
  3. Tanggungjawab Kepada Ilmu,
  4. Tanggungjawab Kepada Profesi,
  5. Tanggungjawab Kepada Masyarakat,
  6. Tanggungjawab Kepada Sejawat,
  7. Tanggungjawab Kepada Keluarga.  

Disebabkan hal sedemikian, maka menumbuhkan mahabbah (rasa cinta dan kasih sayang) dengan berpedoman kepada sabda Rasulullah SAW :

ثلاث من كن فيه وجد طعم الايمان  : من كان الله ورسوله احب اليه مما سواهما,   ومن احب عبدا لا يحبه الا الله,  ومن يكره ان يعود فى الكفر بعد ان انقذه الله منه كما يكره ان يلقى فى النار

 Ada tiga perkara, barangsiapa terdapat pada dirinya, maka dia akan merasakan lazatnya keimanan : Orang yang mencintai Allah dan RasulNya lebih daripada selain keduanya, orang yang mencintai seorang hamba hanya karena Allah, dan orang yang benci untuk kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkannya sebagaimana dia benci untuk dilempar ke dalam  neraka. (Hadith riwayat Bukhari, Muslim, Tarmizi dan Nasa^i).

 

Seorang Mukmin wajib memiliki rasa takut, kasih dan sayang kepada Allah, yang dibuktikan dengan setia terhadap agamaNya.  Seorang muslim yang beriman mesti mempunyai perasaan yakin, percaya, harap, tawakkal dan pasrah kepada ketentuan Allah. Membiasakan  secara terus menerus zikrullah, yakni mengingati Allah dengan tauhid uluhiyah.  Tauhid menumbuhkan rasa takut kepada keagungan Allah karena meyakini sepenuhnya bahwa Allah mengawasinya. Tauhid itu melahirkan mahabbah atau rasa kasih serta rindu kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Ketika kehidupan manusia kian bertambah modern dan peralatan teknologi makin canggih, tidak dapat dibantah bahwa makin bertambah banyak masalah hati dan kejiwaan manusia yang tampil kepermukaan dan  tidak mudah dapat diselesaikan.

 

Wassalam.

Padang, 22 Oktober 2012

 

 

Peran dan Fungsi Pemerintahan Terdepan yakni Pemerintahan Nagari di dalam implementasi dan pelestarian “adat bersendi syarak (syariat Islam) – syarak bersendi Kitabullah” disingkat ABS-SBK di Sumatera Barat.

Peran dan Fungsi Pemerintahan Terdepan yakni Pemerintahan Nagari di dalam implementasi dan pelestarian “adat bersendi syarak (syariat Islam) – syarak bersendi Kitabullah” disingkat ABS-SBK di Sumatera Barat.

Oleh : H. Mas’oed Abidin

Mari kita syukuri nikmat Allah terhadap daerah kita Sumatera Barat yang hidup dalam satu tatanan langgo langgi (struktur) Masyarakat Hukum Adat (MHA) di Minangkabau. Karena dengan keterpaduan hati mensyukurinya di ikuti langkah berkesinambungan akan banyak memberi kontribusi membangun daerah kita khususnya Sumatera Barat dengan kekuatan adat budaya masyarakatnya dalam filosofi Adat Bersendi Syarak (Syariat Islam) dan Syarak Bersendi Kitabullah. Filosofi kehidupan MHA Minangkabau dengan Langgo Langgi perkerabatan nagari, kampuang, suku, kaum, jurai yang bermula dari rumah tangga. Pada semua tingkatan perkerabatan ada pengawalan pada posisi dan peran yang jelas karajo ba umpuak surang surang, urang ba jabatan masieng. Artinya ada pembagian pekerjaan. Filosofi ABSSBK dalam perkerabatan MHA Minangkabau menyatu dengan keyakinan dan syariat Agama Islam bersendikan Kitabullah. Darisini pembentukan watak generasi (pendidikan berkarakter) itu sebenarnya di awali.

Abad ini sedang berlangsung lonjakan perubahan menampilkan hubungan komunikasi informasi dan transportasi cepat yang berpengaruh kepada nilai-nilai tamadun yang sudah ada. Kekuatan Budaya MHA Minangkabau sebenarnya terikat kuat pada penghayatan Islam. Dimasa sangat panjang terbukti menjadi salah satu puncak kebudayaan dunia. Perubahan kini, desa‑desa yang terisolir telah terbuka jadi sentra perkebunan besar (seperti di Pasaman, Sitiung dan Solok Selatan). Gaya hidup panggang lutok (konsumeristis) telah menghipnotis warga hingga kedesa terujung. Malah berpengaruh besar menghilangkan kearifan budaya, tidak lagi mengukur bayang bayang sepanjang badan. Terjadi gadang pasak pado tiang. Pergaulan muda‑mudi tidak mengenal sumbang-salah. Perkerabatan mulai menipis. Peran ninik mamak melemah sebatas seremoni. Peran imam khatib sekedar pengisi ceramah. Surau dan Masjid lengang mati suri. Madrasah di nagari kurang diminati. Kedudukan orang tua hanya memenuhi keperluan materi anakcucunya. Guru‑guru disekolah semata mengajar. Peran sentral pendidikan jadi kabur. Kearifan MHA Minangkabau merancangbangun masyarakat terabaikan. Gaya hedonis materialis dan individualis menghapus nilai nilai utama berat sepikul ringan sejinjing yang dulu jadi penggerak utama kegotong royongan membangun kampong halaman.

Mengatasi semua itu, amat perlu membangun peribadi unggul dengan iman dan taqwa, berlimu pengetahuan, menguasai teknologi, berjiwa wiraswasta, bermoral akhlak, beradat dan beragama. Disini Peran dan Fungsi Pemerintahan Terdepan dalam Implementasi dan Pelestarian (nilai dan gerak aplikatif) ABSSBK mestinya berada didepan dan tidak boleh abai.

Perpaduan Adat dan Syarak berpedoman Firman Allah ; “Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berkabilah-kabilah (bangsa-bangsa) dan berpuak-puak (suku-suku) supaya kamu saling kenal mengenal …”, (QS.49, al Hujurat : 13). Perbedaan suku dan jurai adalah kekuatan besar adat di Minangkabau “Pawang biduak nak rang Tiku, Pandai mandayuang manalungkuik, Basilang kayu dalam tungku, Di sinan api mangko hiduik”. Masyarakat Minangkabau dengan filosofi ABSSBK memiliki ciri khas Beradat dan Beradab yang Beragama Islam. ABS-SBK menjadi  konsep dasar Adat Nan Sabana Adat yang diungkap lewat Bahasa sebagai Kato Pusako, yang memengaruhi sikap umum dan tata-cara pergaulan masyarakat. Kegiatan hidup bermasyarakat dalam kawasan ini selalu dipengaruhi oleh berbagai tatanan (system) dan berbagai tataran (structural levels). Paling mendasar tatanan nilai dan norma dasar sosial budaya yang membentuk perspektif atau Pandangan  Dunia dan Panduan  Hidup masyarakatnya. Diantaranya ;
  1. memengaruhi seluruh aspek kehidupan masyarakat nagari, berupa sikap umum dan perilaku serta tata-cara pergaulan dari masyarakat itu.
  2. menjadi landasan pembentukan pranata sosial keorganisasian dan pendidikan yang melahirkan berbagai gerakan, produk budaya yang dikembangkan secara formal ataupun informal.
  3. menjadi  petunjuk perilaku bagi setiap dan masing-masing anggota masyarakat di dalam kehidupan sendiri-sendiri maupun bersama-sama.
  4. memberi ruang dan batasan-batasan bagi pengembangan kreatif potensi nagari dan penduduknya dalam menghasilkan buah karya sosial budaya dan peningkatan ekonomi anak nagari, serta karya-karya dan keragaman pemikiran intelektual dan tampak sebagai folklore dan akan menjadi mesin pengembangan dan pertumbuhan Sumatera Barat di segala bidang.

Sebagai masyarakat beradat dengan adat bersendi syariat dan syariat yang bersendikan Kitabullah, maka kaedah-kaedah adat itu memberikan pelajaran strategis dalam penerapannya.

  1. Mengutamakan prinsip hidupkeseimbangankarena Islam menghendaki keseimbangan antara rohani dan jasmani. Keseimbangan pembinaan “Anak dipangku kamanakan di bimbiang, rang kampuang dipatenggangkan” seiring bimbingan Syariat Islam ; “Berbuatlah untuk hidup akhiratmu seolah-olah kamu akan mati besok dan berbuatlah untuk hidup duniamu, seolah-olah akan hidup selama-lamanya”  (Hadist).
  2. Kesadaran akan “luasnya bumi Allah” sehingga mudah digunakan. “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di didalamnya.” (QS.4, An-Nisak : 97), melahirkan budaya Marantau diiringi kemampuan meng-introdusir tenaga perantau merasakan denyut nadi kehidupan masyarakat di nagarinya melalui kebersamaan dan kecintaan kampung halaman sehingga berurat dihati umat dalam membangun kampung dan wilayahnya di mana bumi dipijak disana langit dijunjung.

Sebagai masyarakat beradat dan beragama ditanamkan sikap hati-hati “Ingek sa-balun kanai, Kulimek sa-balun abih, Ingek-ingek nan ka-pai, Agak-agak nan ka-tingga”. Memiliki jati diri tidak mau menjadi beban orang lain. Membiarkan diri hidup miskin adalah salah. “Kefakiran  membawa kepada kekufuran ”  (Hadist).

Nagari tumbuh dengan konsep tata ruang ba-balerong (balai adat) tempat musyawarah, ba-surau (musajik) tempat beribadah. Ba-gelanggang tempat berkumpul. Ba-tapian tempat mandi. Ba-pandam pekuburan. Ba-sawah bapamatang, ba-ladang babintalak, ba-korong bakampung. Tata-ruang adalah asset sangat berharga dalam Idealisme nilai budaya di Minangkabau. Nan lorong tanami tabu,  Nan tunggang tanami bambu, Nan gurun buek kaparak, Nan bancah jadikan sawah, Nan munggu pandam pakuburan,  Nan gauang katabek ikan, Nan padang kubangan kabau, Nan rawang ranangan itiak. Tata ruang yang jelas memberikan posisi strategis kepada peran pengatur dan pendukung sistim banagari yang telah disepakati terdiri dari orang ampek jinih (ninik mamak, alim ulama, cerdik pandai, urang mudo, dan bundo kanduang).  Nagari tidak hanya sebatas ulayat hukum adat. Paling utama wilayah kesepakatan antar komponen masyarakat yang menjadi pendukung kegiatan masyarakat di bidang ekonomi dengan sikap tawakkal bekerja dan tidak boros. Hasilnya tergantung dalam dangkalnya sikap hidup tersebut berurat dalam jiwa masyarakatnya.
S

trategi Membangun Nagari dalam pengamalan ABSSBK dititik beratkan kepada menghormati kesepakatan bersama dalam adaik sa lingka nagari. Perubahan deras arus kesejagatan tidak boleh mencerabutkan masyarakat dari akar budayanya. Perilaku yang mengedepankan perebutan prestise materialistis dan individualis adalah karena penyimpangan implementasi dari nilai nilai budaya ABSSBK.

Kepentingan bersama masyarakat mesti menjadi tugas utama pelestarian ABSSBK. Idealisme kebudayaan Minangkabau yang menjadi sasaran cercaan “usang” mestinya dihadapi dengan penampakan kehidupan beradat dan beragama yang kuat di Sumatera Barat. Upaya pencapaian hasil kebersamaan (kolektif, gotong royong) mesti digiatkan. Disini letak kekuatan Nagari di Minangkabau yang seakan sebuah republik kecil itu. Mini Republik ini punya sistim demokrasi murni, pemerintahan sendiri, asset sendiri, wilayah sendiri, perangkat masyarakat sendiri, sumber penghasilan sendiri. Bahkan hukum dan norma-norma adat sendiri  dalam “adaik sa lingka nagari” dikawal Suku, Sako dan Pusako yang menjadi kekuatan menetapkan Peraturan Nagari.

Membangun nagari muara pertama pada supra struktur pemerintahan nagari. Wali Nagari mestinya berperan sebagai kepala pemerintahan dan pimpinan masyarakat adat di nagarinya. Sebagai kepala pemerintahan terendah di nagari ada hirarki dengan pemerintahan dikecamatan atau kabupaten. Sebagai pimpinan dalam adat mesti berurat kebawah ditengah komunitas adat istiadat yang dijunjung tinggi anak nagari.

Strategi pemerintahan nagari  bermula dari (a). kesediaan rujuk kepada hukum adat (norma yang berlaku di nagari) dan (b). kesetiaan melaksanakan hukum positf (undang-undang negara).

Disamping itu muara kedua, dukungan masyarakat adat (kesepakatan tungku tigo sajarangan yang terdiri dari ninik mamak, alim ulama, cadiak pandai, bundo kanduang dan kalangan rang mudo) dalam satu tatanan sistim pemerintahan (perundang-undangan). Anak nagari amat berkepentingan dalam merumuskan nagarinya. Konsepnya tumbuh dari akar nagari itu. Lah masak padi ‘rang singkarak, masaknyo batangkai-tangkai, satangkai jarang nan mudo, Kabek sabalik buhus sintak, Jaranglah urang nan ma-ungkai, Tibo nan punyo rarak sajo. Perlu orang yang ahli dibidangnya. Mestilah dipahami bahwa masyarakat nagari sesungguhnya tidak terdiri dari satu keturunan (suku) saja. Ada beberapa suku asal muasal dari berbagai daerah di sekeliling ranah bundo. Sungguhpun berbeda, namun dapat bersatu dalam satu kaedah pemahaman masyarakat saling menghargai dan menghormati. Satu bentuk perilaku duduk samo randah tagak samo tinggi sebagai prinsip egaliter inilah prinsip demokrasi yang murni. Otoritas masyarakat sangat independen. Maka langkah strategis yang penting adalah,

1. Menguasai informasi substansial.

2. Mendukung pemerintahan yang menerapkan low-enforcment.

3. Memperkuat kesatuan dan persatuan di nagari-nagari.

4. Muaranya adalah ketahanan masyarakat dan ketahanan diri.

Strategi pengamalan ABSSBK di Nagari adalah menggali potensi dan asset nagari. Mengabaikannya pasti mendatangkan kesengsaraan bagi masyarakat adat itu. Sebab Pranata sosial Masyarakat Beragama semestinya berpedoman (bersandikan) kepada Syarak dan Kitabullah. Maka kekerabatan yang erat  menjadi benteng yang kuat dalam menghadapi berbagai tantangan. Penerapannya dimulai dengan memanggil potensi unsur manusia yang ada di masyarakat nagari. Kesadaran akan adanya benih kekuatan dalam diri anggota masyarakat hukum adat untuk kemudian digali dan digerakkan melalui penyertaan aktif dalam proses pembangunan nagari. Melalui kegiatan bermasyarakat itu pula observasinya dipertajam. Daya pikirnya ditingkatkan. Daya geraknya didinamiskan. Daya ciptanya  diperhalus.

Daya kemauan masyarakat dikembangkan untuk percaya kepada diri sendiri. Tujuannya sampai kepada taraf yang memungkinkan untuk mampu berdiri sendiri dan membantu nagari tanpa mengharapkan balas jasa atas dasar kesepakatan bersama yang menjadi ”kesadaran kolektif” di dalam pergaulan masyarakat dan tatanan kehidupan bersama. Optimisme banagari  mesti selalu dipelihara. Alah bakarih samporono, Bingkisan rajo Majopahik, Tuah basabab bakarano, Pandai batenggang di nan rumik.

Pembentukan karakter atau watak berawal dari penguatan unsur unsur perasaan hati (qalbin Salim) menghiasi nurani manusia dengan nilai luhur yang tumbuh mekar dengan  kesadaran kearifan dan kecerdasan budaya diperhalus oleh kecerdasan emosional dan dipertajam kemampuan periksa atau kecerdasan rasional intelektual yang dilindungi oleh kesadaran yang melekat pada keyakinan spiritual yakni hidayah Islam. Watak yang sempurna dengan nilai nilai luhur (akhlaqul karimah) melahirkan tindakan terpuji dengan motivasi (nawaitu) yang bersih (ikhlas). Kelemahan mendasar pada dasarnya karena melemahnya jati diri. Kurangnya komitmen kepada nilai-nilai luhur agama karena tindakan isolasi diri. Kurang menguasai politik, ekonomi, sosial budaya, lemahnya minat menuntut ilmu.

Kelemahan internal akan menutup peluang berperan serta dalam kesejagatan. Semakin parah karena pembiaran tanpa kawalan atau karena dorongan hendak menghidupkan toleransi. Padahal tasamuh itu memiliki batas-batas tertentu pula. Peran tidak boleh dilalaikan mempersiapkan generasi Sumatera Barat yang mempunyai bekal mengenali sejarah, latar belakang masyarakat, kondisi sosial ekonomi,  tamadun, budaya dan adat-istiadat dengan berbudi bahasa yang baik. Diperlukan Kerja Keras Untuk Meningkatkan Mutu SDM anak nagari diantaranya;

1)       Penguatan potensi yang sudah ada (urang ampek jinih, tungku tigo sajarangan) melalui program utama yakni kebersamaan (gotong royong).

2)       Memperkuat SDM bertujuan membentuk masyarakat beradat dan beragama sebagai suatu identitas yang tidak dapat ditolak dalam satu konsepsi tata cara hidup, sistem sosial dalam iklim adat basandi syara’ syara’ basandi Kitabullah.

3)        Mengokohkan pemahaman agama, sehingga anak negari menjadi sehat rohani, menjaga terlaksananya dengan baik norma-norma adat, sehingga anak nagari menjadi masyarakat beradat yang beragama (Islam).

4)       Menggali potensi SDA yang ada di nagari selaras dengan perkembangan dan strategi menguatkan ketahanan ekonomi rakyat.

5)       Membangun kesejahteraan bertolak dari pembinaan unsur manusia dari menolong diri sendiri (self help) kepada tolong-menolong (gotong royong atau mutual help) sebagai puncak nilai budaya adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Gotong royong adalah strategi membangun masyarakat adat melalui pembagian pekerjaan atau ber-ta’awun sesuai dengan anjuran Islam.

Strategi membangun masyarakat adat berdasar pemahaman ABSSBK atau taraf ihsan sesuai ajaran Kitabullah dalam agama Islam dengan “memperindah nagari” dengan indikator  utama adalah ;

a)      Pencapaian moral adat.  Nan kuriak kundi, nan sirah sago, nan baik budi nan indah baso. Atau dapat disebut sebagai karakter building.

b)      Efisiensi organisasi pemerintahan nagari dengan mendudukkan kembali  komponen masyarakat pada posisi subyek di nagari. Pemeranan fungsi fungsi elemen masyarakat.

c)       Membentuk masyarakat beradat dan beragama sebagai suatu identitas dalam satu konsepsi tata cara hidup, sistem sosial dalam iklim adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah, Maka kekuatan moral yang dimiliki, ialah menanamkan “nawaitu” dalam diri masing-masing. Untuk membina umat dalam masyarakat desa harus di ketahui pula kekuatan. Latiak-latiak tabang ka Pinang, Hinggok di Pinang duo-duo, Satitiak aie dalam piriang, Sinan bamain ikan rayo.  

Pengendali kemajuan sebenar adalah agama dan budaya umat (umatisasi). Tercerabutnya agama dari masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat berakibat besar kepada perubahan perilaku dan tatanan masyarakat adatnya. Penerapan filosofi Adat Bersendi Syarak, Syarak Bersendi Kitabullah semestinya tampak jelas pada  syarak (agama Islam) mangato (memerintahkan) maka adat mamakai (melaksanakan). Pemantapan tamaddun, agama dan adat budaya di dalam tatanan kehidupan mesti menjadi landasan dasar pengkaderan regenerasi. Mengembalikan Minangkabau keakar Islam tidak boleh dibiar terlalai. Akibatnya akan terlahir bencana.  Pranata sosial Masyarakat di Sumatera Barat yang didiami masyarakat adat Minangkabau semestinya berpedoman kepada Syariat Agama Islam yang bersumber kepada Kitabullah (Al Quranul Karim) dan Sunnah Rasulullah. Indikator pengamalannya terekam dalam Praktek Ibadah, Pola Pandang dan Karakter Masyarakatnya, Sikap Umum dalam Ragam Hubungan Sosial  masyarakatnya serta tutur kata yang baik.

Strategi membangun masyarakat adat akan berhasil manakala selalu kokoh dengan prinsip, qanaah dan istiqamah. Berkualitas dengan iman dan hikmah. Berilmu dan matang dengan visi dan misi. Amar makruf nahyun ‘anil munkar dengan teguh dan professional. Research-oriented berteraskan iman dan ilmu pengetahuan.

Maka peran dan Fungsi Pemerintahan Terdepan adalah menghidupkan lembaga tungku tigo sajarangan sebagai institusi penting dalam masyarakat Minangkabau sejak dulu yang telah berhasil membawa umat dengan informasi dan aktifiti, kepada keadaan yang lebih baik dalam Implementasi dan Pelestarian ABSSBK.  Strateginya dengan menanamkan kearifan bahwa apa yang ada sekarang akan menjadi milik generasi mendatang. Ada kewajiban menularkan warisan luhur budaya kepada generasi pengganti secara lebih baik dan lebih sempurna agar tetap berlangsung proses timbang terima kepemimpinan secara estafetta alamiah. Kekerabatan yang erat  menjadi benteng yang kuat dalam menghadapi berbagai tantangan. Kekerabatan tidak akan wujud dengan meniadakan hak-hak individu orang banyak. Provinsi Sumatera Barat dengan Filosofi Adat Budaya Minangkabau yaitu ABSSBK mestinya tumbuh dengan komitmen fungsional bermutu tinggi seiring kemampuan penyatuan konsep-konsep dengan alokasi sumber dana. Perencanaan kerja secara komprehensif akan mendorong terbinanya center of excelences.  

KHULASAH

Akan sulitlah dibantah jika masyarakatnya sudah mati jiwa pastilah akan sulit diajak berpartisipasi karena telah kehilangan semangat kolektifitas. Bahaya akan menimpa tatkala jiwa umat mati di tangan pemimpin. Jangan dibiarkan umat digenggam oleh pemimpin otoriter yang meninggalkan prinsip musyawarah. Hal tersebut akan sama dengan menyerahkan mayat ketangan orang yang memandikan. Perankan kembali organisasi formal dan fungsikan peran ninik mamak, alim ulama cerdik pandai “suluah bendang dalam nagari”  dengan sistem komunikasi koor­dinasi antar organisasi pada pola pembinaan kaderisasi pimpinan formal nagari dan suku. Dalam gerak “membangun nagari”  setiap fungsionaris nagari menjadi pengikat umat membentuk masyarakat yang lebih kuat.

Semua fungsionaris formal suku dan kaum senyatanya adalah kekuatan sosial yang efektif. Terbukti bahwa Nagari lebih banyak dibangun dengan kekuatan anak nagari sendiri. Bahkan sedikit sekali yang bergantung kepada APBNasional atau APBDaerah. Maka Nagari semestinya menjadi media pengembangan pemasyarakatan budaya sesuai dengan adagium “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah melalui pendidikan ketauladanan dalam mencapai derajat peribadi taqwa serta melaksanakan kegiatan dakwah Islam terhadap masyarakat anak nagari.

Di nagari mesti di lahirkan media pengembangan minat menyangkut aspek kehidupan ekonomi, sosial, budaya dan politik dalam mengembangkan kemasyarakatan yang adil dan sejahtera.

Spiritnya adalah (a). Kebersamaan (sa-ciok bak ayam sa-danciang bak basi). (b). Keterpaduan (barek sa-pikua ringan sa-jinjiang). (c). Musyawarah (bulek aie dek pambuluah, bulek kato dek mupakat), dalam kerangka “Senteng ba-bilai, Singkek ba-uleh, Ba-tuka ba-anjak, Barubah ba-sapo”. (d). Keimanan yang kuat kepada Allah SWT sebagai pengikat spirit tersebut dengan menjiwai sunnatullah dalam setiap gerak. (e). Mengenal alam keliling “Panggiriak pisau sirauik, Patungkek batang lintabuang, Satitiak jadikan lauik, Sakapa jadikan gunuang, Alam takambang jadikan guru ”. (f). Kecintaan ke nagari menjadi perekat yang sudah dibentuk oleh perjalanan waktu dan pengalaman sejarah. (g). Menjaga batas-batas patut dan pantas, jangan terbawa hanyut materi dan hawa nafsu yang merusak.

Begitu semestinya peranan dan fungsi strategis Pemerintahan Terdepan di Nagari bersama sama dengan Ninik Mamak, Alim ulama, Cerdik Pandai dan Bundo Kanduang sebagai suluah bendang di nagari nagari dalam membangun serta menjaga nagari-nagari yang tertata rapi menapak alaf baru di Sumatera Barat (Minangkabau) dalam implementasi dan pelestarian ABS-SBK. Insya Allah.

 Padang, Maret 2012  M / Jumadil Awwal 1433 H

HAMKA atau HAJI ABDUL MALIK KARIM AMRULLAH (HAMKA)

HAJI ABDUL MALIK KARIM AMRULLAH (HAMKA), lahir di Sungai Batang, Maninjau (Sumatera Barat) pada hari Ahad, tanggal 16 Pebruari 1908 M./13 Muharam 1326 H  dari kalangan keluarga yang taat beragama. Ayahnya adalah Haji Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul) bin Syekh Muhammad Amrullah (gelar Tuanku Kisai) bin Tuanku Abdullah Saleh. Sementara ibunya bernama Siti Shafiyah Tanjung binti Haji Zakaria (w. 1934). dalam silsilah Minangkabau ia berasal dari suku Tanjung, sebagaimana suku ibunya.

Sejak kecil, ia menerima dasar-dasar agama dan membaca al-Quran langsung dari ayahnya. Ketika usia 6 tahun, ia di bawa ayahnya ke Padangpanjang. Pada usia 7 tahun, ia kemudian dimasukkan ke sekolah desa –hanya sempat dienyam sekitar 3 tahun– dan malamnya belajar mengaji dengan ayahnya sampai khatam. Tatkala ia berusia 12 tahun, kedua orang tuanya bercerai. Perceraian kedua orang tuanya ini merupakan pengalaman pahit yang dialaminya. Tak heran jika pada fatwa-fatwanya, ia sangat menentang tradisi kaum laki-laki Minangkabau yang kawin lebih dari satu. Sebab hal tersebut bisa merusak ikatan dan keharmonisan rumah tangga.

Pada tahun 1916 sampai 1923, ia belajar agama di Diniyah School Padangpanjang dan Sumatera Thawalib Padangpanjang dan Parabek. Walaupun pernah duduk di kelas VII, akan tetapi ia tidak mempunyai ijazah. Guru-gurunya waktu itu antara lain Syekh Ibrahim Musa Parabek, Engku Mudo Abdul Hamid Hakim, Sutan Marajo, dan Syekh Zainuddin Labay el-Yunusiy.

Bersama dengan Engku Dt. Sinaro, Engku Zainuddin memiliki percetakan dan perpustakaan sendiri dengan nama Zinaro. Melalui perpustakaan ini, sambil bekerja melipat-lipat kertas, ia diizinkan untuk membaca buku-buku yang ada diperpustakaan tersebut. Di sini, ia memiliki kesempatan membaca bermacam-macam buku, seperti agama, filsafat, dan sastra. Di sini ia mulai berkenalan dengan karya-karya filsafat Ariestoteles, Plato, Pythagoras, Plotinus, Ptolemaios, dan ilmuan lainnya.

Kegelisahan intelektual yang dialaminya telah menyebabkan ia berhasrat untuk merantau guna menambah wawasannya. Pada awalnya, kunjungannya ke Jawa hanya ingin mengunjungi kakak iparnya, A.R. St. Mansur dan kakaknya Fathimah yang tinggal di Pekalongan. Pada awalnya, ayahnya melarangnya untuk berangkat, karena khawatir akan pengaruh faham komunis yang mulai berkembang saat itu. Akan tetapi karena melihat demikian besar keinginan anaknya untuk menambah ilmu pengetahuan dan yakin anaknya tidak akan terpengaruh, maka akhirnya ia diizinkan untuk berangkat. Untuk itu, ia ditumpangkan dengan Marah Intan, seorang saudagar Minangkabau yang hendak ke Yogyakarta dan Pekalongan.

Sesampainya di Yogyakarta, ia tidak langsung ke Pekalongan. Untuk sementara waktu, ia tinggal bersama adik ayahnya, Ja’far Amrullah di desa Ngampilan. Bersama dengan pamannya, ia diajak mempelajari kitab-kitab klasik dengan beberapa ulama waktu itu, seperti Ki Bagus Hadikusumo (tafsir), R.M. Soeryopranoto (sosiologi), KH. Mas Mansur (filsafat dan tarikh Islam), Haji Fachruddin, H.O.S. Tjokroaminoto (Islam dan sosialisme), Mirza Wali Ahmad Baig, A. Hasan Bandung, dan  A.R. Sutan Mansur.

Ketika di Yogyakarta, ia berkenalan dengan teman-teman seusianya. Di antaranya Muhammad Natsir. Di sini, ia mulai berkenalan dengan ide pembaharuan gerakan SI dan Muhammadiyah yang dipimpin A.R. St. Mansur. Kemudian pada tahun 1925, ia berangkat ke Pekalongan dan tinggal selama enam bulan bersama iparnya, A.R. St. Mansur. Ia banyak belajar dari iparnya, baik tentang Islam yang dinamis maupun politik. Di sini ia “berkenalan” dengan ide-ide pembaharuan Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha yang berupaya mendobrak kebekuan umat. Pada bulan Juni 1925, ia pulang ke Maninjau dengan  membawa semangat dan wawasan baru tentang Islam yang dinamis. Adapun buah tangan berharga yang dibawanya adalah beberapa buah karya yang memuat pemikiran dinamis ilmuan muslim waktu itu, antara lain Islam dan Sosialisme (kumpulan dari semua pidato H.O.S. Tjokroaminoto) dan Islam dan Materialisme (salinan merdeka A.D. Hani atas karangan Sayyid Jamaluddin al-Afghani. Dengan berbekal pengalaman dan pengetahuan, baik agama maupun umum, ia telah berani tampil berpidato di muka umum. Untuk membuka wawasannya, ia mulai berlangganan surat kabar dari Jawa. Melalui surat khabar tersebut, ia banyak berkenalan pula dengan ide-ide pembaharuan dan pergerakan umat Islam, baik di Indonesia maupun luar negeri, seperti Haji Agus Salim, Ir. Soekarno, Mustafa Kemal Attaturk, Ibn Sa’ud, Sa’ad Zaghlul Pasya, Syarif Husein, dan lain sebagainya. Meskipun kegandrungan ide pembaharuannya demikian menggelora, bukan berarti ia lupa untuk mendalami adat Minangkabau. Sebagai putra Minang, ia juga mempelajari adat istiadat negerinya dengan Dt. Singo Mangkuto.

Buya Hamka dalam Dokumentasi Ed. Zulverdi

Untuk memperkenalkan semangat modernis tentang wawasan Islam “baru” tersebut, ia awali dengan membuka kursus pidato yang diberi nama “Tabligh Muhammadiyah” pada tahun 1925. Pelaksanaannya dilakukan sekali seminggu dan  mengambil tempat di Surau Jembatan Besi Padangpanjang. Naskah pidato teman-temannya, banyak yang ia sendiri membuatkannya. Kumpulan pidato ini kemudian ia cetak dalam sebuah buku dengan judul Khatib al-Ummah.

Pada tahun 1927, ia berangkat ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji sambil menjadi koresponden pada harian “Pelita Andalas’ di Medan. Sekembalinya dari Mekah, ia tidak langsung pulang ke Minangkabau, akan tetapi singgah di Medan untuk beberapa waktu lamanya. Di Medan, ia banyak menulis artikel dipelbagai  majalah waktu itu, seperti majalah “Seruan Islam” di Tanjung Pura,  pembantu  redaksi “Bintang Islam”, dan “Suara Muhammadiyah” di Yogyakarta. Atas desakan iparnya, A.R. St. Mansur, ia kemudian diajak pulang ke Padangpanjang. Sekembalinya dari tanah suci, dalam satu rapat adat ninik mamak “Nan Kurang Dua Empat Puluh” dalam Nagari Sungai Batang, Engku Datuk Rajo Endah Nan Tuo, memaklumkan Hamka dengan gelar Datuk Indomo, gelar pusaka turun temurun dalam suku Tanjung.

Pada tanggal 5 April 1929  ia kemudian dinikahkan dengan Siti Raham binti Endah Sutan (anak mamaknya). Dari perkawinannya dengan Siti Raham, ia dikarunia 11 orang anak. Mereka antara lain Hisyam (meninggal usia 5 tahun), Zaky, Rusydi, Fakhri, Azizah, Irfan, ‘Aliyah, Fathiyah, Hilmi, Afif, dan Syakib. Setelah istrinya meninggal dunia, satu setengah tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1973, ia menikah lagi dengan seorang perempuan asal Cirebon, yaitu Hj. Siti Khadijah.

Kreativitas jurnalistiknya semakin kelihatan melalui beberapa karya tulisnya. Pada tahun 1928, ia menulis buku romannya yang pertama dalam bahasa minang dengan judul “si Sabariah”. Ia juga pemimpin majalah “Kemajuan Zaman” di Medan. Pada tahun 1929, hadir pula buku-bukunya, seperti Sedjarah Sajjidina Abubakar Shiddiq, Ringkasan Tarich Umat Islam, Agama dan Perempuan, Pembela Islam, Adat Minangkabau (buku ini dilarang beredar oleh Kolonial pemerintah Belanda), Agama Islam, Kepentingan Tabligh, Ayat-Ayat Mi’raj, dan lain sebagainya. Dinamika jurnalistiknya terus berkembang dan melahirkan berpuluh-puluh karya tulis, baik yang berbentuk roman, biografi dan otobiografi, tasauf, tafsir, sosial kemasyarakatan, pemikiran pendidikan (Islam), teologi, sejarah, dan fiqh. Namun demikian, tidak semua karyanya tersebut merupakan tulisan secara utuh. Sebagian di antaranya merupakan kumpulan artikel yang tersebar dalam berbagai media massa dan kemudian dibukukan.

Kariernya di Muhammadiyah mulai diperhitungkan, terutama ketika ia menjadi pembicara dengan makalah ‘Agama Islam dan Adat Minangkabau’ pada Kongres Muhammadiyah ke-19 di Bukittinggi tahun 1930. Melalui makalah tersebut, menempatkannya sebagai pembicara yang pertama sekali mencoba mempertalikan antara adat dan agama. Pada awal 1930, ia diajak ayahnya ke Sumatera Timur dan Aceh untuk memenuhi undangan kaum Muhammadiyah di sana. Kemudian pada tahun 1931, ia diundang ke Bengkalis untuk mendirikan cabang Muhammadiyah. Dari sana ia meneruskan perjalanan ke Bagan Siapi-Api, Labuhan Bilik (Pane), Medan, dan kemudian ke Tebing Tinggi, sebagai mubaligh Muhammadiyah. Kepiawaiannya sebagai mubaligh kembali memukau para peserta Kongres Muhammadiyah ke-20 di Yogyakarta  pada tahun 1931, dengan judul  ‘Muhammadiyah di Sumatera’. Dengan kemampuan retorikanya dalam menyampaikan makalah, telah menarik perhatian seluruh peserta kongres, bahkan sampai menangis. Untuk itu, tidak heran jika pada tahun 1932 ia dipercayai oleh pimpinan Muhammdiyah sebagai mubaligh ke Makasar (Sulawesi Selatan) dan pada tahun 1934 sebagai anggota tetap Majlis Konsul Muhammadiyah Sumatera Tengah. Ketika di Makasar, sambil melaksanakan tugasnya sebagai seorang mubaligh Muhammadiyah, ia memanfaatkan masa baktinya dengan sebaik-baiknya, terutama dalam mengembangkan lebih jauh minat sejarahnya. Ia mencoba melacak beberapa manuskrip sejarawan muslim lokal. Bahkan pada masa ini ia muncul sebagai peneliti pribumi pertama yang mengungkap secara luas riwayat ulama besar Sulawesi Selatan, Syeikh Muhammad Yusuf al-Makassari. Bukan itu saja, ketika di Makasar ia juga mencoba menerbitkan majalah pengetahuan Islam yang terbit sekali sebulan. Majalah tersebut diberi nama  “al-Mahdi”. Setiap penerbitan majalah ini dicetak sebanyak 500 eksamplar. Karena faktor biaya, majalah ini hanya mampu bertahan sebanyak 9 nomor. Pada tahun 1934, ia meninggalkan Makasar dan kembali ke Padangpanjang untuk meneruskan cita-citanya dan mengelola Kulliyatul Muballighin antara tahun 1934-1935. Tujuan lembaga ini adalah untuk mencetak para mubaligh. Pada beberapa mata pelajaran penting seperti  ilmu ushul fiqh dan manthiq, ilmu ikhtilaful mazahib (dengan memakai kitab Bidayatul Mujtahid), ilmu tafsir (al-Manar), dan ilmu ‘arudh. Akan tetapi, karena honorarium dari mengajar tak mampu mencukupi kebutuhan keluarganya, maka bulan Januari 1936, ia memutuskan untuk berangkat ke Medan. Di Medan –bersama M. Yunan Nasution– ia mendapat tawaran dari Haji Asbiran Ya’kub dan Mohammad Rasami (bekas sekretaris Muhammadiyah Bengkalis) untuk memimpin majalah mingguan Pedoman Masyarakat dengan gaji sebesar f 17,50. Meskipun melalui banyak rintangan dan kritikan, sampai tahun 1938 peredaran majalah ini berkembang cukup pesat, bahkan oplahnya mencapai 4000 eksamplar setiap penerbitannya.

Melalui rubrik “tasauf modern”, tulisannya telah mengikat hati para pembacanya, baik masyarakat awam maupun kaum intelektual, untuk senantiasa menantikan dan membaca setiap terbitan Pedoman Masyarakat. Pemikiran-pemikirannya yang cerdas yang dituangkannya di Pedoman Masyarakat merupakan alat yang sangat banyak menjadi tali penghubung antara dirinya dengan kaum intelektual lainnya, seperti Natsir, Hatta, Agus Salim, dan Mohammad Isa Anshari.

Ketika zaman pendudukan Jepang (1942), ia masih sempat menerbitkan majalah Semangat Islam. Namun demikian, kehadiran majalah ini tidak bisa menggantikan kedudukan majalah Pedoman Masyarakat yang telah demikian melekat di hati pembacanya. Di tengah-tengah kekecewaan massa terhadap kebijakan Jepang, ia memperoleh kedudukan istimewa dari pemerintah Jepang sebagai anggota Syu Sangi Kai (Dewan Perwakilan Rakyat) pada tahun 1944. Sikap kompromistis dan kedudukannya sebagai “anak emas” Jepang telah menyebabkannya terkucil, dibenci, dan dipadang sinis oleh masyarakat. Kondisi yang tidak menguntungkan ini membuatnya “lari malam” dari kota Medan menuju Padangpanjang pada tahun 1945.

Sesampainya di Padangpanjang, ia dipercayakan untuk memimpin kembali Kulliyatul Muballighin dan menyalurkan kemampuan jurnalistiknya dengan menghasilkan beberapa karya tulis. Di antaranya ; Negara Islam, Islam dan Demokrasi, Revolusi Pikiran, Revolusi Agama, Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi, dan Dari Lembah Cita-Cita. Pada konferensi Muhammadiyah di Padangpanjang pada tahun 1946, ia terpilih sebagai ketua konsul Muhammadiyah Sumatera Timur menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto, sampai tahun 1949.

Setelah tercapainya Persetujuan Roem-Royen pada tanggal 18 Desember 1949, ia memutuskan untuk meninggalkan Minangkabau menuju Jakarta. Di sini, ia menekuni dunia jurnalistik dengan  menjadi koresponden majalah Pemandangan dan Harian Merdeka. Ia kemudian mengarang karya otobiografinya Kenang-Kenangan Hidup (1950). Di samping itu, ia juga aktif di kancah politik melalui Masyumi. Bersama-sama dengan tokoh Masyumi lainnya, ia mendukung gagasan untuk mendirikan negara Indonesia yang berdasarkan Islam. Bersama K.H. Faqih Oesman dan M. Yusuf Ahmad, pada tanggal 15 Juni 1959 ia menerbitkan majalah bulanan Panji Masyarakat. Pada bulan Mei 1960 kontinuitas majalah ini terpaksa ditutup (dibrendel) dan kemudian kembali diterbitkan pada tahun 1967 pada masa pemerintahan Soeharto. Pada tahun 1950, setalah melaksanakan ibadah haji yang kedua kalinya, ia melakukan lawatan ke beberapa negara Arab. Di sini, ia dapat bertemu langsung dengan Thaha Husein dan Fikri Abadah yang karangan mereka selama ini dikenalnya dengan baik. Sepulangnya dari lawatan ini, ia mengarang beberapa buku roman. Di antaranya Mandi Cahaya di Tanah Suci, Di Lembah Sungai Nil, dan Di Tepi Sungai Dajlah.

Secara terperinci, di antara karya-karya Hamka meliputi : Kenang-Kenangan Hidup, Jilid I, II, III, IV cet. 4,  Jakarta, Bulan Bintang, 1979,  Ayahku ; Riwayat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangannya, Jakarta, Pustaka Widjaja, 1958, Khatib al-Ummah, 3 Jilid, Padang Pandjang, tp., 1925, Islam dan Adat, Padang Pandjang, Anwar Rasjid, 1929, Kepentingan Melakoekan Tabligh, Padang Pandjang, Anwar Rasjid, 1929, Bohong di Doenia, cet. 1, Medan, Cerdas, 1939, Agama dan Perempuan, Medan, Cerdas, 1939, Pedoman Moebaligh Islam, cet. 1,  Medan, Bukhandel Islamiah, 1941, Hikmat Isra’ Mi’raj, 1946 (tempat dan penerbit tidak diketahui), Negara Islam, 1946  (tempat dan penerbit tidak diketahui), Islam dan Demokrasi, 1946  (tempat dan penerbit tidak diketahui), Revoloesi Fikiran, 1946  (tempat dan penerbit tidak diketahui), Dibandingkan Ombak Masjarakat, 1946  (tempat dan penerbit tidak diketahui), Moehammadijah Melaloei Tiga Zaman, Padang Pandjang,  Anwar Rasjid, 1946, Revoloesi Agama, Padang Pandjang, Anwar Rasjid, 1946, Sesoedah Naskah Renville, 1947  (tempat dan penerbit tidak diketahui), “Faham Soekarno”, dalam A. Muchlis (ed.)., Tindjaoean Islam Ir. Soekarno, Tebing Tinggi, tp., 1949, Pribadi, 1950  (tempat dan penerbit tidak diketahui), Falsafah Hidoep, cet. 3, Djakarta, Poestaka Pandji Masyarakat, 1950, Falsafah Ideologi Islam, Djakarta, Poestaka Widjaja, 1950, Oerat Toenggang Pantjasila, Djakarta, Keluarga, 1951, Pelajaran Agama Islam, Djakarta, Boelan Bintang, 1952, K.H.A. Dahlan, Djakarta, Sinar Poedjangga, 1952, Perkembangan Tasawoef dari Abad ke Abad, cet. 3, Djakarta, Poestaka Islam, 1957, Pribadi, Djakarta, Boelan Bintang, 1959, Pandangan Hidup Muslim, Jakarta, Bulan Bintang, 1962, Lembaga Hidup, cet. 6, Jakarta, Djajamurni, 1962 (kemudian dicetak ulang di Singapura oleh Pustaka Nasional dalam dua kali cetakan (1995 dan 1999), 1001 Tanya Jawab tentang Islam, Jakarta, CV. Hikmat, 1962, Cemburu, Jakarta, Firma Tekad, 1962, Angkatan Baru, Jakarta, Hikmat, 1962, Exspansi Ideologi, Jakarta, Bulan Bintang, 1963, Pengaruh Muhammad Abduh di Indonesia, Jakarta, Tintamas, 1965 (awalnya merupakan naskah yang disampakannya pada orasi ilmiah sewaktu menerima gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas al-Azhar Mesir, tanggal 21-1-1958), Sayyid Jamaluddin al-Afghani, Jakarta, Bulan Bintang, 1965, Lembaga Hikmat, cet. 4, Jakarta, Bulan Bintang, 1966, Dari Lembah Cita-Cita, cet. 4,  Jakarta, Bulan Bintang, 1967, Hak-Hak Azasi Manusia Dipandang dari Segi Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1968, Gerakan Pembaruan Agama di Minangkabau, Padang, Minang Permai, 1969, Hubungan antara Agama dengan Negara menurut Islam, Jakarta, Pustaka Panjimas, 1970, Islam, Alim-Ulama dan Pembangunan, Jakarta, Pusat dakwah Islam Indonesia, 1971, Islam dan Kebatinan, Jakarta, Bulan Bintang, 1972, Mengembalikan Tasauf ke Pangkalnya, Jakarta, Pustaka Panjimas, 1973, Beberapa Tantangan terhadap Umat Islam di Masa Kini, Jakarta, Bulan Bintang, 1973, Kedudukan Perempuan dalam Islam, Jakarta, Pustaka Panjimas, 1973, Muhammadiyah di Minangkabau, Jakarta, Nurul Islam, 1974, Tanya Jawab Islam Jilid I dan II cet. 2, Jakarta, Bulan Bintang, 1975, Studi Islam, Aqidah, Syari’ah, Ibadah, Jakarta, Yayasan Nurul Iman, 1976, Perkembangan Kebatinan di Indonesia, Jakarta, Yayasan Nurul Islam, 1976, Tasauf, Perkembangan dan Pemurniannya, cet. 8, Jakarta, Yayasan Nurul Islam, 1980, Ghirah dan Tantangan Terhadap Islam, Jakarta, Pustaka Panjimas, 1982, Kebudayaan Islam di Indonesia, Jakarta, Pustaka Panjimas, 1982, Lembaga Budi, cet. 7, Jakarta, Pustaka Panjimas, 1983, Tasauf Modern, cet. 9, Jakarta, Pustaka Panjimas, 1983, Doktrin Islam yang Menimbulkan Kemerdekaan dan Keberanian, Jakarta, Yayasan Idayu, 1983, Islam : Revolusi Ideologi dan Keadilan Sosial, Jakarta, Pustaka Panjimas, 1984, Iman dan Amal Shaleh, Jakarta, Pustaka Panjimas, 1984, Renungan Tasauf, Jakarta, Pustaka Panjimas, 1985, Filsafat Ketuhanan, cet. 2, Surabaya, Karunia, 1985, Keadilan Sosial dalam Islam, Jakarta, Pustaka Antara, 1985, Tafsir al-Azhar, Juz I sampai Juz XXX, Jakarta, Pustaka Panjimas, 1986, Prinsip-prinsip dan Kebijaksanaan Dakwah Islam, Jakarta, Pustaka Panjimas, 1990, Tuntunan Puasa, Tarawih, dan Idul Fitri, Jakarta, Pustaka Panjimas, 1995, Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi, Jakarta, Tekad, 1963, Islam dan Adat Minangkabau, Jakarta, Pustaka Panjimas, 1984, Mengembara di Lembah Nil, Jakarta, NV. Gapura, 1951, Di Tepi Sungai Dajlah, Jakarta, Tintamas, 1953, Mandi Cahaya di Tanah Suci, Jakarta, Tintamas, 1953, Empat Bulan di Amerika, 2 Jilid, Jakarta, Tintamas, 1954, Merantau ke Deli, cet. 7, Jakarta, Bulan Bintang, 1977 (ditulis pada tahun 1939), Si Sabariah, (roman dalam bahasa Minangkabau), Padang Pandjang, tp., 1926 (Buku ini merupakan kisah nyata pembunuhan yang terjadi pada tahun 1915 di Sungai Batang), Laila Majnun, Djakarta, Balai Poestaka, 1932, Salahnya Sendiri, Medan, Cerdas, 1939, Keadilan Ilahi, Medan, Cerdas, 1940, Angkatan Baroe, Medan, Cerdas, 1949, Cahaya Baroe, Djakarta, Poestaka Nasional, 1950, Menoenggoe Bedoek Berboenji, Djakarta, Firma Poestaka Antara, 1950, Teroesir, Djakarta, Firma Poestaka Antara, 1950, Di Dalam Lembah Kehidoepan, (kumpulan cerpen), Djakarta, Balai Poestaka, 1958, Di Bawah Lindoengan Ka’bah, cet. 7, Djakarta, Balai Poestaka, 1957, Toean Direktoer, Djakarta, Djajamurni, 1961, Dijempoet Mamaknja, cet. 3, Djakarta, Mega Bookstrore, 1962, Cermin Kehidoepan, Djakarta, Mega Bookstrore, 1962, Tenggelamnya Kapal Van der Wijk, cet. 13, Jakarta, Bulan Bintang, 1979, Pembela Islam (Tarikh Sayyidina Abubakar Shiddiq), Medan, Pustaka Nasional,  1929, Ringkasan Tarikh Ummat Islam, Medan, Pustaka Nasional,1929, Sedjarah Islam di Soematera, Medan, Pustaka Nasional, 1950, Dari Perbendaharaan Lama, Medan, M. Arbi, 1963, Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao, cet. 1, Jakarta, Bulan Bintang, 1974, Sejarah Umat Islam, 4 Jilid, Jakarta, Bulan Bintang, 1975, Sullam al-Wushul ; Pengantar Ushul Fiqh, Terj. karya Dr. H. Abdul Karim Amrullah, Jakarta, Pustaka Panjimas, 1984, Margaretta Gauthier, Terj. karya Alexander Dumas Jr., cet. 7, Jakarta, Bulan Bintang, 1975, Persatoean Islam, Pembela Islam, Nos. 34 & 36, 1931, Boekti jang Tepat, Pembela Islam, No. 46, 1932, Arkanoel Islam, Makassar, 1932, Majalah “Tentara” (4 nomor), Makassar, 1932, Majalah al-Mahdi (9 nomor), Makassar, 1932, Majalah “Semangat Islam”, Medan 1943, Majalah “Menara”, Padang Panjang, 1946, “K.H.A. Dahlan”, dalam Boekoe Peringatan 40 tahoen Moehammadiyah, Djakarta, Tp. 1952, Almarhoem Ki Bagoes Hadikoesoemo, Hikmah, VII, 30, 18 September 1954, Orthodox and Modernisme, Majalah Pandji Masyarakat, I, No. 2, 1959, Hadji Moehammad Soedjak, Gema Islam, I, No. 15, 1962, Risalah Seminar Sedjarah Masoeknja Islam di Indonesia, Medan, 1963, Masaalah Chilafijah dan tentang Taqlid dan Idjtihad, Gema Islam, II, 1963, Kenang-Kenangan Beberapa Moeballigh Moehammadijah, Gema Islam, II, No. 40, 1963, Hak Azasi Manusia di Pandang dari Segi Islam, Majalah Panji Masyarakat, 1968, Cita-Cita Kenegaraan dalam Ajaran Islam, makalah kuliah umum di Universitas Kristen Jakarta, 1970, Lembaga Fatwa, Majalah Panji Masyarakat, No. 6, 1972,  “Das Verhaeltnis zwischen Religion und Staat im Islam”, dalam Indonesians verantwortliche Gesellschaft; Erlangen, Italiaander, R. (Hrsg)., 1972, Dengan Sekularisasi Pantjasila akan Kosong, Majalah Panji Masyarakat No. 29, Salah Faham Yang Menghebohkan, dalam Panji Masyarakat, No. 121, XIV,  15 Mei 1973, Mensyukuri Tafsir al-Azhar, Majalah Panji Masyarakat, No. 317, Muhammadiyah di Minangkabau, Makalah, Padang, 1975, Pengaruh Islam dalam Sastra Melayu, artikel dalam Islam dan Kebudayaan Melayu, Kuala Lumpur, Kementerian Belia dan Sukan, 1978, Partisipasi Ulama dalam Pembangunan, Panji Masyarakat, No. 154, Thn. 1974, “Dari Hati ke Hati; suatu Komentar terhadap Seminar Pendahuluan Sejarah Islam di Indonesia”, dalam Panji Masyarakat, No. 291 Tahun XXI, 15 Maret 1980,  “Tajdid dan Mujaddid,” dalam Panji Masyarakat, No. 403 / 1 Agustus 1983, “Haji Agus Salim sebagai Sastrawan dan Ulama”, dalam Peringatan Seratus Tahun Haji Agus Salim, Jakarta, Sinar Harapan, 1984, “Hubungan Timbal Balik antara Adat dan Syara’”, dalam Panji Masyarakat, vol. 9 No. 61, tt.

Natsir, Hamka (duduk) dan Isa Anshary, tiga orang politisi sarungan

Sejak tahun 1952 sampai 1981, kariernya mulai menanjak. Berbagai jabatan penting pernah didudukinya antara lain adalah ; memenuhi undangan pemerintah Amerika (1952), anggota komisi kebudayaan di Muangthai (1953), menghadiri peringatan mangkatnya Budha ke-2500 di Burma (1954), menghadiri Konferensi Islam di Lahore (1958), Imam Masjid al-Azhar (Kebayoran Baru), Konferensi Negara-negara Islam di Rabat (1968), Muktamar Masjid di Mekkah 1976), Seminar tentang Islam dan Peradaban di Kuala Lumpur, menghadiri peringatan Seratus Tahun Muhammad Iqbal di Lahore dan Konferensi Ulama di Kairo (1977), Badan Pertimbangan Kebudayaan Kementerian PP dan K, Guru Besar Perguruan Tinggi Islam dan Universitas Islam di Makasar, Penasehat Kementerian Agama, Ketua Dewan Kurator PTIQ, Ketua MUI (1975-1981), dan sejumlah posisi penting lainnya.

Sikapnya yang konsisten terhadap agama dan tidak kompromis terhadap kemungkaran, menyebabkannya acapkali berhadapan dengan berbagai rintangan, terutama terhadap beberapa kebijakan pemerintah. Keteguhan sikapnya ini membuatnya untuk merelakan diri hidup dibalik terali besi (1964-1966). Pada awalnya, HAMKA diasingkan ke Sukabumi, kemudian ke Puncak, Megamendung, dan terakhir dirawat di rumah sakit Persahabatan Rawamangun, sebagai tawanan. Ia juga dengan tegas menolak kebijakan pemerintah memberlakukan RUU Perkawinan tahun 1973. Menurutnya, RUU tersebut secara prinsipil telah bertentangan dengan ajaran Islam. Untuk itu, haram bagi kaum muslim nikah berdasarkan RUU tersebut dan hanya wajib nikah secara Islam. Bahkan ketika  menteri Agama dipegang Alamsyah Ratu Prawiranegara yang berupaya melakukan fatwa dengan diperbolehkannya menyertai peringatan Natal bersama umat Nasrani, ia secara tegas mengharamkannya dan mengecam keputusan tersebut. Meskipun pemerintah mendesaknya agar menarik kembali fatwanya (dengan diiringi berbagai ancaman), akan tetapi ia tetap dengan pendiriannya yang dengan keras dan tegas menolak untuk menariknya. Karena itu, pada tanggal 19 Mei 1981, ia memutuskan untuk melepaskan jabatannya sebagai Ketua MUI.

Fleksibelitas sikapnya terhadap berbagai perbedaan khilafiyah dapat terlihat secara jelas pada ‘tampilan’ majalah Panjimas yang dipimpinnya, terutama pada era awal 1967 sampai menjelang akhir tahun 1970-an yang tampil dengan corak ‘liberal’. Meskipun ide-ide pembaharuan yang dikembangkan Cak Nur menimbulkan kotroversial, baik secara internal maupun eksternal, namun ide-ide tersebut tetap dimuatnya dalam Panjimas.

Pada Pemilu 1955, ia terpilih menjadi anggota DPR mewakili Jawa Tengah. Akan tetapi pengangkatan tersebut ditolak karena merasa tempat tersebut tidak sesuai baginya. Atas desakan A.R. Sutan Mansur, akhirnya Hamka  menerima untuk diangkat menjadi anggota konstituante. Ia juga pernah menjadi pegawai tinggi Departemen Agama selama beberapa waktu, akan tetapi jabatan tersebut akhirnya dilepaskannya.

Pada tahun 1959, ia mendapat anugerah gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas al-Azhar Cairo atas jasa-jasanya dalam penyiaran agama Islam dengan menggunakan bahasa Melayu yang indah.  Kemudian pada 6 Juni 1974, kembali ia memperoleh gelar kehormatan tersebut dari Universitas Kebangsaan Malaysia pada bidang kesusanteraan, serta gelar Profesor dari Universitas Prof. Dr. Moestopo.

Hamka meninggal dunia di Jakarta pada tanggal 24 Juli 1981, dalam usia 73 tahun dan dikebumikan di Tanah Kusir, Jakarta Selatan.

DAFTAR PUSTAKA

Amirhamzah, Yunus, HAMKA Sebagai Pengarang Roman, Jakarta, Puspita Sari Indah, 1993

Azra, Azyumardi, “Prof. Dr. HAMKA Pribadi Institusi MUI”, dalam Azyumardi Azra dan Saiful Umam, (eds.), Tokoh dan Pemimpin Agama ; Biografi Sosial-Intelektual, Jakarta, Litbang Depag RI dan PPIM, 1998

Hamka, Ayahku ; Riwayat Hidup Dr. Haji Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera, Jakarta, Umminda, 1982

Hamka, Kenang-Kenangan Hidup, Jilid I, II, III, IV, Jakarta, Bulan Bintang, 1979

Hamka, Rusydi, Pribadi dan Martabat Buya Prof. Dr. HAMKA, Jakarta, Pustaka Panjimas, 1983,

Martamin, Mardjani, et.al.,  Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Sumatera Barat, Jakarta, Dep. Pendidikan dan Kebudayaan RI., 1982

Martamin, Mardjani, et.al., Sejarah Pendidikan Daerah Sumatera Barat, Jakarta, Dep. Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1997

Nizar, Samsul, Hamka (1908-1981) ; Kajian Sosial-Intelektual dan Pemikirannya Tentang Pendidikan Islam, Disertasi Prog. Doktor PPs IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2001

Panitia Peringatan 70 tahun Buya Prof. Dr. HAMKA, Kenang-Kenangan 70 Tahun Buya HAMKA, Jakarta, Pustaka Panjimas, 1983

Safwan, Mardanas dan Sutrino Kutoyo, (eds.), Sejarah Pendidikan Daerah Sulawesi Selatan, Jakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI., 1980/1981

Salam, Solichin, (peny.), Kenang-Kenangan 70 Tahun Buya HAMKA, Jakarta, Pustaka Nurul Iman 1978

Steenbrink, Karel  A., “HAMKA  (1908-1981) and the Integration of the Islamic Ummah of Indonesia”, dalam Studia Islamika, Vol. I, No. 3, 1994

Tamara, Nasir, (eds.), HAMKA di Mata Hati Umat, Jakarta, Sinar Harapan, 1983

Yusuf, M. Yunan, Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar, Jakarta, Pustaka Panjimas, 1990

Menyambut 101 tahun Hari Kebangkitan Nasional … “HINDARILAH FITNAH …”

Slideshow ini membutuhkan JavaScript.

Menyambut Kebangkitan Nasional ……
Renungan menjelang senja ….
Oleh : Buya H. Masoed Abidin
(JPEG Image, 236×290 pixels)Tangga al Haram

” Wahai orang-orang yang hanya Islam dengan lidahnya,
sementara keimanan belum masuk ke dalam hatinya ;
janganlah kalian menyakiti kaum muslimin dan mencelanya,
dan jangan pula kalian mencari-cari kesalahannya,
karena orang yang mencari-cari kesalahan saudaranya yang muslim
niscaya Allah akan membukkan auratnya,
dan jika seseorang telah dibuka auratnya oleh Allah
niscaya Allah akan membuatnya malu dan terbuka auratnya meskipun di rumahnya sendiri. ”
(HR. At Tirmidzi yang bersumber dari Ibnu Umar r.a)

Melihat kondisi masyarakat di Tanah Air yang kita cintai ini,
kita turut prihatin.
Cobaan dari Allah seakan tidak pernah habis,
musibah demi musibah datang silih berganti
hilang satu datang lagi yang lain, seperti pergantian musim saja.

Penyakit merebak dimana-mana,
baik penyakit fisik atau jasmani,
penyakit hati ataupun ruhani.
Namun demikian,
dari penyakit yang ada,
bila diamati seksama,
maka penyakit hati jauh akan lebih berbahaya.

Kenapa begitu ….???
Bila seorang muslim ditimpa penyakit fisik,
hal itu dapat mengantarkannya menuju kebahagiaan akhirat,
selama ia sabar menghadapinya.

Sesuai dengan sabda Rasulullah SAW:
“Tidak ada seorang muslimpun yang ditimpa gangguan (musibah)
semacam tusukan duri atau yang lebih berat dari padanya
melainkan dengan ujian itu
Allah menghapuskan perbuatan buruknya
serta digugurkan dosa-dosanya
sebagai mana pohon kayu menggugurkan daun-daunnya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Akan tetapi, jika penyakitnya adalah penyakit hati,
seperti hasud, dengki, suka mengumpat, sombong, ria,
suka menfitnah dan lain sebagainya,
apalagi yang sudah kronis,
maka penyakit itu akan menjerusmuskan penderitanya
ke dalam neraka atau menuai siksaan Allah di akhirat kelak.
Na’uzubillah min zalik!

Pada surat Al Hujarat ayat 12,
Allah SWT memperingatkan dalam firman-Nya:
“Hai orang-orang yang beriman,
jauhilah kebanyakan dari berburuksangka,
sesungguhnya sebagian dari berburuk sangka itu adalah dosa
dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain
dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain.
Sukakah salah seorang di antara kamu
memakan bangkai saudaranya yang telah mati?
Maka tentulah kamu merasa jijik karenanya.”

Salah satu penyakit hati yang sedang menyebar
di kalangan masyarakat sekarang ini adalah
menfitnah atau suka menuduh seseorang yang bukan-bukan
akibat dari berburuk sangka.

Hal ini terjadi karena isu-isu (istilah sekarang gosip)
yang tidak benar dan menyebar luas,
yang terlalu cepat kita percayai dan kita telan mentah-mentah
tanpa mengunyah atau chek dan re-chek atau tabayun.

Padahal itu bisa dihindari
kalau kita mau mengaplikasikan ajaran Allah,
seperti yang telah diingatkan di dalam firman Allah
dalam surat Al Hujarat ayat 6 tadi,
dan surat An Nuur ayat 13.

Kedua ayat itu menunjukkan dengan jelas
agar jangan terlalu cepat menerima setiap berita
tanpa mencari kebenarannya terlebih dahulu
dan jangan terlalu mudah menuduh orang
tanpa bukti dan saksi yang dapat dipercaya.

Selain itu, ada pula peringatan kepada si pembawa berita
agar menyadari bahwa kebiasaan berberita bohong itu
atau kebiasaan menyebarkan berita-berita bohong itu
dapat mengubah diri menjadi seorang pendusta.

Menurut asbaabun nuzul (penyebab turun)nya ayat 13 dari surat An Nur
adalah menceritakan peristiwa fisik atau ifki
yaitu peristiwa yang khusus yang menyangkut nash yang umum.
Peristiwa ini menyangkut Siti Aisyah r.a putri Abu Bakar as Siddiq r.a
yang juga adalah istri Rasulullah SAW,
yang dikait-kaitkan dengan sahabat Safwan bin Mu’athal.

Peristiwa semacam itu sangat mungkin terjadi
berulang pada setiap generasi,
dan mungkin saja menghasilkan efek yang serupa
baik yang berkenaan dengan seorang pemimpin
atau pemuka masyarakat.

Di sini terlihat saat dua pihak atau kubu saling bermusuhan,
di mana salalh satu menyadari bahwa mereka tidak mungkin menang
dalam konfrontasi langsung,
di situ akan terbuka peluang
untuk menggunakan teror mental
untuk menghancurkan pihak lainnya.

Cara-cara ini tidak sikap kesatria,
ini adalah sikap pengecut
namun seringkali ampuh hasilnya.

Dan sepertinya bila kita melihat dengan mata batin kita,
hal ini juga sedang terjadi sekarang
pada pemimpin kaum muslimin,
di seantero jagat ini.

Dalam peristiwa ifki (hasutan dan fitnahan) ini,
berita bohong ini dibesar-besarkan oleh kelompok munafiqun
yang dipimpin oleh Abdullah bin Ubay bin Salul
(berasal dari seorang Yahudi).

Mulanya fitnah itu tidak mempengaruhi para sahabat,
tetapi begitu berita bohong itu menyentuh kaum muslimin Madinah yang awam
langsung menjalar dengan cepat
bagaikan api yang membakar daun ilalang yang kering.

Dari peristiwa ifki ini,
ada beberapa hal yang menjadi pegangan kita
yang merupakan pendidikan dari Rasulullah SAW
yang dapat kita lakukan ketika menghadapi isu atau fitnah:

1. Menjauhkan diri kita dari semua kecurigaan dan prasangka yang tidak beralasan.
2. Sebaiknya kita tidak menghiraukan segala macam isu yang tidak ada dasar.
3. Membiarkan hukum bicara terhadap penyebar luasan fitnah-fitnah itu.
4. Janganlah kita memperturutkan hawa nafsu.
5. Jauhi sikap suka membesar-besarkan suatu kabar burung apalagi ikut pula menyebarkannya.
6. Dalam menghadapai suatu fitnah keji, cara yang terbaik janganlah membalasnya dengan fitnah baru.

Ummul Mukminin Sayyidah Aisyah r.a
dalam menghadapai cobaan fitnah berucap:
“Kesabaran itu adalah indah
dan Allah SWT sajalah yang akan menangani
apa yang kalian katakan itu…”

Inilah sikap mulia beliau.
Dan ini adalah adab Islam yang agung
dalam menghadapi atau memperlakukan
orang-orang yang suka menyebarluaskan fitnah itu.

Perlu kita camkan dan kita renungkan
bahwa fitnah dan berita-berita bohong itu
mudah dinyalakan dalam hati manusia
manakala iman yang menjadi pemersatu kita lemah,
karena menghadapi fitnah,
tidak serupa dengan menghadapi musuh yang nyata”.

Iblis laknatullah dan bala tentranya dari jin dan manusia
terus menyebarluaskan virus-virus penyakit hati
untuk menjerumuskan manusia itu,
maka semestinyalah kita selalu waspada,
selalu membentengi diri dengan iman dan taqwa.

Sesuai dengna firman Allah SWT dalam surat An Naas (QS.114) : ayat 1-6.
” Katakanlah, “Aku berlindung kepada Tuhan
(yang memelihara dan menguasdai) manusia….,
Raja manusia ….,
Sembahan manusia….,
dari kejahatan (bisikan) syaithan yang bisa bersembunyi,
dari (golongan) jin dan manusia…”

Wallahu a’lamu bis-shawaab.
Wassalamu’alaikum Wa rahmatullahi Wa barakatuh,
Buya H. Mas’oed Abidin

Buya Hamka dalam Dokumentasi Ed. Zulverdi

Sumbangan pikiran tentang Adat Budaya Minangkabau

ADAT BASANDI SYARAK (ABS), SYARAK BASANDI KITABULLAH (SBK)

Mambangkik Batang Tarandam ABS-BSK Nan Batujuan Supayo

Anak Nagari Minang Naknyo Jadi Pandai Manapiak Mato Padang, Indak Takuik Manantang Matoari, Dapek Malawan Dunia Urang,

Sarato Di Akhiraik Beko Masuak Sarugo

(Membangkitkan Kembali Kesadaran Kolektif Akan Nilai dan Norma Dasar

Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah Untuk Membangun Manusia dan Masyarakat Minangkabau Yang Unggul Dan Tercerahkan)

Setitik Sumbangan Pikiran H. Mas’oed Abidin

ABS SBK Merupakan Batu Pojok Bangunan Masyarakat Minangkabau Yang (Dulu Pernah) Unggul Dan Tercerahkan

Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah merupakan hasil kesepakatan (Piagam Sumpah Satie Bukik Marapalam di awal abad ke 19) dari dua arus besar (”main-streams”) Pandangan Dunia dan Pandangan Hidup (PDPH) Masyarakat Minangkabau yang sempat melewati konflik bersenjata yang melelahkan. Sejarah membuktikan, kesepakatan yang bijak itu telah memberikan peluang tumbuhnya beberapa angkatan ”generasi emas” selama selama lebih satu abad berikutnya. Dalam periode keemasan itu, Minangkabau dikenal sebagai lumbung penghasil tokoh dan pemimpin, baik dari kalangan alim ulama ”suluah bandang anak nagari” maupun ”cadiak pandai” (cendekiawan pemikir dan pemimpin sosial politik) yang berkiprah di tataran nusantara serta dunia internasional. Mereka merupakan ujung tombak kebangkitan budaya dan politik bangsa Indonesia pada awal abad ke 20, serta dalam upaya memerdekakan bangsa ini di pertengahan abad 20. Sebagai kelompok etnis kecil yang hanya kurang dari 3% dari jumlah bangsa ini, peran kunci yang dilakukan oleh sejumlah tokoh besar dan elit pemimpin berbudaya asal Minangkabau telah membuat ”Urang Awak” terwakili-lebih (”over-represented”) di dalam kancah perjuangan dan kemerdekaan bangsa Indonesia ini. (Alhamdulillah, Minangkabau sebagai kelompok etnis kecil pernah berada di puncak piramida bangsa ini (”the pinnacle of the country’s culture, politics and economics”). Putera-puteri terbaik berasal dari budaya Minangkabau pernah menjadi pembawa obor peradaban (”suluah bandang”) bangsa Indonesia ini.

ABS-SBK merupakan landasan yang memberikan lingkungan sosial budaya yang melahirkan kelompok signifikan manusia unggul dan tercerahkan. ABS-SBK dapat diibaratkan ”Surau Kito” tempat pembinaan ”anak nagari” yang ditumbuh-kembangkan menjadi ”nan mambangkik batang tarandam, nan pandai manapiak mato padang, nan bagak manantang mato ari, jo nan abeh malawan dunia urang, dan di akhiraik beko masuak Sarugo ”.

Namun, ”kutiko jalan lah di ubah urang lalu” dan ”lupo kacang di kuliknyo”, maka robohlah ”Surau Kito”. Dan beginilah sekarang nasib atau bagian peran yang berada di tangan etnis Minangkabau yaitu hanyalah sekadar ”nan sayuik-sayuik sampai” atau nyaris tak terdengar. Baa ko kini Baliau Angku Pangulu? Baa ko kini Buya kami? Baa ko kini Cadiak Pandai kami?

Masyarakat Madani Minangkabau adalah Masyarakat Yang Beradat Dan Beradab

Kegiatan hidup masyarakat dipengaruhi oleh berbagai lingkungan tatanan (”system”) pada berbagai tataran (”structural levels”). Yang paling mendasar adalah ”meta-environmental system” yaitu tatanan nilai dan norma dasar sosial budaya berupa Pandangan Dunia dan Pandangan Hidup (PDPH). PDPH ini memengaruhi seluruh aspek kehidupan masyarakat berupa sikap umum dan perilaku serta tata-cara pergaulan masyarakat. PDPH ini merupakan landasan pembentukan pranata sosial budaya yang melahirkan berbagai lembaga formal maupun informal. Pranata sosial budaya (”social and cultural institution”) adalah batasan-batasan perilaku manusia atas dasar kesepakatan bersama yang menjadi ”kesadaran kolektif” di dalam pergaulan masyarakat berupa seperangkat aturan main dalam menata kehidupan bersama. (“humanly devised constraints on actions; rules of the game.”). PDPH merupakan pedoman serta petunjuk perilaku bagi setiap dan masing-masing anggota masyarakat di dalam kehidupan sendiri-sendiri maupun bersama-sama. PDPH memberikan ruang (dan sekaligus batasan-batasan) yang merupakan ladang bagi pengembangan kreatif potensi manusiawi dalam menghasilkan buah karya sosial, budaya dan ekonomi serta karya-karya pemikiran intelektual yang merupakan mesin perkembangan dan pertumbuhan masyarakat di segala bidang kehidupan.

PDPH masyarakat Minangkabau yang dahulu itu (1800-1950) melahirkan angkatan-angkatan “generasi emas” adalah “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”(ABS-SBK). ABS-SBK adalah PDPH yang menata seluruh kehidupan masyarakat Minangkabau dalam arti kata dan kenyataan yang sesungguhnya. Meta-environment yang dibentuk ABS-SBK sebagai PDPH membentuk lembaga pemerintahan ”tigo tungku sajarangan” yang menata kebijakan “macro-level” (dalam hal ini “adat nan sabana adat, adat istiadat, dan adat nan taradat) bagi pengaturan kegiatan kehidupan masyarakat untuk kemaslahatan “anak nagari” Minangkabau. Dengan demikian setiap dan masing-masing anggota pelaku kegiatan sosial, budaya dan ekonomi pada tingkat sektoral (meso-level) maupun tingkat perorangan (micro-level) dapat mengembangkan seluruh potensi dan kreativitasnya sehingga terciptalah manusia dan masyarakat Minangkabau yang unggul dan tercerahkan. Maka dapat dinyatakan bahwa Masyarakat Minangkabau (dahulu itu, 1800-1950) merupakan salah contoh dari Masyarakat Madani Yang Beradat dan Beradab.

Masyarakat Ber-Adat Yang Beradab Hanya Mungkin Jika Dilandasi Kitabullah

Pokok pikiran ”alam takambang jadi guru” menunjukkan bahwa para filsuf dan pemikir Adat Minangkabau (Datuk Perpatih Nan Sabatang dan Datuk Katumanggungan, menurut versi Tambo Alam Minangkabau) meletakkan landasan filosofis Adat Minangkabau atas dasar pemahaman yang mendalam tentang bagaimana bekerjanya alam semesta serta dunia ini termasuk manusia dan masyarakatnya. Mereka telah menjadikan alam semesta menjadi ”ayat dari Nan Bana”. Konsep ”Adaik basandi ka mupakaik, mupakaik basandi ka alua, alua basandi ka patuik, patuik basandi ka Nan Bana, Nan Bana Badiri Sandirinyo” menunjukkan bahwa sesungguhnya para filsuf dan pemikir yang merenda Adat Minangkabau telah mengakui keberadaan dan memahami Nan Bana, Nan Badiri Sandirinyo” .

Adat Minangkabau dibangun di atas ”Peta Realitas” yang dikonstruksikan secara kebahasaan (”linguistic construction of realities”) yang direkam terutama lewat bahasa lisan berupa pepatah, petatah petitih, mamang, bidal, pantun yang secara keseluruhan dikenal juga sebagai Kato Pusako. Lewat berbagai upacara Adat serta kehidupan masyarakat se-hari-hari, Kato Pusako menjadi rujukan di dalam penerapan PDPH di dalam kehidupan masyarakat Minangkabau. Dengan perkataan lain, Adat yang bersendi kepada “Nan Bana” adalah Peta Realitas sekaligus Pedoman serta Petunjuk Jalan Kehidupan Masyarakat Minangkabau.

Sangat sedikit catatan sejarah dengan bukti asli/otentik tentang bagaimana sesungguhnya bentuk dan keberhasilan masyarakat Minangkabau di dalam menjalankan Adat yang bersendikan Nan Bana itu. Sejarah yang dekat (dua tiga abad yang silam) menunjukkan bahwa di dalam kehidupan sehari-hari Masyarakat Minangkabau banyak ditemukan praktek-praktek yang kontra produktif bagi perkembangan masyarakat seperti judi, sabung ayam dan tuak dan lain-lain. Sejarah sebelum ABS-SBK juga belum mencatatkan peran signifikan tokoh-tokoh berasal budaya Minangkabau yang menjadi pembawa obor peradaban di kawasan ini.

Sebaliknya, sesudah ABS-SBK, terjadi semacam lompatan kuantum (”quantum leap”) di dalam budaya Minangkabau, dengan bertumbuh-kembangnya manusia-manusia unggul dan tercerahkan yang muncul menjadi tokoh-tokoh yang berperan penting dalam sejarah kawasan ini. Bagaimana gejala itu bisa diterangkan?.

Masyarakat Minangkabau pra-ABS-SBK adalah Masyarakat Ber-Adat yang bersendikan Nan Bana, Nan Badiri Sandirinyo. Sebagai buah hasil dari konstruksi realitas lewat jalur kebahasaan, hasil penerapannya di dalam kehidupan masyarakat se-hari-hari tergantung kepada sejauh mana ”peta realitas” itu memiliki ”hubungan satu-satu” (”one-to-one relationship”) atau sama sebangun dengan Realitas yang sebenarnya (Nan Bana, Nan Badiri Sandirinyo itu). Terterapkannya berbagai perilaku kontra-produktip oleh beberapa bagian masyarakat menunjukkan bahwa ada kekurangan serta kelemahan dari Adat Minangkakau Sebagai Peta Realitas serta Petunjuk Jalan Kehidupan Bermasyarakat itu. Kekurangan utama yang menjadi akar dari segenap kelemahan yang terperagakan itu adalah ada bagian dari Peta Realitas itu yang ternyata tidak sama sebangun dengan Nan Bana, Nan Badiri Sandirinyo itu.

Kekurangan utama (Peta yang tidak sama sebangun dengan Realitas) itu melahirkan beberapa kekurangan. Kekurangan turunan pertama adalah Adat Minangkabau Sebagai Peta Realitas tidak dilengkapi dengan Pedoman dan Petunjuk yang memadai tentang bagaimana ia seharusnya digunakan. Peta yang tidak dilengkapi dengan bagaimana menggunakannya secara memadai adalah tidak bermanfaat, malah dapat menyesatkan. Kekurangan selanjutnya, tidak dilengkapinya Adat Minangkabau Sebagai Peta Realitas itu dengan Pedoman serta Petunjuk Jalan Kehidupan yang memadai. Peta tanpa petunjuk jalan yang memadai tidak akan membawa kita ke mana-mana. Kekurangan selanjutnya, Adat yang menjadi Pedoman serta Petunjuk Jalan Kehidupan itu tidak dilengkapi dengan pedoman teknis perekayasaan perilaku (”social and behavioral engineering techniques”) yang memadai sehingga rumus-rumus dan resep-resep pembentukan masyarakat sejahtera berkeadilan berdasar Adat Minangkabau tidak dapat diterapkan. Singkat kata, akar segala kekurangan serta sebab-musabab segala kelemahan berupa ketidak-lengkapan serta kurang-kememadai-an itu adalah ketiadaan “hubungan satu-satu” antara Peta Realitas dengan Realitas itu sendiri atau Nan Bana, Nan Badiri Sandirinyo itu.

Peristiwa sejarah yang menghasilkan Piagam Sumpah Satie Bukik Marapalam dapat diibaratkan bagaikan “siriah nan kambali ka gagangnyo, pinang nan kambali ka tampuaknyo”. Dari Adat yang pada akhirnya bersendikan kepada Nan Bana, Nan Badiri Sandirinyo, disepakati menjadi Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”(ABS-SBK). Ketika Adat hanya bersendikan kepada Nan Bana, Nan Badiri Sandirinyo, ada yang kurang dan hilang dalam tali hubungan keduanya, yaitu antara Adat sebagai Pedoman serta Petunjuk Jalan Kehidupan dengan Nan Bana, Nan Badiri Sandirinyo itu yang kita urai-jelaskan tadi.

Dengan diproklamasikannya Adat Basandi Syarak Syarak, dan Syarak Bansandi Kitabullah (ABS-SBK) maka tali hubungan antara Adat Sebagai Pedoman serta Petunjuk Jalan Kehidupan itu dibuhul-eratkan kembali dengan Nan Bana, Nan Sabana-bana Nan Bana, Nan Sabana-bana Badiri Sandirinyo.

Kitabullah adalah Al-Quran. Al Qur’an mengurai-jelaskan segala sesuatu tafshiila li kulli sya’iin” (Surat 12, Yusuf, ayat 111), atau dengan perkataan lain “Peta Realitas Lewat Kebahasaan” yang pasti memiliki hubungan satu-satu atau sama sebangun dengan Realitas itu (“al-haqqu min amri Rabbika”, Al Qur’an Surat ). Al Quran adalah juga Petunjuk dan Pedoman Hidup Bagi Manusia Dan Penjabaran Rinci Dan Jelas Dari Petunjuk/Pedoman Serta Tolok Ukur Kebenaram. (“hudal linnaasi wa bayyinatin minal huda wal furqaan” Q.S 2, Al-Baqarah Ayat 184).

Penerapan Al-Qur’an yang merupakan Ajaran Allah menurut Teladan Nabi Muhammad s.a.w. (atau Sunnah Rasulullah) telah mentransformasikan masyarakat Jahiliyah empat belas abad yang lalu menjadi Pembawa Obor Peradaban. Selama tidak kurang tujuh dari abad, kebudayaan dan peradaban yang ditegakkan atas Ajaran Al Quran telah mendominasi Dunia Beradab. Kekalahan dan keterpinggiran yang terjadi sampai hari disebabkan berbagai faktor yang utamanya karena meninggalkan ke dua panduan hidup itu Al Quran dan Sunnah Rasulullah. (Taraktu fi kuum amraiin, Al Quran wa sunnaturarasuul,……. al hadith, riwayat …………………….).

Itu pulalah yang tampaknya terjadi dengan Masyarakat Minangkabau ketika menerapkan ABS-SBK secara “murni dan konsekwen”. Walau berada dalam lingkungan nasional dan internasional yang sulit penuh tantangan, yaitu zaman kolonialisme dan perjuangan melawan penjajahan, budaya Minangkabau yang berazaskan ABS-SBK telah terbukti mampu menciptakan lingkungan yang menghasilkan jumlah yang signifikan tokoh-tokoh yang menjadi pembawa obor peradaban di kawasan ini. Rentang sejarah itu membuktikan bahwa penerapan ABS-SBK telah memberikan lingkungan sosial budaya yang subur bagi seluruh anggota masyarakat dalam mengembangkan segenap potensi dan kreativitasnya sehingga terciptalah manusia dan masyarakat Minangkabau yang unggul dan tercerahkan.

Krisis Budaya Minangkabau Merupakan Miniatur Dari Krisis Peradaban Manusia Abad Mutakkhir

Budaya Minangkabau memang mengalami krisis, karena lebih dari setengah abad terakhir ini tidak melahirkan tokoh-tokoh yang memiliki peran sentral di dalam berbagai segi kehidupan di tataran nasional apatah lagi di tataran kawasan dan tataran global. Budaya Minangkabau selama setengah abad terakhir ini gagal membentuk lingkungan sosial ekonomi yang subur bagi persemaian manusia serta masyarakat unggul dan tercerahkan.

Dalam satu sudut pandang, krisis budaya Minangkabau menggambarkan krisis yang dihadapi Ummat Manusia pada Alaf atau Millennium ke Tiga ini. Salah satu isu yang menjadi kehebohan Dunia akhir-akhir ini adalah isu Perubahan Iklim (“Climate Change”). Perubahan Iklim telah dirasakan sebagai ancaman serius bagi keberlangsungan/keberlanjutan keberadaan Umat Manusia di bumi yang hanya satu ini. Perubahan iklim disebabkan oleh berbagai kegiatan manusia yang memengaruhi lingkungan sedemikian rupa sehingga mengurangi daya-dukungya sebagai tempat hidup dan sumber kehidupan manusia.

Kemajuan ilmu yang dapat dianggap sebagai “Peta Alam Terkembang” telah menambah pemahaman manusia akan bagaimana bekerjanya alam semesta ini, sehingga “manusia mampu menguasai alam”. Penerapan ilmu dalam berbagai teknologi telah meningkatkan kemampuan manusia untuk memanfaatkan alam sesuai berbagai keinginan manusia. Terjadinya Perubahan Iklim menunjukkan bahwa “penguasaan manusia terhadap alam lingkungan” telah menyebabkan perubahan yang tidak dapat balik (“irreversible”) terhadap alam itu sendiri. Dan ternyata, Perubahan Iklim sangat mungkin mengancam keberadaan manusia di muka bumi ini.

Dari sisi kemanusiaan, ada beberapa kemungkinan penyebab. Kemungkinan pertama, mungkin Ilmu sebagai Peta Alam Terkembang tidak mampu memperkirakan terlebih dahulu apa yang sekarang telah menjadi Perubahan Iklim yang tidak dapat balik itu. Dengan perkataan lain Ilmu sebagai Peta Alam Terkembang ternyata tidak sama dengan Realitas Di Alam Nyata. (Artinya ada “batas Ilmu”, yaitu wilayah dimana “ignora mus et ignozabi mus”, kita manusia tidak tahu, dan tidak akan pernah tahu atau memiliki ilmu tentang itu.

Kemungkinan kedua, para ilmuwan telah “lebih dahulu memahami apa yang bakal terjadi”, namun tidak memiliki ilmu yang dapat diterapkan untuk merubah perilaku manusia dan masyarakat. Jadi, Peta Ilmuwan tentang Manusia dan Masyarakat tidak sama dengan Realitas Di Dalam Diri Manusia Dan Masyarakat. Singkat kata, apa yang ada dalam benak manusia moderen (baik ilmu maupun isme-isme) yang menjadi kesadaran kolektif yang secara keseluruhan membentuk Pandangan Dunia dan Pandang Hidup (PDPH) mereka ternyata tidak sama sebangun dengan Realitas. Dengan begitu, ketika PDHP itu menjadi acuan perilaku serta kegiatan perorangan dan bersama-sama, tentu saja dan pasti telah membawa kepada bencana, antara lain, berupa Perubahan Iklim yang kemungkinan besar tidak dapat balik itu.

Manusia moderen sangat berbangga dengan berbagai ismeisme yang dikembangkannya serta meyakini kebenarannya di dalam memahami manusia serta mengatur kehidupan bersama di dalam masyarakat. Kapitalisme, liberalisme dan isme-isme lain telah menjadi semacam berhala yang dipuja serta diterapkan dalam kehidupan masyarakat di kebanyakan belahan Dunia. Hasil penerapan isme-isme itulah yang sekarang memicu berbagai krisis global di Millennium atau Alaf Ketiga ini.

Jika kita merujuk kepada Kitabullah, yaitu Al-Qur’an, kita akan menemukan gejala dan sebab-sebab dari Perubahan Iklim yang mendera Umat Manusia. Salah satu ayat Al-Qur’an menyatakan: “…..Telah menyebar kerusakan di muka bumi akibat ulah manusia” (Al Qur’an Surat… Ayat…….). Perilaku manusia-lah penyebab semua kerusakan itu.

Dan penyebab perilaku merusak manusia ialah penyembahan berhala, berupa ilmu ataupun isme-isme yang ternyata tidak memiliki hubungan satu-satu dengan kenyataan di alam semesta termasuk di dalam diri manusia dan masyarakat. Salah satau ayat dalam Al-Qur’an Surat 12, Yusuf , Ayat 40, sebagai berikut

Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun tentang nama-nama itu. Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”

Keyakinan, yang tidak berdasar, akan kebenaran isme-isme itulah yang dapat digolongkan sebagai berhala berupa semacam pemujaan oleh manusia moderen. Manusia memiliki kemampuan terbatas untuk menguji kesebangunan antara apa yang ada dalam pikirannya dengan apa yang sesungguhnya ada dalam Realitas. Isme-isme itu serta keyakinan berlebihan akan keampuhan Ilmu hasil pemikiran manusia hanyalah sekadar ” nama-nama yang dibuat-buat saja” atau sama dengan khayalan manusia saja. Dan, disebutkan dalam Al-Quran bahwa jenis manusia yang demikian telah “mempertuhan diri dan hawa nafsunya”. (Rujukan Al-Qur’an Surat……………. Ayat ………………..)

Dengan keterbatasan itu bagaimana manusia mungkin meneruka jalan keselamatan di alam semesta paling tidak dalam menjalani kehidupan di Dunia ini? Al-Qur’an menyebutkan bahwa manusia tidak ditinggalkan di dalam kebingungan. (Rujukan Al Qur’an…………………. Surat………………). Diturunkanlah para Rasul dengan membawa Kitab Suci, yang paling terakhir Al Qur’an sebagai Peta Realitas serta Petunjuk dan Pedoman Hidup Bagi Manusia Dan Penjabaran Rinci Dan Jelas Dari Petunjuk/Pedoman Serta Tolok Ukur Kebenaram dalam menjalani hidup di bumi yang fana ini.

Simpulannya, krisis global yang dihadapi manusia moderen disebabkan karena kebanyakan mereka mempercayai apa yang tidak layak diyakini berupa isme-isme karena mereka telah menuhankan diri dan nafsu mereka sendiri. Kebanyakan manusia moderen telah menjauh dari agama langit, bahkan dari agama itu sendiri, dalam pikiran apalagi dalam perbuatan dan kegiatan mereka.

Jika dikaitkan dengan kondisi dan situasi masyarakat Minangkabau di abad ke 21 ini, mungkin telah ada jarak yang cukup jauh antara ABS-SBK sebagai konsep PDPH (Pandangan Dunia dan Pandangan Hidup) dengan kenyataan kehidupan sehari-hari. Asumsi atau dugaan ini menjadi penjelas serta alasan kenapa budaya Minangkabau selama setengah abad terakhir ini gagal membentuk lingkungan sosial ekonomi yang subur bagi persemaian manusia serta masyarakat unggul dan tercerahkan

Masyarakat Unggul dan Tercerahkan Mampu Mencetak SDM Unggul Yang Tercerahkan Yaitu Para Ulul Albaab.

Siapakah manusia unggul yang tercerahkan itu. Barangkali konsep yang menyamai serta t digali dari Al-Qur’an adalah para “Ulul Albaab”. Dalam Surat Ali Imran, Surat ke 3, Ayat 190 s/d 194 , disebutkan sebagai berikut

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ (190) الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ (191) رَبَّنَا إِنَّكَ مَنْ تُدْخِلِ النَّارَ فَقَدْ أَخْزَيْتَهُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ (192) رَبَّنَا إِنَّنَا سَمِعْنَا مُنَادِيًا يُنَادِي لِلْإِيمَانِ أَنْ آمِنُوا بِرَبِّكُمْ فَآمَنَّا رَبَّنَا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَكَفِّرْ عَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ الْأَبْرَارِ (193) رَبَّنَا وَآتِنَا مَا وَعَدْتَنَا عَلَى رُسُلِكَ وَلَا تُخْزِنَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّكَ لَا تُخْلِفُ الْمِيعَادَ (194)

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,(3:190).(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.(3:191).Ya Tuhan kami, sesungguhnya barangsiapa yang Engkau masukkan ke dalam neraka, maka sungguh telah Engkau hinakan ia, dan tidak ada seorang penolong pun bagi orang-orang yang zalim.(3:192).Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman, (yaitu): “Berimanlah kamu kepada Tuhanmu”, maka kamipun beriman. Ya Tuhan kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang banyak berbakti.(3:193)Ya Tuhan kami, berilah kami apa yang telah Engkau janjikan kepada kami dengan perantaraan rasul-rasul Engkau. Dan janganlah Engkau hinakan kami di hari kiamat. Sesungguhnya Engkau tidak menyalahi janji.”(3:194)

Bagi para “uluul albaab” seluruh gejala di alam semesta ini merupakan tanda-tanda. Tanda-tanda merupakan sesuatu yang merujuk kepada yang lain di luar dirinya. Menjadikan gejala sebagai tanda berarti membuat makna yang berada disebalik tanda itu.

Misalnya, kalau kita memperhatikan bahwa bulan menyajikan berbagai bentuk di langit pada malam hari – mulai dari garis lengkung putih berangsur jadi bulan sabit, akhirnya jadi bulan purnama untuk kembali lagi mengecil – kita sebagai makhluk yang memiliki keingin-tahuan yang besar akan bertanya:”Kenapa demikian? Apa yang membuatnya demikian? Bagaimana prosesnya?”. Proses menjawab pertanyaan itu disebut berpikir yang terarah. Hasil berpikir adalah pikiran tentang sebagian dari kenyataan. Dengan perkataan berpikir akan menghasilkan semacam “peta bagian kenyataan” yang dipikirkan. Hikmah yang dikandung Al-Qur’an hanya dipahami oleh “ulul albaab” yaitu mereka yang mau berpikir dan merenungkan secara meluas, mendalam tentang apa yang perlu dan patut dipahami dengan maksud agar mengerucut kepada beberapa simpulan kunci.

Para “ulul albaab” adalah mereka yang unggul dan tercerahkan, yang di dalam dirinya zikir dan fikir menyatu. Zikir disini bukan sekadar mengingat Allah s.w.t dengan segala Asmaul-Husna-Nya, tapi harus dipahami lebih luas sebagai hidup dengan penuh kesadaran akan keberadaan Allah s.w.t dengan segenap aspek hubungan-Nya dengan manusia dan segenap makhluk Ciptaan-Nya. Fikir berarti membuat Peta Kenyataan sesuai dengan Petunjuk dan Ajaran Allah s.w.t. sebagaimana diurai-jelaskan oleh Al-Qur’an serta ditafsirkan dan diterapkan oleh Rasullullah lewat Sunnahnya sebagai Teladan Utama (Uswatun Hasanah).

Simpulannya, penerapan ABS-SBK mengharuskan kehidupan perorangan serta pergaulan masyarakat Minangkabau berakar dari dan berpedoman kepada Al-Quran serta Sunnah Rasullullah. Hanya dengan demikianlah, ABS-SBK dapat membentuk lingkungan sosial-budaya yang akan mampu menghasilkan manusia dan masyarakat Minangkabau yang unggul dan tercerahkan yang berintikan para “ulul albaab” sebagai tokoh dan pimpinan masyarakat. Manusia seperti itulah barangkali yang dimaksudkan oleh Kato Pusako “Nan Pandai Manapiak Mato Padang, Nan Indak Takuik Manantang Matoari, Nan Dapek Malawan Dunia Urang, Sarato Di Akhiraik Beko Masuak Sarugo“.

Kekerabatan Matrilinial
Sistem matrilineal adalah suatu sistem yang mengatur kehidupan dan ketertiban suatu masyarakat yang terikat dalam suatu jalinan kekerabatan dalam garis ibu. Seorang anak laki-laki atau perempuan merupakan klen dari perkauman ibu. Ayah tidak dapat memasukkan anaknya ke dalam klen-nya sebagaimana yang berlaku dalam sistem patrilineal. Oleh karena itu, waris dan pusaka diturunkan menurut garis ibu pula.
Menurut Muhammad Radjab (1969) sistem matrilineal mempunyai ciri-cirinya sebagai berikut;

1. Keturunan dihitung menurut garis ibu.

2. Suku terbentuk menurut garis ibu

3. Tiap orang diharuskan kawin dengan orang luar sukunya (exogami)

4. Pembalasan dendam merupakan satu kewajiban bagi seluruh suku

5. Kekuasaan di dalam suku, menurut teori, terletak di tangan “ibu”, tetapi jarang sekali dipergunakan, sedangkan

6. Yang sebenarnya berkuasa adalah saudara laki-lakinya

7. Perkawinan bersifat matrilokal, yaitu suami mengunjungi rumah istrinya

8. Hak-hak dan pusaka diwariskan oleh mamak kepada kemenakannya dan dari saudara laki-laki ibu kepada anak dari saudara perempuan.

Sistem kekerabatan ini tetap dipertahankan masyarakat Minangkabau sampai sekarang. Bahkan selalu disempurnakan sejalan dengan usaha menyempurnakan sistem adatnya. Terutama dalam mekanisme penerapannya di dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu peranan seorang penghulu ataupun ninik mamak dalam kaitan bermamak berkemanakan sangatlah penting. Bahkan peranan penghulu dan ninik mamak itu boleh dikatakan sebagai faktor penentu dan juga sebagai indikator, apakah mekanisme sistem matrilineal itu berjalan dengan semestinya atau tidak. Jadi keberadaan sistem ini tidak hanya terletak pada kedudukan dan peranan kaum perempuan saja, tetapi punya hubungkait yang sangat kuat dengan institusi ninik mamaknya di dalam sebuah kaum, suku atau klen.
Sebagai sebuah sistem, matrilineal dijalankan berdasarkan kemampuan dan berbagai penafsiran oleh pelakunya; ninik-mamak, kaum perempuan dan anak kemenakan. Akan tetapi sebuah uraian atau perincian yang jelas dari pelaksanaan dari sistem ini, misalnya ketentuan-ketentuan yang pasti dan jelas tentang peranan seorang perempuan dan sanksi hukumnya kalau terjadi pelanggaran, ternyata sampai sekarang belum ada. Artinya tidak dijelaskan secara tegas tentang hukuman jika seorang Minang tidak menjalankan sistem matrilineal tersebut. Sistem itu hanya diajarkan secara turun temurun kemudian disepakati dan dipatuhi, tidak ada buku rujukan atau kitab undang-undangnya. Namun begitu, sejauh manapun sebuah penafsiran dilakukan atasnya, pada hakekatnya tetap dan tidak beranjak dari fungsi dan peranan perempuan itu sendiri. Hal seperti dapat dianggap sebagai sebuah kekuatan sistem tersebut yang tetap terjaga sampai sekarang.
Pada dasarnya sistem matrilineal bukanlah untuk mengangkat atau memperkuat peranan perempuan, tetapi sistem itu dikukuhkan untuk menjaga, melindungi harta pusaka suatu kaum dari kepunahan, baik rumah gadang, tanah pusaka dan sawah ladang. Bahkan dengan adanya hukum faraidh dalam pembagian harta menurut Islam, harta pusaka kaum tetap dilindungi dengan istilah “pusako tinggi”, sedangkan harta yang boleh dibagi dimasukkan sebagai “pusako randah”.
Dalam sistem matrilineal perempuan diposisikan sebagai pengikat, pemelihara dan penyimpan, sebagaimana diungkapkan pepatah adatnya amban puruak atau tempat penyimpanan. Itulah sebabnya barangkali, dalam penentuan peraturan dan perundang-undangan adat, perempuan tidak diikut sertakan. Perempuan menerima bersih tentang hak dan kewajiban di dalam adat yang telah diputuskan sebelumnya oleh pihak ninik mamak.
Perempuan menerima hak dan kewajibannya tanpa harus melalui sebuah prosedur apalagi bantahan. Hal ini disebabkan hak dan kewajiban perempuan itu begitu dapat menjamin keselamatan hidup mereka dalam kondisi bagaimanapun juga. Semua harta pusaka menjadi milik perempuan, sedangkan laki-laki diberi hak untuk mengatur dan mempertahankannya. Perempuan tidak perlu berperan aktif seperti ninik mamak. Perempuan Minangkabau yang memahami konstelasi seperti ini tidak memerlukan lagi atau menuntut lagi suatu prosedur lain atas hak-haknya. Mereka tidak memerlukan emansipasi lagi, mereka tidak perlu dengan perjuangan gender, karena sistem matrilineal telah menyediakan apa yang sesungguhnya diperlukan perempuan. Para ninik-mamak telah membuatkan suatu “aturan permainan” antara laki-laki dan perempuan dengan hak dan kewajiban yang berimbang antar sesamanya.

Oleh karena itulah institusi ninik-mamak menjadi penting dan bahkan sakral bagi kemenakan dan sangat penting dalam menjaga hak dan kewajiban perempuan. Keadaan seperti ini sudah berlangsung lama, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, dengan segala plus minusnya. Keunggulan dari sistem ini adalah, dia tetap bertahan walau sistem patrilineal juga diperkenalkan oleh Islam sebagai sebuah sistem kekerabatan yang lain pula. Sistim matrilieal tidak hanya jadi sebuah “aturan” saja, tetapi telah menjadi semakin kuat menjadi suatu budaya, way of live, kecenderungan yang paling dalam diri dari setiap orang Minangkabau. Sampai sekarang, pada setiap individu laki-laki Minang misalnya, kecenderungan mereka menyerahkan harta pusaka, warisan dari hasil pencahariannya sendiri, yang seharusnya dibagi menurut hukum faraidh kepada anak-anaknya, mereka lebih condong untuk menyerahkannya kepada anak perempuannya. Anak perempuan itu nanti menyerahkan pula kepada anak perempuannya pula. Begitu seterusnya. Sehingga Tsuyoshi Kato dalam disertasinya menyebutkan bahwa sistem matrilineal akan semakin menguat dalam diri orang-orang Minang walaupun mereka telah menetap di kota-kota di luar Minang sekalipun. Sistem matrilineal tampaknya belum akan meluntur sama sekali, walau kondisi-kondisi sosial lainnya sudah banyak yang berubah.

Untuk dapat menjalankan sistem itu dengan baik, maka mereka yang akan menjalankan sistem itu haruslah orang Minangkakabu itu sendiri. Untuk dapat menentukan seseorang itu orang Minangkabau atau tidak, ada beberapa ketentuannya, atau syarat-syarat seseorang dapat dikatakan sebagai orang Minangkabau.
Syarat-syarat seseorang dapat dikatakan orang Minangkabau;

1. Basuku (bamamak bakamanakan)

2. Barumah gadang

3. Basasok bajarami

4. Basawah baladang

5. Bapandan pakuburan

6. Batapian tampek mandi

Seseorang yang tidak memenuhi ketentuan itu dianggap “orang kurang” atau tidak sempurna. Bagi seseorang yang ingin menjadi orang Minang juga dibuka pintunya dengan memenuhi berbegai persyaratan pula. Dalam istilah inggok mancangkam tabang basitumpu. Artinya orang itu harus masuk ke dalam sebuah kaum atau suku, mengikuti seluruh aturan-aturannya.
Ada empat aspek penting yang diatur dalam sistem matrilienal;

a. Pengaturan harta pusaka

Harta pusaka yang dalam terminologi Minangkabau disebut harato jo pusako. Harato adalah sesuatu milik kaum yang tampak dan ujud secara material seperti sawah, ladang, rumah gadang, ternak dan sebagainya. Pusako adalah sesuatu milik kaum yang diwarisi turun temurun baik yang tampak maupun yang tidak tampak. Oleh karena itu di Minangkabau dikenal pula dua kata kembar yang artinya sangat jauh berbeda; sako dan pusako.
1. Sako
Sako adalah milik kaum secara turun temurun menurut sistem matrilineal yang tidak berbentuk material, seperti gelar penghulu, kebesaran kaum, tuah dan penghormatan yang diberikan masyarakat kepadanya. Sako merupakan hak bagi laki-laki di dalam kaumnya. Gelar demikian tidak dapat diberikan kepada perempuan walau dalam keadaan apapun juga. Pengaturan pewarisan gelar itu tertakluk kepada sistem kelarasan yang dianut suku atau kaum itu. Jika mereka menganut sistim kelarasan Koto Piliang, maka sistem pewarisan sakonya berdasarkan; patah tumbuah. Artinya, gelar berikutnya harus diberikan kepada kemenakan langsung dari si penghulu yang memegang gelar itu. Gelar demikian tidak dapat diwariskan kepada orang lain dengan alasan papun juga. Jika tidak ada laki-laki yang akan mewarisi, gelar itu digantuang atau dilipek atau disimpan sampai nanti kaum itu mempunyai laki-laki pewaris. Jika mereka menganut sistem kelarasan Bodi Caniago, maka sistem pewarisan sakonya berdasarkan hilang baganti. Artinya, jika seorang penghulu pemegang gelar kebesaran itu meninggal, dia dapat diwariskan kepada lelaki di dalam kaum berdasarkan kesepakatan bersama anggota kaum itu. Pergantian demikian disebut secara adatnya gadang balega.
Di dalam halnya gelar kehormatan atau gelar kepenghuluan (datuk) dapat diberikan dalam tiga tingkatan:
* Gelar yang diwariskan dari mamak ke kemenakan. Gelar ini merupakan gelar pusaka kaum sebagaimana yang diterangkan di atas. Gelar ini disebut sebagai gelar yang mengikuti kepada perkauman yang batali darah.
* Gelar yang diberikan oleh pihak keluarga ayah (bako) kepada anak pisangnya, karena anak pisang tersebut memerlukan gelar itu untuk menaikkan status sosialnya atau untuk keperluan lainnya. Gelar ini hanya gelar panggilan, tetapi tidak mempengaruhi konstelasi dan mekanisme kepenghuluan yang telah ada di dalam kaum. Gelar ini hanya boleh dipakai untuk dirinya sendiri, seumur hidup dan tidak boleh diwariskan kepada yang lain; anak apalagi kemenakan. Bila si penerima gelar meninggal, gelar itu akan dijemput kembali oleh bako dalam sebuah upacara adat. Gelar ini disebut sebagai gelar yang berdasarkan batali adat.
* Gelar yang diberikan oleh raja Pagaruyung kepada seseorang yang dianggap telah berjasa menurut ukuran-ukuran tertentu. Gelar ini bukan gelar untuk mengfungsinya sebagai penghulu di dalam kaumnya sendiri, karena gelar penghulu sudah dipakai oleh pengulu kaum itu, tetapi gelaran itu adalah merupakan balasan terhadap jasa-jasanya. Gelaran ini disebut secara adat disebabkan karena batali suto. Gelar ini hanya boleh dipakai seumur hidupnya dan tidak boleh diwariskan. Bila terjadi sesuatu yang luar biasa, yang dapat merusakkan nama raja, kaum, dan nagari, maka gelaran itu dapat dicabut kembali.
2. Pusako
Pusako adalah milik kaum secara turun temurun menurut sistem matrilineal yang berbentuk material, seperti sawah, ladang, rumah gadang dan lainnya. Pusako dimanfaatkan oleh perempuan di dalam kaumnya. Hasil sawah, ladang menjadi bekal hidup perempuan dengan anak-anaknya. Rumah gadang menjadi tempat tinggalnya. Laki-laki berhak mengatur tetapi tidak berhak untuk memiliki. Karena itu di Minangkabau kata hak milik bukanlah merupakan kata kembar, tetapi dua kata yang satu sama lain artinya tetapi berada dalam konteks yang sama. Hak dan milik. Laki-laki punya hak terhadap pusako kaum, tetapi dia bukan pemilik pusako kaumnya.
Dalam pengaturan pewarisan pusako, semua harta yang akan diwariskan harus ditentukan dulu kedudukannya. Kedudukan harta pusaka itu terbagi dalam;
a. Pusako tinggi.
Harta pusaka kaum yang diwariskan secara turun temurun berdasarkan garis ibu. Pusaka tinggi hanya boleh digadaikan bila keadaan sangat mendesak sekali hanya untuk tiga hal saja; pertama, gadih gadang indak balaki, kedua, maik tabujua tangah rumah, ketiga, rumah gadang katirisan. Selain dari ketiga hal di atas harta pusaka tidak boleh digadaikan apalagi dijual.
b. Pusako randah.
Harta pusaka yang didapat selama perkawinan antara suami dan istri. Pusaka ini disebut juga harta bawaan, artinya modal dasarnya berasal dari masing-masing kaum. Pusako randah diwariskan kepada anak, istri dan saudara laki-laki berdasarkan hukum faraidh, atau hukum Islam.
Namun dalam berbagai kasus di Minangkabau, umumnya, pusako randah ini juga diserahkan oleh laki-laki pewaris kepada adik perempuannya. Tidak dibaginya menurut hukum faraidh tersebut. Inilah mungkin yang dimaksudkan Tsuyoshi Kato bahwa sistem matrilineal akan menguat dengan adanya keluarga batih. Karena setiap laki-laki pewaris pusako randah akan selalu menyerahkan harta itu kepada saudara perempuannya. Selanjutanya saudara perempuan itu mewariskan pula kepada anak perempuannya. Begitu seterusnya. Akibatnya, pusako randah pada mulanya, dalam dua atau tiga generasi berikutnya menjadi pusako tinggi pula.
b. Peranan laki-laki
Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa kedudukan laki-laki dan perempuan berada dalam posisi seimbang. Laki-laki punya hak untuk mengatur segala yang ada di dalam perkauman, baik pengaturan pemakaian, pembagian harta pusaka, perempuan sebagai pemilik dapat mempergunakan semua hasil itu untuk keperluannya anak beranak. Dalam hal ini peranan laki-laki di dalam dan di luar kaumnya menjadi sesuatu yang harus dijalankannya dengan seimbang dan sejalan.
Sebagai kemenakan
Di dalam kaumnya, seorang laki-laki bermula sebagai kemenakan (atau dalam kotensk lain disebutkan; ketek anak urang, lah gadang kamanakan awak). Sebagai kemenakan dia harus mematuhi segala aturan yang ada di dalam kaum. Belajar untuk mengetahui semua aset kaumnya dan semua anggota keluarga kaumnya. Oleh karena itu, ketika seseorang berstatus menjadi kemenakan, dia selalu disuruh ke sana ke mari untuk mengetahui segala hal tentang adat dan perkaumannya. Karenanya, peranan Surau menjadi penting, karena Surau adalah sarana tempat mempelajari semua hal itu baik dari mamaknya sendiri maupun dari orang lain yang berada di surau tersebut.
Dalam menentukan status kemenakan sebagai pewaris sako dan pusako, anak kemenakan dikelompokan menjadi tiga kelompok:
a. Kemenakan di bawah daguak
b. Kemenakan di bawah pusek
c. Kemenakan di bawah lutuik
Kemenakan di bawah daguak adalah penerima lansung waris sako dan pusako dari mamaknya. Kemenakan di bawah pusek adalah penerima waris apabila kemenakan di bawah daguak tidak ada (punah). Sedangkan kemenakan di bawah lutuik, umumnya tidak diikutkan dalam pewarisan sako dan pusako kaum.
Sebagai mamak
Pada giliran berikutnya, setelah dia dewasa, dia akan menjadi mamak dan bertanggung jawab kepada kemenakannya. Mau tidak mau, suka tidak suka, tugas itu harus dijalaninya. Dia bekerja di sawah kaumnya untuk saudara perempuannya anak-beranak yang sekaligus itulah pula kemenakannya. Dia mulai ikut mengatur, walau tanggung jawab sepenuhnya berada di tangan mamaknya yang lebih tinggi, yaitu penghulu kaum.
Sebagai penghulu
Selanjutnya, dia akan memegang kendali kaumnya sebagai penghulu. Gelar kebesaran diberikan kepadanya, dengan sebutan datuk. Seorang penghulu berkewajiban menjaga keutuhan kaum, mengatur pemakaian harta pusaka. Dia juga bertindak terhadap hal-hal yang berada di luar kaumnya untuk kepentingan kaumnya. Oleh karena itu, setiap laki-laki terhadap kaumnya selalu diajarkan; kalau tidak dapat menambah (maksudnya harta pusaka kaum), jangan mengurangi (maksudnya, menjual, menggadai atau menjadikan milik sendiri).
Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa peranan seorang laki-laki di dalam kaum disimpulkan dalam ajaran adatnya;
Tagak badunsanak mamaga dunsanak
Tagak basuku mamaga suku
Tagak ba kampuang mamaga kampuang
Tagak ba nagari mamaga nagari
Peranan di luar kaum
Selain dia berperan di dalam kaum sebagai kemanakan, mamak atau penghulu, setelah dia kawin dan berumah tangga, dia mempunyai peranan lain sebagai tamu atau pendatang di dalam kaum isterinya. Artinya di sini, dia sebagai duta pihak kaumnya di dalam kaum istrinya, dan istri sebagai duta kaumnya pula di dalam kaum suaminya. Satu sama lain harus menjaga kesimbangan dalam berbagai hal, termasuk perlakuan-perlakuan terhadap anggota kaum kedua belah pihak.
Di dalam kaum istrinya, seorang laki-laki adalah sumando (semenda). Sumando ini di dalam masyarakat Minangkabau dibuatkan pula beberapa kategori;
* Sumando ninik mamak. Artinya, semenda yang dapat ikut memberikan ketenteraman pada kedua kaum; kaum istrinya dan kaumnya sendiri. Mencarikan jalan keluar terhadap sesuatu persoalan dengan sebijaksana mungkin. Dia lebih berperan sebagai seorang yang arif dan bijaksana.
* Sumando kacang miang. Artinya, sumando yang membuat kaum istrinya menjadi gelisah karena dia memunculkan atau mempertajam persoalan-persoalan yang seharusnya tidak dimunculkan.
* Sumando lapik buruk. Artinya, sumando yang hanya memikirkan anak istrinya semata tanpa peduli dengan persoalan-persoalan lainnya. Dikatakan juga sumando seperti seperti sumando apak paja, yang hanya berfungsi sebagai tampang atau bibit semata.
Sumando tidak punya kekuasan apapun di rumah istrinya, sebagaimana yang selalu diungkapkan dalam pepatah petitih;
Sadalam-dalam payo
Hinggo dado itiak
Sakuaso-kuaso urang sumando
Hinggo pintu biliak
Sebaliknya, peranan sumando yang baik dikatakan;
Rancak rumah dek sumando
Elok hukum dek mamaknyo
c. Kaum dan Pesukuan
Orang Minangkabau yang berasal dari satu keturunan dalam garis matrilineal merupakan anggota kaum dari keturunan/klen tersebut. Di dalam sebuah kaum, unit terkecil disebut samande. Yang berasal dari satu ibu (mande). Unit yang lebih luas dari samande disebut saparuik. Maksudnya berasal dari nenek yang sama. Kemudian saniniak maksudnya adalah keturunan nenek dari nenek. Yang lebih luas dari itu lagi disebut sakaum. Kemudian dalam bentuknya yang lebih luas, disebut sasuku. Maksudnya, berasal dari keturunan yang sama sejak dari nenek moyangnya. Suku artinya seperempat atau kaki. Jadi, pengertian sasuku dalam sebuah nagari adalah seperempat dari penduduk nagari tersebut. Karena, dalam sebuah nagari harus ada empat suku besar. Padamulanya suku-suku itu terdiri dari Koto, Piliang, Bodi dan Caniago. Dalam perkembangannya, karena bertambahnya populasi masyarakat setiap suku, suku-suku itupun dimekarkan. Koto dan Piliang berkembang menjadi beberapa suku; Tanjuang, Sikumbang, Kutianyir, Guci, Payobada, Jambak, Salo, Banuhampu, Damo, Tobo, Galumpang, Dalimo, Pisang, Pagacancang, Patapang, Melayu, Bendang, Kampai, Panai, Sikujo, Mandahiliang, Bijo dll.
Bodi dan Caniago berkembang menjadi beberapa suku; Sungai Napa, Singkuang, Supayang, Lubuk Batang, Panyalai, Mandaliko, Sumagek dll.
Dalam majlis peradatan keempat pimpinan dari suku-suku ini disebut urang nan ampek suku. Dalam sebuah nagari ada yang tetap dengan memakai ampek suku tapi ada juga memakai limo suku, maksudnya ada nama suku lain; Malayu yang dimasukkan ke sana.
Sebuah suku dengan suku yang lain, mungkin berdasarkan sejarah, keturunan atau kepercayaan yang mereka yakini tentang asal sulu mereka, boleh jadi berasal dari perempuan yang sama. Suku-suku yang merasa punya kaitan keturunan ini disebut dengan sapayuang. Dan dari beberapa payuang yang juga berasal sejarah yang sama, disebut sahindu. Tapi yang lazim dikenal dalam berbagai aktivitas sosial masyarakat Minangkabau adalah; sasuku dan sapayuang saja.
Sebuah kaum mempunyai keterkaitan dengan suku-suku lainnya, terutama disebabkan oleh perkawinan. Oleh karena itu kaum punya struktur yang umumnya dipakai oleh setiap suku;
(1) struktur di dalam kaum
Di dalam sebuah kaum, strukturnya sebagai berikut; a. Mamak yang dipercaya sebagai pimpinan kaum yang disebut Penghulu bergelar datuk. b. Mamak-mamak di bawah penghulu yang dipercayai memimpin setiap rumah gadang, karena di dalam satu kaum kemungkinan rumah gadangnya banyak. Mamak-mamak yang mempimpin setiap rumah gadang itu disebut; tungganai. Seorang laki-laki yang memikul tugas sebagai tungganai rumah pada beberapa suku tertentu mereka juga diberi gelar datuk. Di bawah tungganai ada laki-laki dewasa yang telah kawin juga, berstatus sebagai mamak biasa. Di bawah mamak itulah baru ada kemenakan.
(2) Struktur dalam kaitannya dengan suku lain.
Akibat dari sistem matrilienal yang mengharuskan setiap anggota suku harus kawin dengan anggota suku lain, maka keterkaitan akibat perkawinan melahirkan suatu struktur yang lain, struktur yang mengatur hubungan anggota sebuah suku dengan suku lain yang terikat dalam tali perkawinan tersebut. Terdiri dari;
a. Induk bako anak pisang
Induak bako anak pisang merupakan dua kata yang berbeda; induak bako dan anak pisang. Induak bako adalah semua ibu dari keluarga pihak ayah. Sedangkan bako adalah semua anggota suku dari kaum pihak ayah. Induak bako punya peranan dan posisi tersendiri di dalam sebuah kaum pihak si anak.
b. Andan pasumandan
Andan pasumandan juga merupakan dua kata yang berbeda; andan dan pasumandan. Pasumandan adalah pihak keluarga dari suami atau istri. Suami dari rumah gadang A yang kawin dengan isteri dari rumah gadang B, maka pasumandan bagi isteri adalah perempuan yang berada dalam kaum suami. Sedangkan andan bagi kaum rumah gadang A adalah anggota kaum rumah gadang C yang juga terikat perkawinan dengan salah seorang anggota rumah gadang B.
c. Bundo Kanduang
Dalam masyarakat Minangkabau dewasa ini kata Bundo Kanduang mempunyai banyak pengertian pula, antara lain;
a) Bundo kanduang sebagai perempuan utama di dalam kaum, sebagaimana yang dijelaskan di atas.
b) Bundo Kanduang yang ada di dalam cerita rakyat atau kaba Cindua Mato. Bundo Kanduang sebagai raja Minangkabau atau raja Pagaruyung.
c) Bundo kanduang sebagai ibu kanduang sendiri.
d) Bundo kanduang sebagai sebuah nama organisasi perempuan Minangkabau yang berdampingan dengan LKAAM.
Bundo kanduang yang dimaksudkan di sini adalah, Bundo Kanduang sebagai perempuan utama.

Bundo kanduang

sebagai perempuan utama


Apabila ibu atau tingkatan ibu dari mamak yang jadi penghulu masih hidup, maka dialah yang disebut Bundo Kanduang, atau mandeh atau niniek. Dialah perempuan utama di dalam kaum itu. Dia punya kekuasaan lebih tinggi dari seorang penghulu karena dia setingkat ibu, atau ibu penghulu itu betul. Dia dapat menegur penghulu itu apabila si penghulu melakukan suatu kekeliruan. Perempuan-perempuan setingkat mande di bawahnya, apabila dia dianggap lebih pandai, bijak dan baik, diapun sering dijadikan perempuan utama di dalam kaum. Secara implisit tampaknya, perempuan utama di dalam suatu kaum, adalah semacam badan pengawasan atau lembaga kontrol dari apa yang dilakukan seorang penghulu.

Perempuan Minangkabau di masa depan

Perempuan Minangkabau di masa depan, dapat dilihat dengan menjadikan 3 kurun yang ditempuh dalam perjalanan masyarakat Minangkabau sebagai titik-titik untuk membangun sebuah perspektif ke depan. Kurun waktu yang dimaksudkan adalah; masa kehidupan masyarakat tradisional, masa transisi terutama dalam masa penjajahan dan kemerdekaan dan pada zaman modern seperti saat ini. Dalam masa kehidupan masyarakat tradisional, keberadaan perempuan Minangkabau yang dapat dilihat dari dua sumber; teks kaba dan karya sastra. Sebab, kita tidak punya informasi lain selain kedua sumber tersebut. Sedangkan masa transisi dan masa modern dalam dilihat dalam novel-novel modern, kajian-kajian sejarah dan sosiologi. Dengan demikian, dari ketiga masa itu akan dapat dibangun suatu ramalan atau perspektif perempuan Minangkabau di masa depan.
Dalam masyarakat Minangkabau tradisional, pada hakekatnya peranan perempuan itu sudah melebihi apa yang diperlukan perempuan itu sendiri sebagaimana yang mereka perlukan dalam kehidupan masyarakat modern. Hanya saja, waktu itu mereka tidak memakai kata emansipasi, persamaan hak, jender dan lain sebagainya sebagaimana yang sering digembar-gemborkan oleh kaum wanita barat. Dalam berbagai kaba atau cerita rakyat, perempuan Minangkabau telah menduduki tempat dari pucuk tertinggi sampai terbawah. Dari menjadi seorang raja sampai menjadi seorang inang. Dari perempuan perkasa yang berani membunuh laki-laki lawan ayahnya untuk menegakkan suatu marwah, kehormatan kaumnya sampai kepada perempuan yang hanya bersedia menjadi tempat tidur laki-laki saja. Dari seorang pengayom, pengasuh dan penentu dalam kaumnya, sampai kepada perempuan yang kecewa tak beriman dan bunuh diri. Dari seorang perempuan yang lemah lembut, yang turun hanya sakali sajumaaik dan setelah ditinggalkan suami merantau atau meninggal, langsung membanting tulang untuk meneruskan kehidupan dan pendidikan anak-anaknya. Semua aspek yang digembar-gemborkan oleh perempuan modern, telah tertulis jelas dan gamblang dalam kaba. Itu berarti, bahwa masyarakat Minangkabau, terutama pada keberadaan dan posisi perempuannya sudah menjadi modern sebelum kata modern itu ada.
Dalam masyarakat Minangkabau yang transisi, melalui rujukan sejarah, kita juga dapat melihat keberadaan kaum perempuan yang telah dapat meraih berbagai tingkat dalam kegiatan sosial masyarakatnya. Mulai dari kesuksesan mereka menjadi tokoh pendidik, tokoh politik, sampai kepada perempuan yang nekad, terutama dalam masa penjajahan Belanda dan Jepang.
Dalam masa modern, apa yang dicapai perempuan Minangkabau tidak ada bedanya lagi dengan apa yang dicapai perempuan suku lainnya. Mereka dapat menjadi apa saja, siapa saja. Mereka dapat hidup di mana saja dan dalam kondisi apa saja. Mereka berani untuk berpikir terbalik dari pikiran-pikiran lama dan berbagai kemungkinan lain. Di dalam masyarakat modern, perempuan Minang sudah tidak ada bedanya lagi dengan perempuan suku lain. Kita tidak dapat membedakan lagi, itu perempuan Minang, atau itu perempuan bukan Minang. Tidak ada lagi faktor yang membedakan mereka secara fisik dengan perempuan lain. Namun, perbedaan yang mungkin akan terasa adalah pada; sikap hidup dan jalan pikiran. Sedangkan yang lain-lainnya sudah sama dengan yang lain.
Sikap hidup perempuan Minangkabau, bersikap terbuka dan selalu berusaha untuk menjadi basis dari kaumnya. Perempuan Minang memerlukan dan diperlukan oleh suatu perkauman. Perempuan Minang memerlukan pengakuan atas keberadaannya tidak pada orang luar kaumnya, tetapi di dalam kaumnya sendiri. Di luar kaum dia dapat saja menjadi orang modern sebagaimana perempuan lain, tetapi di dalam kaum, dia harus menjalankan fungsinya dengan baik. Ini berarti, bahwa perempuan Minangkabau harus kembali kepada “asal”, “fitrah”, dan “kodrat” nya agar tidak menjadi sesuatu yang tidak sumbang, sesuatu yang seharusnya diwadahi oleh adat dan budaya Minangkabai itu sendiri.
Dapat dikatakan bahwa perempuan Minang pada hakekatnya tidak pernah peduli apakah dia berada di dalam alam tradisional atau di dalam alam modern. Di dalam alam tradisinya dia sudah hidup dalam sikap dan pandangan sebagaimana sikap dan padangan perempuan yang dikatakan modern itu. Yang membedakan antara kedua alam itu hanyalah tatacara dan citarasa. Sedangkan sikap hidup, pandangan hidup, dan cara berpikir tetap akan berbeda dengan perempuan lain. Perempuan Minang akan tetap memakai cara berpikir dan pandangan hidup yang berbeda dengan perempuan lainnya. Banyak sekali contoh-contoh dapat disajikan terhadap hal ini. Sebab, yang membedakan seseorang berasal dari suatu budaya tidak lagi dari segi bahasa, tatacara dan cita rasa, tetapi adalah dari sikap hidup, cara berpikir dan tinggi rendahnya kadar kepercayaan kepada agama yang dianutnya.
Cara berpikir dan sikap hidup perempuan Minang dengan perempuan lain pada hakekatnya merupakan naluri yang universal. Karena posisi budaya dan bahkan agama dalam pembentukan cara berfikir dan sikap hidup menjadi sangat penting. Semodern-modernnya perempuan Minang, dia belum akan mau melebur dirinya menjadi perempuan Jawa, perempuan Belanda, perempuan Jepang misalnya. Bahasa boleh sama, makanan boleh serupa, citarasa boleh disesuaikan, tetapi sikap hidup dan cara berpikir tetap akan berbeda.
Karakteristik perempuan Minangkabau
Karakteristik perempuan Minangkabau dapat ditelusuri melalui beberapa aktifitas masyarakat Minangkabau dalam berbagai aspeknya; (a) tingkah laku, bahasa dan sastra, nilai-nilai yang dianut dan (b) dalam berbagai kurun waktu; masa lalu dan masa kini dan untuk dapat memproyeksikannya ke masa depan. Kajian sosilogis historis ini mempunyai risiko kesalahan yang tinggi terutama karena kurangnya data pendukung. Namun dalam pembicaraan ini saya bertolak dari bahan-bahan yang ada pada saya. Saya bertolak dari tiga aspek saja;

1. Bahasa dan sastra

2. Kesejarahan

3. Sistim nilai.

Dari aspek bahasa dan sastra; bahasa dan sastra telah melahirkan legenda, mitologi dan cerita rakyat (kaba). Kemudian dalam bentuk-bentuk tertulis berupa novel, cerita pendek dan puisi. Dalam cerita rakyat (kaba) pola pikir perempuan Minangkabau dapat dilihat pada perilaku tokoh-tokoh perempuan yang bermain di dalam cerita itu. Mulai dari Bundo Kanduang dalam kaba Cindua Mato, Gondan Gandoriah dalam kaba Anggun Nan Tongga, Sabai Nan Aluih dalam kaba Sabai Nan Aluih, kaba Lareh Simawang dan banyak lagi. Dari apa yang disampaikan di dalam kaba, karakteristik perempuan Minangkabau dapat disimpulkan;

1. Mempertahankan warisan, kedudukan dan keturunan. Untuk semua itu, perangpun akan ditempuhnya. (dalam kaba Cindua Mato)

2. Kesetiaan yang tidak dapat ditawar-tawar dan bila dimungkiri akan terjadi sesuatu yang fatal (dalam kaba Anggun Nan Tongga dan Lareh Simawang)

3. Bila laki-laki tidak mampu berperan dan bertindak, perempuan akan segera mengambil alih posisi itu (dalam kaba Sabai Nan Aluih)

Dalam sastra modern, atau kaba yang telah dituliskan seperti; Siti Nurbaya, Salah Asuhan, Di Bawah Lindungan Ka’bah dan banyak lagi, pola pikir perempuan Minangkabau tampak menjadi semakin maju, bahkan menjadi lebih agresif;

1. Menjaga kehormatan keluarga.

2. Menempatkan posisinya lebih kukuh lagi dalam keluarga kaum.

3. Terbuka menerima pikiran-pikiran baru dan modern

Dari aspek kesejarahan; karakteristik perempuan Minangkabau yang dapat ditelususi dari tingkah laku tokoh-tokoh seperti; Yang Dipertuan Gadis Puti Reno Sumpu pewaris kerajaan Pagaruyung setelah Sultan Alam Bagagar Syah ditangkap Belanda, yang memberikan jaminan nyawanya pada Belanda agar beberapa beberapa penghulu Tanah Datar terhindar dari hukuman gantung, Siti Manggopoh dengan gagah beraninya membunuh tentara Belanda, Rahmah El-Yunusiah memilih bidang pendidikan bagi kaum perempuan, Rasuna Said dalam dunia jurnalistik dan politik dan banyak lagi. Apa yang telah dilakukan tokoh-tokoh sejarah itu dapat dilihat bahwa pola pikir perempuan Minangkabau;

1. Bersedia berkorban apa saja untuk menjaga keturunan, kaum dan martabat negerinya.

2. Melihat ke masa depan dengan segera mengambil posisi sebagai tokoh pendidikan dan tokoh politik.

3. Menjadi pusat informasi (dengan terbitnya suratkabar perempuan Soenting Melayoe)

Dari aspek sistim nilai: karakteristik perempuan Minangkabau telah terpola dalam suatu pembagian kerja yang seimbang antara laki-laki dan perempuan. Di dalam adat Minangkabau, perempuan adalah owner (pemilik) sedangkan laki-laki manager (pengurusan) terhadap semua aset kaumnya. Oleh karena itu sistem matrilineal telah menempatkan perempuan pada suatu posisi yang mengharuskannya berpikir lebih luas, bijaksana dan tegas terhadap putusan-putusan yang akan diambil.

Tantangan ke depan

Berdasarkan kepada apa yang telah dicatat baik dalam bentuk bahasa dan sastra, maupun dalam bentuk kesejarahan, pola pikir perempuan Minangkabau pada hakekatnya, tidak mengandung unsur-unsur egoisme, rendah diri atau penghambaan. Perempuan Minangkabau selalu berpikir bahwa dirinya adalah seorang mande, pusat dari segala kelahiran dan keturunan, kepemilikan aset kaum (sako dan pusako) yang harus dipertahankannya dengan cara apapun dan sampai kapanpun. Laki-laki atau suami baginya bukan penjajah, tetapi partner, kawan berkongsi (dalam kehidupan perkawinan). Oleh karenanya perempuan Minang tidak mengenal kata gender, dan tidak memerlukan perjuangan gender. Dia punya posisi yang sama dengan laki-laki. Perempuan Minang tidak rendah diri terhadap lakli-laki, suaminya atau hal-hal yang berada di luar dirinya. Dia sedia untuk menjadi pedagang bakulan di pasar, sedia menjadi raja, sedia menjadi tokoh pendidik, tokoh politik, bahkan sedia untuk nekad dan kalau perlu bunuh diri dalam mempertahankan haknya atau sesuatu yang diyakininya, seperti dalam kaba Lareh Simawang itu misalnya.

Jika bertolak dari karakteristik yang telah disebutkan di atas, tantangan ke depan bagi perempuan Minangkabau pada hakekatnya tidak ada. Sudah sejak dulu mereka terbuka menerima pikiran-pikiran ke depan. Mereka sangat selektif dan arif terhadap pemikiran-pemikiran baru. Jika ada suatu pemikiran muncul untuk mengubah sistem matrilineal dengan alasan apapun, perempuan Minang akan bangkit mempertahankannya. Sistem kekerabatan itu sangat menentukan dan prinsipil; bagi eksistensi dirinya, kaumnya, sukunya dan seterusnya harta pusaka. Bila laki-laki tidak mampu berperan lagi dalam konteks persoalan apapun, perempuan Minang akan segera menggantikannya. Seorang suami, boleh pergi atau mati, tapi dia dan anak-anaknya akan tetap menjaga diri dan kehormatannya untuk melangsungkan kehidupan. Namun bila disakiti, dianiaya, diterlantarkan, disia-siakan, dia akan segera bereaksi; lunak ataupun keras, kalau perlu bunuh diri, sesuatu yang tidak mungkin dilakukan laki-laki. Tindakan keras demikian mungkin mereka dapat dituduh sebagai seorang fatalis, tetapi pada hakekatnya mereka tidak mau menerima perlakuan yang tidak adil, dari siapapun juga.

Untuk menjelaskan lagi perbedaan karakteristik perempuan Minang adalah sebagai berikut; Seorang perempuan Minang selalu bertanya kepada suaminya yang baru pulang; “Baa kaba?” Bagaimana keadaan, apa yang telah terjadi di luar rumah? Dia ingin berbagi sakit dan berbagi senang terhadap apa yang dialami suaminya. Soal suaminya mau makan atau mau tidur adalah otomatis dan mutlak menjadi kewajiban seorang istri, perempuan Minang tak perlu menanyakannya lagi.

Sumbang bagi perempuan Minangkabau

Sesuatu perbuatan dapat dikatakan sumbang apabila tidak sesuai, tidak sejalan atau bertentangan dengan etika, norma, tata nilai yang telah berlaku dalam masyarakat. Sesuatu perbuatan atau perilaku perempuan Minangkabau dapat dikatakan sumbang apabila ada hal-hal yang tidak bersesuaian dengan apa yang sudah dikenal oleh masyarakat. Sumbang itu dapat terjadi dalam berbagai bentuk dan persoalan, terutama dalam masalah kecantikan, penampilan diri, peranan dan tingkah lakunya dalam kehidupan sosial dalam bermasyarakat atau bernagari dan hal lainnya.

Tentang kecantikan.

Dalam kosa kata Minangkabau tidak ada kata cantik. Karena tidak ada kosa kata demikian, secara hukum kebahasaan ataupun mengikut pada sosio-linguistik dapat dikatakan bahwa orang Minang tidak kenal dengan cantik, atau tidak mempermasalahkan benar akan hal kecantikan itu jika dibandingkan dengan masyarakat suku lainnya di Indonesia. Di dalam masyarkat Jawa misalnya, ada pakem atau bakuan untuk seseorang dapat dikatakan cantik. Dalam bahasa Minangkabau yang ada kata cantiak, atau contiak, yang artinya jauh berbeda dengan kata cantik yang dimaksudkan dalam bahasa Indonesia. Juga ada kata rancak, yang hampir mirip artinya dengan cantik. Tapi dalam kalimat mati karancak an, arti kata rancak menjadi lain pula.

Di dalam pepatah-petitih, maupun mamangan adat Minang, tidak ada disebut kata cantik, atau sebuah kata lain yang bermakna cantik. Kalaulah kata cantik dapat dipadankan dengan kata rancak, maka ungkapan yang ada dalam mamangannya adalah; condong mato ka nan rancak, condong salero ka nan lamak atau tampak rancak musajik urang, buruak tampaknyo surau awak. Jadi, jika merujuk kepada aspek kebahasaan; mamangan atau pepatah petitih adatnya, kecantikan bagi orang Minang bukan sesuatu yang dipermasalahkan, bukan sesuatu yang penting benar, bukan sesuatu yang menentukan apalagi peranannya dalam terbentuk suatu nagari.

Kecantikan, jelas ditujukan kepada kaum wanita. Ukurannya subjektif sekali. Ukuran kecantikan juga mengikuti selera zaman, bangsa atau kaum tertentu. Ketika Leonardo da Vinci hidup, kecantikan itu dilukisnya seperti Monalisa. Jika diukur menurut ukuran kecantikan sekarang, kecantikan Monalisa itu sangat tidak cantik lagi. Begitu juga kecantikan menurut ukuran masyarakat Indonesia masa dulu dan sekarang jauh berbeda. Dulu, di Indonesia yang dikatakan cantik adalah seseorang yang berwajah Indo, keBelanda-belandaan, sekarang yang berwajah keIndia-indiaan atau keMeksiko-Meksioan. Perempuan yang kakinya kecil dikatakan cantik pagi masyarakat Cina tempo dulu. Leher yang panjang dikatakan cantik bagi perempuan Negro pada zaman dulu. Tumit perempuan yang memerah bila menginjakkan kaki dikatakan cantik bagi orang Mesir abad pertengahan.

Oleh karena itu, kecantikan tidak punya ukuran baku, nilai akhir, karena semuanya itu bersifat sangat personal. Mungkin karena sifatnya yang temporer itu, maka adat Minangkabau tidak membuat bakuan tentang sesuatu yang disebut cantik. Dia menjadi sesuatu yang sumbang bila seorang perempuan lebih menampilkan kecantikannya dari tugas dan fungsinya sebagai perempuan, terutama dalam konteks berkeluarga dan dalam perkauman.

Tentang Penampilan Diri

Penampilan diri, atau keberadaan seseorang perempuan di tengah-tengah orang lain adalah sesuatu yang selalu diperkatakan. Penampilan yang tidak sempurna akan dapat merusak citra seseorang. Terutama bagi ibu-ibu atau perempuan Minang yang melakukan aktivitas luar rumah. Untuk kesempurnaan penampilan diri, berbagai cara dilakukan. Mulai dari nama yang dipakai, jenis aktifitas yang dilakukan, posisinya dalam aktifitas tersebut, sampai kepada pakaian. Nama misalnya, seseorang memerlukan legimitasi berupa nama, pangkat dan gelar suami, gelar kesarjanaannya yang telah diraihnya sendiri, gelar hajjah dan lainnya, agar dirinya terasa “berpenampilan” di antara yang lain. Sumbang kiranya bagi perempuan Minang meletakkan nama suaminya di belakang namanya sendiri, karena menurut ajaran adat dan agama selama ini tidak demikian. Jenis aktivitas juga menentukan; menghadiri acara di istana, bersama menteri atau presiden, gubernur, bupati, camat atau wali nagari. Begitu pula penampilannya sebagai guru, tokoh politik, akademisi, istri orang berpangkat tinggi dan sebagainya. Penampilan diri seorang perempuan Minang umumnya sangat menentukan dalam aktivitas demikian. Semua aktivitas tersebut tidak ada kaitannya dengan kecantikan. Sumbang bagi perempuan Minang ikut dalam acara demikian yang hanya untuk tampili begitu saja tanpa ada keperluan, fungsi, tugas yang berkaitan dengan aktivitas tersebut.

Penampilan diri diperlukan oleh setiap orang yang akan menampilkan diri, di manapun, dan dalam konteks apapun juga. Di dalam adat Minang, masalah penampilan diri bagi perempuan tidak pula pernah dijadikan suatu mamangan atau pepatah petitih. Sebab, perempuan tak dilazimkan untuk menampilkan dirinya dalam acara-acara yang umum sifatnya. Penampilan diri bagi perempuan terbatas pada acara-acara tertentu saja. Jadi, kalau dibuat ukuran sumbang dalam hal ini, sulit dicarikan rujukannya, penampilan diri yang bagaimana yang tidak sumbang, yang sesuai dengan adat Minangkabau.

Kalaupun ada yang mengatakan bahwa penampilan perempuan Minang itu seperti mamangan; unduang-unduang ka sarugo, atau acang-acang dalam nagari atau langkahnyo bak siganjua lalai, pado pai suruik nan labiah dan sebagainya, itu merupakan ungkapan simbolik, bukan sebuah patron atau bakuan dalam adat.

Namun sekarang, peranan perempuan sudah jauh berubah. Mereka sudah dapat menjadi tokoh masyarakat, yang harus tampil dengan penampilan yang baik. Penampilan yang tidak sumbang itulah yang mungkin perlu dicari. Jadi, suatu penampilan yang baik bagi seorang perempuan, tentulah memenuhi kaidah-kaidah kesusilaan, kepantasan dan keindahan. Pakaian seorang artis penyanyi pop yang melakukan show-biz, tentulah tidak layak ditiru oleh seorang perempuan yang akan memberikan ceramah adat misalnya. Atau pakaian adat yang resmi, tentulah tidak sesuai pula bila digunakan untuk berjoget ria dalam acara-acara syukuran kenaikan pangkat suami atau acara perpisahan jabatannya.

Hal-hal yang ideal

Sungguhpun masalah cantik dan penampilan diri masih dilihat dalam kerangka kepentingan laki-laki, namun bagi kaum perempuan yang tidak cantik tidak perlu pula berkecil hati. Kecantikan fisik takkan bertahan lama. Laki-laki tak selamanya pula tertarik dengan kecantikan fisik. Ada hal-hal ideal yang perlu dipahami oleh seluruh perempuan Minang. Bahwa, kecantikan atau cantik itu tidak hanya terletak pada permukaan atau pada bentuk fisik, tetapi lebih utama terletak pada hal-hal yang berada di dalam diri seorang perempuan, pada jiwa atau pribadi. Seorang perempuan Minangkabau bagaimanapun cantiknya tetapi tidak dapat menyesuaikan diri dengan masyarakat lingkungannya, tidak dapat mengimplementasikan kecantikannya dengan baik, cantik fisiknya akan tertimbun oleh ketidakcantikan dalam hubungan sosial. Di zaman serba modern ini, kecantikan fisik dapat ditambah kurangi dengan berbagai obat dan operasi plastik, tetapi kecantikan pribadi, tidak dapat ditambah kurangi dengan pembedahan jenis apapun, kecuali oleh pribadi dari individu itu sendiri. Kecantikan fisikal jika tidak disertai oleh pribadi yang terpuji, kecantikan itu akan menjadi kerabang saja, sama seperti orang memakai topeng. Sumbang.

Begitupun dengan penampilan diri. Penampilan diri seorang perempuan akan kukuh bila didukung keyakinan akan kepercayaan pada kemampuan diri sendiri. Kecantikan hanya menjadi faktor kesekian saja dalam sebuah penampilan. Penyanyi-penyanyi negro yang hitam, berbibir tebal, rambut keriting cacing tetapi karena mereka berpenampilan kukuh, lebih memukau bila dibanding dengan penyanyi yang hanya mengandalkan wajah yang cantik, tanpa ekspresi, tanpa jiwa. Penampilan diri datangnya dari dalam, dari pribadi diri seseorang. Wibawa, kharisma, ditentukan oleh keyakinan dirinya terhadap kemampuannya, bukan oleh faktor-faktor luar lainnya.

Oleh karena itu, agar tidak dikatakan sumbang, seorang perempuan Minangkabau harus mengetahui dan menyadari betul bagaimana keberadaannya di tengah-tengah masyarakatnya, apalagi kalau dia berada dalam sebuah nagari.

KEKERABATAN

Kekerabatan; sebutan yang berakar pada kata karib; tepatnya qaf, ra dan ba; qaruba, qurbaan – wa qurbaanan, dari bahasa Arab dengan makna dekat, hampir atau sesuatu yang mendekatkan sesuatu pada lainnya. Dan telah jadi salah satu kosa-kata dalam bahasa Minangkabau. Dalam pengucapan sehari-hari bisa juga jadi karik, misalnya nan ba karik (kaum kerabat dekat). Atau dalam sebutan karik-ba ‘ik[1] (jauah – dakek; jauh dekat) ataupun karib kirabat sebutan untuk kerabat campuran berbagai kelompok .

Pada masyarakat hukum adat Minangkabau, sebutan karib-ba ‘id dipakai dalam himpunan semua keluarga besar, Bukan saja se suku tetapi termasuk ipar besan (andan sumandan dan ando sumando), anakpisang (anak pusako, anak mamak) atau induak bako (kaum ayah) – bako-baki. Bila orang Minang berada di rantau —jauh atau dekat-, kadangkala sebutan karib-ba’id diperluas menjadi orang yang seasal nagari, sekecamatan, sekabupaten, sesama Minang atau malah asal ada bau-bau Minangnya;

Kekerabatan pada struktur masyarakat hukum adat Minangkabau akan terlihat berlapis-lapis dan berbidang-bidang, yaitu: la bisa di ungkap dalam hubungan nasab (turunan) menurut struktur budaya-adat Minangkabau yang matrilinel dengan sebutan nan batali darah dan dalam lingkungan yang terbatas antara orang-orang yang sekaum atau sesuku (gambar B). Akan terungkap dalam sebutan nan sajari, satampok, sajangka, sa eto dan seterusnya. Dan bias meliputi wilayah yang luas di beberapa nagari malah antar beberapa kabupaten kini dengan sebutan nan ba sapiah ba balahan, nan ba kuduang bakaratan; Pepatah menyebut, dakok mancari indu, jauah mancari suku.

Ia bisa diungkap dalam kekerabatan yang terjadi karena sebab perkawinan anggota kaum yang lelaki sebagai biang kelahiran disebut induak bako atau yang pihak yang dilahirkan, disebut anak pisang (lihat Gambar A dan C)

2. Dengan penjelasan, tiga kelompok kaum, A, B dan C dengan fokus pada B, dalam perkawinan menurut budaya-adat Minangkabau yang matrilineal dan matrilokal (yaitu si suami tinggal di rumah isteri bersama mertuanya):

Secara umum, A, B dan C adalah berkerabat karena sebab perkawinan dan masing-masing kelompok berkerabat karena turunan matrilineal. Anak-anak kelompok B angka 3 (a-d) adalah anak pisang dari kelompok A. Perempuan (angka 4) dalam kelompok A dan angka 5 pada C dari sisi pandang kelompok B akan disebut pasumandan, kedua kelompok itu akan dihimbaukan sebagai andan sumandan, karena anak lelaki mereka (3a dan 3d) bersemenda ke kaum itu. Pada saat yang sama seluruh warga dari kelompok B akan disebut induak bako oleh anak-anak dari perempuan angka 4/A dan perempuan pada angka 5/C, juga akan disebut sebagai anak pisang oleh seluruh anak-anak dari perempuan angka 4/A dan perempuan pada angka 5/C, juga akan disebut sebagai anak pisang oleh seluruh warga kelompok B. Perkawinan antara lelaki angka 3a ke perempuan angka 4 atau lelaki angka 7 ke perempuan angka 6d akan disebut pulang ka bako, karena masing-masing mereka menikah dengan kemenakan ayahnya. Atau dari sisi pihak perempuan akan disebut ma ambiak (pulang) anak pisang. Demikian juga sebutan bagi hubungan lelaki angka 6a pada B yang menikah dengan perempuan angka 8 pada C, dari sisi B akan disebut pulang ka anak pisang, sedangkan dari isi perempuan angka 8/C akan disebut ma ambiak induak bako.

Dan bisa diungkap dalam bentuk kekerabatan yang terjadi karena sebab perkawinan antar etnis, dengan basaluak budi, ma angkek induak dan sebagainya. Dari perkawinan antar etnis, budaya Minangkabau punya solusi penyelesaian. Yaitu dengan memasukkan calon menantu (lelaki atau perempuan) ke kaum induak bako sebagai kemanakan nan mancari induak. Bila lelaki akan juga diberi gelar secara Minangkabau. Bila tidak demikian, menantu lelaki dari etnis lain akan berdiri sendiri dalam lingkungan kerabat isterinya atau menantu perempuan akan dianggap orang tak berkerabat. Pergaulan mereka hanya sebatas di dalam rumah tangga dan keluarga mertuanya. Dimasa sebelum 50-an, saya banyak menemukan perantau lelaki etnis Cina atau etnis lain yang diterima sebagai kemenakan dan diberi suku sepanjang yang bersangkutan beragama agama Islam.

Hubungan baik dalam pergaulan bagi perantau etnis lain di Ranah Minang, secara bertahap akan menumbuhkan hubungan yang akrab dan membaur dan diakui menjadi masyarakat Minangkabau. Ini terlihat dari kedudukan Bustanil Arifin, SH, mantan Ka Bulog dan Menkop serta A.A. Navis di mata masyarakat Minangkabau sebagai sudah membaur. Demikian, bila Minangkabau dilihat dari sudut kebudayaan, bukan genealogis.

Hubungan kekerabatan yang seluas dan sekompleks itu dalam budaya (adat) Minangkabau, sangat dipelihara dan saling memelihara. Terungkap dalam pepatah siang ba liek-liek –malam danga-dangakan atau dakek, janguak bajanguak -jauah jalang manjalang. Pepatah yang sifatnya membimbing semua anggota kaum, bukan saja agar tetap berhubungan dalam suka dan duka, tapi juga menumbuhkan kewajiban dan rasa tanggung jawab individu untuk saling menjaga atau mengontrol supaya jangan terjadi sesuatu yang dapat membuat malu, bukan saja anggota kaum kerabat lainnya, tapi juga suku, kampung halaman bahkan teman sepergaulan pun. Dalam hal ini, kita melihat ada garis lurus dengan ajaran dan anjuran memelihara silaturrahmi dalam Islam.

Selain itu, terungkap juga dalam pepatah pola memelihara silaturrahmi antara kerabat (jauh dan atau dekat) salah basapo, sasek batunjuak-an; lupo bakanakan (ba ingek-an), takalok bajagokan.

Sekaligus dapat disebut sebagai Kewajiban Azasi seperti yang diajarkan dalam Islam,

kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.( Q.S. 103-al’Ashr/3)

Untuk selalu saling menasehati dalam menegakkan kebenaran dan saling tegur sapa dengan dan dalam kesabaran.

Lalu dalam pergaulan terwujud pula nan mudo dikasihi – nan tuo dipamulia, samo gadang lawan baiyo, dan selalu bersekadu berbuat kebaikan, mencegah hal-hal yang tak baik seperti yang diajarkan oleh Rasulullah saw. “Bukanlah dari golongan kami, mereka yang tidak menyayangi yang muda, menghormati yang tua, menyuruh berbuat baik, melarang berbuat kemungkaran “. (HR Turmudzi dan Ahmad).[2]

NILAI KEKERABATAN

Nilai kekerabatan dalam budaya-adat Minangkabau dapat dan akan tumbuh menjadi budaya (adat) Minangkabau yang kuat, karena adanya rasa malu dan kebersamaan yang dituntun dengan ajaran Islam dan ditanamkan sejak dini oleh orang tua-tua di lingkungan si anak bertumbuh. Sehingga seseorang akan merasa dirinya ada karena diperlukan dan sebagai bagian dari serta dapat dibanggakan oleh kerabatnya. Bila seorang lelaki (mamak) merasa gagal menjadi sosok yang diperlukan dalam kaumnya, bukan tak ada yang dengan sukarela meninggalkan kampung halaman dalam sebutan ma itaman korong jo kampuang sebagai tindakan baralah. Dengan demikian paham individualistis (nafsi-nafsi) pada setiap orang Minangkabau akan terdesak kebelakang bila orang sudah merasa bagian yang tak terpisahkan dari kelompoknya dan iapun memerlukan kelompok tersebut, baik sebagai tempat berlindung atau tempat uji coba kemampuan.

Ungkapan baralah atau mengalah dalam budaya Minangkabau bukanlah kata tanpa makna sekaligus indikasinya. Setiap orang tua (termasuk mamak) akan menanamkan sifat baralah atau mengalah pada anak-anak/kemenakannya bila masalahnya berhadapan dengan saudara-saudaranya yang lebih muda atau yang belum memahami bagaimana mempergunakan hak-hak individu dalam kelompoknya. Dan sering terjadi antara saudara lelaki menghadapi saudara perempuannya. Namun pada saat yang sama menanamkan juga pentingnya rasa kebersamaan di antara mereka yang sekaum, sepusaka, sepandam sepekuburan tersebut. Bahwa seseorang adalah bagian dari lainnya. Baik di dalam nan saparinduan, (yang sekaum sepusaka – sepandam sepekuburan) atau yang sepesukuan (yang sepayung penghulu), yang se surau, se sasaran maupun yang se korong kampung – se tepian tempat mandi, yang se nagari dan seterusnya bisa meluas ke yang ba kuduang – nan bakaratan, basapiah nan babalahan dalam kadar yang wajar.

Antara mereka yang berkerabat seperti itu, sudah ditanamkan juga sejak kecil apa itu nan sa raso jo pareso, sa ino sa main. Bahwa hanya saudara-saudaranya itulah sebagai kerabat, yang akan membela kepentingannya bila berhadapan dengan pihak luar. Seperti terungkap tagak di korong mamaga korong, tagak di suku ma maga suku, tagak di nagari mamaga nagari. Pepatah yang sering juga di salah artikan, seolah memberikan pembelaan kepada saudara atau kaum kerabat, meskipun yang bersangkutan ternyata salah menurut ukuran umum. Sehingga masa kini pun masih kita saksikan terjadinya cakak ba kampuang, ba nagari hanya karena soal kecil. Rebutan sarang burung atau buah jengkol, pesepadan dan sebagainya. Padahal untuk memahami adagium itu perlulah merujuk pada kaidah induknya yaitu: syarak mangato – adat mamakai. Sesuai patron Adat Basandi Syarak – Syarak Basandi Kitabullah. Dan itu akan ditemukan dalam hadits Rasulullah saw.:

Bersabda Rasulullah saw: “Bantulah saudaramu yang menganiaya maupun yang teraniaya”; Ditanyakan: “Wahai Rasulullah, aku -bisa- menolong yang teraniaya, lalu bagaimana aku -akan- menolong yang menganiaya ? “. Rasul menjelaskan: “Kamu mencegahnya dari perbuatan menganiaya, demikianlah bentukpertolongan kepadanya “.[3]

Hadits di atas dapat dibandingkan dengan lafaz berbeda karena langsung menyangkut masalah:

Sabda Nabi saw. “Tidak mengapa (saling bersorak, tapi) seseorang hendaklah menolong saudaranya yang menganiaya maupun yang dianiaya”. Dengan uraian penjelasan “Jika dia menganiaya, cegahlah dia; jika dia dianiaya bantulah dia”.[4]

Dengan demikian, pengertian tagak di korong mamaga korong, tagak disuku mamaga suku dstnya tersebut bukanlah dengan ikut masuk (terjun) dalam masalah yang sedang terjadi. Akan tetapi dilakukan dengan berbagai cara. Antara lain dengan masing-masingnya menjaga prilaku supaya tidak memalukan korong atau suku nya. Juga dengan memberi nasehat pada sanak famili atau kaum kerabat supaya dalam bergaul dengan pihak lain akan selalu memelihara tingkah laku, jauh dari hal-hal yang bisa mengundang masalah dan memalukan korong kampung atau suku sebagai tindakan pencegahan. Selain itu, tindakan berupa aksi langsung memberikan perlindungan (jika mampu dengan kekuatan sendiri) atau memberikan pembelaan (dengan berbagai kemungkinan yang terbuka) kepada korong, kampung, suku atau nagari, bila menghadapi perlakuan sewenang-wenang dari pihak lain. Dan hadits: Siapa saja diantara kamu yang melihat terjadinya sesuatu yang tidak balk (sebuah kemungkaran) hendaklah ia mengubahnya dengan kemampuan yang ada pada (tangan / kekuasaan) nya.[5] termasuk dalam pengertian ini.

Rasa malu sudah jadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan budaya orang Minangkabau. Pas seperti yang diajarkan Islam, bahwa malu adalah bahagian -yang tak terpisahkan dari iman-. Selain itu, budaya Minangkabau ditegakkan juga di atas fundasi raso jo pareso dan salang tenggang dalam pergaulan. Bahkan budaya Minangkabau telah mengidentikkan tidak bermalu sama dengan binatang. Ini dapat dilacak dari sebutan “co kambiang mangawan”[6] terhadap lelaki-perempuan yang bergaul bebas secara terbuka di tempat umum.

Di masa lalu, bila orang melihat seseorang berperangai tak senonoh akan disebut indak bataratik Lalu orang akan menanyakan kemenakan siapa, bukan anak siapa. Karena adalah tugas mamak (kaum, korong, tungganai) untuk mendidik anak kemenakannya bataratik atau kenal sopan santun. Dan ‘rang semenda akan diberi teguran oleh mamak rumah[7] nya secara kias, bila anak-anaknya berperilaku tak keruan (apalagi di tempat umum, memberi malu mamak) supaya mendidik anak-anaknya selaku urang sumando niniak mamak, bukan rang sumando apak paja (sekedar penyebab kelahiran dalam korong orang).

Selain hal-hal diatas, nilai dan hubungan kekerabatan dapat juga dideteksi dari berbagai adagium (pribahasa; pepatah; petitih; bidal), a.l: di cancang pua[8] – ta garik andilau[9]; (di cencang puar, tergerak -tergoyang, tersinggung- andilau);

Maksudnya adalah bila seorang anggota kaum dijadikan gunjiang (disebut-sebut secara negatif; gosip) oleh pihak lain (misalnya dalam tingkat kecamatan), maka seluruh anggota kaumnya, bahkan kaum ayahnya dan anak pisangnya, termasuk orang senagarinya akan merasa digunjing dan beroleh malu. Orang dari suku lain pun sudah berhak memberikan teguran. Bila digunjing dalam nagari, orang sesuku walau tidak sekaum dan sepusaka dengannya akan tersinggung sehinga menumbuhkan hak melakukan teguran. Radius atau lingkaran yang merasa tersinggung akan meluas atau menyempit, tergantung tingkat apa sosok atau tokoh yang digunjing. Jika sudah jadi tokoh nasional, maka yang akan merasa malu adalah semua orang Minang atau yang merasa turunan Minang. Kini bisa juga orang se Sumatera Baratnya.

Sebaliknya, ketika ada orang yang tiba-tiba menjadi buah mulut, idola dan tumpuan harapan banyak orang, ternyata adalah orang Minang meskipun lahir di perantauan atau anak pisang dari orang Minang yang sudah lama hilang menjadi Sutan Batawi, Rajo Medan atau Rajo Palembang dsb.nya, akan menumbuhkan rasa bangga meskipun dalam kadar yang berbeda di antara sesama orang Minang. Tergantung hubungan jauh dekatnya dengan sumber gunjingan.

Juga tergambar dalam pepatah: ilalang nan ta baka – si cerek[10] ta bao rendong; (hilalang yang terbakar, sicerek terbawa rendong);

Maksudnya, bila sesosok orang berbuat ulah. baik secara hukum nasional (melakukan kejahatan) atau secara moral (melompat pagar, menempuh rusuk jalan), maka seluruh kerabat atau sanak famili yang bersangkutan pun merasa mendapat hukuman, meskipun dalam bentuk menanggung malu. Namun perlulah diungkapkan, bahwa maksud pepatah ini sama dan sebangun dengan Firman Allah Swt:

(Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak hanya secara khusus menimpa mereka yang zalim (pelaku kejahatan) saja dari kalangan (sekitar) kamu [11].

Nash yang menjadi dasar hukum untuk memberi kewajiban (hak) kepada teman atau tetangga untuk melakukan nasehat, teguran bahkan pencegahan secara langsung. Prinsip ini juga terlihat dianut oleh Hukum Pidana[12] yang berlaku di Indonesia, meskipun warisan kolonialis Belanda. Akan dituduh dengan tindak pidana membiarkan, bagi siapa yang melihat suatu kejahatan dilakukan tanpa mencegah atau melaporkan pada yang berwajib.

Kedua pepatah di atas secara jelas mengabarkan pada kita bahwa dalam hal dan kadar tertentu kita sebagai anggota kaum, dalam suatu kekerabat yang luas atau sempit, bisa saja memikul beban emosional, akibat suatu perbuatan pihak lain yang secara pribadi bahkan tidak kita kenal pun. Dan kita bisa saja mendapat beban risiko pahitnya, hanya yang karena yang menjadi sumber masalahnya adalah orang Minang, anak pisang, induak bako, atau mereka yang bersamaan suku atau nagari dan sebagainya.

Oleh karena dampak masalahnya begitu luas, maka setiap individu orang Minang, baik sebagai orang sesama Minang, se propinsi, se kabupaten, se kecamatan, se nagari, se suku dan sebagainya beroleh hak penuh (secara moral dan alami) untuk menyampaikan teguran atau nasehat supaya tidak mendatangkan rasa malu pada pihak lainnya. Demikian dapat kita simak dari pepatah salah basapo, sasek batunjuak-an, takahk bajagokan, lupo manganakan dan seterusnya.

Dari hal-hal yang dikemukakan tersebut, kita akan melihat adanya garis lurus hubungan budaya Minangkabau tersebut dengan ajaran Islam sebagai sendi tempat tegaknya yang menyebut bahwa pada diri kita ada hak orang lain.

dirimu sendiri punya hak atas tubuhmu, keluargamu punya hak atas dirimu. Maka tunaikanlah dengan benar –semua- hak-hak tersebut”. (HR Bukhari)[13] Atau dalam formula Minang akan disebut: “nagari ka samo kito uni, jalan ka samo kito tampuah “. Maksudnya adalah untuk mengingatkan masing-masing kita agar saling menjaga diri dan prilaku supaya pihak lain tidak dirugikan.

Untuk menjaga ada dan ujudnya nilai-nilai kekerabatan dimaksud, budaya Minangkabau memperlihatkannya dalam berbagai lambang materi. Seperti rumah gadang (sebagai rumah tua milik bersama, rumah asal, tidak hams beratap gonjong), pandam pakuburan, sasok, surau, untuk kelompok kaum yang sepusaka atau sepesukuan, balai adat, tapian, masjid dan sebagainya untuk kelompok yang lebih luas tanpa ikatan rurunan. Malah Singgalang, Merapi dan Kode Plat mobil (BA) pun dijadikan lambang pengikat orang Minang secara keseluruhan.

ANCAMAN, TANTANGAN DAN PELUANG

1 . Ancaman Dan Tantangan.

ebelum ini, sudah dikemukakan bagaimana pola yang terbentuk dan cara orang tua-tua masa lalu memelihara hubungan kekerabatan menurut budaya – adat Minangkabau, yang dilandasi pada raso jo pareso, sa ino samalu. Atau dalam kalimat yang lebih lugas, tenggang-manenggang. Dimasa lalu, hubungan kekerabatan itu cukup dapat dikawal oleh ninik mamak peraangku adat, melalui berbagai instrumen tradisional. Antara lain terpusatnya sumber mata pencaharian anggota kaum (berupa harta pusaka), tatacara mencarikan jodoh (suami) atau menerima lamaran (untuk isteri) bagi anak-kemenakan, sekaligus sebagai ipar besan bagi kaum ada pada kewenangan Mamak Kepala Wans. Dan hubungan kekerabatan yang dipelihara untuk membuat setiap individu dalam kerabat itu merasa, aman dan diperlukan. Selain untuk mempertahankan diri sendiri dalam kebersamaan, juga untuk melindungi serta keutuhan kebersamaan dalam kekerabatan tersebut.

Tuah manusia sepakat, pai sabondong, pulang satampuah, barek samo dipikua, ringan sanio dijinjiang. Begitu antara lain ungkapan yang sering kita ucapkan dan diyakini sebagai patron kekerabatan masyarakat Minangkabau. Dan nampaknya sejalan dengan ajaran Islam atau memang bersumber dari ajaran Islam yang mengajarkan betapa pentingnya kebersamaan umat., bila kita simak hadits Nabi saw:

Barang siapa yang memisahkan dirinya dari jama’ah -walau-satu jengkal, berarti dia sudah melepaskan ikatan Islam dari lehernya. (HR Bukhari)[14].

Dan dalam konteks dengan kekerabatan dalam budaya-adat Minangkabau, mereka yang menyimpang dari kebersamaan yang telah dipolakan, akan terkena risiko dalam berbagai tingkatan. Sejak yang dikucil dari pergaulan sebelum membayar denda penyesalan pada nagari, sampai yang dikenai hukum buang sapanjang adat (buang sapah, buang habis). Bila terkena hukuman adat yang terakhir ini, maka segala hak-haknya yang tumbuh karena hubungan adat akan dicabut.

Akan tetapi, masuknya budaya luar (sistem pemerintahan dan usaha) tentang sumber mata pencaharian, yang memungkinkan anak kemenakan bekerja sebagai pegawai, (negeri atau swasta) atau usaha-usaha yang non agrarisch lainnya, telah sekaligus merobah, setidaknya mempengaruhi struktur tradisional kekeluargaan orang Minangkabau. Semula berdiam di rumah orang tua, akan berpindah ke rumah yang didirikan sendiri, juga bukan lagi di atas bagian tanah pusaka kaum, tetapi di atas tanah yang dibeli dengan hasil pendapatan sendiri. Ujung-ujungnya adalah kekuasaan Mamak Kepala Waris terhadap anggota kaumnya tidak sama lagi dengan sebelumnya. Selain itu, peranan dan tanggung jawab seorang suami pada anak-isterinya pun mengalami perobahan 180°. Semua suami, yang juga adalah mamak dalam kaumnya sudah akan (hampir) sepenuhnya mengurus kepentingan keluarganya, tidak lagi seperti masa lalu, sibuk mengurus sawah ladang kaum orang tuanya. Sedangkan harta pusaka (collectief bezit), hampir semuanya sudah habis terindividualisasikan kepada anggota kaum. Malah sudah dibuku tanahkan (sertifikat) atas nama mereka masing-masing.

Perobahan-perobahan demikian, sekaligus juga merombak beberapa sisi beban tanggung jawab yang selama ini berada pada kewenangan mamak, terutama dalam urusan kekerabatan. Sedikit atau banyak telah menggeser dan memberi peran kepada suami para kemenakan (urang sumando). Akan tetapi, sepanjang urang sumando (suami para kemenakan) masih merasa perlu dihormati atau disegani oleh urang sumando nya sendiri di kaumnya, jaringan kekerabatan seperti semula tidak akan mengalami gangguan, karena iapun masih harus bertenggang rasa dengan mamak-mamak dalam kaum isterinya.

Namun tatanan kekerabatan masa lalu akan berombak total, apabila turunan mereka tidak lagi dididik perlunya dalam kebersamaan, betapa pentingnya rasa malu, berbasa-basi, bertenggang rasa seperti yang sudah-sudah, apabila prilaku nafsi-nafsi (individualistis) dan nan ka lamak di awak surang secara materialisasi sudah pula mengedepan. Apalagi bila ditunjang oleh mapannya kehidupan keluarga inti dan sudah dirasa berat memberikan bantuan pada kaum.

Saya sendiri, sebagai advokat-pengacara, telah berkali-kali diminta ikut menyelesaikan kasus perkawinan dari mereka yang ber-sanak ibu (ibu mereka bersaudara handling). Satu di antaranya terjadi di antara warga dari salah satu nagari di Luhak Nan Tuo (Tanah Datar), meskipun kejadiannya di rantau. Agama Islam memang tidak melarang perkawinan demikian, akan tetapi tidak pula menyuruh untuk saling kawin mengawini diantara mereka yang sekaum sepusaka. Apalagi menyuruh sesuatu yang dampaknya akan berakibat pecah atau kacaunya kesatuan sebuah kaum.

Lalu ada lagi sesebutan: kok indak ameh di pinggang dunsanak jadi urang lain; adalah sepenggal pepatah bernuansa sarkatis, betapa akibatnya bila lelaki Minang dalam keadaan tidak punya emas (tidak berpunya). Seolah saudara-saudaranya akan menghindar darinya dan akan membiarkan diri melarat sendiri. Sebentuk sikap yang dimuat dalam pepatah tersebut, perlu ditempatkan pada posisi yang benar.

Bahwa secara prinsip, agama Islam pun menganut sikap demikian. Pelajari saja dengan tenang salah satu Rukun Islam adalah kemampuan membayar zakat. Kewajiban dan menjadi rukun sahnya seseorang menjadi muslim, tanpa embel-embel penjelasan seperti menunaikan haji ke Mekah dengan catatan tambahan sekali seumur hidup jika ada kemampuan internal, ada kesempatan dan ada kemungkinan secara internal dan ekstemal. Bila hanya dipahamkan secara sepotong-sepotong, maka hanya mereka yang membayar zakat sajalah yang boleh disebut sebagai Muslim. Apakah dengan demikian, bagi yang masih belum mampu membayar zakat belum boleh disebut Muslim ?. Ada hal-hal yang perlu disimak, yaitu adanya ketentuan rukhsah (dispensasi). Malah bagi yang belum mampu secara objektif, berhak rnenerima zakat sebagai fakir atau miskin. Padahal semua kita tahu, baliwa Allah swt lebih menyukai Muslim yang kuat berbanding dengan Muslim yang lemah. Demikian, maka rukun zakat adalah rukun pendorong untuk membentuk sikap individu setiap Muslim supaya giat berusaha sampai mampu membayar zakat dan mencegahnya jadi pengemis.

Begitu jugalah dengan adagium Minangkabau diatas. Adat dan budaya Minangkabau menghendaki setiap lelaki Minangkabau, haruslah punya kemampuan, selain ilmu juga secara materi. Diperlukan untuk membantu dan menambah harta pusaka kaumnya, selain memenuhi kebutuhan keluarga dan dirinya sendiri. Malah mendorong mereka untuk merantau, dan silakan kembali- setelah dirasa berguna untuk kaum dan korong kampung. Namun bagi yang belum terbuka kesempatan menjadi lelaki mampu, secara hukum adat pun terbuka peluang untuk menggarap harta pusaka kaumnya, bahkan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya pun. Harta kaum yang digarap untuk anak bini seperti itu, disebut arato bao (harta bawaan), yang tunduk pada ketentuan bao kumbali-dapatan tingga.

Peluang

Bagaimana pun bagi orang Minangkabau yang menyadari betapa nikmatnya hidup berkerabat dan bermasyarakat serta betapa susahnya hidup sendiri, menyendiri dan dijauhi seperti yang disindirkan gurindam lama nan ba taratak ba koto asiang – ba adat ba limbago surang, ba banak di ampu kaki, ba kitab di buku tangan, tantangan keadaan akan diolahnya menjadi peluang. Sa iriang anakjo panyakik – sa iriang padijo Siangan, sudah diamati dan dialami. Penyakit di obat, Siangan di siangi. Masalah dihadapi dengan tenang dan diselesaikan dengan baik, tak usah sesak nafas.. Orang baru akan menikmati hasil, bila ia mampu mengatasi rintangan. Orang baru akan merasa betapa nikmatnya minuman, setelah mengalami betapa perihnya tenggorok dikala haus. Ta lumbuak hiduak di kelok kan, ta tumlnuik kuto di pikiri, la liinihiuik ntndiang dinuinuangkan.

KESIMPULAN

Adapun kesimpulan dari pendapat yang saya kemukakan di atas, saya pulangkan saja pada kita bersama, karena yang disebut Minangkabau adalah kebersamaan kita. Raso di bao naiak, pareso di bao turun. Apakah sistem dan nilai kekerabatan menurut budaya – adat Minangkabau yang kita alami, kita lihat dan kita dengar selama ini akan kita pelihara dengan revisi penyesuaian disana-sini (usang-usang di barui, lapuak-lapuak dikajang), atau akan kita biarkan saja perkembangannya pada generasi mendatang tanpa bimbingan karena mereka yang akan memakai?. Lalu dianggap saja sebagai kebebasan individu atau Hak Azasi Manusia ?.

Akan tetapi sedikit pesan ajaran agama yang sudah dipahami orang tua-tua masa lalu, bahwa kita sebagai manusia adalah makhluk yang juga disebut khalifah. Dalam kata lain adalah subjek yang membentuk, bukan objek yang dibentuk. Generasi masa kini punya kewajiban untuk meninggalkan generasi penggantinya dalam keadaan lebih baik, tetap kuat menghadapi dan mengolah tantangan menjadi peluang yang menguntungkan. Bukankah Islam sendiri mengajarkan, malah memerintahkan umatnya:

Hendaklah takut pada -azab dan kemurkaan Allah- semua mereka yang seandainya akan meninggalkan anak cucu dibelakang mereka dalam keadaan yang serba lemah (baik ilmu, pisik, kesehatan, kemampuan, kekuasaan dan politik.

Wassalam BuyaHMA


[1] karik – ba’ik; dua-duanya dari kata Arab; karib – ba’id (dekat dan jauh), dalam hubungan kerabat dekat dan kerabat jauh dalam banyak sisi dan arah..

[2] DR Sayyid M. Nuh; terjemahan jilid 2, halaman 267.

[3] Sunan Al Tiimidzi; Hadits No. 2356, dengan nilai sahih.

[4] Sahih Muslim; hadits no. 2213. teguran Nabi saw. dalam kasus perkelahian seorang pemuda Muhajirin dengan pemuda Anshar, dan yang lainnya saling bersorak memberi semangat mendukung kelompoknya masing-masing seperti masa jahiliyah.

[5] Ibidem No. 1540.

[6] “co kambiang mangawan” (bagai kambing turut kawan, kejar-kejaran cari pasangan di manapun).

[7] mamak rumah; sebutan terhadap saudara lelaki istcri dari sisi seorang suami (rang semenda) di suatu kaum, baik sekandung atau hanya sepesukuan.

[8] pua; puar; sejenis kapulaga (banyak variasinya), dibeberapa nagari disebut salo.

[9] andilau atau endilau; pohon dengan nama tatinnya Commersonis bartramia MERR.

[10] sicerek (clausena cxavata); nama pohon kecil, daunnya biasanya dijadikan obat tradisional;

[11] Q.S. 8-al Anfal/25

[12] Menurut catatan sejarah ilmu hukum, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia ini, semula adalah konkordans dari KUHP Negeri Belanda, bersumber dari Code Napoleon, sebelumnya di kutip dari Hukum-Hukum yang berlaku di Cordoba yang Islam.

[13] Sayyid Muhammad Nuh; Aafaatvn ‘Alath-Thariq; Darul Wafa, Mesir, Cet.V 1413 H/1993 M; sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul “Pcnyebab Gagalnya Dakwah”; lihat jilid 1 halaman 30.

[14] Ibidem; lihat jilid 1 halaman23.

Kekerabatan di Minangkabau

MINANGKABAU DAN SISTIM KEKERABATAN

Hubungan Kekeluargaan Minangkabau, bersuku ke ibu, bersako ke mamak, dan bernasab ke ayah 

Oleh : H Mas’oed Abidin

MINANGKABAU DALAM SEJARAH DAN TAMBO

1. Asal usul manusia Minangkabau

Kata Minangkabau mengandung banyak pengertian. Minangkabau dipahamkan sebagai sebuah kawasan budaya, di mana penduduk dan masyarakatnya menganut budaya Minangkabau. Kawasan budaya Minangkabau mempunyai daerah yang luas. Batasan untuk kawasan budaya tidak dibatasi oleh batasan sebuah propinsi. Berarti kawasan budaya Minangkabau berbeda dengan kawasan administratif Sumatera Barat.

Minangkabau dipahamkan pula sebagai sebuah nama dari sebuah suku bangsa, suku Minangkabau. Mempunyai daerah sendiri, bahasa sendiri dan penduduk sendiri.

Minangkabau dipahamkan juga sebagai sebuah nama kerajaan masa lalu, Kerajaan Minangkabau yang berpusat di Pagaruyung. Sering disebut juga kerajaan Pagaruyung, yang mempunyai masa pemerintahan yang cukup lama, dan bahkan telah mengirim utusan-utusannya sampai ke negeri Cina. Banyaknya pengertian yang dikandung kata Minangkabau, maka tidak mungkin melihat Minangkabau dari satu pemahaman saja.

Membicarakan Minangkabau secara umum mendalami sebuah suku bangsa dengan latar belakang sejarah, adat, budaya, agama, dan segala aspek kehidupan masyarakatnya. Mengingat hal seperti itu, ada dua sumber yang dapat dijadikan rujukan dalam mengkaji Minangkabau, yaitu sumber dari sejarah dan sumber dari tambo. Kedua sumber ini sama penting, walaupun di sana sini, pada keduanya ditemui kelebihan dan kekurangan, namun dapat pula saling melengkapi.

Menelusuri sejarah tentang Minangkabau, sebagai satu cabang dari ilmu pengetahuan, maka mesti didasarkan bukti-bukti yang jelas dan otentik. Dapat berupa peninggalan-peninggalan masa lalu, prasasti-prasasti, batu tagak (menhir), batu bersurat, naskah-naskah dan catatan tertulis lainnya. Dalam hal ini, ternyata bukti sejarah lokal Minangkabau termasuk sedikit.

Banyak catatan dibuat oleh pemerintahan Hindia Belanda (Nederlandsche Indie), tentang Minaangkabau atau Sumatera West Kunde, yang amat memerlukan kejelian di dalam meneliti. Hal ini disebabkan, catatan-catatan dimaksud dibuat untuk kepentingan pemerintahan Belanda, atau keperluan dagang oleh Maatschappij Koningkliyke VOC.

 Tambo atau uraian mengenai asal usul orang Minangkabau dan menerakan hukum-hukum adatnya, termasuk sumber yang mulai langka di wilayah Minangkabau sekarang. Sungguhpun, penelusuran tambo sulit untuk dicarikan rujukan seperti sejarah, namun apa yang disebut dalam tambo masih dapat dibuktikan ada dan bertemu di dalam kehidupan masyarakat Minangkabau.

Tambo diyakini oleh orang Minangkabau sebagai peninggalan orang-orang tua. Bagi orang Minangkabau, tambo dianggap sebagai sejarah kaum. Walaupun, di dalam catatan dan penulisan sejarah sangat diperhatikan penanggalan atau tarikh dari sebuah peristiwa, serta di mana kejadian, bagaimana terjadinya, bila masanya, dan siapa pelakunya, menjadikan penulisan sejarah otentik. Sementara tambo tidak terlalu mengutamakan penanggalan, akan tetapi menilik kepada peristiwanya. Tambo lebih bersifat sebuah kisah, sesuatu yang pernah terjadi dan berlaku.

Tentu saja, bila kita mempelajari tambo kemudian mencoba mencari rujukannya sebagaimana sejarah, kita akan mengalami kesulitan dan bahkan dapat membingungkan. Sebagai contoh; dalam tambo Minangkabau tidak ditemukan secara jelas nama Adhytiawarman, tetapi dalam sejarah nama itu adalah nama raja Minangkabau yang pertama berdasarkan bukti-bukti prasasti.

Dalam hal ini sebaiknya sikap kita tidak memihak, artinya kita tidak menyalahkan tambo atau sejarah. Sejarah adalah sesuatu yang dipercaya berdasarkan bukti-bukti yang ada, sedangkan tambo adalah sesuatu yang diyakini berdasarkan ajaran-ajaran yang terus diturunkan kepada anak kemenakan. 

Minangkabau menurut sejarah

Banyak ahli telah meniliti dan menulis tentang sejarah Minangkabau, dengan pendapat, analisa dan pandangan yang berbeda. Tetapi pada umumnya mereka membagi beberapa periode kesejarahan; Minangkabau zaman sebelum Masehi, zaman Minangkabau Timur dan zaman kerajaan Pagaruyung. Seperti yang ditulis MD Mansur dkk dalam Sejarah Minangkabau, bahwa zaman sejarah Minangkabau pada zaman sebelum Masehi dan pada zaman Minangkabau Timur hanya dua persen saja yang punya nilai sejarah, selebihnya adalah mitologi, cerita-cerita yang diyakini sebagai tambo.

Prof Slamet Mulyana dalam Kuntala, Swarnabhumi dan Sriwijaya mengatakan bahwa kerajaan Minangkabau itu sudah ada sejak abad pertama Masehi.

Kerajaan itu muncul silih berganti dengan nama yang berbeda-beda. Pada mulanya muncul kerjaan Kuntala dengan lokasi sekitar daerah Jambi pedalaman. Kerajaan ini hidup sampai abad ke empat. Kerajaan ini kemudian berganti dengan kerajaan Swarnabhumi pada abad ke lima sampai ke tujuh sebagai kelanjutan kerajaan sebelumnya. Setelah itu berganti dengan kerajaan Sriwijaya abad ke tujuh sampai 14.

Mengenai lokasi kerajaan ini belum terdapat kesamaan pendapat para ahli. Ada yang mengatakan sekitar Palembang sekarang, tetapi ada juga yang mengatakan antara Batang Batang Hari dan Batang Kampar. Candi Muara Takus merupakan peninggalan kerajaan Kuntala yang kemudian diperbaiki dan diperluas sampai masa kerajaan Sriwijaya. Setelah itu muncul kerajaan Malayapura (kerajaan Melayu) di daerah yang bernama Darmasyraya (daerah Sitiung dan sekitarnya sekarang). Kerajaan ini merupakan kelanjutan dari kerajaan Sriwijaya. Kerajaan ini kemudian dipindahkan oleh Adhytiawarman ke Pagaruyung. Sejak itulah kerajaan itu dikenal dengan kerajaan Pagaruyung.

Menurut Jean Drakar dari Monash University Australia mengatakan bahwa kerajaan Pagaruyung adalah kerajaan yang besar, setaraf dengan kerajaan Mataram dan kerajaan Melaka. Itu dibuktikannya dengan banyaknya negeri-negeri di Nusantara ini yang meminta raja ke Pagaruyung, seperti Deli, Siak, Negeri Sembilan dan negeri-negeri lainnya. 

Minangkabau menurut tambo

Dalam bentuk lain, tambo menjelaskan pula tentang asal muasal orang Minangkabau. Tambo adalah satu-satunya keterangan mengenai sejarah Minangkabau. Bagi masyarakat Minangkabau, tambo mempunyai arti penting, karena di dalamtambo terdapat dua hal; (1) Tambo alam, suatu kisah yang menerangkan asal usul orang Minangkabau semenjak raja pertama datang sampai kepada masa kejayaan kerajaan Pagaruyung. (2) Tambo adat, uraian tentang hukum-hukum adat Minangkabau. Dari sumber inilah hukum-hukum, aturan-aturan adat, dan juga berawalnya sistem matrilineal dikembangkan.

Di dalam Tambo alam diterangkan bahwa raja pertama yang datang ke Minangkabau bernama Suri Maharajo Dirajo. Anak bungsu dari Iskandar Zulkarnain. Sedangkan dua saudaranya, Sultan Maharaja Alif menjadi raja di benua Rum dan Sultan Maharajo Dipang menjadi raja di benua Cina. Secara tersirat tambo telah menempatkan kerajaan Minangkabau setaraf dengan kerajaan di benua Eropa dan Cina. Suri Maharajo Dirajo datang ke Minangkabau ini, di dalam Tambo disebut pulau paco lengkap dengan pengiring  yang yang disebut; Kucing Siam, Harimau Campo, Anjiang Mualim, Kambiang Hutan.

Masing-masing nama itu kemudian dijadikan “lambang” dari setiap luhak di Minangkabau. Kucing Siam untuk lambang luhak Tanah Data, Harimau Campo untuk lambang luhak Agam dan Kambiang hutan untuk lambang luhak Limo Puluah. Suri Maharajo Dirajo mempunya seorang penasehat ahli yang bernama Cati Bilang Pandai.

Suri Maharajo Dirajo meninggalkan seorang putra bernama Sutan Maharajo Basa yang kemudian dikenal dengan Datuk Katumanggungan pendiri sistem kelarasan Koto Piliang. Puti Indo Jalito, isteri Suri Maharajo Dirajo sepeninggalnya kawin dengan Cati Bilang Pandai dan melahirkan tiga orang anak, Sutan Balun, Sutan Bakilap Alam dan Puti Jamilan. Sutan Balun kemudian dikenal dengan gelar Datuk Perpatih Nan Sabatang pendiri kelarasan Bodi Caniago.

Datuk Katumanggungan meneruskan pemerintahannya berpusat di Pariangan Padang Panjang kemudian mengalihkannya ke Bungo Sitangkai di Sungai Tarab sekarang, dan menguasai daerah sampai ke Bukit Batu Patah dan terus ke Pagaruyung.

Maka urutan kerajaan di dalam Tambo Alam Minangkabau adalah;

(1)  Kerajaan Pasumayan Koto Batu,

(2)  Kerajaan Pariangan Padang Panjang

(3)  Kerajaan Dusun Tuo yang dibangun oleh Datuk Perpatih Nan Sabatang

(4)  Kerajaan Bungo Sitangkai

(5)  Kerajaan Bukit Batu Patah dan terakhir

(6)  Kerajaan Pagaruyung.

Menurut Tambo Minangkabau, kerajaan yang satu adalah kelanjutan dari kerajaan sebelumnya. Karena itu, setelah adanya kerajaan Pagaruyung, semuanya melebur diri menjadi kawasan kerajaan Pagaruyung.

Kerajaan Dusun Tuo yang didirikan oleh Datuk Perpatih Nan Sabatang, karena terjadi perselisihan paham antara Datuk Ketumanggungan dengan Datuk Perpatih nan Sabatang, maka kerajaan itu tidak diteruskan, sehingga hanya ada satu kerajaan saja yaitu kerajaan Pagaruyung. Perbedaan paham antara kedua kakak beradik satu ibu ini yang menjadikan sistem pemerintahan dan kemasyarakatan Minangkabau dibagi atas dua kelarasan, Koto Piliang dan Bodi Caniago.

Dari uraian tambo dapat dilihat, bahwa awal dari sistem matrilineal telah dimulai sejak awal, yaitu dari “induknya” Puti Indo Jalito. Dari Puti Indo Jalito inilah yang melahirkan Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sabatang. Namun, apa yang diuraikan setiap tambo punya berbagai variasi, karena setiap nagari punya tambo.

Dr. Edward Jamaris yang membuat disertasinya tentang tambo, sangat sulit menenyukan pilihan. Untuyk keperluan itu, dia harus memilih salah satu tambo dari 64 buah tambo yang diselidikinya. Namun pada umumnya tambo menguraikan tentang asal usul orang Minangkabau sampai terbentuknya kerajaan Pagaruyung.  

Asal kata Minangkabau

Kata Minangkabau mempunyai banyak arti. Merujuk kepada penelitian kesejarahan, beberapa ilmuan telah mengemukakan pendapatnya tentang asal kata Minangkabau.

a.       Purbacaraka (dalam buku Riwayat Indonesia I) Minangkabau berasal dari kata Minanga Kabawa atau Minanga Tamwan yang maksudnya adalah daerah-daerah disekitar pertemuan dua sungai; Kampar Kiri dan Kampar Kanan. Hal ini dikaitkannya dengan adanya candi Muara Takus yang didirikan abad ke 12.

b.       Van der Tuuk mengatakan kata Minangkabau berasal dari kata Phinang Khabu yang artinya tanah asal.

c.       Sutan Mhd Zain mengatakan kata Minangkabau berasal dari Binanga Kamvar maksudnya muara Batang Kampar.

d.       M.Hussein Naimar mengatakan kata Minangkabau berasal dari kata Menon Khabu yang artinya tanah pangkal, tanah yang mulya.

e.        Slamet Mulyana mengatakan kata Minangkabau berasal dari kata Minang Kabau. Artinya, daerah-daerah yang berada disekitar pinggiran sungai-sungai yang ditumbuhi batang kabau (jengkol).

Dari berbagai pendapat itu dapat disimpulkan bahwa Minangkabau itu adalah suatu wilayah yang berada di sekitar muara sungai yang didiami oleh orang Minangkabau.

Namun dari Tambo, kata Minangkabau berasal dari kata Manang Kabau. Menang dalam adu kerbau antara kerbau yang dibawa oleh tentara Majapahit dari Jawa dengan kerbau orang Minang.

Wilayah asal Minangkabau

Membicarakan tentang wilayah Minangkabau, seperti yang dijelaskan di atas, harus dilihat dalam dua pengertian yang masing-masingnya berbeda;

1.      Pengertian budaya

2.       Pengertian geografis

Dalam pengertian budaya, wilayah Minangkabau itu itu adalah suatu wilayah yang didukung oleh suatu masyarakat yang kompleks, yang bersatu bersamaan persamaan asal usul, adat, dan falsafah hidup.

Menurut tambo, wilayah Minangkabau disebutkan saedaran gunuang Marapi, salareh batang Bangkaweh, sajak Sikilang Aie Bangih, lalu ka gunuang Mahalintang, sampai ka Rokan Pandalian, sajak di Pintu Rayo Hilie, sampai Si Alang Balantak Basi, sajak Durian Ditakuak Rajo, lalu ka Taratak Aie Hitam, sampai ka Ombak Nan Badabua.

Mengenai batas-batas yang disebutkan di atas, berbagai penafsiran terjadi. Ada yang mengatakan bahwa batas-batas itu adalah simbol-simbol saja tetapi wilayah itu tidak ada yang jelas dan tepat, tetapi ada juga yang berpendapat bahwa batas-batas itu adalah benar dan nagari-nagari yang disebutkan itu ada sampai sekarang. Dalam hal ini tentu kita tidak perlu melihat perbedaan-perbedaan pendapat tersebut, karena kedua-dua pendapat itu ada benarnya.

Dalam pengertian geografis, wilayah Minangkabau terbagi atas wilayah inti yang disebut darek dan wilayah perkembangannya yang disebut rantau dan pesisir.

a. Darek

Daerah dataran tinggi di antara pegunungan Bukit Barisan; di sekitar gunung Singgalan, sekitar gunung Tandikek, sekitar gunung Merapi dan sekitar gunung Sago. Daerah darek ini dibagi dalam tiga luhak; (1) Luhak Tanah Data sebagai luhak nan tuo, buminyo nyaman, aienyo janiah ikannyo banyak, (2) Luhak Agam sebagai luhak nan tangah, buminyo anegk, aienyo karuah, ikannyo lia, (3) dan Luhak Limo Puluah Koto sebagai luhak nan bongsu, buminyo sajuak, aienyo janiah, ikannyo jinak.

Nagari-nagari yang termasuk ke dalam luhak Tanah Data adalah; Pagaruyung, Sungai tarab, Limo Kaum, Sungayang, Saruaso, Sumanik, Padang Gantiang, Batusangka, Batipuh 10 koto, Lintau Buo, Sumpur Kuduih, Duo puluah koto, Koto Nan Sambilan, Kubuang Tigobaleh, Koto Tujuah, Supayang, Alahan Panjang, Ranah Sungai Pagu.

Nagari-nagari yang termasuk ke dalam luhak Agam adalah; Agam tuo, Tujuah lurah salapan koto, Maninjau, Lawang, Matua, Ampek Koto, Anam Koto, Bonjol, Kumpulan, Suliki.

Nagari-nagari yang termasuk ke dalam luhak Limo Puluah Koto adalah; luhak terdiri dari Buaiyan Sungai Balantik, Sarik Jambu Ijuak, Koto Tangah, Batuhampa, Durian gadang, Limbukan, Padang Karambie, Sicincin, Aur Kuniang, Tiakar, Payobasuang, Bukik Limbuku, Batu Balang Payokumbuah, Koto Nan Gadang (dari Simalanggang sampai Taram); ranah terdiri dari Gantiang, Koto Laweh, Sungai Rimbang, Tiakar, Balai Mansiro, Taeh Simalanggang, Piobang, Sungai Baringin, Gurun, Lubuk Batingkok, Tarantang, Selo Padang Laweh (Sajak dari Simalanggang sampai tebing Tinggi, Mungkar); lareh terdiri dari Gaduik, Tebing Tinggi, Sitanang, Muaro Lakin, Halaban, Ampalu, Surau, Labuah Gurun ( dari taram taruih ka Pauh Tinggi, Luhak 50, taruih ka Kuok, Bangkinang, Salo, Aie Tirih dan Rumbio)

b. Rantau.

Daerah pantai timur Sumatera. Ke utara luhak Agam; Pasaman, Lubuk Sikaping dan Rao. Ke selatan dan tenggara luhak Tanah Data; Solok Silayo, Muaro Paneh, Alahan Panjang, Muaro Labuah, Alam Surambi Sungai Pagu, Sawah lunto Sijunjung, sampai perbatasan Riau dan Jambi. Daerah ini disebut sebagai ikue rantau.

Kemudian rantau sepanjang iliran sungai sungai besar; Rokan, Siak, Tapung, Kampar, Kuantan/Indragiri dan Batang Hari. Daerah ini disebut Minangkabau Timur yang terdiri dari;

a)       Rantau 12 koto (sepanjang Batang Sangir); Nagari Cati nan Batigo (sepanjang Batang Hari sampai ke Batas Jambi), Siguntue (Sungai Dareh), Sitiuang, Koto Basa.

b)      Rantau Nan Kurang Aso Duopuluah (rantau Kuantan)

c)       Rantau Bandaro nan 44 (sekitar Sungai Tapuang dengan Batang Kampar)

d)      Rantau Juduhan (rantau Y.D.Rajo Bungsu anak Rajo Pagaruyung; Koto Ubi, Koto Ilalang, Batu Tabaka)

e)       NegeriSembilan

c. Pesisir

Daerah sepanjang pantai barat Sumatera. Dari utara ke selatan; Meulaboh, Tapak Tuan, Singkil, Sibolga, Sikilang, Aie Bangih, Tiku, Pariaman, Padang, Bandar Sapuluah, terdiri dari; Air Haji, Balai Salasa, Sungai Tunu, Punggasan, Lakitan, Kambang, Ampiang Parak, Surantiah, Batang kapeh, Painan (Bungo Pasang), seterusnya Bayang nan Tujuah, Indrapura,Kerinci,Muko-muko,Bengkulu. 

SISTIM KEMASAYARAKATAN/KELARASAN

Sistim kemasyarakatan atau yang dikenal sebagai sistem kelarasan merupakan dua instisusi adat yang dibentuk semenjak zaman kerajaan Minangkabau/Pagaruyung dalam mengatur pemerintahannya. Bahkan ada juga pendapat yang mengatakan, penyusunan itu dilakukan sebelum berdirinya kerajaan Pagaruyung.

Kedua institusi tersebut masih tetap dijalankan oleh masyarakat adat Minangkabau sampai sekarang. Keberadaan dan peranannya sudah menjadi bakuan sosial atau semacam tatanan budaya yang diakui dan menjadi rujukan dalam menjalankan dan membicarakan tatanan adat alam Minangkabau.

Kedua institusi itu tidak berdiri keduanya begitu saja. Dalam sebuah tatanan pemerintahan, kedua institusi tersebut berjalan searah dengan instisuti lainnya atau lembaga-lembaga lainnya. Lembaga-lembaga tersebut terdiri dari: Rajo Tigo Selo; yang terdiri dari Raja Alam, Raja Adat dan Raja Ibadat.

Rajo Tigo Selo berasal dari keturunan yang sama. Hanya penempatan, tugas serta kedudukannya yang berbeda.

Kedudukan/tempat tinggal

Raja Alam di Pagaruyung, Raja Adat di Buo dan Raja Ibadat di Sumpur Kudus.

Daerah-daerah rantau barat dan timur merupakan daerah yang berada langsung di bawah raja, dengan mengangkat “urang gadang” atau “rajo kaciak” pada setiap daerah. Mereka setiap tahun menyerahkan “ameh manah” kepada raja.

Daerah-daerah yang langsung berada di bawah pengawasan raja

Daerah-daerah rantau tersebut adalah:

Rantau pantai timur

1.      Rantau nan kurang aso duo puluah (di sepanjang Batang Kuantan) disebut juga Rantau Tuan Gadih.

2.      Rantau duo baleh koto (sepanjang batang Sangir) disebut juga Nagari Cati Nan Batigo.

3.      Rantau Juduhan (kawasan Lubuk Gadang dan sekitarnya) disebut juga Rantau Yang Dipertuan Rajo Bungsu

4.      Rantau Bandaro nan 44 (sekitar Sei.Tapung dan Kampar)

5.       Negeri Sembilan

Rantau pantai barat:

1.   Bayang nan 7, Tiku Pariaman, Singkil Tapak Tuan disebut juga Rantau Rajo

2.   Bandar X disebut juga Rantau Rajo Alam Surambi Sungai Pagu.

 

Perangkat Raja

Basa Ampek Balai

Dalam menjalankan pemerintahan, raja dibantu oleh 4 orang menterinya yang disebut Basa Ampek Balai dan seorang Panglima Perang, Tuan Gadang Batipuh.

Datuk Nan Batujuh

Di daerah kedudukan (tempat raja menetap/tinggal), setiap raja mempunyai perangkat penghulu tersendiri untuk mengurus masalah masalah daerah kedudukan dan kerumah tangga.

Datuk Nan Batujuh, yang mengurus segala hal tentang wilayah raja (Pagaruyung)

Datuk Nan Barampek di Balai Janggo yang mengurus segala hal tentang kerumahtanggaan.

Pada mulanya, datuk-datuk ini diangkat oleh raja. Jadi, datuk-datuk ini berbeda dengan datuk-datuk di nagari-nagari lainnya. Datuk di nagari lainnya merupakan pimpinan kaum, sedangkan datuk-datuk ini perangkat raja. 

Datuk-datuk tepatan raja pada wilayah atau nagari-nagari tertentu ada datuk-datuk yang ditunjuk untuk perpanjangan tangan raja, tempat tepatan raja. 

Sistem kelarasan

1. Kelarasan Koto Piliang (yang menjalankan pemerintahan) yang dipimpin oleh Datuk bandaro Putih Pamuncak Koto Piliang berkedudukan di Sungai Tarab. Hirarki dalam kelarasan Koto Piliang mempunyai susunan seperti di atas yang disebut; bajanjang naiak batanggo turun, dengan prinsip pengangkatan penghulu-penghulunya; patah tumbuah. 

2. Kelarasan Bodi Caniago (yang menjalankan persidangan) yang dipimpin oleh Datuk Badaro Kuniang, Gajah Gadang Patah Gadiang berkedudukan di Limo Kaum.

Hirarki dalam kelarasan Bodi Caniago mempunyai susunan yang disebut; duduak samo randah tagak samo tinggi. 

Kedudukan raja terhadap kedua kelarasan

Kedudukan raja berada di atas dua kelarasan; Koto Piliang dan Bodi Caniago. Bagi kelarasan Koto Piliang, kedudukan raja di atas segalanya. Sedangkan bagi Kelarasan Bodi Caniago kedudukan raja adalah symbolik sebagai pemersatu. 

Tempat persidangan

1. Balai Panjang.

    Tempat persidangan untuk semua lembaga; Raja, Koto Piliang, Bodi Caniago, Rajo-rajo

     di rantau berada di Balai Panjang, Tabek Sawah Tangah.

2. Balairung

    Tempat persidangan raja dengan basa-basa disebut Balairung

3. Medan nan bapaneh

    Tempat persidangan kelarasan koto piliang disebut Medan Nan Bapaneh dipimpin

     Pamuncak Koto Piliang, Datuk Bandaro Putih

4. Medan nan Balinduang

     Tempat persidangan kelarasan bodi caniago disebut Medan Nan Balinduang dipimpin

      oleh Pucuak Bulek Bodi Caniago, Datuk Bandaro Kuniang.

5. Balai Nan Saruang

    Tempat persidangan Datuk Badaro Kayo di Pariangan disebut Balai Nan Saruang 

 2. Lareh nan duo

Lareh atau sistem, di dalam adat dikenal dengan dua; Lareh Nan Bunta dan Lareh nan Panjang. Lareh nan Bunta lazim juga disebut Lareh Nan Duo, yang dimaksudkan adalah Kelarasan Koto Piliang yang disusun oleh Datuk Ketumanggungan dan Kelarasan Bodi Caniago oleh Datuk Perpatih Nan Sabatang. Sedangkan Lareh nan Panjang di sebut; Bodi Caniago inyo bukan, Koto Piliang inyo antah disusun oleh Datuk Suri Nan Banego-nego.(disebut juga Datuk Sikalab Dunia Nan Banego-nego) Namun yang lazim dikenal hanyalah dua saja, Koto Piliang dan Bodi Caniago.

Kedua sistem (kelarasan) Koto Piliang dan Bodi Caniago adalah dua sistem yang saling melengkapi dan memperkuat. Hal ini sesuai dengan sejarah berdirinya kedua kelarasan itu. Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sabatang kakak adik lain ayah, sedangkan Datuk Suri Nan Banego-nego adalah adik dari Datuk Perpatih Nan Sabatang. Di dalam tambo disebutkan;

Malu urang koto piliang, malu urang bodi caniago.

Didalam mamangan lain dikatakan:

Tanah sabingah lah bapunyo, rumpuik sahalai lah bauntuak

Malu nan alun kababagi.  

a. Kelarasan Koto Piliang

Dipimpin oleh Datuk Bandaro Putiah

Roda pemerintahan dijalankan dalam sistem Koto Piliang, yang dalam hal ini dijalankan oleh Basa Ampek Balai:

Panitiahan – berkedudukan di Sungai Tarab – Pamuncak Koto Piliang

Makhudum – berkedudukan di Sumanik – Aluang bunian Koto Piliang

Indomo – berkedudukan di Saruaso – Payung Panji Koto Piliang

Tuan Khadi – berkedudukan di Padang Ganting – Suluah Bendang Koto Piliang

(Ditambah seorang lagi yang kedudukannya sama dengan Basa Ampek Balai)

Tuan Gadang – berkedudukan di Batipuh – Harimau Campo Koto Piliang 

Setiap Basa, mempunyai perangkat sendiri untuk mengurus masalah-masalahdaerah kedudukannya. Setiap basa membawahi beberapa orang datuk di daerah tempat kedudukannya, tergantung kawasannya masing-masing. (Ada yang 9 datuk seperti Sungai Tarab, 7 datuk seperti di Saruaso dll) 

Setiap Basa diberi wewenang oleh raja untuk mengurus wilayah-wilayah tertentu, untuk memungut ameh manah, cukai, pengaturan wilayah dan sebagainya.

Misalnya; Datuk Bandaro untuk daerah pesisir sampai ke Bengkulu

Makhudum untuk daerah pesisir timur sampai ke Negeri Sembilan

Indomo untuk daerah pesisir barat utara.

Tuan Kadi untuk daerah Minangkabau bagian selatan. 

Pada setiap nagari, ada beberapa penghulu yang berada di bawah setiap basa yang mengepalai nagari-nagari tersebut.   

Catatan : Masing-masing unsur (elemen) dari perangkat adat ini banyak diubah dan berubah akibat ekspansi pemerintahan Belanda dalam mencampuri urusan hukum adat. Namun “batang” dari sistem ini tetap diikuti sampai sekarang. 

Langgam nan tujuah (7 daerah istimewa)

Di dalam sistem pemerintahan itu, ada daerah-daerah istimewa yang dipimpin oleh seorang penghulu yang langsung berada di bawah kuasa raja. Dia tidak berada di bawah Basa 4 Balai. Daerah-daerah istimewa ini mempunyai fungsi dan kedudukan tersendiri dan sampai sekarang masih dijalankan.

Langgam nan tujuh itu terdiri dari tujuh daerah/wilayah dengan gelar kebesarannya masing-masing:

1.       Pamuncak Koto Piliang

       Daerahnya Sungai Tarab salapan batu

2.       Gajah Tongga Koto Piliang

       Daerahnya Silingkang & Padang Sibusuak 

3.       Camin Taruih Koto Piliang

        Daerahnya Singkarak & Saningbaka 

4.       Cumati Koto Piliang

       Daerahnya Sulik Aie & Tanjuang Balik

5.       Perdamaian Koto Piliang

      Daerahnya Simawang & Bukik Kanduang

6.       Harimau Campo Koto Piliang

      Daerahnya Batipuh 10 Koto

7.       Pasak kungkuang Koto Piliang

      Daerahnya Sungai Jambu & Labu Atan 

Sistem yang dipakai dalam kelarasan Koto Piliang:

Memakai sistem cucua nan datang dari langik, kaputusan indak buliah dibandiang.

Maksudnya; segala keputusan datang dari raja. Raja yang menentukan.

Bila persoalan timbul pada suatu kaum, kaum itu membawa persoalan kepada Basa Ampek Balai. Jika persoalan tidak putus oleh Basa Ampek Balai, diteruskan kepada Rajo Duo Selo. Urusan adat kepada Rajo Adat, dan urusan keagamaan kepada Rajo Ibadat. Blia kedua rajo tidak dapat memutuskan, diteruskan kepada Rajo Alam. Rajo Alamlah yang memutuskan.

Karena itu dalam kelarasan ini hirarkinya adalag sebagai berikut; kamanakan barajo ka mamak, mamak barajo ka pangulu, pangulu barajo ka Basa Ampek Balai, Basa Ampek Balai ka Rajo Duo Selo. 

b. Kelarasan Bodi Caniago

Dipimpin oleh Datuk Bandaro Kuniang, Gajah Gadang Patah Gadiang di Limo Kaum

Di bawahnya disebut Datuak Nan Batigo; Datuk nan di Dusun Tuo, Datuk nan di Paliang, Datuk nan Kubu Rajo. (Nama-nama Datuk tak disebutkan, karena mereka memakai sistem “gadang balega”, pimpinan dipilih berdasarkan kemufakatan (Hilang Baganti)

Kelarasan Bodi Caniago, juga mempunyai daerah setaraf Langgam Nan Tujuh dalam kelarasan Koto Piliang, yang disebut Tanjuang nan ampek, lubuak nan tigo (juga tujuh daerah khusus dengan tujuh penghulu/pucuak buleknyo)

  1. Tanjuang Bingkuang (Limo kaum dan sekitarnya)
  2. Tanjung Sungayang
  3. Tanjuang Alam
  4. Tanjuang Barulak
  5. Lubuk Sikarah
  6. Lubuk Sipunai
  7. Lubuk Simawang

Sistem yang dipakai dalam kelarasan Bodi Caniago:

Memakai sistem nan bambusek dari tanah, nan tumbuah dari bawah. Kaputusan buliah dibandiang. Nan luruih buliah ditenok, nan bungkuak buliah dikadang

Maksudnya; segala keputusan ditentukan oleh sidang kerapatan para penghulu. Keputusan boleh dibanding, dipertanyakan dan diuji kebenarannya.

Bila persoalan timbul pada suatu kaum, kaum itu membawa persoalan kepada Datuak nan Batigo di Limo Kaum.

Karena itu dalam kelarasan ini hirarkinya adalah sebagai berikut; kamanakan barajo ka mamak, mamak barajo ka pangulu, pangulu barajo ka mupakaik, nan bana badiri sandirinyo. 

3. Lareh Nan Panjang

Dipimpin oleh Datuk Bandaro Kayo

Selain itu pula, ada satu lembaga lain yang dipimpin oleh Datuk Badaro Kayo yang berkedudukan di Pariangan Padang Panjang. Tugasnya menjadi juru damai sekiranya terjadi pertikaan antara Datuk Badaro Putiah di Sungai Tarab (Koto Piliang) dengan Datuk Bandaro Kuniang (Bodi Caniago). Dia bukan dari kelarasan Koto Piliang atau Bodi Caniago, tetapi berada antara keduanya.

Di dalam pepatah adat disebutkan:

Pisang sikalek-kalek utan

Pisang simbatu nan bagatah

Bodi Caniago inyo bukan

Koto piliang inyo antah

Daerah kawasannya disebut : 8 Koto Diateh, 7 Koto Dibawah; Sajak dari guguak Sikaladi Hilie, sampai ka Bukik Tumasu Mudiak, Salilik Batang Bangkaweh.

8 Koto Diateh terdiri dari; Guguak, Sikaladi, Pariangan, Pd.Panjang, Koto Baru, Sialahan, Koto Tuo, Batu Taba.

7 Koto Dibawah terdiri dari; Galogandang, Padang Lua, Turawan, Balimbiang, Kinawai, Sawah Laweh, Bukik Tumasu. 

Dengan demikian, ada tiga Datuk Bandaro di dalam daerah kerajaan itu.

Kemudian disusul dengan adanya Datuk bandaro Hitam yang juga punya fungsi sama seperti Datuk Bandaro Putiah, dengan kedudukan di wilayah Minangkabau bagian selatan (Jambu Limpo dllnya) 

Penghulu

Penghulu pada setiap kaum yang ada naari-nagari masing-masingnya punya perangkat tersendiri pula dalam mengatur kaumnya.

Perangkat itu terdiri dari: Manti, Malin, Dubalang. Mereka berempat disebut pula Urang nan ampek jinih.

Setiap rumah gadang, punya seorang mamak yang mengatur. Mamak yang mengatur rumah gadang tersebut Tungganai, atau mamak rumah. Dia juga bergelar datuk. 

Nama Gelar Penghulu.

Nama gelar penghulu yang mula-mula hanya terdiri satu kata; Bandaro misalnya. Datuk Bandaro.

Pada lapis kedua, atau sibaran baju, nama datuk menjadi dua kata, untuk memisahkan sibaran yang satu dengan sibaran yang lain; Datuk Bandaro Putih, Datuk Badaro Kuniang, Datuk Bandaro Kayo dan Datuk Bandaro Hitam.

Apabila kemenakan datuk Bandaro ini sudah semakin banyak, dan memerlukan seorang penghulu untuk mengatur mereka, maka mereka memecah lagi gelaran itu; Datuk Bandaro Lubuak Bonta misalnya, adalah sibaran pada peringkat ke empat dari gelar asalnya.

Begitu seterusnya. Semakin panjang gelar Datuk itu, itu pertanda bahwa gelar itu adalah sibaran dalam tingkat ke sekian.

 

 

 

SISTIM KEKELUARGAAN MATRILINEAL

Sistem matrilineal adalah suatu sistem yang mengatur kehidupan dan ketertiban suatu masyarakat yang terikat dalam suatu jalinan kekerabatan dalam garis ibu. Seorang anak laki-laki atau perempuan merupakan klen dari perkauman ibu. Ayah tidak dapat memasukkan anaknya ke dalam klen-nya sebagaimana yang berlaku dalam sistem patrilineal. Oleh karena itu, waris dan pusaka diturunkan menurut garis ibu pula.

Menurut Muhammad Radjab (1969) sistem matrilineal mempunyai ciri-cirinya sebagai berikut;

1.           Keturunan dihitung menurut garis ibu.

2.           Suku terbentuk menurut garis ibu

3.           Tiap orang diharuskan kawin dengan orang luar sukunya (exogami)

4.           Pembalasan dendam merupakan satu kewajiban bagi seluruh suku

5.           Kekuasaan di dalam suku, menurut teori, terletak di tangan “ibu”, tetapi jarang sekali dipergunakan, sedangkan

6.           Yang sebenarnya berkuasa adalah saudara laki-lakinya

7.           Perkawinan bersifat matrilokal, yaitu suami mengunjungi rumah istrinya

8.            Hak-hak dan pusaka diwariskan oleh mamak kepada kemenakannya dan dari saudara laki-laki ibu kepada anak dari saudara perempuan.

Sistem kekerabatan ini tetap dipertahankan masyarakat Minangkabau sampai sekarang. Bahkan selalu disempurnakan sejalan dengan usaha menyempurnakan sistem adatnya. Terutama dalam mekanisme penerapannya di dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu peranan seorang penghulu ataupun ninik mamak dalam kaitan bermamak berkemanakan sangatlah penting. Bahkan peranan penghulu dan ninik mamak itu boleh dikatakan sebagai faktor penentu dan juga sebagai indikator, apakah mekanisme sistem matrilineal itu berjalan dengan semestinya atau tidak. Jadi keberadaan sistem ini tidak hanya terletak pada kedudukan dan peranan kaum perempuan saja, tetapi punya hubungkait yang sangat kuat dengan institusi ninik mamaknya di dalam sebuah kaum, suku atau klen.

Sebagai sebuah sistem, matrilineal dijalankan berdasarkan kemampuan dan berbagai penafsiran oleh pelakunya; ninik-mamak, kaum perempuan dan anak kemenakan. Akan tetapi sebuah uraian atau perincian yang jelas dari pelaksanaan dari sistem ini, misalnya ketentuan-ketentuan yang pasti dan jelas tentang peranan seorang perempuan dan sanksi hukumnya kalau terjadi pelanggaran, ternyata sampai sekarang belum ada. Artinya tidak dijelaskan secara tegas tentang hukuman jika seorang Minang tidak menjalankan sistem matrilineal tersebut. Sistem itu hanya diajarkan secara turun temurun kemudian disepakati dan dipatuhi, tidak ada buku rujukan atau kitab undang-undangnya. Namun begitu, sejauh manapun sebuah penafsiran dilakukan atasnya, pada hakekatnya tetap dan tidak beranjak dari fungsi dan peranan perempuan itu sendiri. Hal seperti dapat dianggap sebagai sebuah kekuatan sistem tersebut yang tetap terjaga sampai sekarang.

Pada dasarnya sistem matrilineal bukanlah untuk mengangkat atau memperkuat peranan perempuan, tetapi sistem itu dikukuhkan untuk menjaga, melindungi harta pusaka suatu kaum dari kepunahan, baik rumah gadang, tanah pusaka dan sawah ladang. Bahkan dengan adanya hukum faraidh dalam pembagian harta menurut Islam, harta pusaka kaum tetap dilindungi dengan istilah “pusako tinggi”, sedangkan harta yang boleh dibagi dimasukkan sebagai “pusako randah”.

Dalam sistem matrilineal perempuan diposisikan sebagai pengikat, pemelihara dan penyimpan, sebagaimana diungkapkan pepatah adatnya amban puruak atau tempat penyimpanan. Itulah sebabnya barangkali, dalam penentuan peraturan dan perundang-undangan adat, perempuan tidak diikut sertakan. Perempuan menerima bersih tentang hak dan kewajiban di dalam adat yang telah diputuskan sebelumnya oleh pihak ninik mamak.

Perempuan menerima hak dan kewajibannya tanpa harus melalui sebuah prosedur apalagi bantahan. Hal ini disebabkan hak dan kewajiban perempuan itu begitu dapat menjamin keselamatan hidup mereka dalam kondisi bagaimanapun juga. Semua harta pusaka menjadi milik perempuan, sedangkan laki-laki diberi hak untuk mengatur dan mempertahankannya. Perempuan tidak perlu berperan aktif seperti ninik mamak. Perempuan Minangkabau yang memahami konstelasi seperti ini tidak memerlukan lagi atau menuntut lagi suatu prosedur lain atas hak-haknya. Mereka tidak memerlukan emansipasi lagi, mereka tidak perlu dengan perjuangan gender, karena sistem matrilineal telah menyediakan apa yang sesungguhnya diperlukan perempuan. Para ninik-mamak telah membuatkan suatu “aturan permainan” antara laki-laki dan perempuan dengan hak dan kewajiban yang berimbang antar sesamanya.

Oleh karena itulah institusi ninik-mamak menjadi penting dan bahkan sakral bagi kemenakan dan sangat penting dalam menjaga hak dan kewajiban perempuan. Keadaan seperti ini sudah berlangsung lama, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, dengan segala plus minusnya. Keunggulan dari sistem ini adalah, dia tetap bertahan walau sistem patrilineal juga diperkenalkan oleh Islam sebagai sebuah sistem kekerabatan yang lain pula. Sistim matrilieal tidak hanya jadi sebuah “aturan” saja, tetapi telah menjadi semakin kuat menjadi suatu budaya, way of live, kecenderungan yang paling dalam diri dari setiap orang Minangkabau. Sampai sekarang, pada setiap individu laki-laki Minang misalnya, kecenderungan mereka menyerahkan harta pusaka, warisan dari hasil pencahariannya sendiri, yang seharusnya dibagi menurut hukum faraidh kepada anak-anaknya, mereka lebih condong untuk menyerahkannya kepada anak perempuannya. Anak perempuan itu nanti menyerahkan pula kepada anak perempuannya pula. Begitu seterusnya. Sehingga Tsuyoshi Kato dalam disertasinya menyebutkan bahwa sistem matrilineal akan semakin menguat dalam diri orang-orang Minang walaupun mereka telah menetap di kota-kota di luar Minang sekalipun. Sistem matrilineal tampaknya belum akan meluntur sama sekali, walau kondisi-kondisi sosial lainnya sudah banyak yang berubah.

Untuk dapat menjalankan sistem itu dengan baik, maka mereka yang akan menjalankan sistem itu haruslah orang Minangkakabu itu sendiri. Untuk dapat menentukan seseorang itu orang Minangkabau atau tidak, ada beberapa ketentuannya, atau syarat-syarat seseorang dapat dikatakan sebagai orang Minangkabau.

Syarat-syarat seseorang dapat dikatakan orang Minangkabau;

1.           Basuku (bamamak bakamanakan)

2.           Barumah gadang

3.           Basasok bajarami

4.           Basawah baladang

5.           Bapandan pakuburan

6.            Batapian tampek mandi

Seseorang yang tidak memenuhi ketentuan itu dianggap “orang kurang” atau tidak sempurna. Bagi seseorang yang ingin menjadi orang Minang juga dibuka pintunya dengan memenuhi berbegai persyaratan pula. Dalam istilah inggok mancangkam tabang basitumpu. Artinya orang itu harus masuk ke dalam sebuah kaum atau suku, mengikuti seluruh aturan-aturannya.

Ada empat aspek penting yang diatur dalam sistem matrilienal;

a. Pengaturan harta pusaka

Harta pusaka yang dalam terminologi Minangkabau disebut harato jo pusako. Harato adalah sesuatu milik kaum yang tampak dan ujud secara material seperti sawah, ladang, rumah gadang, ternak dan sebagainya. Pusako adalah sesuatu milik kaum yang diwarisi turun temurun baik yang tampak maupun yang tidak tampak. Oleh karena itu di Minangkabau dikenal pula dua kata kembar yang artinya sangat jauh berbeda; sako dan pusako. 

1. Sako

Sako adalah milik kaum secara turun temurun menurut sistem matrilineal yang tidak berbentuk material, seperti gelar penghulu, kebesaran kaum, tuah dan penghormatan yang diberikan masyarakat kepadanya. Sako merupakan hak bagi laki-laki di dalam kaumnya. Gelar demikian tidak dapat diberikan kepada perempuan walau dalam keadaan apapun juga. Pengaturan pewarisan gelar itu tertakluk kepada sistem kelarasan yang dianut suku atau kaum itu. Jika mereka menganut sistim kelarasan Koto Piliang, maka sistem pewarisan sakonya berdasarkan; patah tumbuah. Artinya, gelar berikutnya harus diberikan kepada kemenakan langsung dari si penghulu yang memegang gelar itu. Gelar demikian tidak dapat diwariskan kepada orang lain dengan alasan papun juga. Jika tidak ada laki-laki yang akan mewarisi, gelar itu digantuang atau dilipek atau disimpan sampai nanti kaum itu mempunyai laki-laki pewaris. Jika mereka menganut sistem kelarasan Bodi Caniago, maka sistem pewarisan sakonya berdasarkan hilang baganti. Artinya, jika seorang penghulu pemegang gelar kebesaran itu meninggal, dia dapat diwariskan kepada lelaki di dalam kaum berdasarkan kesepakatan bersama anggota kaum itu. Pergantian demikian disebut secara adatnya gadang balega.

Di dalam halnya gelar kehormatan atau gelar kepenghuluan (datuk) dapat diberikan dalam tiga tingkatan:

* Gelar yang diwariskan dari mamak ke kemenakan. Gelar ini merupakan gelar pusaka kaum sebagaimana yang diterangkan di atas. Gelar ini disebut sebagai gelar yang mengikuti kepada perkauman yang batali darah.

* Gelar yang diberikan oleh pihak keluarga ayah (bako) kepada anak pisangnya, karena anak pisang tersebut memerlukan gelar itu untuk menaikkan status sosialnya atau untuk keperluan lainnya. Gelar ini hanya gelar panggilan, tetapi tidak mempengaruhi konstelasi dan mekanisme kepenghuluan yang telah ada di dalam kaum. Gelar ini hanya boleh dipakai untuk dirinya sendiri, seumur hidup dan tidak boleh diwariskan kepada yang lain; anak apalagi kemenakan. Bila si penerima gelar meninggal, gelar itu akan dijemput kembali oleh bako dalam sebuah upacara adat. Gelar ini disebut sebagai gelar yang berdasarkan batali adat.

* Gelar yang diberikan oleh raja Pagaruyung kepada seseorang yang dianggap telah berjasa menurut ukuran-ukuran tertentu. Gelar ini bukan gelar untuk mengfungsinya sebagai penghulu di dalam kaumnya sendiri, karena gelar penghulu sudah dipakai oleh pengulu kaum itu, tetapi gelaran itu adalah merupakan balasan terhadap jasa-jasanya. Gelaran ini disebut secara adat disebabkan karena batali suto. Gelar ini hanya boleh dipakai seumur hidupnya dan tidak boleh diwariskan. Bila terjadi sesuatu yang luar biasa, yang dapat merusakkan nama raja, kaum, dan nagari, maka gelaran itu dapat dicabut kembali. 

2. Pusako

Pusako adalah milik kaum secara turun temurun menurut sistem matrilineal yang berbentuk material, seperti sawah, ladang, rumah gadang dan lainnya. Pusako dimanfaatkan oleh perempuan di dalam kaumnya. Hasil sawah, ladang menjadi bekal hidup perempuan dengan anak-anaknya. Rumah gadang menjadi tempat tinggalnya. Laki-laki berhak mengatur tetapi tidak berhak untuk memiliki. Karena itu di Minangkabau kata hak milik bukanlah merupakan kata kembar, tetapi dua kata yang satu sama lain artinya tetapi berada dalam konteks yang sama. Hak dan milik. Laki-laki punya hak terhadap pusako kaum, tetapi dia bukan pemilik pusako kaumnya.

Dalam pengaturan pewarisan pusako, semua harta yang akan diwariskan harus ditentukan dulu kedudukannya. Kedudukan harta pusaka itu terbagi dalam;

a. Pusako tinggi.

Harta pusaka kaum yang diwariskan secara turun temurun berdasarkan garis ibu. Pusaka tinggi hanya boleh digadaikan bila keadaan sangat mendesak sekali hanya untuk tiga hal saja; pertama, gadih gadang indak balaki, kedua, maik tabujua tangah rumah, ketiga, rumah gadang katirisan. Selain dari ketiga hal di atas harta pusaka tidak boleh digadaikan apalagi dijual.

b. Pusako randah.

Harta pusaka yang didapat selama perkawinan antara suami dan istri. Pusaka ini disebut juga harta bawaan, artinya modal dasarnya berasal dari masing-masing kaum. Pusako randah diwariskan kepada anak, istri dan saudara laki-laki berdasarkan hukum faraidh, atau hukum Islam.

Namun dalam berbagai kasus di Minangkabau, umumnya, pusako randah ini juga diserahkan oleh laki-laki pewaris kepada adik perempuannya. Tidak dibaginya menurut hukum faraidh tersebut. Inilah mungkin yang dimaksudkan Tsuyoshi Kato bahwa sistem matrilineal akan menguat dengan adanya keluarga batih. Karena setiap laki-laki pewaris pusako randah akan selalu menyerahkan harta itu kepada saudara perempuannya. Selanjutanya saudara perempuan itu mewariskan pula kepada anak perempuannya. Begitu seterusnya. Akibatnya, pusako randah pada mulanya, dalam dua atau tiga generasi berikutnya menjadi pusako tinggi pula. 

b. Peranan laki-laki

Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa kedudukan laki-laki dan perempuan berada dalam posisi seimbang. Laki-laki punya hak untuk mengatur segala yang ada di dalam perkauman, baik pengaturan pemakaian, pembagian harta pusaka, perempuan sebagai pemilik dapat mempergunakan semua hasil itu untuk keperluannya anak beranak. Dalam hal ini peranan laki-laki di dalam dan di luar kaumnya menjadi sesuatu yang harus dijalankannya dengan seimbang dan sejalan.

Sebagai kemenakan 

Di dalam kaumnya, seorang laki-laki bermula sebagai kemenakan (atau dalam kotensk lain disebutkan; ketek anak urang, lah gadang kamanakan awak). Sebagai kemenakan dia harus mematuhi segala aturan yang ada di dalam kaum. Belajar untuk mengetahui semua aset kaumnya dan semua anggota keluarga kaumnya. Oleh karena itu, ketika seseorang berstatus menjadi kemenakan, dia selalu disuruh ke sana ke mari untuk mengetahui segala hal tentang adat dan perkaumannya. Karenanya, peranan Surau menjadi penting, karena Surau adalah sarana tempat mempelajari semua hal itu baik dari mamaknya sendiri maupun dari orang lain yang berada di surau tersebut.

Dalam menentukan status kemenakan sebagai pewaris sako dan pusako, anak kemenakan dikelompokan menjadi tiga kelompok:

a.                        Kemenakan di bawah daguak

b.                       Kemenakan di bawah pusek

c.                        Kemenakan di bawah lutuik

Kemenakan di bawah daguak adalah penerima lansung waris sako dan pusako dari mamaknya. Kemenakan di bawah pusek adalah penerima waris apabila kemenakan di bawah daguak tidak ada (punah). Sedangkan kemenakan di bawah lutuik, umumnya tidak diikutkan dalam pewarisan sako dan pusako kaum.

Sebagai mamak

Pada giliran berikutnya, setelah dia dewasa, dia akan menjadi mamak dan bertanggung jawab kepada kemenakannya. Mau tidak mau, suka tidak suka, tugas itu harus dijalaninya. Dia bekerja di sawah kaumnya untuk saudara perempuannya anak-beranak yang sekaligus itulah pula kemenakannya. Dia mulai ikut mengatur, walau tanggung jawab sepenuhnya berada di tangan mamaknya yang lebih tinggi, yaitu penghulu kaum.

Sebagai penghulu

Selanjutnya, dia akan memegang kendali kaumnya sebagai penghulu. Gelar kebesaran diberikan kepadanya, dengan sebutan datuk. Seorang penghulu berkewajiban menjaga keutuhan kaum, mengatur pemakaian harta pusaka. Dia juga bertindak terhadap hal-hal yang berada di luar kaumnya untuk kepentingan kaumnya. Oleh karena itu, setiap laki-laki terhadap kaumnya selalu diajarkan; kalau tidak dapat menambah (maksudnya harta pusaka kaum), jangan mengurangi (maksudnya, menjual, menggadai atau menjadikan milik sendiri).

Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa peranan seorang laki-laki di dalam kaum disimpulkan dalam ajaran adatnya;

Tagak badunsanak mamaga dunsanak

Tagak basuku mamaga suku

Tagak ba kampuang mamaga kampuang

Tagak ba nagari mamaga nagari 

Peranan di luar kaum

Selain dia berperan di dalam kaum sebagai kemanakan, mamak atau penghulu, setelah dia kawin dan berumah tangga, dia mempunyai peranan lain sebagai tamu atau pendatang di dalam kaum isterinya. Artinya di sini, dia sebagai duta pihak kaumnya di dalam kaum istrinya, dan istri sebagai duta kaumnya pula di dalam kaum suaminya. Satu sama lain harus menjaga kesimbangan dalam berbagai hal, termasuk perlakuan-perlakuan terhadap anggota kaum kedua belah pihak.

Di dalam kaum istrinya, seorang laki-laki adalah sumando (semenda). Sumando ini di dalam masyarakat Minangkabau dibuatkan pula beberapa kategori;

* Sumando ninik mamak. Artinya, semenda yang dapat ikut memberikan ketenteraman pada kedua kaum; kaum istrinya dan kaumnya sendiri. Mencarikan jalan keluar terhadap sesuatu persoalan dengan sebijaksana mungkin. Dia lebih berperan sebagai seorang yang arif dan bijaksana.

* Sumando kacang miang. Artinya, sumando yang membuat kaum istrinya menjadi gelisah karena dia memunculkan atau mempertajam persoalan-persoalan yang seharusnya tidak dimunculkan.

* Sumando lapik buruk. Artinya, sumando yang hanya memikirkan anak istrinya semata tanpa peduli dengan persoalan-persoalan lainnya. Dikatakan juga sumando seperti seperti sumando apak paja, yang hanya berfungsi sebagai tampang atau bibit semata.

Sumando tidak punya kekuasan apapun di rumah istrinya, sebagaimana yang selalu diungkapkan dalam pepatah petitih;

Sadalam-dalam payo

Hinggo dado itiak

Sakuaso-kuaso urang sumando

Hinggo pintu biliak

Sebaliknya, peranan sumando yang baik dikatakan;

Rancak rumah dek sumando

Elok hukum dek mamaknyo 

c. Kaum dan Pesukuan

Orang Minangkabau yang berasal dari satu keturunan dalam garis matrilineal merupakan anggota kaum dari keturunan/klen tersebut. Di dalam sebuah kaum, unit terkecil disebut samande. Yang berasal dari satu ibu (mande). Unit yang lebih luas dari samande disebut saparuik. Maksudnya berasal dari nenek yang sama. Kemudian saniniak maksudnya adalah keturunan nenek dari nenek. Yang lebih luas dari itu lagi disebut sakaum. Kemudian dalam bentuknya yang lebih luas, disebut sasuku. Maksudnya, berasal dari keturunan yang sama sejak dari nenek moyangnya. Suku artinya seperempat atau kaki. Jadi, pengertian sasuku dalam sebuah nagari adalah seperempat dari penduduk nagari tersebut. Karena, dalam sebuah nagari harus ada empat suku besar. Padamulanya suku-suku itu terdiri dari Koto, Piliang, Bodi dan Caniago. Dalam perkembangannya, karena bertambahnya populasi masyarakat setiap suku, suku-suku itupun dimekarkan. Koto dan Piliang berkembang menjadi beberapa suku; Tanjuang, Sikumbang, Kutianyir, Guci, Payobada, Jambak, Salo, Banuhampu, Damo, Tobo, Galumpang, Dalimo, Pisang, Pagacancang, Patapang, Melayu, Bendang, Kampai, Panai, Sikujo, Mandahiliang, Bijo dll.

Bodi dan Caniago berkembang menjadi beberapa suku; Sungai Napa, Singkuang, Supayang, Lubuk Batang, Panyalai, Mandaliko, Sumagek dll.

Dalam majlis peradatan keempat pimpinan dari suku-suku ini disebut urang nan ampek suku. Dalam sebuah nagari ada yang tetap dengan memakai ampek suku tapi ada juga memakai limo suku, maksudnya ada nama suku lain; Malayu yang dimasukkan ke sana.

Sebuah suku dengan suku yang lain, mungkin berdasarkan sejarah, keturunan atau kepercayaan yang mereka yakini tentang asal sulu mereka, boleh jadi berasal dari perempuan yang sama. Suku-suku yang merasa punya kaitan keturunan ini disebut dengan sapayuang. Dan dari beberapa payuang yang juga berasal sejarah yang sama, disebut sahindu. Tapi yang lazim dikenal dalam berbagai aktivitas sosial masyarakat Minangkabau adalah; sasuku dan sapayuang saja.

Sebuah kaum mempunyai keterkaitan dengan suku-suku lainnya, terutama disebabkan oleh perkawinan. Oleh karena itu kaum punya struktur yang umumnya dipakai oleh setiap suku;

(1) struktur di dalam kaum

Di dalam sebuah kaum, strukturnya sebagai berikut; a. Mamak yang dipercaya sebagai pimpinan kaum yang disebut Penghulu bergelar datuk. b. Mamak-mamak di bawah penghulu yang dipercayai memimpin setiap rumah gadang, karena di dalam satu kaum kemungkinan rumah gadangnya banyak. Mamak-mamak yang mempimpin setiap rumah gadang itu disebut; tungganai. Seorang laki-laki yang memikul tugas sebagai tungganai rumah pada beberapa suku tertentu mereka juga diberi gelar datuk. Di bawah tungganai ada laki-laki dewasa yang telah kawin juga, berstatus sebagai mamak biasa. Di bawah mamak itulah baru ada kemenakan.  

(2) Struktur dalam kaitannya dengan suku lain.

Akibat dari sistem matrilienal yang mengharuskan setiap anggota suku harus kawin dengan anggota suku lain, maka keterkaitan akibat perkawinan melahirkan suatu struktur yang lain, struktur yang mengatur hubungan anggota sebuah suku dengan suku lain yang terikat dalam tali perkawinan tersebut. Terdiri dari;

a. Induk bako anak pisang

Induak bako anak pisang merupakan dua kata yang berbeda; induak bako dan anak pisang. Induak bako adalah semua ibu dari keluarga pihak ayah. Sedangkan bako adalah semua anggota suku dari kaum pihak ayah. Induak bako punya peranan dan posisi tersendiri di dalam sebuah kaum pihak si anak.

b. Andan pasumandan

Andan pasumandan juga merupakan dua kata yang berbeda; andan dan pasumandan. Pasumandan adalah pihak keluarga dari suami atau istri. Suami dari rumah gadang A yang kawin dengan isteri dari rumah gadang B, maka pasumandan bagi isteri adalah perempuan yang berada dalam kaum suami. Sedangkan andan bagi kaum rumah gadang A adalah anggota kaum rumah gadang C yang juga terikat perkawinan dengan salah seorang anggota rumah gadang B.  

c. Bundo Kanduang

Dalam masyarakat Minangkabau dewasa ini kata Bundo Kanduang mempunyai banyak pengertian pula, antara lain;

a)       Bundo kanduang sebagai perempuan utama di dalam kaum, sebagaimana yang dijelaskan di atas.

b)      Bundo Kanduang yang ada di dalam cerita rakyat atau kaba Cindua Mato. Bundo Kanduang sebagai raja Minangkabau atau raja Pagaruyung.

c)       Bundo kanduang sebagai ibu kanduang sendiri.

d)      Bundo kanduang sebagai sebuah nama organisasi perempuan Minangkabau yang berdampingan dengan LKAAM.

Bundo kanduang yang dimaksudkan di sini adalah, Bundo Kanduang sebagai perempuan utama.

Bundo kanduang sebagai perempuan utama

Apabila ibu atau tingkatan ibu dari mamak yang jadi penghulu masih hidup, maka dialah yang disebut Bundo Kanduang, atau mandeh atau niniek. Dialah perempuan utama di dalam kaum itu. Dia punya kekuasaan lebih tinggi dari seorang penghulu karena dia setingkat ibu, atau ibu penghulu itu betul. Dia dapat menegur penghulu itu apabila si penghulu melakukan suatu kekeliruan. Perempuan-perempuan setingkat mande di bawahnya, apabila dia dianggap lebih pandai, bijak dan baik, diapun sering dijadikan perempuan utama di dalam kaum. Secara implisit tampaknya, perempuan utama di dalam suatu kaum, adalah semacam badan pengawasan atau lembaga kontrol dari apa yang dilakukan seorang penghulu. 

Perempuan Minangkabau di masa depan

Perempuan Minangkabau di masa depan, dapat dilihat dengan menjadikan 3 kurun yang ditempuh dalam perjalanan masyarakat Minangkabau sebagai titik-titik untuk membangun sebuah perspektif ke depan. Kurun waktu yang dimaksudkan adalah; masa kehidupan masyarakat tradisional, masa transisi terutama dalam masa penjajahan dan kemerdekaan dan pada zaman modern seperti saat ini. Dalam masa kehidupan masyarakat tradisional, keberadaan perempuan Minangkabau yang dapat dilihat dari dua sumber; teks kaba dan karya sastra. Sebab, kita tidak punya informasi lain selain kedua sumber tersebut. Sedangkan masa transisi dan masa modern dalam dilihat dalam novel-novel modern, kajian-kajian sejarah dan sosiologi. Dengan demikian, dari ketiga masa itu akan dapat dibangun suatu ramalan atau perspektif perempuan Minangkabau di masa depan. 

Dalam masyarakat Minangkabau tradisional, pada hakekatnya peranan perempuan itu sudah melebihi apa yang diperlukan perempuan itu sendiri sebagaimana yang mereka perlukan dalam kehidupan masyarakat modern. Hanya saja, waktu itu mereka tidak memakai kata emansipasi, persamaan hak, jender dan lain sebagainya sebagaimana yang sering digembar-gemborkan oleh kaum wanita barat. Dalam berbagai kaba atau cerita rakyat, perempuan Minangkabau telah menduduki tempat dari pucuk tertinggi sampai terbawah. Dari menjadi seorang raja sampai menjadi seorang inang. Dari perempuan perkasa yang berani membunuh laki-laki lawan ayahnya untuk menegakkan suatu marwah, kehormatan kaumnya sampai kepada perempuan yang hanya bersedia menjadi tempat tidur laki-laki saja. Dari seorang pengayom, pengasuh dan penentu dalam kaumnya, sampai kepada perempuan yang kecewa tak beriman dan bunuh diri. Dari seorang perempuan yang lemah lembut, yang turun hanya sakali sajumaaik dan setelah ditinggalkan suami merantau atau meninggal, langsung membanting tulang untuk meneruskan kehidupan dan pendidikan anak-anaknya. Semua aspek yang digembar-gemborkan oleh perempuan modern, telah tertulis jelas dan gamblang dalam kaba. Itu berarti, bahwa masyarakat Minangkabau, terutama pada keberadaan dan posisi perempuannya sudah menjadi modern sebelum kata modern itu ada.

Dalam masyarakat Minangkabau yang transisi, melalui rujukan sejarah, kita juga dapat melihat keberadaan kaum perempuan yang telah dapat meraih berbagai tingkat dalam kegiatan sosial masyarakatnya. Mulai dari kesuksesan mereka menjadi tokoh pendidik, tokoh politik, sampai kepada perempuan yang nekad, terutama dalam masa penjajahan Belanda dan Jepang.

Dalam masa modern, apa yang dicapai perempuan Minangkabau tidak ada bedanya lagi dengan apa yang dicapai perempuan suku lainnya. Mereka dapat menjadi apa saja, siapa saja. Mereka dapat hidup di mana saja dan dalam kondisi apa saja. Mereka berani untuk berpikir terbalik dari pikiran-pikiran lama dan berbagai kemungkinan lain. Di dalam masyarakat modern, perempuan Minang sudah tidak ada bedanya lagi dengan perempuan suku lain. Kita tidak dapat membedakan lagi, itu perempuan Minang, atau itu perempuan bukan Minang. Tidak ada lagi faktor yang membedakan mereka secara fisik dengan perempuan lain. Namun, perbedaan yang mungkin akan terasa adalah pada; sikap hidup dan jalan pikiran. Sedangkan yang lain-lainnya sudah sama dengan yang lain.

Sikap hidup perempuan Minangkabau, bersikap terbuka dan selalu berusaha untuk menjadi basis dari kaumnya. Perempuan Minang memerlukan dan diperlukan oleh suatu perkauman. Perempuan Minang memerlukan pengakuan atas keberadaannya tidak pada orang luar kaumnya, tetapi di dalam kaumnya sendiri. Di luar kaum dia dapat saja menjadi orang modern sebagaimana perempuan lain, tetapi di dalam kaum, dia harus menjalankan fungsinya dengan baik. Ini berarti, bahwa perempuan Minangkabau harus kembali kepada “asal”, “fitrah”, dan “kodrat” nya agar tidak menjadi sesuatu yang tidak sumbang, sesuatu yang seharusnya diwadahi oleh adat dan budaya Minangkabai itu sendiri.

Dapat dikatakan bahwa perempuan Minang pada hakekatnya tidak pernah peduli apakah dia berada di dalam alam tradisional atau di dalam alam modern. Di dalam alam tradisinya dia sudah hidup dalam sikap dan pandangan sebagaimana sikap dan padangan perempuan yang dikatakan modern itu. Yang membedakan antara kedua alam itu hanyalah tatacara dan citarasa. Sedangkan sikap hidup, pandangan hidup, dan cara berpikir tetap akan berbeda dengan perempuan lain. Perempuan Minang akan tetap memakai cara berpikir dan pandangan hidup yang berbeda dengan perempuan lainnya. Banyak sekali contoh-contoh dapat disajikan terhadap hal ini. Sebab, yang membedakan seseorang berasal dari suatu budaya tidak lagi dari segi bahasa, tatacara dan cita rasa, tetapi adalah dari sikap hidup, cara berpikir dan tinggi rendahnya kadar kepercayaan kepada agama yang dianutnya.

Cara berpikir dan sikap hidup perempuan Minang dengan perempuan lain pada hakekatnya merupakan naluri yang universal. Karena posisi budaya dan bahkan agama dalam pembentukan cara berfikir dan sikap hidup menjadi sangat penting. Semodern-modernnya perempuan Minang, dia belum akan mau melebur dirinya menjadi perempuan Jawa, perempuan Belanda, perempuan Jepang misalnya. Bahasa boleh sama, makanan boleh serupa, citarasa boleh disesuaikan, tetapi sikap hidup dan cara berpikir tetap akan berbeda.  

Karakteristik perempuan Minangkabau

Karakteristik perempuan Minangkabau dapat ditelusuri melalui beberapa aktifitas masyarakat Minangkabau dalam berbagai aspeknya; (a) tingkah laku, bahasa dan sastra, nilai-nilai yang dianut dan (b) dalam berbagai kurun waktu; masa lalu dan masa kini dan untuk dapat memproyeksikannya ke masa depan. Kajian sosilogis historis ini mempunyai risiko kesalahan yang tinggi terutama karena kurangnya data pendukung. Namun dalam pembicaraan ini saya bertolak dari bahan-bahan yang ada pada saya. Saya bertolak dari tiga aspek saja;

1.           Bahasa dan sastra

2.           Kesejarahan

3.            Sistim nilai.

Dari aspek bahasa dan sastra; bahasa dan sastra telah melahirkan legenda, mitologi dan cerita rakyat (kaba). Kemudian dalam bentuk-bentuk tertulis berupa novel, cerita pendek dan puisi. Dalam cerita rakyat (kaba) pola pikir perempuan Minangkabau dapat dilihat pada perilaku tokoh-tokoh perempuan yang bermain di dalam cerita itu. Mulai dari Bundo Kanduang dalam kaba Cindua Mato, Gondan Gandoriah dalam kaba Anggun Nan Tongga, Sabai Nan Aluih dalam kaba Sabai Nan Aluih, kaba Lareh Simawang dan banyak lagi. Dari apa yang disampaikan di dalam kaba, karakteristik perempuan Minangkabau dapat disimpulkan;

1.           Mempertahankan warisan, kedudukan dan keturunan. Untuk semua itu, perangpun akan ditempuhnya. (dalam kaba Cindua Mato)

2.           Kesetiaan yang tidak dapat ditawar-tawar dan bila dimungkiri akan terjadi sesuatu yang fatal (dalam kaba Anggun Nan Tongga dan Lareh Simawang)

3.            Bila laki-laki tidak mampu berperan dan bertindak, perempuan akan segera mengambil alih posisi itu (dalam kaba Sabai Nan Aluih)

Dalam sastra modern, atau kaba yang telah dituliskan seperti; Siti Nurbaya, Salah Asuhan, Di Bawah Lindungan Ka’bah dan banyak lagi, pola pikir perempuan Minangkabau tampak menjadi semakin maju, bahkan menjadi lebih agresif;

1.           Menjaga kehormatan keluarga.

2.           Menempatkan posisinya lebih kukuh lagi dalam keluarga kaum.

3.            Terbuka menerima pikiran-pikiran baru dan modern

 Dari aspek kesejarahan; karakteristik perempuan Minangkabau yang dapat ditelususi dari tingkah laku tokoh-tokoh seperti; Yang Dipertuan Gadis Puti Reno Sumpu pewaris kerajaan Pagaruyung setelah Sultan Alam Bagagar Syah ditangkap Belanda, yang memberikan jaminan nyawanya pada Belanda agar beberapa beberapa penghulu Tanah Datar terhindar dari hukuman gantung, Siti Manggopoh dengan gagah beraninya membunuh tentara Belanda, Rahmah El-Yunusiah memilih bidang pendidikan bagi kaum perempuan, Rasuna Said dalam dunia jurnalistik dan politik dan banyak lagi. Apa yang telah dilakukan tokoh-tokoh sejarah itu dapat dilihat bahwa pola pikir perempuan Minangkabau;

1.                       Bersedia berkorban apa saja untuk menjaga keturunan, kaum dan martabat negerinya.

2.                       Melihat ke masa depan dengan segera mengambil posisi sebagai tokoh pendidikan dan tokoh politik.

3.                        Menjadi pusat informasi (dengan terbitnya suratkabar perempuan Soenting Melayoe)

 Dari aspek sistim nilai: karakteristik perempuan Minangkabau telah terpola dalam suatu pembagian kerja yang seimbang antara laki-laki dan perempuan. Di dalam adat Minangkabau, perempuan adalah owner (pemilik) sedangkan laki-laki manager (pengurusan) terhadap semua aset kaumnya. Oleh karena itu sistem matrilineal telah menempatkan perempuan pada suatu posisi yang mengharuskannya berpikir lebih luas, bijaksana dan tegas terhadap putusan-putusan yang akan diambil.  

Tantangan ke depan

Berdasarkan kepada apa yang telah dicatat baik dalam bentuk bahasa dan sastra, maupun dalam bentuk kesejarahan, pola pikir perempuan Minangkabau pada hakekatnya, tidak mengandung unsur-unsur egoisme, rendah diri atau penghambaan. Perempuan Minangkabau selalu berpikir bahwa dirinya adalah seorang mande, pusat dari segala kelahiran dan keturunan, kepemilikan aset kaum (sako dan pusako) yang harus dipertahankannya dengan cara apapun dan sampai kapanpun. Laki-laki atau suami baginya bukan penjajah, tetapi partner, kawan berkongsi (dalam kehidupan perkawinan). Oleh karenanya perempuan Minang tidak mengenal kata gender, dan tidak memerlukan perjuangan gender. Dia punya posisi yang sama dengan laki-laki. Perempuan Minang tidak rendah diri terhadap lakli-laki, suaminya atau hal-hal yang berada di luar dirinya. Dia sedia untuk menjadi pedagang bakulan di pasar, sedia menjadi raja, sedia menjadi tokoh pendidik, tokoh politik, bahkan sedia untuk nekad dan kalau perlu bunuh diri dalam mempertahankan haknya atau sesuatu yang diyakininya, seperti dalam kaba Lareh Simawang itu misalnya.

Jika bertolak dari karakteristik yang telah disebutkan di atas, tantangan ke depan bagi perempuan Minangkabau pada hakekatnya tidak ada. Sudah sejak dulu mereka terbuka menerima pikiran-pikiran ke depan. Mereka sangat selektif dan arif terhadap pemikiran-pemikiran baru. Jika ada suatu pemikiran muncul untuk mengubah sistem matrilineal dengan alasan apapun, perempuan Minang akan bangkit mempertahankannya. Sistem kekerabatan itu sangat menentukan dan prinsipil; bagi eksistensi dirinya, kaumnya, sukunya dan seterusnya harta pusaka. Bila laki-laki tidak mampu berperan lagi dalam konteks persoalan apapun, perempuan Minang akan segera menggantikannya. Seorang suami, boleh pergi atau mati, tapi dia dan anak-anaknya akan tetap menjaga diri dan kehormatannya untuk melangsungkan kehidupan. Namun bila disakiti, dianiaya, diterlantarkan, disia-siakan, dia akan segera bereaksi; lunak ataupun keras, kalau perlu bunuh diri, sesuatu yang tidak mungkin dilakukan laki-laki. Tindakan keras demikian mungkin mereka dapat dituduh sebagai seorang fatalis, tetapi pada hakekatnya mereka tidak mau menerima perlakuan yang tidak adil, dari siapapun juga.

Untuk menjelaskan lagi perbedaan karakteristik perempuan Minang adalah sebagai berikut; Seorang perempuan Minang selalu bertanya kepada suaminya yang baru pulang; “Baa kaba?” Bagaimana keadaan, apa yang telah terjadi di luar rumah? Dia ingin berbagi sakit dan berbagi senang terhadap apa yang dialami suaminya. Soal suaminya mau makan atau mau tidur adalah otomatis dan mutlak menjadi kewajiban seorang istri, perempuan Minang tak perlu menanyakannya lagi. 

Sumbang bagi perempuan Minangkabau

Sesuatu perbuatan dapat dikatakan sumbang apabila tidak sesuai, tidak sejalan atau bertentangan dengan etika, norma, tata nilai yang telah berlaku dalam masyarakat. Sesuatu perbuatan atau perilaku perempuan Minangkabau dapat dikatakan sumbang apabila ada hal-hal yang tidak bersesuaian dengan apa yang sudah dikenal oleh masyarakat. Sumbang itu dapat terjadi dalam berbagai bentuk dan persoalan, terutama dalam masalah kecantikan, penampilan diri, peranan dan tingkah lakunya dalam kehidupan sosial dalam bermasyarakat atau bernagari dan hal lainnya.  

Tentang kecantikan. 

Dalam kosa kata Minangkabau tidak ada kata cantik. Karena tidak ada kosa kata demikian, secara hukum kebahasaan ataupun mengikut pada sosio-linguistik dapat dikatakan bahwa orang Minang tidak kenal dengan cantik, atau tidak mempermasalahkan benar akan hal kecantikan itu jika dibandingkan dengan masyarakat suku lainnya di Indonesia. Di dalam masyarkat Jawa misalnya, ada pakem atau bakuan untuk seseorang dapat dikatakan cantik. Dalam bahasa Minangkabau yang ada kata cantiak, atau contiak, yang artinya jauh berbeda dengan kata cantik yang dimaksudkan dalam bahasa Indonesia. Juga ada kata rancak, yang hampir mirip artinya dengan cantik. Tapi dalam kalimat mati karancak an, arti kata rancak menjadi lain pula.

Di dalam pepatah-petitih, maupun mamangan adat Minang, tidak ada disebut kata cantik, atau sebuah kata lain yang bermakna cantik. Kalaulah kata cantik dapat dipadankan dengan kata rancak, maka ungkapan yang ada dalam mamangannya adalah; condong mato ka nan rancak, condong salero ka nan lamak atau tampak rancak musajik urang, buruak tampaknyo surau awak. Jadi, jika merujuk kepada aspek kebahasaan; mamangan atau pepatah petitih adatnya, kecantikan bagi orang Minang bukan sesuatu yang dipermasalahkan, bukan sesuatu yang penting benar, bukan sesuatu yang menentukan apalagi peranannya dalam terbentuk suatu nagari.

Kecantikan, jelas ditujukan kepada kaum wanita. Ukurannya subjektif sekali. Ukuran kecantikan juga mengikuti selera zaman, bangsa atau kaum tertentu. Ketika Leonardo da Vinci hidup, kecantikan itu dilukisnya seperti Monalisa. Jika diukur menurut ukuran kecantikan sekarang, kecantikan Monalisa itu sangat tidak cantik lagi. Begitu juga kecantikan menurut ukuran masyarakat Indonesia masa dulu dan sekarang jauh berbeda. Dulu, di Indonesia yang dikatakan cantik adalah seseorang yang berwajah Indo, keBelanda-belandaan, sekarang yang berwajah keIndia-indiaan atau keMeksiko-Meksioan. Perempuan yang kakinya kecil dikatakan cantik pagi masyarakat Cina tempo dulu. Leher yang panjang dikatakan cantik bagi perempuan Negro pada zaman dulu. Tumit perempuan yang memerah bila menginjakkan kaki dikatakan cantik bagi orang Mesir abad pertengahan.

Oleh karena itu, kecantikan tidak punya ukuran baku, nilai akhir, karena semuanya itu bersifat sangat personal. Mungkin karena sifatnya yang temporer itu, maka adat Minangkabau tidak membuat bakuan tentang sesuatu yang disebut cantik. Dia menjadi sesuatu yang sumbang bila seorang perempuan lebih menampilkan kecantikannya dari tugas dan fungsinya sebagai perempuan, terutama dalam konteks berkeluarga dan dalam perkauman. 

Tentang Penampilan Diri

Penampilan diri, atau keberadaan seseorang perempuan di tengah-tengah orang lain adalah sesuatu yang selalu diperkatakan. Penampilan yang tidak sempurna akan dapat merusak citra seseorang. Terutama bagi ibu-ibu atau perempuan Minang yang melakukan aktivitas luar rumah. Untuk kesempurnaan penampilan diri, berbagai cara dilakukan. Mulai dari nama yang dipakai, jenis aktifitas yang dilakukan, posisinya dalam aktifitas tersebut, sampai kepada pakaian. Nama misalnya, seseorang memerlukan legimitasi berupa nama, pangkat dan gelar suami, gelar kesarjanaannya yang telah diraihnya sendiri, gelar hajjah dan lainnya, agar dirinya terasa “berpenampilan” di antara yang lain. Sumbang kiranya bagi perempuan Minang meletakkan nama suaminya di belakang namanya sendiri, karena menurut ajaran adat dan agama selama ini tidak demikian. Jenis aktivitas juga menentukan; menghadiri acara di istana, bersama menteri atau presiden, gubernur, bupati, camat atau wali nagari. Begitu pula penampilannya sebagai guru, tokoh politik, akademisi, istri orang berpangkat tinggi dan sebagainya. Penampilan diri seorang perempuan Minang umumnya sangat menentukan dalam aktivitas demikian. Semua aktivitas tersebut tidak ada kaitannya dengan kecantikan. Sumbang bagi perempuan Minang ikut dalam acara demikian yang hanya untuk tampili begitu saja tanpa ada keperluan, fungsi, tugas yang berkaitan dengan aktivitas tersebut.

Penampilan diri diperlukan oleh setiap orang yang akan menampilkan diri, di manapun, dan dalam konteks apapun juga. Di dalam adat Minang, masalah penampilan diri bagi perempuan tidak pula pernah dijadikan suatu mamangan atau pepatah petitih. Sebab, perempuan tak dilazimkan untuk menampilkan dirinya dalam acara-acara yang umum sifatnya. Penampilan diri bagi perempuan terbatas pada acara-acara tertentu saja. Jadi, kalau dibuat ukuran sumbang dalam hal ini, sulit dicarikan rujukannya, penampilan diri yang bagaimana yang tidak sumbang, yang sesuai dengan adat Minangkabau.

Kalaupun ada yang mengatakan bahwa penampilan perempuan Minang itu seperti mamangan; unduang-unduang ka sarugo, atau acang-acang dalam nagari atau langkahnyo bak siganjua lalai, pado pai suruik nan labiah dan sebagainya, itu merupakan ungkapan simbolik, bukan sebuah patron atau bakuan dalam adat.

Namun sekarang, peranan perempuan sudah jauh berubah. Mereka sudah dapat menjadi tokoh masyarakat, yang harus tampil dengan penampilan yang baik. Penampilan yang tidak sumbang itulah yang mungkin perlu dicari. Jadi, suatu penampilan yang baik bagi seorang perempuan, tentulah memenuhi kaidah-kaidah kesusilaan, kepantasan dan keindahan. Pakaian seorang artis penyanyi pop yang melakukan show-biz, tentulah tidak layak ditiru oleh seorang perempuan yang akan memberikan ceramah adat misalnya. Atau pakaian adat yang resmi, tentulah tidak sesuai pula bila digunakan untuk berjoget ria dalam acara-acara syukuran kenaikan pangkat suami atau acara perpisahan jabatannya. 

Hal-hal yang ideal

Sungguhpun masalah cantik dan penampilan diri masih dilihat dalam kerangka kepentingan laki-laki, namun bagi kaum perempuan yang tidak cantik tidak perlu pula berkecil hati. Kecantikan fisik takkan bertahan lama. Laki-laki tak selamanya pula tertarik dengan kecantikan fisik. Ada hal-hal ideal yang perlu dipahami oleh seluruh perempuan Minang. Bahwa, kecantikan atau cantik itu tidak hanya terletak pada permukaan atau pada bentuk fisik, tetapi lebih utama terletak pada hal-hal yang berada di dalam diri seorang perempuan, pada jiwa atau pribadi. Seorang perempuan Minangkabau bagaimanapun cantiknya tetapi tidak dapat menyesuaikan diri dengan masyarakat lingkungannya, tidak dapat mengimplementasikan kecantikannya dengan baik, cantik fisiknya akan tertimbun oleh ketidakcantikan dalam hubungan sosial. Di zaman serba modern ini, kecantikan fisik dapat ditambah kurangi dengan berbagai obat dan operasi plastik, tetapi kecantikan pribadi, tidak dapat ditambah kurangi dengan pembedahan jenis apapun, kecuali oleh pribadi dari individu itu sendiri. Kecantikan fisikal jika tidak disertai oleh pribadi yang terpuji, kecantikan itu akan menjadi kerabang saja, sama seperti orang memakai topeng. Sumbang.

Begitupun dengan penampilan diri. Penampilan diri seorang perempuan akan kukuh bila didukung keyakinan akan kepercayaan pada kemampuan diri sendiri. Kecantikan hanya menjadi faktor kesekian saja dalam sebuah penampilan. Penyanyi-penyanyi negro yang hitam, berbibir tebal, rambut keriting cacing tetapi karena mereka berpenampilan kukuh, lebih memukau bila dibanding dengan penyanyi yang hanya mengandalkan wajah yang cantik, tanpa ekspresi, tanpa jiwa. Penampilan diri datangnya dari dalam, dari pribadi diri seseorang. Wibawa, kharisma, ditentukan oleh keyakinan dirinya terhadap kemampuannya, bukan oleh faktor-faktor luar lainnya.

Oleh karena itu, agar tidak dikatakan sumbang, seorang perempuan Minangkabau harus mengetahui dan menyadari betul bagaimana keberadaannya di tengah-tengah masyarakatnya, apalagi kalau dia berada dalam sebuah nagari. 

 

 

KEKERABATAN

K

ekerabatan; sebutan yang berakar pada kata karib; tepatnya qaf,  ra dan ba; qaruba,  qurbaan – wa qurbaanan, dari bahasa Arab dengan makna dekat, hampir atau sesuatu yang mendekatkan sesuatu pada lainnya. Dan telah jadi salah satu kosa-kata dalam bahasa Minangkabau. Dalam pengucapan sehari-hari bisa juga jadi karik, misalnya nan ba karik (kaum kerabat dekat). Atau dalam sebutan karik-ba ‘ik[1] (jauah – dakek; jauh dekat) ataupun karib kirabat sebutan untuk kerabat campuran berbagai kelompok .

Pada masyarakat hukum adat Minangkabau, sebutan karib-ba ‘id dipakai dalam himpunan semua keluarga besar, Bukan saja se suku tetapi termasuk ipar besan (andan sumandan dan ando sumando), anakpisang (anak pusako, anak mamak) atau induak bako (kaum ayah) – bako-baki. Bila orang Minang berada di rantau —jauh atau dekat-, kadangkala sebutan karib-ba’id diperluas menjadi orang yang seasal nagari, sekecamatan, sekabupaten, sesama Minang atau malah asal ada bau-bau Minangnya;

Kekerabatan pada struktur masyarakat hukum adat Minangkabau akan terlihat berlapis-lapis dan berbidang-bidang, yaitu:  la bisa di ungkap dalam hubungan nasab (turunan) menurut struktur budaya-adat Minangkabau yang matrilinel dengan sebutan nan batali darah dan dalam lingkungan yang terbatas antara orang-orang yang sekaum atau sesuku (gambar B). Akan terungkap dalam sebutan nan sajari, satampok, sajangka, sa eto dan seterusnya. Dan bias meliputi wilayah yang luas di beberapa nagari malah antar beberapa kabupaten kini dengan sebutan nan ba sapiah ba balahan, nan ba kuduang bakaratan; Pepatah menyebut, dakok mancari indu, jauah mancari suku.

Ia bisa diungkap dalam kekerabatan yang terjadi karena sebab perkawinan anggota kaum yang lelaki sebagai biang kelahiran disebut induak bako atau yang pihak yang dilahirkan, disebut anak pisang (lihat Gambar A dan C)

2. Dengan penjelasan, tiga kelompok kaum, A, B dan C dengan fokus pada B, dalam perkawinan menurut budaya-adat Minangkabau yang matrilineal dan matrilokal (yaitu si suami tinggal di rumah isteri bersama mertuanya):

Secara umum, A, B dan C adalah berkerabat karena sebab perkawinan dan masing-masing kelompok berkerabat karena turunan matrilineal. Anak-anak kelompok B angka 3 (a-d) adalah anak pisang dari kelompok A. Perempuan (angka 4) dalam kelompok A dan angka 5 pada C dari sisi pandang kelompok B akan disebut pasumandan, kedua kelompok itu akan dihimbaukan sebagai andan sumandan, karena anak lelaki mereka (3a dan 3d) bersemenda ke kaum itu. Pada saat yang sama seluruh warga dari kelompok B akan disebut induak bako oleh anak-anak dari perempuan angka 4/A dan perempuan pada angka 5/C, juga akan disebut sebagai anak pisang oleh seluruh  anak-anak dari perempuan angka 4/A dan perempuan pada angka 5/C, juga akan disebut sebagai anak pisang oleh seluruh warga kelompok B. Perkawinan antara lelaki angka 3a ke perempuan angka 4 atau lelaki angka 7 ke perempuan angka 6d akan disebut pulang ka bako, karena masing-masing mereka menikah dengan kemenakan ayahnya. Atau dari sisi pihak perempuan akan disebut ma ambiak (pulang) anak pisang. Demikian juga sebutan bagi hubungan lelaki angka 6a pada B yang menikah dengan perempuan angka 8 pada C, dari sisi B akan disebut pulang ka anak pisang, sedangkan dari isi perempuan angka 8/C akan disebut ma ambiak induak bako.

Dan bisa diungkap dalam bentuk kekerabatan yang terjadi karena sebab perkawinan antar etnis, dengan basaluak budi, ma angkek induak dan sebagainya. Dari perkawinan antar etnis, budaya Minangkabau punya solusi penyelesaian. Yaitu dengan memasukkan calon menantu (lelaki atau perempuan) ke kaum induak bako sebagai kemanakan nan mancari induak. Bila lelaki akan juga diberi gelar secara Minangkabau. Bila tidak demikian, menantu lelaki dari etnis lain akan berdiri sendiri dalam lingkungan kerabat isterinya atau menantu perempuan akan dianggap orang tak berkerabat. Pergaulan mereka hanya sebatas di dalam rumah tangga dan keluarga mertuanya. Dimasa sebelum 50-an, saya banyak menemukan perantau lelaki etnis Cina atau etnis lain yang diterima sebagai kemenakan dan diberi suku sepanjang yang bersangkutan beragama agama Islam.  

Hubungan baik dalam pergaulan bagi perantau etnis lain di Ranah Minang, secara bertahap akan menumbuhkan hubungan yang akrab dan membaur dan diakui menjadi masyarakat Minangkabau. Ini terlihat dari kedudukan Bustanil Arifin, SH, mantan Ka Bulog dan Menkop serta A.A. Navis di mata masyarakat Minangkabau sebagai sudah membaur. Demikian, bila Minangkabau dilihat dari sudut kebudayaan, bukan genealogis.

Hubungan kekerabatan yang seluas dan sekompleks itu dalam budaya (adat) Minangkabau, sangat dipelihara dan saling memelihara. Terungkap dalam pepatah siang ba liek-liek –malam danga-dangakan atau dakek, janguak bajanguak -jauah jalang manjalang. Pepatah yang sifatnya membimbing semua anggota kaum, bukan saja agar tetap berhubungan dalam suka dan duka, tapi juga menumbuhkan kewajiban dan rasa tanggung jawab individu untuk saling menjaga atau mengontrol supaya jangan terjadi sesuatu yang dapat membuat malu, bukan saja anggota kaum kerabat lainnya, tapi juga suku, kampung halaman bahkan teman sepergaulan pun. Dalam hal ini, kita melihat ada garis lurus dengan ajaran dan anjuran memelihara silaturrahmi dalam Islam.

Selain itu, terungkap juga dalam pepatah pola memelihara silaturrahmi antara kerabat (jauh dan atau dekat) salah basapo, sasek batunjuak-an; lupo bakanakan (ba ingek-an), takalok bajagokan. Sekaligus dapat disebut sebagai Kewajiban Azasi seperti yang diajarkan dalam Islam,

žwÎ) tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=ÏJtãur ÏM»ysÎ=»¢Á9$# (#öq|¹#uqs?ur Èd,ysø9$$Î/ (#öq|¹#uqs?ur Ύö9¢Á9$$Î/

 kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.( Q.S. 103-al’Ashr/3)

Untuk selalu saling menasehati dalam menegakkan kebenaran dan saling tegur sapa dengan dan dalam kesabaran.

Lalu dalam pergaulan terwujud pula nan mudo dikasihi – nan tuo dipamulia, samo gadang lawan baiyo, dan selalu bersekadu berbuat kebaikan, mencegah hal-hal yang tak baik seperti yang diajarkan oleh Rasulullah saw. “Bukanlah dari golongan kami, mereka yang tidak menyayangi yang muda, menghormati yang tua, menyuruh berbuat baik, melarang berbuat kemungkaran “. (HR Turmudzi dan Ahmad).[2]

 

NILAI KEKERABATAN

N

ilai kekerabatan dalam budaya-adat Minangkabau dapat dan akan tumbuh menjadi budaya (adat) Minangkabau yang kuat, karena adanya rasa malu dan kebersamaan yang dituntun dengan ajaran Islam dan ditanamkan sejak dini oleh orang tua-tua di lingkungan si anak bertumbuh. Sehingga seseorang akan merasa dirinya ada karena diperlukan dan sebagai bagian dari serta dapat dibanggakan oleh kerabatnya. Bila seorang lelaki (mamak) merasa gagal menjadi sosok yang diperlukan dalam kaumnya, bukan tak ada yang dengan sukarela meninggalkan kampung halaman dalam sebutan ma itaman korong jo kampuang sebagai tindakan baralah. Dengan demikian paham individualistis (nafsi-nafsi) pada setiap orang Minangkabau akan terdesak kebelakang bila orang sudah merasa bagian yang tak terpisahkan dari kelompoknya dan iapun memerlukan kelompok tersebut, baik sebagai tempat berlindung atau tempat uji coba kemampuan.

Ungkapan baralah atau mengalah dalam budaya Minangkabau bukanlah kata tanpa makna sekaligus indikasinya. Setiap orang tua (termasuk mamak) akan menanamkan sifat baralah atau mengalah pada anak-anak/kemenakannya bila masalahnya berhadapan dengan saudara-saudaranya yang lebih muda atau yang belum memahami bagaimana mempergunakan hak-hak individu dalam kelompoknya. Dan sering terjadi antara saudara lelaki menghadapi saudara perempuannya. Namun pada saat yang sama menanamkan juga pentingnya rasa kebersamaan di antara mereka yang sekaum, sepusaka, sepandam sepekuburan tersebut. Bahwa seseorang adalah bagian dari lainnya. Baik di dalam nan saparinduan, (yang sekaum sepusaka – sepandam sepekuburan) atau yang sepesukuan (yang sepayung penghulu), yang se surau, se sasaran maupun yang se korong kampung – se tepian tempat mandi, yang se nagari dan seterusnya bisa meluas ke yang ba kuduang – nan bakaratan, basapiah nan babalahan dalam kadar yang wajar.

Antara mereka yang berkerabat seperti itu, sudah ditanamkan juga sejak kecil apa itu nan sa raso jo pareso, sa ino sa main. Bahwa hanya saudara-saudaranya itulah sebagai kerabat, yang akan membela kepentingannya bila berhadapan dengan pihak luar. Seperti terungkap tagak di korong mamaga korong, tagak di suku ma maga suku, tagak di nagari mamaga nagari. Pepatah yang sering juga di salah artikan, seolah memberikan pembelaan kepada saudara atau kaum kerabat, meskipun yang bersangkutan ternyata salah menurut ukuran umum. Sehingga masa kini pun masih kita saksikan terjadinya cakak ba kampuang, ba nagari hanya karena soal kecil. Rebutan sarang burung atau buah jengkol, pesepadan dan sebagainya. Padahal untuk memahami adagium itu perlulah merujuk pada kaidah induknya yaitu: syarak mangato – adat mamakai. Sesuai patron Adat Basandi Syarak – Syarak Basandi Kitabullah. Dan itu akan ditemukan dalam hadits Rasulullah saw.:

Bersabda Rasulullah saw: “Bantulah saudaramu yang menganiaya maupun yang teraniaya”; Ditanyakan: “Wahai Rasulullah, aku -bisa- menolong yang teraniaya, lalu bagaimana aku -akan- menolong yang menganiaya ? “. Rasul menjelaskan: “Kamu mencegahnya dari perbuatan menganiaya, demikianlah bentukpertolongan kepadanya “.[3]

Hadits di atas dapat dibandingkan dengan lafaz berbeda karena langsung menyangkut masalah:

Sabda Nabi saw. “Tidak mengapa (saling bersorak, tapi) seseorang hendaklah menolong saudaranya yang menganiaya maupun yang dianiaya”. Dengan uraian penjelasan “Jika dia menganiaya, cegahlah dia; jika dia dianiaya bantulah dia”.[4]

Dengan demikian, pengertian tagak di korong mamaga korong, tagak disuku mamaga suku dstnya tersebut bukanlah dengan ikut masuk (terjun) dalam masalah yang sedang terjadi. Akan tetapi dilakukan dengan berbagai cara. Antara lain dengan masing-masingnya menjaga prilaku supaya tidak memalukan korong atau suku nya. Juga dengan memberi nasehat pada sanak famili atau kaum kerabat supaya dalam bergaul dengan pihak lain akan selalu memelihara tingkah laku, jauh dari hal-hal yang bisa mengundang masalah dan memalukan korong kampung atau suku sebagai tindakan pencegahan. Selain itu, tindakan berupa aksi langsung memberikan perlindungan (jika mampu dengan kekuatan sendiri) atau memberikan pembelaan (dengan berbagai kemungkinan yang terbuka) kepada korong, kampung, suku atau nagari, bila menghadapi perlakuan sewenang-wenang dari pihak lain. Dan hadits: Siapa saja diantara kamu yang melihat terjadinya sesuatu yang tidak balk (sebuah kemungkaran) hendaklah ia mengubahnya dengan kemampuan yang ada pada (tangan / kekuasaan) nya.[5] termasuk dalam pengertian ini.

Rasa malu sudah jadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan budaya orang Minangkabau. Pas seperti yang diajarkan Islam, bahwa malu adalah bahagian -yang tak terpisahkan dari iman-. Selain itu, budaya Minangkabau ditegakkan juga di atas fundasi raso jo pareso dan salang tenggang dalam pergaulan. Bahkan budaya Minangkabau telah mengidentikkan tidak bermalu sama dengan binatang. Ini dapat dilacak dari sebutan “co kambiang mangawan”[6]  terhadap lelaki-perempuan yang bergaul bebas secara terbuka di tempat umum.

Di masa lalu, bila orang melihat seseorang berperangai tak senonoh akan disebut indak bataratik Lalu orang akan menanyakan kemenakan siapa, bukan anak siapa. Karena adalah tugas mamak (kaum, korong, tungganai) untuk mendidik anak kemenakannya bataratik atau kenal sopan santun. Dan ‘rang semenda akan diberi teguran oleh mamak rumah[7] nya secara kias, bila anak-anaknya berperilaku tak keruan (apalagi di tempat umum, memberi malu mamak) supaya mendidik anak-anaknya selaku urang sumando niniak mamak, bukan rang sumando apak paja (sekedar penyebab kelahiran dalam korong orang).

Selain hal-hal diatas, nilai dan hubungan kekerabatan dapat juga dideteksi dari berbagai adagium (pribahasa; pepatah; petitih; bidal), a.l:  di cancang pua[8] – ta garik andilau[9]; (di cencang puar, tergerak -tergoyang, tersinggung- andilau);

Maksudnya adalah bila seorang anggota kaum dijadikan gunjiang (disebut-sebut secara negatif; gosip) oleh pihak lain (misalnya dalam tingkat kecamatan), maka seluruh anggota kaumnya, bahkan kaum ayahnya dan anak pisangnya, termasuk orang senagarinya akan merasa digunjing dan beroleh malu. Orang dari suku lain pun sudah berhak memberikan teguran. Bila digunjing dalam nagari, orang sesuku walau tidak sekaum dan sepusaka dengannya akan tersinggung sehinga menumbuhkan hak melakukan teguran. Radius atau lingkaran yang merasa tersinggung akan meluas atau menyempit, tergantung tingkat apa sosok atau tokoh yang digunjing. Jika sudah jadi tokoh nasional, maka yang akan merasa malu adalah semua orang Minang atau yang merasa turunan Minang. Kini bisa juga orang se Sumatera Baratnya.

Sebaliknya, ketika ada orang yang tiba-tiba menjadi buah mulut, idola dan tumpuan harapan banyak orang, ternyata adalah orang Minang meskipun lahir di perantauan atau anak pisang dari orang Minang yang sudah lama hilang menjadi Sutan Batawi, Rajo Medan atau Rajo Palembang dsb.nya, akan menumbuhkan rasa bangga meskipun dalam kadar yang berbeda di antara sesama orang Minang. Tergantung hubungan jauh dekatnya dengan sumber gunjingan.

Juga tergambar dalam pepatah:  ilalang nan ta baka – si cerek[10] ta bao rendong; (hilalang yang terbakar, sicerek terbawa rendong);

Maksudnya, bila sesosok orang berbuat ulah. baik secara hukum nasional (melakukan kejahatan) atau secara moral (melompat pagar, menempuh rusuk jalan), maka seluruh kerabat atau sanak famili yang bersangkutan pun merasa mendapat hukuman, meskipun dalam bentuk menanggung malu. Namun perlulah diungkapkan, bahwa maksud pepatah ini sama dan sebangun dengan Firman Allah Swt:  

(#qà)¨?$#ur ZpuZ÷FÏù žw ¨ûtù‹ÅÁè? tûïÏ%©!$# (#qßJn=sß öNä3YÏB Zp¢¹!%s{ (

(Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak hanya secara khusus menimpa mereka yang zalim (pelaku kejahatan) saja dari kalangan (sekitar) kamu [11].

 Nash yang menjadi dasar hukum untuk memberi kewajiban (hak) kepada teman atau tetangga untuk melakukan nasehat, teguran bahkan pencegahan secara langsung. Prinsip ini juga terlihat dianut oleh Hukum Pidana[12] yang berlaku di Indonesia, meskipun warisan kolonialis Belanda. Akan dituduh dengan tindak pidana membiarkan, bagi siapa yang melihat suatu kejahatan dilakukan tanpa mencegah atau melaporkan pada yang berwajib.

Kedua pepatah di atas secara jelas mengabarkan pada kita bahwa dalam hal dan kadar tertentu kita sebagai anggota kaum, dalam suatu kekerabat yang luas atau sempit, bisa saja memikul beban emosional, akibat suatu perbuatan pihak lain yang secara pribadi bahkan tidak kita kenal pun. Dan kita bisa saja mendapat beban risiko pahitnya, hanya yang karena yang menjadi sumber masalahnya adalah orang Minang, anak pisang, induak bako, atau mereka yang bersamaan suku atau nagari dan sebagainya.

Oleh karena dampak masalahnya begitu luas, maka setiap individu orang Minang, baik sebagai orang sesama Minang, se propinsi, se kabupaten, se kecamatan, se nagari, se suku dan sebagainya beroleh hak penuh (secara moral dan alami) untuk menyampaikan teguran atau nasehat supaya tidak mendatangkan rasa malu pada pihak lainnya. Demikian dapat kita simak dari pepatah salah basapo, sasek batunjuak-an, takahk bajagokan, lupo manganakan dan seterusnya.

Dari hal-hal yang dikemukakan tersebut, kita akan melihat adanya garis lurus hubungan budaya Minangkabau tersebut dengan  ajaran  Islam  sebagai  sendi  tempat tegaknya yang menyebut bahwa pada diri kita ada hak orang lain.

 

dirimu sendiri punya hak atas tubuhmu, keluargamu punya hak atas dirimu. Maka tunaikanlah dengan benar –semua- hak-hak tersebut”. (HR Bukhari)[13] Atau dalam formula Minang akan disebut: “nagari ka samo kito uni, jalan ka samo kito tampuah “. Maksudnya adalah untuk mengingatkan masing-masing kita agar saling menjaga diri dan prilaku supaya pihak lain tidak dirugikan.

Untuk menjaga ada dan ujudnya nilai-nilai kekerabatan dimaksud, budaya Minangkabau memperlihatkannya dalam berbagai lambang materi. Seperti rumah gadang (sebagai rumah tua milik bersama, rumah asal, tidak hams beratap gonjong), pandam pakuburan, sasok, surau, untuk kelompok kaum yang sepusaka atau sepesukuan, balai adat, tapian, masjid dan sebagainya untuk kelompok yang lebih luas tanpa ikatan rurunan. Malah Singgalang, Merapi dan Kode Plat mobil (BA) pun dijadikan lambang pengikat orang Minang secara keseluruhan.

 

ANCAMAN, TANTANGAN DAN PELUANG

1 . Ancaman Dan Tantangan.

ebelum ini, sudah dikemukakan bagaimana pola yang terbentuk dan cara orang tua-tua masa lalu memelihara hubungan kekerabatan menurut budaya – adat Minangkabau, yang dilandasi pada raso jo pareso, sa ino samalu. Atau dalam kalimat yang lebih lugas, tenggang-manenggang. Dimasa lalu, hubungan kekerabatan itu cukup dapat dikawal oleh ninik mamak peraangku adat, melalui berbagai instrumen tradisional. Antara lain terpusatnya sumber mata pencaharian anggota kaum (berupa harta pusaka), tatacara mencarikan jodoh (suami) atau menerima lamaran (untuk isteri) bagi anak-kemenakan, sekaligus sebagai ipar besan bagi kaum ada pada kewenangan Mamak Kepala Wans. Dan hubungan kekerabatan yang dipelihara untuk membuat setiap individu dalam kerabat itu merasa, aman dan diperlukan. Selain untuk mempertahankan diri sendiri dalam kebersamaan, juga untuk melindungi serta keutuhan kebersamaan dalam kekerabatan tersebut.

Tuah manusia sepakat, pai sabondong, pulang satampuah, barek samo dipikua, ringan sanio dijinjiang. Begitu antara lain ungkapan yang sering kita ucapkan dan diyakini sebagai patron kekerabatan masyarakat Minangkabau. Dan nampaknya sejalan dengan ajaran Islam atau memang bersumber dari ajaran Islam yang mengajarkan betapa pentingnya kebersamaan umat., bila kita simak hadits Nabi saw:

Barang siapa yang memisahkan dirinya dari jama’ah -walau-satu jengkal, berarti dia sudah melepaskan ikatan Islam dari lehernya. (HR Bukhari)[14].

Dan dalam konteks dengan kekerabatan dalam budaya-adat Minangkabau, mereka yang menyimpang dari kebersamaan yang telah dipolakan, akan terkena risiko dalam berbagai tingkatan. Sejak yang dikucil dari pergaulan sebelum membayar denda penyesalan pada nagari, sampai yang dikenai hukum buang sapanjang adat (buang sapah, buang habis). Bila terkena hukuman adat yang terakhir ini, maka segala hak-haknya yang tumbuh karena hubungan adat akan dicabut.

Akan tetapi, masuknya budaya luar (sistem pemerintahan dan usaha) tentang sumber mata pencaharian, yang memungkinkan anak kemenakan bekerja sebagai pegawai, (negeri atau swasta) atau usaha-usaha yang non agrarisch lainnya, telah sekaligus merobah, setidaknya mempengaruhi struktur tradisional kekeluargaan orang Minangkabau. Semula berdiam di rumah orang tua, akan berpindah ke rumah yang didirikan sendiri, juga bukan lagi di atas bagian tanah pusaka kaum, tetapi di atas tanah yang dibeli dengan hasil pendapatan sendiri. Ujung-ujungnya adalah kekuasaan Mamak Kepala Waris terhadap anggota kaumnya tidak sama lagi dengan sebelumnya. Selain itu, peranan dan tanggung jawab seorang suami pada anak-isterinya pun mengalami perobahan 180°. Semua suami, yang juga adalah mamak dalam kaumnya sudah akan (hampir) sepenuhnya mengurus kepentingan keluarganya, tidak lagi seperti masa lalu, sibuk mengurus sawah ladang kaum orang tuanya. Sedangkan harta pusaka (collectief bezit), hampir semuanya sudah habis terindividualisasikan kepada anggota kaum. Malah sudah dibuku tanahkan (sertifikat) atas nama mereka masing-masing.

Perobahan-perobahan demikian, sekaligus juga merombak beberapa sisi beban tanggung jawab yang selama ini berada pada kewenangan mamak, terutama dalam urusan kekerabatan. Sedikit atau banyak telah menggeser dan memberi peran kepada suami para kemenakan (urang sumando). Akan tetapi, sepanjang urang sumando (suami para kemenakan) masih merasa perlu dihormati atau disegani oleh urang sumando nya sendiri di kaumnya, jaringan kekerabatan seperti semula tidak akan mengalami gangguan, karena iapun masih harus bertenggang rasa dengan mamak-mamak dalam kaum isterinya.

Namun tatanan kekerabatan masa lalu akan berombak total, apabila turunan mereka tidak lagi dididik perlunya dalam kebersamaan, betapa pentingnya rasa malu, berbasa-basi, bertenggang rasa seperti yang sudah-sudah, apabila prilaku nafsi-nafsi (individualistis) dan nan ka lamak di awak surang secara materialisasi sudah pula mengedepan. Apalagi bila ditunjang oleh mapannya kehidupan keluarga inti dan sudah dirasa berat memberikan bantuan pada kaum.

Saya sendiri, sebagai advokat-pengacara, telah berkali-kali diminta ikut menyelesaikan kasus perkawinan dari mereka yang ber-sanak ibu (ibu mereka bersaudara handling). Satu di antaranya terjadi di antara warga dari salah satu nagari di Luhak Nan Tuo (Tanah Datar), meskipun kejadiannya di rantau. Agama Islam memang tidak melarang perkawinan demikian, akan tetapi tidak pula menyuruh untuk saling kawin mengawini diantara mereka yang sekaum sepusaka. Apalagi menyuruh sesuatu yang dampaknya akan berakibat pecah atau kacaunya kesatuan sebuah kaum.

Lalu ada lagi sesebutan: kok indak ameh di pinggang dunsanak jadi urang lain; adalah sepenggal pepatah bernuansa sarkatis, betapa akibatnya bila lelaki Minang dalam keadaan tidak punya emas (tidak berpunya). Seolah saudara-saudaranya akan menghindar darinya dan akan membiarkan diri melarat sendiri. Sebentuk sikap yang dimuat dalam pepatah tersebut, perlu ditempatkan pada posisi yang benar.

Bahwa secara prinsip, agama Islam pun menganut sikap demikian. Pelajari saja dengan tenang salah satu Rukun Islam adalah kemampuan membayar zakat. Kewajiban dan menjadi rukun sahnya seseorang menjadi muslim, tanpa embel-embel penjelasan seperti menunaikan haji ke Mekah dengan catatan tambahan sekali seumur hidup jika ada kemampuan internal, ada kesempatan dan ada kemungkinan secara internal dan ekstemal. Bila hanya dipahamkan secara sepotong-sepotong, maka hanya mereka yang membayar zakat sajalah yang boleh disebut sebagai Muslim. Apakah dengan demikian, bagi yang masih belum mampu membayar zakat belum boleh disebut Muslim ?. Ada hal-hal yang perlu disimak, yaitu adanya ketentuan rukhsah (dispensasi). Malah bagi yang belum mampu secara objektif, berhak rnenerima zakat sebagai fakir atau miskin. Padahal semua kita tahu, baliwa Allah swt lebih menyukai Muslim yang kuat berbanding dengan Muslim yang lemah. Demikian, maka rukun zakat adalah rukun pendorong untuk membentuk sikap individu setiap Muslim supaya giat berusaha sampai mampu membayar zakat dan mencegahnya jadi pengemis.

Begitu jugalah dengan adagium Minangkabau diatas. Adat dan budaya Minangkabau menghendaki setiap lelaki Minangkabau, haruslah punya kemampuan, selain ilmu juga secara materi. Diperlukan untuk membantu dan menambah harta pusaka kaumnya, selain memenuhi kebutuhan keluarga dan dirinya sendiri. Malah mendorong mereka untuk merantau, dan silakan kembali- setelah dirasa berguna untuk kaum dan korong kampung. Namun bagi yang belum terbuka kesempatan menjadi lelaki mampu, secara hukum adat pun terbuka peluang untuk menggarap harta pusaka kaumnya, bahkan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya pun. Harta kaum yang digarap untuk anak bini seperti itu, disebut arato bao (harta bawaan), yang tunduk pada ketentuan bao kumbali-dapatan tingga.

Peluang

Bagaimana pun bagi orang Minangkabau yang menyadari betapa nikmatnya hidup berkerabat dan bermasyarakat serta betapa susahnya hidup sendiri, menyendiri dan dijauhi seperti yang disindirkan gurindam lama nan ba taratak ba koto asiang – ba adat ba limbago surang, ba banak di ampu kaki, ba kitab di buku tangan, tantangan keadaan akan diolahnya menjadi peluang. Sa iriang anakjo panyakik – sa iriang padijo Siangan, sudah diamati dan dialami. Penyakit di obat, Siangan di siangi. Masalah dihadapi dengan tenang dan diselesaikan dengan baik, tak usah sesak nafas.. Orang baru akan menikmati hasil, bila ia mampu mengatasi rintangan. Orang baru akan merasa betapa nikmatnya minuman, setelah mengalami betapa perihnya tenggorok dikala haus. Ta lumbuak hiduak di kelok kan, ta tumlnuik kuto di pikiri, la liinihiuik ntndiang dinuinuangkan.

 KESIMPULAN

A

dapun kesimpulan dari pendapat yang saya kemukakan di atas, saya pulangkan saja pada kita bersama, karena yang disebut Minangkabau adalah kebersamaan kita. Raso di bao naiak, pareso di bao turun. Apakah sistem dan nilai kekerabatan menurut budaya – adat Minangkabau yang kita alami, kita lihat dan kita dengar selama ini akan kita pelihara dengan revisi penyesuaian disana-sini (usang-usang di barui, lapuak-lapuak dikajang), atau akan kita biarkan saja perkembangannya pada generasi mendatang tanpa bimbingan karena mereka yang akan memakai?. Lalu dianggap saja sebagai kebebasan individu atau Hak Azasi Manusia ?.

Akan tetapi sedikit pesan ajaran agama yang sudah dipahami orang tua-tua masa lalu, bahwa kita sebagai manusia adalah makhluk yang juga disebut khalifah. Dalam kata lain adalah subjek yang membentuk, bukan objek yang dibentuk. Generasi masa kini punya kewajiban untuk meninggalkan generasi penggantinya dalam keadaan lebih baik, tetap kuat menghadapi dan mengolah tantangan menjadi peluang yang menguntungkan. Bukankah Islam sendiri mengajarkan, malah memerintahkan umatnya:

Hendaklah takut pada -azab dan kemurkaan Allah- semua mereka yang seandainya akan meninggalkan anak cucu dibelakang mereka dalam keadaan yang serba lemah (baik ilmu, pisik, kesehatan, kemampuan, kekuasaan dan politik.


[1]  karik – ba’ik; dua-duanya dari kata Arab; karib – ba’id (dekat dan jauh), dalam hubungan kerabat dekat dan kerabat jauh dalam banyak sisi dan arah..

 

[2] DR Sayyid M. Nuh; terjemahan jilid 2, halaman 267.

[3] Sunan Al Tiimidzi; Hadits No. 2356, dengan nilai sahih.

[4] Sahih Muslim; hadits no. 2213. teguran Nabi saw. dalam kasus perkelahian seorang pemuda Muhajirin dengan pemuda Anshar, dan yang lainnya saling bersorak memberi semangat mendukung kelompoknya masing-masing seperti masa jahiliyah.

[5] Ibidem No. 1540.

[6] “co kambiang mangawan” (bagai kambing turut kawan, kejar-kejaran cari pasangan di manapun).

[7] mamak rumah; sebutan terhadap saudara lelaki istcri dari sisi seorang suami (rang semenda) di suatu kaum, baik sekandung atau hanya sepesukuan.

[8] pua; puar; sejenis kapulaga (banyak variasinya), dibeberapa nagari disebut salo.

[9] andilau atau endilau; pohon dengan nama tatinnya Commersonis bartramia MERR.

[10] sicerek (clausena cxavata); nama pohon kecil, daunnya biasanya dijadikan obat tradisional;

[11] Q.S. 8-al Anfal/25

[12] Menurut catatan sejarah ilmu hukum, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia ini, semula adalah konkordans dari KUHP Negeri Belanda, bersumber dari Code Napoleon, sebelumnya di kutip dari Hukum-Hukum yang berlaku di Cordoba yang Islam.

 

[13]  Sayyid Muhammad Nuh; Aafaatvn ‘Alath-Thariq; Darul Wafa, Mesir, Cet.V 1413 H/1993 M; sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul “Pcnyebab Gagalnya Dakwah”; lihat jilid 1 halaman 30.

 

[14] Ibidem; lihat jilid 1 halaman23.

Pergeseran Nilai Membelit Kehidupan Masyarakat

Pergeseran Nilai

Oleh : H. Mas’oed Abidin

“Dan apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi dan memperhatikan bagaimana akibat (yang diderita) oleh orang-orang yang sebelum mereka ? (Pada hal), Orang-orang itu adalah lebih kuat dari mereka (sendiri) dan telah mengolah bumi (tanah) serta memakmurkannya lebih banyak dari apa yang telah mereka makmurkan. Dan telah datang kepada mereka rasul-rasul mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata. Maka Allah sekali-kali tidak berlaku zalim kepada mereka, akan tetapi merekalah yang berlaku zalim kepada diri mereka sendiri.
Kemudian, akibat orang-orang yang mengerjakan kejahatan adalah (azab) yang lebih buruk, karena mereka mendustakan ayat-ayat Allah dan mereka selalu memperolok-olokkannya”
(QS.30, Ar-Rum, ayat 9-10).

Sekarang, kita tengah menyaksikan satu kondisi terjadinya pergeseran pandangan masyarakat dunia dewasa ini.

Umat Islam wajib berperan aktif kedepan di abad ini, dengan upaya menjadikan firman Allah sebagai aturan kehidupan.
Melaksanakan secara murni konsep agama dalam setiap perubahan, agar peradaban kembali gemerlapan.

Berpaling dari sumber kekuatan murni, Kitabullah dan Sunnah Rasul, dengan menanggalkan komitmen prinsip syar’i dan akhlak Islami akan berakibat fatal untuk umat Islam, bahkan penduduk bumi.
Pada gilirannya umat Islam akan menjadi santapan konspirasi dari kekuatan asing.
Konsekwensinya adalah wilayah yang sudah terpecah akan sangat mudah untuk dikuasai.

Kembali kepada watak Islam tidak dapat ditawar-tawar lagi.
Bila kehidupan manusia ingin diperbaiki.

Tuntutan agar umat lahir kembali dengan iman dan amal nyata.
• Tatanan masyarakat harus dibangun diatas landasan persatuan (QS.al-Mukminun:52).
• Mayarakat mesti ditumbuhkan dibawah naungan ukhuwwah (QS.al-Hujurat:10).
• Anggota masyarakatnya didorong hidup dalam prinsip ta’awunitas (kerjasama) dalam al-birri (format kebaikan) dan ketakwaan (QS.al-Maidah:2).
• Hubungan bermasyarakat didasarkan atas ikatan mahabbah (cinta kasih), sesuai sabda Rasul: “Tidak beriman seorang kamu sebelum mencintai orang lain seperti menyayangi diri sendiri”.
• Setiap masalah diselesaikan dengan musyawarah (QS.asy-Syura:38).
• Tujuan akhirnya, penjelmaan satu tatanan masyarakat yang pantang berpecah belah (QS.Ali Imran:103).

Rahasia keberhasilan adalah “tidak terburu-buru” (isti’jal) dalam bertindak.
Tidak memetik sebelum ranum.
Tidak membiarkan jatuh ketempat yang dicela.

Kepastian amalan adanya husnu-dzan (sangka baik) sesama umat.
Mengiringi semua itu adalah tawakkal kepada Allah.

Dalam tatanan berpemerintahan, kekuasaan akan berhasil jika menyentuh hati nurani rakyat banyak, sebelum kekuasaan itu menjejak bumi.
Ukurannya adalah adil dan tanggap terhadap aspirasi yang berkembang. Takarannya adalah kemashlahatan umat banyak. Kemasannya adalah jujur secara transparan. Kekuatan hati (dhamir) penduduk (rakyat) terletak pada ditanamkannya kecintaan yang tulus.

Menghidupkan energi ruhanik lebih didahulukan sebelum menggerakkan fisik umat.
Titik lemah umat karena hilangnya akhlaq (moralitas) Islami.
Enggan memahami syari’at, berakibat hilangnya kecintaan (kesadaran) terhadap Islam.
Lahirnya radikalisme, berlebihan dalam agama, menghapuskan watak Islam.
Tidak menghormati hubungan antar manusia, merupakan kebodohan pengertian terhadap prinsip sunnah.
Akibatnya adalah tindakan anarkis (merusak).

Keadilan adalah raja.

Allah SWT telah memerintahkan kepada setiap orang untuk berlaku adil, berbuat ihsan (kebajikan), dan membantu karib kerabat. Dan, Allah juga memerintahkan untuk melakukan pencegahan terhadap perilaku keji dan tercela (fahsya’, anarkis). Allah SWT juga memerintahkan untuk menghindar dari kemungkaran (perbuatan terlarang) dan aniaya (anarkis), juga dari perlakuan yang melampaui batas (bagh-ya). Semua peringatan Allah ini harus selalu di ingat oleh manusia (QS.An Nahl,90).

Adil, adalah pakaian setiap pemimpin, tidak semata ucapan.
Adil, adalah suatu perbuatan, yang di dambakan setiap orang.
Karenanya, menjadi kewajiban setiap pribadi untuk menegakkan dan mempertahankannya.

Agama mengajarkan bahwa setiap orang adalah pemimpin.
Setiap pemimpin akan diminta pertanggungan jawab terhadap rakyat yang dipimpinnya.
Agama menegaskan bahwa, penguasa adalah pemimpin dari rakyatnya.
Sebagai layaknya seorang suami menjadi pemimpin atas istri, keluarga dan rumah tangganya.
Seorang pekerja (khadam) adalah pemimpin atas harta yang di amanahkan oleh majikannya.
Konsekwensinya adalah, setiap pemimpin memikul tanggung jawab berlaku adil dan amanah menjaga rakyat yang di pemimpinannya.
Setiap pemimpin akan ditanya pertanggungan jawab atas kepemimpinannya.
(Hadist di riwayatkan Al-Bukhari dari ‘Abdullah ibn ‘Umar RA).

Pemimpin yang adil, semestinyalah bersikap merendah (tawadhu’) terhadap rakyat yang dipimpinnya (HR.Bukhari, dalam Riyadhus-Shalihin, Imam Nawawy).
Maknanya adalah, kepentingan (aspirasi) rakyat wajib di utamakan. Hanya ada satu kepentingan, demi kemashlahatan rakyat banyak.

Pemimpin dalam pandangan Islam tidak untuk kepentingan kelompok atau golongan.
Tetapi untuk kemashlahatan orang banyak.
Walaupun barangkali seorang pemimpin memiliki kekurangan fisik, tetapi adil dan berpedoman kepada Kitabullah, maka Muslimin disuruh mengikutnya.
“Jika sekalipun kamu dipimpin oleh seorang hamba yang cacat (‘abdun mujadda’), tetapi memimpinmu dengan berpedoman kepada Kitabullah (al Quran), maka hendaklah kamu mendengarkan dan menta’atinya” (Shahih Muslim).

Dalam konsep Agama pemimpin adalah amanah Allah untuk melaksanakan pemerintahan sebagai amanah umat (rakyat).
Karena itu, sangatlah tidak pantas bila seorang meminta-minta untuk diangkat menjadi seorang pemimpin.

Disampaikan oleh Shahabat Abu Musa RA, tatkala dua orang Bani ‘Ammi minta diangkat menjadi gubernur disuatu daerah, maka Rasulullah SAW berkata,
“Demi Allah, sesungguhnya kami tidak akan mengangkat seorang penguasa atas pekerjaan ini apabila ia memintanya atau ambisius kepadanya”
(HR. Muttafaq ‘alaih).

Kepemimpinan sesungguhnya adalah amanat dari Allah SWT.
Wajib di tunaikan sebagai ibadah di tengah kehidupan masyarakat (rakyat)-nya, atau hablum min an-naas.

Adil adalah pakaian setiap pemimpin..
Adil, adalah ciri taqwa.
Konsep ini bukan semata teologis, melainkan sangat humanis universal.

Dalam pandangan Islam, seorang pemimpin pemegang tampuk kekuasaan yang melalaikan kepentingan rakyatnya adalah pemimpin yang sangat dicela. Rasulullah SAW memperingatkan,
“Tidak seorangpun yang diberi amanat oleh Allah untuk memimpin rakyatnya (kaum Muslimin), lalu ia mati dalam keadaan menipu mereka, kecuali Allah mengharamkan baginya sorga (tidak akan masuk sorga)” (HR.Muttafaqun ‘alaihi dari Abi Ya’la (Ma’qal) bin Yasar RA).

Dalam hadist lainnya, Rasulullah SAW berkata,
“Sesungguhnya pemimpin itu adalah perisai. Dibelakang perisai itulah rakyat berjuang. Maka apabila ia (pemimpin) menyuruh kepada ketaqwaan terhadap Allah dan berlaku adil, maka ia akan mendapat pahala dari perintah dan sikap adilnya itu. Tetapi bila ia menyuruh selain dari itu (taqwa), maka ia akan mendapat siksa karenanya” (HR.Muttafaq ‘alaihi, dari Abi Hurairah RA).

Dengan sikap tawadhu’ (merendah demi kepentingan umat karena taqwa kepada Allah) akan terlihat keadilan seorang pemimpin.

Arogansi pemaksaan kehendak. akan membawa kepada kehancuran.
Konsekwensinya adalah,
“Seorang Muslim harus mendengarkan dan menta’ati segala perintah (pemimpinnya) dalam hal yang ia sukai ataupun yang tidak disukainya, selama ia tidak diperintahkan untuk berbuat maksiat. Dan apabila ia diperintahkan untuk berbuat maksiat, maka ia (rakyat) tidak dibolehkan untuk mendengarkan atau menta’ati perintahnya” (HR.Muttafaq ‘alaih dari Ibnu Umar RA).

Sungguh celakalah para pemimpin yang melupakan dan menganggap enteng aspirasi rakyat banyak.
Maka, untuk terhindar dari kecelakaan, harus dilakukan ishlah (social reform) secara adil (taat asas dan taat hukum), dan berlaku ‘adil (tanpa dendam kesumat) sesuai firman Allah; “Berlaku adillah, karena Allah kasih terhadap orang-orang yang adil” (QS.Al-Hujurat ,9).

Lemahnya bekalan agama dilapisan umat dan tipisnya pemahaman Islam akan berpengaruh didalam kehidupan.
Paham ‘Ashabiyah (kedaerahan), menghilangkan arti maknawi dari ukhuwwah. Persatuan lahiriyah tidak mampu menumbuhkan kebahagiaan mahabbah, cinta sesama.
Materi tidak akan mampu mempertemukan hati dan hati.
Hanya iman dan kesatuan prinsip menjadikan bangsa ini bersatu dan kuat, sesuai Firman Allah QS.al Anfal ayat 63.

Bila pertemuan hati dilupakan, dari sinilah bermula sumber kehancuran
Karena itu Rasulullah SAW selalu berdo’a sebagaimana disampaikan oleh Ummul Mukminin ‘Aisyah R ’anha,
“Ya Allah, barangsiapa yang menjadi pemimpin atas umatku, lalu ia mempersulit mereka, maka persulitlah ia, dan barangsiapa yang memimpin umatku, lalu mengasihi mereka, maka kasihanilah ia” (HR.Shahih Muslim).

Dengan do’a ini pula kita tutup bahasan kita tentang makna serta hikmah yang terkandung di dalam hari-hari Isra’ dan Mikraj Rasulullah SAW yang memerintah untuk melaksanakan shalat lima kali sehari semalam, sebagai satu amalan yang menjadikan manusia selalu menjaga hubungan dengan Allah serta memelihara hubungan dengan manusia secara adil.

Billahit taufiq wal hidayah.

Politik Dakwah Amar Makruf Nahi Munkar

POLITIK DAKWAH
AMAR MAKRUF NAHI MUNGKAR

Oleh : H. Mas’oed Abidin

Di waktu pemberontakan Gestapu/PKI, Muhammadiyah memutuskan dalam Musyawarah Kerja Nasional pada bulan November 1965 yang berlangsung di Asrama Haji Jalan Kemakmuran Jakarta bahwa pembubaran Partai Komunis Indonesia adalah ibadah.

Dalam waktu yang bersamaan Organisasi Nahdatul Ulama yang disampaikan oleh K.H. Abdul Wahid Hasbullah dan K.H. Masykur mengatakan bahwa wajib hukumnya membubarkan PKI.

Kegiatan Politik yang dilakukan oleh Muhammadiyah pada hakikatnya adalah dalam kerangka dakwah ,amar makruf nahi munkar. Kita dituntut harus mampu membangun kualitas kehidupan yang mampu bersaing. Dengan segera melakukan konsolidasi internal, mampu mengembangkan tata pergaulan antar kelompok.

Di antara tahun 1966 1980 sering sekali dilakukan kunjungan kepelosok pelosok desa oleh para da’i dan mubaligh , mengunjungi umat.
Di kala itu, hubungan kedesa desa sangat sulit.
Tidak jarang harus ditempuh berjalan kaki, paling paling berboncengan dengan sepeda, di sambung bendi atau pedati.

Program waktu itu sederhana sekali, “hidupkan dakwah bangun negeri”. Begitu yang dilakukan kedaerah daerah di Binjai, Rao Mapat Tunggul, Lawang dan Baringin, terus ke Palembayan dan Tantaman.
Dari Maninjau, Lubuk Basung, terus ke Padusunan dan Pariaman dan Kurai Taji.
Menyatu kunjungan kunjungan itu ke Guguk Kubang tujuh Koto, ke Pangkalan Muara Paiti, bahkan sampai ke Muara Mahat dan Bangkinang.

Sama juga halnya ke Taram, Situjuh dan Lintau serta selingkar Padang Panjang dan Tanah datar, hingga ke Koto Baru dan Sungai Rumbai di Sijunjung, malah tidak jarang diteruskan pula ke Muara Bungo.

Arus perubahan itu bisa berbentuk makin meluasnya tuntutan terhadap hak hak asasi dan keadilan, dan demokratisasi (sosial politik), bisa pula berbentuk makin berkem¬bangnya dominasi dari sistim ekonomi kapitalis yang berakibat makin meluasnya jurang antara dhu’afa dan aghniya dalam pandangan ekonomi.

Bahkan bisa berkembang menjadi di abaikannya nilai nilai agama yang berakibat dapat menjungkir balikkan nilai nilai moral dan spiritual yang sudah mapan dimiliki oleh masyarakat kita.

Semuanya karena pengaruh pandangan bahwa materi (budaya kebendaan) adalah diatas segala galanya, sebagai suatu gambaran kehidupan “laa diniyah”, sehingga terbukalah pintu kemaksyiathan dan kemungkaran, kriminalitas dan krisis moral.

Ilmu pengetahuan dan teknologi bergerak pula ke arah perubahan posisi menjadi “berhala baru”, yang berujung kepada terbukanya peluang terciptanya masyarakat “dahriyyin”, dan pada akhir¬nya hilanglah sibgah (jati diri) manusia sebagai makhluk Tuhan yang mulia, yang punya fithrah dan hati nurani.

Semuanya adalah ancaman serius bagi kualitas lingkungan serta rusaknya sistim kebudayaan dan menurunnya kualitas manusia.

BERTEMU UMAT
Hampir selalu pertemuan itu dilangsungkan pada sarana sarana yang dibangun umat milik persyarikatan.
Umat datang dari sekitar, dari gubuk gubuk reot di ladang tepi hutan, memakai suluh daun kelapa, bila kebetulan malam telah tiba.
Yang dibicarakan adalah masalah umat itu sendiri.
Bagaimana mereka bisa membenahi kehidupan ekonominya degan memanfaatkan alam sekitarnya, hidup dan tenaga yang dianugerahkan Allah kepada Nya.

Memelihara kesatuan yang sudah ada, memupuk kekeluargaan sesama, membudayakan “berat sepikul ringan sejinjing” dalam mengangkat dan mempersamakan amal berat yang di hadapi, sehingga lahirlah motivasi dan inovasi ditengah lingkungan mereka.

Selalu saja terjadi, pertemuan pertemuan ini berjalan sedari malam sampai pagi, bahkan di sambung sore harinya, ditutup dengan “tabligh akbar” di malam hari, dengan menghadirkan seluruh lapisan umat tanpa kecuali.

Yang terjadi adalah proses integrasi, dan penyebaran informasi.
Para remaja, generasi muda duduk selingkar ustadz nya selesai mengaji, berbincang bincang sampai pagi.

Untuk selanjutnya besok hari, da’i pun pergi meninggalkan desa dengan segudang perasaan di hati, untuk kemudian akan disampaikan kepada teman teman dan “orang orang tua” di tingkat propinsi.

Yang lahir seketika itu adalah :
• terbentengi umat dari proses pemurtadan yang sedang mengintai,
• pemantapan kaderisasi dan pemeliharaan aqidah secara langsung,
• pembinaan kerukunan antar warga, lahirnya partisipasi aktif, dalam membangun diri dan membangun negeri,
• menyebarnya informasi, diperkenalkannya khittah, diin¬gatkan kembali bahaya dan ancaman zaman,
• tumbuhnya umat yang mandiri (sosial, ekonomi, dan musyawarah, demokrasi),
• terbentuknya persepsi dalam menyatukan langkah positif memelihara nilai nilai luhur yang sudah mapan, pada setiap lapisan dan kalangan.

Hal di atas sangat dimungkinkan karena ynag melibatkan diri dalam kegiatan tersebut adalah seluruh unsur unsur yang ada di dalam negeri.

Bahkan sejak dari perangkat dusun, desa hingga kecamatan, serta kalangan ninik mamak, pemuka masyarakat serta alim ulama, pemuda pemudi generasi muda, yang semuanya adalah potensi yang berpotensi dalam pembangunan berwawasan lingkungan.

Perjalanan dakwah seperti itu mengasyikkan, sehingga lelah dan jarak tidak menjadi halangan, karena yang terpaut adalah “taalaful qulub” pertautan hati dengan hati.

Bagaimanakah potret itu kini ?
Setelah tiga dasawarsa musim berlalu ??.
Sering terjadi, ustadz dan da’i yang juga berpredikat penggerak amal usaha persyarikatan atau da’i pembina organisasi mereka telah cepat cepat meninggalkan umat secepat dia datang.

Sehingga yang di kupas hanya sebatang kulit luar.
Memang pernah terjadi, ada usaha usaha terencana dan sistematik untuk memisahkan nilai nilai kehidupan bangsa yang beradab dan beradat terutama di Nusantara Indonesia ini dari ajaran Agama Islam.

Sungguhpun itu terjadi di penghujung abad 19 dan permulaan berada di awal abad ke 20.

TANGGAP DENGAN KEADAAN
Namun keadaaan sedemikian itu segera terantisipasi oleh kearifan dan kecekatan para ulama dan cendikiawan kita.

Kondisi kita pun di saat itu berada di dalam suasana tekanan penjajah dengan sistem imperialsime dan kapitalisme.

Sederetan nama nama para pemimpin kita, secara sambung bersambung telah mengukir sejarah dinegeri ini, dengan masuknya kita ke era pembaruan (tajdid) itu.

Nama nama itu tidak akan terhapuskan oleh sejarah, mulai dari Panglima Diponegoro, Hasanuddin, T. Cik Di Tiro, Panglima Polem, sampai kepada Syaikh Ahmad Khatib Al Minangkabawi dengan serentetan murid murid beliau, di antaranya K. H. Ahmad Dahlan, Syeikh Haji Abdul Karim Amarullah (Ayahanda HAMKA) dan banyak lagi yang tidak tersebutkan dari pada yang mampu diungkapkan.

Deretan para pemimpin umat itu, semuanya memiliki prinsip kekerabatan yang mendalam, ukhuwah yang jernih, ilmu yang resikh, dan pendirian yang tak tergoyahkan dan khittah yang jelas.

Di atas segalanya itu, Tauhid yang kokoh serta istiqamah dalam menjalankan khittah yang telah digariskan.

Menarik untuk disimak, dari tauladan keperjuangan dakwah beliau beliau itu, adalah hampir seluruhnya memiliki “surau” dan “lahan” tempat pembinaan kader (mengaji), dan punya sekolah (madrasah) mempersiapkan umat pengganti.

Satu suasana yang indah, bila kita ungkapkan yang sudah terjadi “masa doeloe” dari pimpinan pimpinan pergerakan dakwah persyarikatan, sebatas yang kita kutip dari pengalaman pendahulu pendahulu kita.

Suatu ketika, pada hari pekan di Padang Panjang, konsul Muhammadiyah Minangkabau (Sumatera Barat) yaitu Buya A.R. St. Mansur bertemu dengan pimpinan Muhammadiyah dari Lintau.
Beliau bertanya “Bagaiman perkembangan sekolah di Lintau”.
Sekolah yang ditanyakan itu, tentulah sekolah Muhammadiyah, yang merupakan satu sarana amal usaha Muhammadiyah.
Sang pengurus Muhammadiyah Lintau ini, menjawab dengan gugup, sebab perkembangannya sedikit menurun, karena murid mulai kurang dan dan guru Muhammadiyah mulai pindah ke daerah lain.
Mendengar ini Buya A.R. St. Mansur berkata,
“Baiklah Insya Allah hari Kamis depan saya akan ke Lintau”.
Berita tersebut segera menyebar di sekeliling Lintau, sejak dari Batu Bulek sampai ke buo, bahwa Konsul Muhammadiyah akan datang.

Sibuklah masyarakat umat utama itu.
Tepat pada hari yang dijanjikan Buya A.R. St. Mansur datang di Lintau, dan menginap di rumah pegurus Persyarikatan.
Pimpinan pimpinan persyarikatan dari daerah sekeliling menyempatkan betul untuk hadir, bahkan ada yang dari Halaban sampai ke Tanjung Ampalu.
Umat umumpun merasakan nikmat kehadiran beliau dengan satu “tabligh besar”.
Beliau telah menanamkan urat di hati umat.
Akhirnya persoalan segera teratasi.

Tanggapnya K. H. A. Malik Ahmad yang waktu itu berjabatan Kepala Jawatan Sosial Propinsi Sumatera Tengah, bertanya tentang amal amal usaha Muhammadiyah tatkala beliau bertanya kepada pengelola Panti Asuhan Muhammadiyah Mandiangin.
“Bagaimana keadaan anak anak panti … ?”.
Dengan sedikit kecut dan mengeluh pengurus pengelola menyatakan bahwa sekarang ini bantuan untuk panti sedikit macet.
Beliau tanggapi “Insya Allah, sebentar lagi saya akan datang ke sana, tolong beri tahu keluarga”.
Dengan sedikit tergopoh pengelola panti asuhan yatim Muhammadiyah (A’syiyah) pulang dengan tugas mengumpulkan keluarga dan kerabat.

Selang beberapa lama K. H. A. Malik Ahmad datang di Panti Asuhan Yatim yang menjadi amal usaha persyarikatan ini.

Rupanya, inti masalah adalah terhentinya bantuan dari Jawatan Sosial. Buya Malik Ahmad segera meminta, buatlah surat dan saya akan tanda tangani, dan urusan selanjutnya menjadi tanggung jawab pengurus.

Besar yang kita kutip dari peristiwa kecil ini.

a. Dengan nilai nilai “mawaddah fil qurba” (kekerabatan yang mendalam), dapat dihindari perbedaan visi, dan bersih dari kepentingan kepentingan konflik internal maupun in¬teres pribadi, sehingga pengambilan keputusan cepat dilakukan (atisipasi aktif).

b. Umat di dorong aktif memiliki mutu (kualitas) kemandi¬rian dan percaya diri, karena pemimpin persyarikatan memi¬liki komitmen yang jelas dan terhindar dari pelunturan akhlak (status, organisasi, khittah).

c. Terpeliharanya hubungan kerjasama yang terpogram, atas dasar sama sama bekerja dengan berbagai pihak sehingga kepentingan kepentingan gerak persyarikatan menjadi sangat strategis (diterima oleh semua kalangan).***